Kewajiban-Kewajiban Shalat
TATA CARA SHALAT
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
B. Kewajiban-Kewajiban Shalat
1. Takbir al-intiqal (takbir yang mengiringi perubahan gerakan) dan ucapan:
سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri hendak shalat, maka beliau bertakbir ketika berdiri. Kemudian bertakbir ketika ruku’, kemudian mengucapkan: “سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ (Allah mendengar orang yang memuji-Nya)” ketika mengangkat punggungnya dari ruku’. Kemudian mengucapkan, “رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ (Rabb kami, untuk-Mu segala puji)” sambil berdiri. Kemudian bertakbir ketika menyungkur sujud. Kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya. Kemudian bertakbir ketika bersujud. Kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya. Kemudian melakukan semua itu pada semua shalatnya hingga selesai. Beliau bertakbir ketika bangkit dari raka’at kedua setelah duduk (tasyahhud).” [1]
Beliau juga bersabda:
“صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ.”
“Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat.”[2]
Beliau juga menyuruh orang yang tidak menyempurnakan shalatnya dan berkata, “Sesungguhnya belumlah sempurna shalat seseorang dari manusia hingga ia berwudhu’ kemudian meletakkan air wudhu’nya (tempat wudhu’nya) kemudian bertakbir dan memuji dan menyanjung Allah Azza wa Jalla. Lalu membaca (beberapa ayat) al-Qur-an sesuka hatinya. Kemudian mengucapkan: “اللهُ أَكْبَرُ (Allah Mahabesar).” Kemudian ruku’ hingga persendiannya tenang. Lalu mengucapkan: “سَـمِعَ اللهُ لِـمَنْ حَـمِِدَه” hingga berdiri tegak. Kemudian mengucapkan: “اللهُ أَكْبَرُ”. Kemudian sujud hingga persendiannya tenang. Kemudian mengucapkan: “اللهُ أَكْبَـرُ” sambil mengangkat kepalanya hingga duduk tegak. Kemudian mengucap-kan: “اللهُ أَكْبَرُ”. Kemudian bersujud hingga tenang persendiannya. Kemudian mengangkat kepalanya lalu bertakbir. Jika dia melakukan itu, maka telah sempurnalah shalatnya.”[3]
2. Tasyahhud awal
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa sesungguhnya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian duduk pada setiap raka’at, maka katakanlah:
“اَلتَّحِيَّـاتُ للهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَـاتُ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَـاتُهُ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْـنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَشْـهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.”
‘Segala penghormatan hanya bagi Allah. Begitu pula semua pengagungan dan kebaikan. Semoga kesejahteraan terlimpah-kan atas engkau, wahai Nabi. Begitu pula kasih sayang Allah dan berkah-Nya. Mudah-mudahan kesejahteraan tercurahkan atas kita semua dan para hamba Allah yang shalih. Aku ber-saksi tidak ada ilah yang layak diibadahi selain Allah. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.’ Setelah itu hendaklah salah seorang di antara kalian memilih do’a yang ia sukai. Lalu hendaklah ia menyeru Rabb-nya Azza wa Jalla dengannya (do’a itu).“[4]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salalm juga menyuruh orang yang buruk shalatnya dan mengatakan, “Jika engkau duduk dalam pertengahan shalat, maka tenangkanlah dirimu, gelarlah paha kirimu kemudian bertasyahhudlah.”[5]
3. Wajib meletakkan sutrah (pembatas) di hadapannya jika hendak shalat. Pembatas itu untuk menghalangi orang yang lewat dan membatasi pandangannya dari melihat apa yang berada di baliknya
Dari Sahl bin Abi Hatsmah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِِِِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلِيَدْنُ مِنهَا، لاَ يَقْطَعُ الشَّيطَانُ عَلَيْهِ صَلاَتَهُ.
