Nasab Dan Perwalian Anak Diluar Nikah
NASAB DAN PERWAKILAN ANAK DILUAR NIKAH
Pertanyaan.
Bismillah. Bagaimanakah nasab anak yang terlahir diluar nikah, baik laki-laki maupun perempuan? Bagaimana kalau mereka hendak menikah nanti, siapa yang menjadi walinya? JazakAllâh khairan.
Jawaban.
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya kita saling mengingatkan terkait prilaku menyimpang yang banyak tersebar ditengah masyarakat yaitu perbuatan zina. Sungguh, betapa pedih hati kita bila memperhatikan gaya hidup yang dipraktikkan oleh sebagian masyarakat kita yang mayoritas mengaku Muslim. Free sex yang jelas-jelas diharamkan syari’at seakan sudah menjadi gaya hidup yang mereka banggakan, terutama para remaja. Padahal kita semua menngetahui dan menyadari bahwa para remaja adalah generasi penerus. Lalu, kebaikan apa yang bisa diharapkan dari mereka sudah terjerat dengan berbagai prilaku menyimpang?! –Semoga Allâh Azza wa Jalla melindungi kita dan generasi muda kaum Muslimin dari berbagai penyimpangan-.
Mengentaskan mereka yang sudah terjerat dan membentengi mereka yang belum menjamah prilaku menyimpang ini adalah tanggungjawab bersama antara orang tua, guru atau para Ulama dan juga pemerintah. Mereka harus bersinergi mengusung sebuah program yang disepakati bersama. Jika salah satu pihak tidak mendukung, maka program apapun yang diusung tidak akan mencapai hasil maksimal, bahkan terancam gagal.
Islam sebagai agama yang telah disempurnakan oleh Allâh Azza wa Jalla telah mengingatkan buruknya perbuatan zina sejak ribuan tahun yang lalu. Islam mengharamkannya dan mengharamkan semua yang bisa menggiring kearah perbuatan hina ini. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Dan janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu adalah fâhisyah (perbuatan yang keji) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh oleh seseorang). [Al-Isrâ`/17:32]
Mendekati saja dilarang, apalagi melakukannya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا زَنَى الْعَبْدُ خَرَجَ مِنْهُ الْإِيمَانُ، وَكَانَ عَلَى رَأْسِهِ كَالظُّلَّةِ، فَإِذَا انْقَلَعَ رَجَعَ إِلَيْهِ الْإِيمَانُ
Apabila seorang hamba berzina, maka imannya keluar dari dirinya. Lalu iman itu berada di atas kepalanya seperti naungan. Apabila ia telah bertaubat (dari perbuatannya itu), maka imannya kembali kepadanya. [HSR. Abu Dawud, no. 4690 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu][1]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ : شَيْخٌ زَانٍ , وَمَلِكٌ كَذَّابٌ , وَعَائِلٌ مُسْتَكْبِرٌ
Ada tiga golongan orang yang Allâh Azza wa Jalla tidak akan berbicara kepada mereka, tidak menyucikan mereka, tidak melihat mereka dan mereka mendapatkan adzab (siksa) yang sangat pedih yaitu orang tua yang berzina, raja yang pendusta dan orang miskin yang sombong [HSR. Muslim, 1/72 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu]
Dan masih banyak dalil lain yang menjadi dasar para Ulama menetapkan bahwa zina itu haram, bahkan semuanya telah berijma’ dalam masalah ini. Maka kewajiban kita yang utama dan pertama terkait masalah ini adalah membentengi diri kita dan anggota keluarga dari perbuatan keji ini. Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa menjaga kita dan keluarga kita dari berbagai jebakan syaitan yang senantiasa menyebar jebakannya lewat berbagai media termasuk perangkat elektronik yang memang kita perlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Kemudian kita beralih ke pertanyaan, bagaimanakah nasab anak yang terlahir diluar pernikahan yang sah dan siapakah yang berhak menjadi walinya ketika dia hendak menikah nanti?
