Beberapa Praktek Bid’ah Dalam Ta’ziyah dan Penyertaannya
BEBERAPA PRAKTEK BID’AH DALAM TA’ZIYAH DAN PENYERTAANNYA
Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
- Berta’ziyah di kuburan. (Haasyiyatu Ibni Abidin I/843)
- Berkumpul-kumpul di tempat taziyah (Zaadul Ma’ad I/304).[1]
- Membatasi ta’ziyah hanya tiga hari saja. (Rujuk kembali masalah ke-113)
- Membiarkan tempat gelaran lantai di rumah mayit yang disiapkan untuk orang-orang yang datang berta’ziyah. Mereka membiarkan gelaran itu begitu saja sehingga tujuh hari berlalu dan setelah itu disingkirkan. (Al-Madkhal III/279-280)
- Ta’ziyah dengan mengucapkan : “Semoga Allah memperbanyak pahala untukmu, melimpahkan kesabaran kepadamu, juga mengaruniakan rasa syukur kepada kami dan juga dirimu. Sesungguhnya jiwa, harta, keluarga, dan anak-anak kita ini adalah pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menyenangkan sekaligus anugrah-Nya yang diamanatkan. Semoga Dia membekalimu dengannya dalam kegembiraan dengan balasan pahala yang banyak, shalawat, rahmat, dan petunjuk. Jika engkau berharap mendapatkannya, maka bersabarlah. Jangan sampai kegelisahanmu membuat pahalamu hilang, sehingga engkau akan menyesal. Dan ketahuilah, bahwa kegelisahan itu tidak akan dapat mengembalikan sesuatu apapun atau menghilangkan kesedihan serta apa yang menimpa” [2]
- Ta’ziyah dengan mengucapkan : “Sesungguhnya di sisi Allah terdapat tempat untuk menghibur dari segala macam musibah, dan pengganti dari semua yang hilang, maka hendaklah kalian benar-benar yakin kepada Allah, dan hanya kepadaNya-lah hendaknya kalian berharap. Sesungguhnya orang-orang yang diharamkan yang terhalangi dari pahala”[3]
- Penyediaan makanan untuk tamu oleh keluarga si mayit.[4]
- Mengundang tamu pada hari pertama, ketujuh dan keempat puluh, dan pada hari genap satu tahun.[5]
- Penyediaan makanan oleh pihak keluarga mayit pada hari Kamis pertama
- Memenuhi undangan makan-makan oleh keluarga yang ditinggalkan.[6]
- Ucapan mereka : “Tidak ada yang boleh megangkat meja makan selama tiga hari, kecuali orang yang meletakkannya” (Al-Madkhal III/276)
- Membuat makanan zalabiyah (semacam kue dadar) atau membelinya dan membeli aneka makanan untuk disediakan pada hari ke tujuh. (Al-Madkhal III/292)
- Wasiat untuk menyediakan makanan dan menyambut para tamu pada hari kematiannya atau setelahnya, dan dengan memberikan sejumlah uang bagi orang-orang yang membaca Al-Qur’an untuk ruhnya atau bertasbih atau bertahlil untuknya. (Syarh Ath-Thariiqah Al-Muhammadiyyah IV/325)
- Berwasiat supaya ada beberapa orang yang bermalam di kuburannya selama empat puluh hari atau lebih atau bisa juga kurang. (Syarh Ath-Thariiqah Al-Muhammadiyyah IV/326)
- Mewakafkan beberapa hal, terutama uang untuk bacaan Al-Qur’an Al-Azhim, atau agar dengan uang itu orang-orang mau mengerjakan shalat Sunnah atau bertahlil atau bershalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kemudian pahalanya dihadiahkan kepada orang yang berwakaf tadi atau ruh orang yang menziarahinya. (Syarh Ath-Thariiqah Al-Muhammadiyyah IV/323)
- Sedekah yang dikeluarkan wali mayit untuk si mayit sebelum malam pertama berlalu dengan sesuatu yang bisa disedekahkan. Jika tidak mempunyai apa yang hendak disedekahkan maka cukup baginya mengerjakan shalat dua rakaat yang pada masing-masing rakaat membaca Al-Fatihah, ayat Kursi satu kali dan sura At-Takaatsur sepuluh kali. Setelah selesai, membaca : “Ya Allah, aku kerjakan shalat ini sedang Engkau tahu apa yang aku kehendaki darinya. Ya Allah, kirimkanlah pahalanya ke kuburan fulan, si mayit”[7]
- Bersedekah atas nama mayit dengan makanan yang disukai si mayit.
- Bersedekah atas nama ruh orang-orang yang sudah meninggal pada tiga bulan berikut : Rajab, Sya’ban dan Ramadhan.