“Jika salah seorang di antara kalian shalat, maka hendaklah shalat menghadap ke pembatas dan mendekat padanya agar syaitan tidak memutus shalatnya.“[6]
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
لاَ تُصَلِّ إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ، فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِينَ.
“Janganlah engkau shalat kecuali menghadap ke pembatas. Dan janganlah engkau biarkan seorang pun lewat di depanmu. Jika dia membantah, maka perangilah (lawanlah) ia. Karena sesungguhnya ia bersama syaitan.”[7]
Pembatas bisa berupa tembok, drum, tongkat yang dibenamkan, dan hewan tunggangan yang ditambatkan. Hendaklah ia shalat dengan menghadap ke sana. Ukuran minimalnya adalah seperti pelana tunggangan.
Berdasarkan hadits Musa bin Thalhah dari ayahnya, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ، وَلاَ يُبَالِ مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذلِكَ.
“Jika salah seorang telah meletakkan (pembatas) seukuran pelana di hadapannya, maka hendaklah ia shalat. Dan janganlah ia hiraukan siapa saja yang lewat di belakang (pembatas) itu.”[8]
C. Jarak Kedekatan Antara Orang yang Shalat dan Pembatasnya
Dari Bilal Radhiyallahu anhu, dia mengatakan:
أَنَّهُ صَلَّّى وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجِدَارِ نَحْوَ مِنْ ثَلاَثَةِ أَذْرَعِ.
“Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat. Sedangkan antara dia dan tembok berjarak tiga siku (hasta).“[9]
Juga dari Sahl bin Sa’d Radhiyallahu anhu, dia berkata:
كَانَ بَيْنَ مُصَلَّى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ الْجِدَارِ مَمَرُّ الشَّاةِ.
“Jarak antara tempat sujud Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tembok adalah selebar jalan kambing.”[10]
Jika telah meletakkan pembatas, maka janganlah membiarkan seorang pun lewat antara dia dan pembatas.
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَـانَ يُصَلِّي فَمَرَّتْ شَاةٌ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَسَاعَاهَا إِلَى الْقِبْلَةِ حَتَّى أَلْزَقَ بَطْنَهُ بِالْقِبْلَةِ.
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat. Kemudian seekor kambing lewat di hadapannya, maka beliau pun mendahuluinya ke kiblat hingga beliau tempelkan perutnya ke kiblat.“[11]
Juga dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَلاَ يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهَ، وَلْيَدْرَأُهُ مَا اسْتَطَاعَ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ الشَّيْطَانُ.
“Jika kalian shalat, maka janganlah membiarkan seorang pun lewat di depannya. Dan hendaklah ia tahan semampunya. Jika dia membangkang, maka perangilah (lawanlah), karena sesungguhnya ia adalah syaitan.”[12]
Jika tidak meletakkan pembatas, maka shalatnya dapat terputus oleh keledai, wanita, dan anjing hitam (yang lewat di depannya-ed.):
Dari ‘Abdullah bin ash-Shamit, dari Abu Dzar, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا قَـامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي، فَإِنَّهُ يُسْتَرَهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ آخِرَةِ الرَّحْلِ. فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلاَتَهُ الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ اْلأَسْوَدُ. قُلْتُ: يَا أَبَا ذَرٍّ مَا بَالُ الْكَلْبِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْكَلْبِ اْلأَحْمَرِ وَمِنَ الْكَلْبِ اْلأَصْفَرِ؟ قَالَ: يَا ابْنَ أَخِيْ سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا سَأَلْتَنِيْ فَقَالَ: “اَلْكَلْبُ اْلأَسْوَدُ شَيْطَانٌ.”