Dalam masalah ini ada beberapa kejadian yang masing-masing berbeda hukumnya. Berikut perinciannya[2]:
1.Kejadian Pertama : Apabila seorang perempuan[3] berzina kemudian hamil, maka anak yang dilahirkannya adalah anak zina berdasarkan kesepakatan para Ulama
Anak tersebut dinasabkan kepada ibunya[4] dan tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menzinai ibunya (bapak biologisnya). Hubungan nasab antara anak dengan bapaknya terputus. Demikian juga hukum waris dengan bapaknya, dia hanya bisa mewarisi ibunya dan ibunya mewarisinya, sedangkan bapak. Termasuk juga hak kewalian –kalau anak perempuan itu perempuan-, maka itu terputus dengan bapaknya. Yang menjadi walinya ketika dia hendak nikah adalah sultan (penguasa) atau wakilnya seperti qadhi (penghulu).[5] Dan tidak wajib bagi bapaknya memberi nafkah kepada anak yang lahir dari hasil zina.[6] Akan tetapi, hubungan sebagai mahram tetap ada tidak terputus meskipun hubungan nasab, waris, kewalian, nafkah terputus. Karena, bagaimanapun juga anak itu adalah anaknya, yang tercipta dari air maninya walaupun dari hasil zina. Oleh karena itu haram baginya menikahi anak perempuannya dari hasil zina sebagaimana haramnya menikah dengan anak perempuannya yang lahir dari pernikahan yang sah.
2.Kejadian Kedua : Apabila terjadi sumpah li’ân antara suami istri
Li’ân itu adalah suami menuduh istrinya berzina atau tidak mengakui anak yang dikandung atau yang dilahirkan oleh istrinya sebagai anaknya, akan tetapi suami tidak memiliki saksi atas tuduhannya ini, sementara istri menolak tuduhan suami. Jika terjadi seperti ini, maka masing-masing dari suami dan istri wajib bersumpah dengan nama Allâh. Suami bersumpang atas nama Allâh Azza wa Jalla sebanyak empat kali bahwa dia benar dalam tuduhan itu dan yang kelima, laknat Allâh akan menimpanya jika dia berdusta dalam tuduhannya tersebut. Begitu pula si istri, karena dia menolak tuduhan tersebut, maka dia harus bersumpah dengan nama Allâh sebanyak empat kali yang isinya adalah suaminya itu telah berdusta dalam tuduhannya kepada dia dan yang kelima murka Allâh Azza wa Jalla akan menimpanya jika suaminya itu benar dalam tuduhannya.
Kemudian setelah itu, suami dan istri ini dipisahkan selama-lamanya, mereka tidak boleh ruju’ ataupun nikah kembali.
Istri yang disumpah li’ân tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal serta anak yang dilahirkannya dinasabkan kepada istrinya, bukan kepada suaminya. Jika anaknya perempuan dan hendak menikah, maka yang menjadi walinya adalah sultan.
3.Kejadian Ketiga : Apabila seorang istri berzina.
Apabila seorang istri berzina –baik diketahui suaminya[7] atau tidak- kemudian dia hamil, maka anak yang dilahirkannya itu dinasabkan kepada suaminya, bukan kepada laki-laki yang menzinai dan menghamilinya[8] dengan kesepakatan para Ulama berdasarkan sabda Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
Anak itu haknya (laki-laki) yang memiliki tempat tidur dan bagi yang berzina tidak mempunyai hak apapun (atas anak tersebut).
[Hadits shahih riwayat Imam al-Bukhâri, no. 6749 dan Muslim, 4/171 dari Aisyah Radhiyallahu anhuma dalam hadits yang panjang. Dan imam al-Bukhari, no. 6750 dan 6818 dan Muslim, 4/171 juga mengeluarkan dari jalan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dengan ringkas seperti lafazh di atas]
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas maksudnya adalah anak itu milik suami yang sah meskipun lahir dari hasil zina istrinya dengan orang (laki-laki) lain. Tetap anak itu menjadi miliknya dan dinasabkan kepadanya. Sedangkan laki-laki yang menzinai istrinya tidak mempunyai hak apapun terhadap anak tersebut.