- Menggugurkan kewajiban shalat. (Ishlaahu Al-Masaajid, hal. 281-283)
- Bacaan Al-Qur’an yang pahalanya ditujukan kepada orang-orang yang meninggal dunia. (As-Sunan, hal. 63-65. Lihat juga masalah ke-24 dan 121)
- Bertasbih untuk mayit. (As-Sunan, hal 11 dan 65)
- Itaqah (memerdekakan budak) untuk sang mayit. (As-Sunan)[8]
- Membaca Al-Qur’an sekaligus menghatamkannya di kuburan yang ditujukan untuk mayit. (Safaru As-Sa’aadah, hal. 57. Al-Madkhal I/266 dan 267)
- Berangkat pada pagi buta ke kuburan mayit yang mereka makamkan kemarin, disertai kaum kerabat dan kenalan mereka.[9]
- Menggelar karpet atau yang semisalnya di tanah, bagi orang-orang yang datang pada dini hari atau untuk yang lainnya. (Al-Madkhal III/278)
- Mendirikan kemah (tenda) di atas kuburan. (Al-Madkhal)
- Menginap di kuburan selama empat puluh hari atau kurang atau bisa juga lebih. (Jalaa’u Al-Quluub, hal. 8)
- Memberikan pujian kepada mayit pada malam keempat puluh atau pada saat berlalunya satu tahun, yang dikenal dengan sbutan “ Mengenang Jasa” (Al-Ibdaa, hal. 125)
- Menggali kuburan sebelum kematian datang, sebagai upaya mempersiapkan diri. (Lihat masalah ke-109)
[Disalin dari kitab Ahkamul Janaaiz wa Bida’uha, Edisi Indonesia Hukum Dan Tata Cara Mengurus Jenazah Menurut Al-Qur’an dan Sunnah, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Penerjemah M.Abdul Ghoffar EM, Penerbit Puskata Imam Asy-Syafi’i]
_______
Footnote
[1] Safar As-Sa’aadah, karya Fairuz Abadi, hal. 57. Juga kitab Ishlaabu Al-Masaajid an-Al-Bida wal Al-Awaa’id, karya Al-Qasimi, hal. 180-181. Dan lihat kembali masalah ke-113
[2] Keduanya dinilai baik di dalam kitab Syarh Asy-Syir’ah, hal. 562 dan 263 dan lain-lainnya. Yang pertama diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau pernah berta’ziyah kepada Mu’adz bin Jabal atas kematian puternya, tetapi ia merupakan hadits maudhu. Dan yang kedua diriwayatkan tentang ta’ziyah Khidir kepada keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas wafatnya beliau, tetapi hadits ini pun dha’if. Diriwayatkan Asy-Syafi’i di dalam kitab Musnad-nya (1820). Dan dinilai dha’if oleh Ibnu Katsir di dalam kitab Taarikh-nya I/332. dan peringatan terhadap hadits pertama telah diberikan pada pembahasan ke-112.
[3] Ibid
[4] Kitab, Talbis Iblis, hal.341, Fathu Qadiir 1/473, karya Ibnu Hamam, Al-Madkhal III/275-276 dan Ishlah Al-Masajid, hal. 181 Dan rujuk kembali masalah ke-115
[5] Al-Khadimi, dalam Syarh Ath-Thariiq Al-Muhammadiyah, hal.3224, Al-Madkhal II/114, III/278-279
[6] Imam Muhammad Al-Barkawi di dalam kitab Jalaa-u Al-Quluub, hal.77
[7] Anehnya, di antara kitab yang darinya saya menukil bid’ah ini adalah Syarhu Asy-Syir’ah, hal. 568. Dia menyebutkan : “Yang sunnah dikerjakan adalah hendaklah sang wali mayit bersedekah..” Dan sunnah ini sama sekali tidak mempunyai dasar, yang dimaksudkan mungkin adalah Sunnah (kebiasaan) para syaikh, sebagaimana yang ditafsirkan oleh beberapa orang terhadap pendapat salah seorang pensyarah : Yang termasuk sunnah adalah melafazhkan niat saat akan mengerjakan shalat.
[8] Dia mengatakan, ada hadits berbunyi : “Barangsiapa membaca Qulhuwallahu Ahad seribu kali berarti dia telah membeli diirnya dari Neraka”. Dan hadits ini berstatus maudhu.
[9] Al-Madkhal II/113-114, 2783. Dan Ishlaah Al-Masaajid hal.270-271
- Home
- /
- A9. Fiqih Ibadah4 Jenazah...
- /
- Beberapa Praktek Bid’ah Dalam...