30 Renungan Seputar Hari ‘Asyura

30 RENUNGAN SEPUTAR HARI ‘ASYURA

Segala puji bagi Allah semata. Shalawat dan salam semoga tecurah atas Nabi pilihan, Muhammad.

Adapun selanjutnya.
Pada hari-hari ini umat Islam melewati kejadian besar yang berelevansi (berkaitan) dengan umat terdahulu yaitu hari ‘Asyura. Dengan senang hati dalam kesempatan singkat ini akan saya utarakan perkara-perkara yang saya pandangan penting, yang saya ambil dari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait hari ‘Asyura ini.

  1. Hari ‘Asyura adalah kejadian bersejarah sepanjang perjalanan ummat manusia. Yang porosnya adalah peperangan antara keimanan dan kekafiran. Karenanya, ummat jahiliahpun mempuasainya. Hal ini sebagaimana yang diberitakan oleh Aisyah –semoga Allah meridhoinya– bahwa bangsa Quraisy dahulu mempuasai hari ‘Asyura di masa jahiliah.”
  2. Hari ‘Asyura mengikat sebagian ahli iman dengan sebagian yang lain. Sekalipun berbeda bangsa, bahasa dan zaman. Mulanya adalah ikatan iman antara Nabi Musa dan orang-orang beriman yang ada bersamanya, kemudian meluas kepada siapa saja yang menyertai mereka dalam keimanan itu.
  3. Mendidik hati-hati kaum mukminin akan kecintaan dan kegelisaahan yang sama diantara mereka. Dengan mempuasainya, manusia menjadi ingat kejadian bersejarah yang terjadi pada saudara-saudaranya sekeyakinan bersama Musa –alaihi sallam– dahulu, bagaimana pelarian dan penderitaan mereka akibat penyiksaan yang diperbuat ahli kufur.
  4. Hari ‘Asyura menunjukkan bahwa sebagian nabi memiliki keutamaan yang lebih dibanding sebagian yang lain, sebagaimana yang disebutkan di dalam riwayat:

أَنَا أَوْلَى بِمُوْسَى مِنْكُمْ

“Aku lebih berhak (meneladani) Musa daripada kalian.”

Loyalitas ini karena kesamaan keyakinan dan risalah (penugasan).

  1. Puasa ‘Asyura menunjukkan bahwa umat ini lebih berhak terhadap nabi-nabi dari umat terdahulu daripada kaumnya sendiri yang mendustakan mereka. Hal ini ditunjukkan oleh riwayat hadits Nabi di dalam as Shahihain yang mengatakan:

أَنْتُمْ أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْهُمْ

“Kalian lebih berhak kepada Musa daripada mereka.”

Ini adalah diantara kelebihan ummat Muhammad di sisi Allah. Mereka nantinya akan menjadi saksi atas para nabi bahwa nabi-nabi itu telah penyampaikan agama (yang diembankan) pada hari kiamat.

  1. Hari ‘Asyura mendidik muslim atas persaudaraan di atas agama semata, karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalian lebih berhak terhadap Musa dari pada mereka.”

Yang demikian tidak lain karena ikatan agama di antara kita; jika tidak, tentu Bani Israil lebih dekat kepada Musa –alaihi salam– dari sisi nasab (keturunan).

  1. Hari ‘Asyura mengingatkan penduduk bumi secara umum akan pertolongan Allah kepada para walinya. Hal ini memperbaharui dalam hati pencarian akan pertolongan Allah dan sebab-sebabnya disetiap tahun.
  2. Hari ‘Asyura mengingatkan penduduk bumi secara umum akan kekalahan yang Allah berikan kepada musuh-musuh-Nya. Hal ini memperbaharui dalam hati harapan dan membangkitkan optimisme.
  3. Hari ‘Asyura adalah bukti atas beragamnya pertolongan Allah kepada kaum muslimin. Bentuk pertolongan Allah tidak musti kekalahan musuh (dalam perang) dan perolehan ghanimah (harta rampasan perang). Tetapi terkadang pertolongan bentuknya kebinasaan musuh dan menyelamatkan kaum muslimin dari keburukan musuhnya, sebagaimana yang terjadi pada Musa –alaihi sallam– dan sebagaimana yang terjadi pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada perang Khandak.
  4. Hari ‘Asyura menekankan lagi kewajiban menyelisihi petunjuk orang-orang musyrikin, hingga dalam urusan ibadah. Penyelisihan itu ditunjukkan dengan:
    • Ketika dikatakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya kaum Yahudi dan Nasrani menjadikan ‘Asyura sebagai hari raya!” Nabi mengatakan, “Berpuasalah kalian pada hari itu.[1]
    • Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mempuasai sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan dalam Musnad Ahmad, dan disitu ada pembicaraan.
  1. Siapa yang merenungkan hadits-hadits hari ‘Asyura akan jelas baginya bahwa asal penyelisihan kaum muslimin terhadap kaum musyrikin adalah sesuatu yang telah menghujam pada diri para sahabat Nabi. Hal itu dibuktikan bahwa ketika mereka mengetahui puasa Ahlulkitab bersamaan dengan puasa mereka, serta-merta mereka bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengatakan: “Sesungguhnya kaum Yahudi dan Nasrani mempuasai hari ini!” Seolah mereka ingin mengatakan: “Wahai Rasulullah, Engkau mengajarkan kami menyelisihi kaum Yahudi dan Nasrani, sekarang mereka mempuasainya, maka bagaimana kami menyelisihinya?”
  2. Hari ‘Asyura adalah bukti bahwa menjadikan suatu moment sebagai perayaan adalah kebiasaan sepesial kaum Yahudi sejak dahulu. Karenanya mereka menjadikan hari ‘Asyura sebagai hari raya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa –semoga Allah meridoinya-, dia berkata: “Dahulu penduduk Khaibar (Yahudi) mempuasai ‘Asyura dan menjadikannya hari raya. Pada hari itu para wanita mengenakan perhiasan-perhiasan dan lencana mereka.” (Hadits riwayat Muslim)
Baca Juga  Hukum Upacara Peringatan Malam Nisfi Sya'ban