Kejadian di atas berbeda dan di luar hukum li’ân. Perbedaannya ialah kalau hukum li’ân suami menuduh istrinya berzina atau menolak anak yang dikandung istrinya di muka hakim sehingga dilaksanakan sumpah li’ân. Dalam kasus li’ân, anak dinasabkan kepada istri baik tuduhan suami itu benar atau bohong. Sedangkan pada kasus di atas, tidak terjadi sumpah li’ân, meskipun suami mengetahui bahwa istrinya telah berzina dengan laki-laki lain. Ini disebabkan suami tidak melaporkan tuduhannya ke muka hakim sehingga tidak dapat dilaksanakan sumpah li’ân.[9]
4.Kejadian keempat: Apabila seorang perempuan berzina kemudian hamil dan dinikahi oleh lelaki yang menghamilinya.
Jika terjadi seperti ini, maka anak tersebut dinasabkan kepada ibunya bukan kepada laki-laki yang menzinai dan menghamili ibunya (bapak zinanya) walaupun akhirnya laki-laki itu menikahi ibunya dengan sah. Dan dalam kasus yang seperti ini –dimana perempuan yang berzina itu kemudian hamil lalu dinikahi oleh laki-laki yang menzinai dan menghamilinya- tidak dapat dimasukkan ke dalam keumuman hadits yang lalu yaitu :
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
Anak itu haknya (laki-laki) yang memiliki tempat tidur (suami yang sah) dan bagi yang berzina tidak mempunyai hak apapun (atas anak tersebut).
Karena laki-laki itu menikahi perempuan yang dia zinai dan dia hamili setelah perempuan itu hamil bukan sebelumnya, meskipun demikian laki-laki itu tetap dikatakan sebagai bapak dari anak itu apabila dilihat bahwa anak tersebut tercipta dengan sebab air maninya akan tetapi dari hasil zina. Karena dari hasil zina inilah maka anak tersebut dikatakan sebagai anak zina yang bapaknya tidak mempunyai hak nasab, waris, dan kewalian dan nafkah sesuai denga zhahir-nya bagian akhir dari hadits di atas yaitu, “… dan bagi (orang) yang berzina tidak mempunyai hak apapun (atas anak tersebut).”
Berbeda dengan anak yang lahir dari hasil pernikahan yang sah, maka nasab-nya kepada bapaknya demikian juga tentang hukum waris, wali dan nafkah tidak terputus sama sekali. Karena agama yang mulia ini hanya menghubungkan anak dengan bapaknya apabila anak itu lahir dari pernikahan yang sah atau lebih jelasnya lagi perempuan itu hamil dari pernikahan yang sah bukan dari zina. WAllâhu A’lam. [10]
5.Kejadian kelima: Seorang perempuan berzina kemudian hamil lalu dinikahi oleh lelaki lain, bukan lelaki yang menghamilinya.
Dalam masalah ini ada dua masalah:
- Pertama: hukum wanita hamil karena zina dinikahi oleh lelaki lain, bukan lelaki yang menghamilinya. Dalam hal ini para Ulama kita telah berselisih dalam dua madzhab (pendapat). Pendapat pertama mengatakan boleh dan halal dinikahi. Mereka beralasan bahwa perempuan tersebut hamil karena zina bukan dari hasil nikah, padahal kita sudah ketahui bahwa syara’ (agama) tidak menganggap sama sekali anak yang lahir dari hasil zina, sebagaimana beberapa kali dijelaskan di atas. Oleh karena itu halal bagi lelaki lain itu untuk menikahinya dan menyetubuhinya tanpa harus menunggu perempuan tersebut melahirkan anaknya.
Ini madzhab Imam Syafi’i rahimahullah dan Imam Abu Hanifah rahimahullah, hanya saja, imam Abu Hanifah menyaratkan tidak boleh disetubuhi sampai perempuan tersebut melahirkan.