“Jika salah seorang dari kalian shalat, maka dia terbatasi jika di hadapannya terdapat (pembatas) seukuran pelana hewan tunggangan. Jika di hadapannya tidak terdapat (pembatas) seukuran pelana hewan tunggangan, maka shalatnya terputus oleh keledai, wanita, dan anjing hitam.” Aku berkata, “Wahai Abu Dzarr, apa bedanya antara anjing hitam dengan anjing merah atau anjing kuning?” dia berkata, “Wahai anak saudaraku, aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana engkau bertanya kepadaku. Lalu beliau menjawab, “Anjing hitam adalah syaitan.”[13]
Diharamkan lewat di depan orang yang sedang shalat.
Dari Abu Juhaim Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِيْنَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ.
“Seandainya orang yang lewat di depan orang yang shalat mengetahui balasan yang menimpanya, niscaya berdiri selama empat puluh lebih baik baginya daripada lewat di depannya.”[14]
Pembatas imam adalah pembatas bagi makmum
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata:
أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى أَتَـانٍ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَـاهَزْتُ اْلاِحْتِلاَمَ وَرَسُـوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ بِمِنَى. فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيِ الصَّفِّ، فَنَزَلْتُ فَأَرْسَلْتُ اْلأَتَانِ تَرْتَعُ. وَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ. فَلَمْ يُنْكِرْ ذلِكَ عَلَيَّ أَحَدٌ.
“Aku tiba dengan mengendarai unta betina. Sedangkan aku pada waktu itu telah baligh. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang mengimami manusia di Mina. Lalu aku lewat di depan shaff, maka aku turun dan melepaskan unta betina agar makan. Aku masuk shaff dan tak seorang pun mencelaku atas perbuatan itu.“[15]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1] Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/272 no. 289)], Shahiih Muslim (I/293 no. 392 (28)), dan Sunan an-Nasa-i (II/233).
[2] Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 262)] dan Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/ 111 no. 631).
[3] Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 763)] dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/99 dan 100 no. 842).
[4] Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 336)] dan Sunan an-Nasa-i (II/238).
[5] Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 766)] dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/102 no. 840).
[6] Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 722)], Mustadrak al-Hakim (I/251), ini adalah lafazh darinya. Dan pada Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/388 no. 681), Sunan an-Nasa-i (II/62), dengan lafazh:
إِِِِذَا صلَّى أَحَدُكُمِ إِلَى سُتْرَةٍ… إلخ.
[7] Shahih: [Shifatush Shalaah (hal. 62)] dan Shahiih Ibni Khuzaimah (II/9 no. 800).
[8] Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (339)], Shahiih Muslim (I/358 no. 499), Sunan at-Tirmidzi (I/210 no. 334), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/380 no. 671), dengan lafazh serupa
[9] Shahih: [Shifatush Shalaah (hal. 62)] dan Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/579 no. 506).
[10] Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/574 no. 496)], Shahiih Muslim (I/364/508), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/389 no. 682), dengan lafazh serupa
[11] Shahih: [Shifatush Shalaah (hal. 64)] dan Shahiih Ibni Khuzaimah (II/20 no. 827).
[12] Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 338)] dan Shahiih Muslim (I/326 no. 505).
[13] Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 719)], Shahiih Muslim (I/365 no. 510), Sunan an-Nasa-i (II/63), Sunan at-Tirmidzi (I/212 no. 337), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/394 no. 688).
[14] Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/584 no. 510)], Shahiih Muslim (I/363 no. 507), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/393 no. 687), Sunan at-Tirmidzi (I/210 no. 235), Sunan an-Nasa-i (II/66), dan Sunan Ibni Majah (I/304 no. 945).
[15] Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih Muslim (I/361 no. 504)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/403 no. 701), Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/571 no. 493), dengan tambahan: “بِمِنَى إِلَى غَيْرِجِدَارِ (di Mina tanpa menghadap ke tembok).” Riwayat ini tidak menafikan selain tembok. Karena sudah dikenal bahwa termasuk kebiasaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau tidak shalat di lapangan terbuka melainkan meletakkan (menancapkan) tombak di hadapannya.
- Home
- /
- A9. Alwajiz2 Kitab Shalat
- /
- Kewajiban-Kewajiban Shalat