Batasan Mengingkari Kemungkaran

BATASAN MENGINGKARI KEMUNGKARAN

Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin

Pertanyaan.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Ada seseorang yang mengingkari suatu kemungkaran dengan keras pada seseorang, tapi masalah itu merupakan masalah yang mengandung perbedaan pendapat di kalangan ulama. Lalu orang yang diingkarinya itu membantahnya dengan mengatakan, Anda tidak berhak mengingkari saya dalam masalah ini, karena masalah ini fleksible. Lalu, apa kriteria-kriteria untuk mengingkari kemungkaran? Apakah benar tidak boleh mengingkari (masalah khilafiyah) sesuatu yang mengandung perbedaan pendapat? Dan apa hukum orang mengingkari kemungkaran orang lain dalam masalah khilafiyah (masalah-masalah yang mengandung perbedaan pendapat)?

Jawaban.
Masalah-masalah khilafiyah adalah ruang lingkup ijtihad, karena tidak ada nashnya yang jelas dan tidak ada dalil yang shahih untuk menguatkan salah satu pendapat, karena itulah terjadi perbedaan pendapat di antara para imam yang terkenal. Hal ini biasanya berkaitan dengan masalah-masalah cabang syari’at (masalah furu ‘iyah). Hal ini tidak boleh diingkari dengan keras terhadap salah seorang mujtahid. Misalnya tentang bacaan basmalah dengan suara nyaring, bacaan di belakang imam, duduk tawarruk pada raka’at kedua, bersedekap setelah bangkit dari ruku’, jumlah takbir pada shalat jenazah, kewajiban zakat pada madu, sayur mayur dan buah-buahan, berbuka karena berbekam, kewajiban membayar fidyah bagi yang sedang ihram karena lupa atau memotong rambut atau mengenakan wewangian karena lupa, dan lain sebagainya.

Tapi jika perbedaan itu tipis dan bertolak belakang dengan nash yang jelas, maka pelakunya diingkari jika meninggalkannya, tapi pengingkarannya harus berdasarkan dalil. Misalnya tentang mengangkat kedua tangan ketika hendak ruku dan ketika bangkit dari ruku’, thuma’ninah ketika ruku’ dan sujud dan setelah bangkit dari ruku dan sujud, bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tasyahhud, wajibnya salam sebagai penutup shalat, dan lain sebagainya.

Baca Juga  Mengingkari Kemungkaran Bagi Penguasa

Adapun perbedaan pendapat dalam masalah aqidah, seperti; sifat tinggi dan istiwa, penetapan sifat-sifat fi’liyah bagi Allah Subhnahu wa Ta’ala, penciptaan perbuatan-perbuatan makhluk, pengkafiran karena dosa, memerangi pemimpin, mencela para shahabat, sifat permulaan bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, berlebih-lebihan terhadap Ali dan keturunannya serta isterinya, keluarnya amal perbuatan dari cakupan keimanan, mengingkari karamah, membuat bangunan di atas kuburan, shalat di dekat kuburan, dan lain sebagainya. Yang demikian ini harus diingkari dengan keras, karena para imam telah sepakat pada pendapat para pendahulu umat, adapun perbedaan pendapat datangnya dari para pelaku bid’ah atau setelah tiadanya para imam pendahulu umat. Wallahu a’ lam.

Al-Lu’lu’ Al-Makin, dari Fatwa Syeikh Ibn Jibrin, hal. 296-297.

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masaa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhrudin, Penerbit Darul Haq]

KEDUDUKAN WANITA DALAM BERDAKWAH MENGAJAK KE JALAN ALLAH

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : “Apa pendapat Anda tentang wanita dan kegiatan dakwahnya untuk mengajak ke jalan Allah?”

Jawaban.
Kedudukannya sebagaimana kedudukan kaum laki-laki yang mempunyai kewajiban dakwah mengajak ke jalan Allah dan memerintahkan perbuatan baik dan mencegah kemungkaran, karena teks Al-Qur’an dan Sunnah yang suci menunjukkan hal tersebut, sementara pendapat ulama dalam masalah tersebut juga sangat jelas.

Maka seorang wanita berkewajiban untuk berdakwah ke jalan Allah, memerintahkan kepada perbuatan baik dan mencegah kemungkaran dengan adab yang Islami yang dituntut juga dari seorang lelaki. Ia juga hendaknya tidak berpaling dari dakwah ke jalan Allah karena putus asa dan tidak sabar, akibat hinaan atau cacian dari beberapa orang. Akan tetapi ia harus bertahan dan bersabar walaupun ia melihat beberapa orang yang memperlihatkan suatu ejekan. Hendaklah ia menjaga perkara-perkara lain yakni menjadi suri tauladan dalam menjauhkan diri dari hal yang haram, menutup diri dari pandangan laki-laki selain mahram dan menjaukan diri dari ikhtilath.

Baca Juga  Akhir Tragis Sang Penguasa Tiran

Lebih dari itu hendaknya dalam dakwahnya ia memperhatikan penjagaan diri dari segala yang diingkarinya. Saat berdakwah kepada kaum lelaki, hendaklah ia berdakwah dalam keadaan memakai hijab dan tidak berduaan dengan salah seorang dari mereka. Apabila berdakwah kepada kaum wanita, hendaklah ia berdakwah dengan hikmah dan menjadi orang yang bersih akhlaq dan perbuatannya sehingga mereka tidak menentangnya dan berkata : “Mengapa ia tidak memulai perbuatan baik dari dirinya sendiri”.

Hendakanya ia menjauhi pakaian yang bisa menimbulkan fitnah kepada orang lain dan menjauhi segala perkara yang bisa menimbulkan fitnah, dari mulai menampakkan keindahan tubuh, lemah lembut dalam berbicara dan segala yang diingkarinya dalam dakwahnya. Justru ia harus berdakwah ke jalan Allah dengan tetap menjaga kondisi yang tidak membahayakan agamanya dan menodai nama baiknya sendiri.

(Majmu’ Fatawa wa Rasail Mutanawwi’ah, Syaikh Bin Baz, 4/240)

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhrudin, Penerbit Darul Haq]

  1. Home
  2. /
  3. A9. Fiqih Dakwah Nahi...
  4. /
  5. Batasan Mengingkari Kemungkaran