Adapun madzhab kedua mengatakan haram dinikahi sampai perempuan tersebut melahirkan. Inilah yang menjadi madzhab Imam Ahmad t dan Imam Malik rahimahullah . Dan madzhab yang kedua ini lebih kuat daripada madzhab pertama dan lebih mendekati kebenaran. Wallâhu a’lam
- Kedua: masalah nasab anak.
Dia dinasabkan kepada ibunya, tidak kepada lelaki yang menzinahi dan menghamili ibunya dan tidak pula kepada lelaki yang menikahi ibunya setelah ibunya melahirkan.
6.Kejadian keenam: Apabila anak terlahir dari akad nikah yang fasid atau batil
Akad nikah yang fasid atau batil yaitu setiap akad nikah yang telah diharamkan syari’at atau salah satu rukun nikah hilang atau tidak ada sehingga menyebabkan akad nikah itu tidak sah. Misalnya:
- nikah dengan mahram
- Nikah dengan susuan atau saudara sepersusuan
- Nikah dengan istri bapak atau istri anak atau mertua atau dengan anak tiri yang sudah ibunya sudah digauli
- Nikah mut’ah
- Nikah dengan lebih dari empat wanita
- Nikah tanpa wali
- Dan lain sebagainya.
Apabila kedua belah pihak tidak mengetahui akan fasidnya atau batilnya pernikahan mereka, maka keduanya tidak berdosa dan tidak kenakan hukuman dan anak dinasabkan kepada bapaknya seperti pernikahan yang sah, meskipun keduanya langsung dipisahkan karena pernikahan mereka fasid.
Apabila mereka berdua telah mengetahui pernikahan mereka fasid, maka mereka berdosa dan mereka wajib dikenai hukuman kemudian anak tidak dinasabkan kepada bapaknya.
Apabila yang mengetahui tentang haramnya pernikahan tersebut hanya salah satu pihak saja, maka hukuman akan menimpa pihak yang mengetahuinya saja. Jika yang mengetahuinya itu, pihak laki-laki, maka dia berdosa dan dikenakan hukuman serta anak tidak dinasabkan kepadanya. Jika yang mengetahuinya itu pihak perempuan, maka dia yang berdosa dan dikenakah hukuman kepadanya dan anak akan tetap dinasabkan kepada bapaknya. WAllâhu a’lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat buku Menanti Buah Hati dan Hadiah Untuk Yang dinanti, Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, hlm. 103
[2] Jawaban ini kami ringkaskan dari buku Menanti Buah Hati dan Hadiah Untuk Yang dinanti, Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, hlm. 102-128
[3] Gadis atau janda.
[4] Misalnya fulan bin fulanah atau fulanah binti fulanah.
[5] Al Muhalla Ibnu Hazm,10/323, Masalah 2013. Al Majmu Syarah Muhadzdzab, 15/112. Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 34/100.
[6] Tidak wajib maknanya tidak berdosa kalau dia tidak memberi nafkah, akan tetapi tidak juga terlarang baginya untuk memberi nafkah. Ini berbeda dengan anak dari pernikahan yang shahih, berdosa bagi bapak kalau dia tidak memberi nafkah kepada anak-anaknya.
[7] Dan suaminya tidak menuduh istrinya di muka hakim sehingga tidak terjadi hukum.
[8] Meskipun anak yang dilahirkan istrinya itu mirip dengan laki-laki yang menzinainya.
[9] Apabila seorang istri berzina atau suami berzina maka nikah keduanya tidak batal (fasakh) menurut umumnya ahli ilmu. (Al-Mughni, 9/565)
[10] Fatawa Islamiyah (2/353 dan 354, 374, 375); Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, 32/134-142; Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 9/529-530; Al-Muhalla,10/323; Fat-hul Bari (Syarah hadits no. 6749). Tafsir Ibnu Katsir surat An Nisaa` ayat 23. Dan lain-lain.
- Home
- /
- B1. Topik Bahasan4 Perzinahan
- /
- Nasab Dan Perwalian Anak...