Adapun ummat ini, telah Allah tetapkan bagi mereka dua ‘Id (dua hari raya, Idul Fitri dan Idulu Adha) tanpa ada yang ketiga.

  1. Hari ‘Asyura adalah bukti dualisme dalam kehidupan kaum Yahudi dan Nasrani, dimana mereka konsisten mempuasai ‘Asyura padahal tidak diwajibkan dalam agama mereka. Mereka hanyalah meniru Nabi Musa –alaihi sallam-, sementara perkara yang paling penting yang berkaitan dengan pokok agama dan peribadatan kepada Allah mereka tinggalkan yaitu mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Hari ‘Asyura adalah bukti bahwa kewajiban dalam syari’at tidak dapat disebandingkan keutamaan dan kedudukannya (dengan ibadah lainnya). Oleh karenanya, ketika Allah mensyari’atkan (mewajibkan) ummat ini untuk berpuasa Ramadhan puasa Asyura menjadi perkara yang dikembalikan kepada kehendak. Karenanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di dalam hadits Qudsi:

وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيءٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ

“Tidaklah seorang hamba mendekat kepadaku dengan sesuatu yang lebih aku cintai daripada apa yang telah aku wajibkan atasnya” (Mutafaqun alaih)

  1. Hari ‘Asyura adalah bukti bahwa ibadah nawafil (sunnah) sebagiannya lebih tinggi derajatnya dibanding sebagian yang lain. Penjelasannya: Bahwa orang yang puasa Arafah dihapus dosanya setahun sebelumnya dan setahun setelahnya. Sedangkan puasa ‘Asyura hanya dihapus dosanya setahun sebelumnya. Orang beriman senantiasa mengupayakan yang lebih utama dan sempurna.
  2. Puasa ‘Asyura adalah bukti akan kemudahan agama. Hal ini sebagaiamana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَمَنْ شَاءَ أَنْ يَصُوْمَهُ فَليَصُمْهُ، وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَتْرُكَ فَليَترُكْهُ

“Siapa berkehendak memuasainya silahkan memuasainya dan siapa yang berkehendak meninggalkannya silahkan meninggalkannya.” (Mutafaqun alaih)

  1. Puasa ‘Asyura adalah bukti atas keagungan Allah Subahanahu wa Ta’ala. Dimana Allah memberi balasan yang besar atas amal yang sedikit. Dosa (kecil) setahun penuh dihapuskan hanya dengan berpuasa satu hari.
  2. Puasa ‘Asyura adalah bukti adanya naskh (penghapusan/pergantian hukum) dalam syari’at ummat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum beliau wafat. Dimana pada mulanya puasa ‘Asyura diwajibkan kemudian diganti menjadi istihbab (disukai).
  3. Penetapan adanya Nask (pergantian hukum) puasa ‘Asyura atau hukum yang lain adalah bukti hikmah Allah Subahanahu wa Ta’ala, dimana Dia menghapus dan menetapkan sehendak-Nya, mencipta dan memilih sekehendak-Nya.
  4. Puasa ‘Asyura adalah bukti bahwa rasa syukur direalisasikan dengan perbuataan sebagaimana dilakukan juga dengan ucapan hingga pada ummat terdahulu. Nabi Musa –alaihi sallam– mempuasai hari ‘Asyura adalah sebagai bentuk syukurnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah manhaj (perilaku) para nabi. Sebagaimana juga yang dilakukan oleh Nabi Dawud –alaihi sallam– dan ditutup oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang senantiasa melakukan shalat malam. Ketika ditanya tentang shalat malamnya beliau menjawab,

أَفَلاَ أَكُوْنُ عَبْداً شَكُوْراً

“Bukankah sudah semestinya aku menjadi hamba yang bersyukur.” (Mutafaqun alaihi)

  1. Siapa yang merenungkan hadits-hadits yang ada, jelaslah baginya bahwa orang yang tidak mempuasainya tidak diingkari. Dahulu Ibnu Umar tidak mempuasainya kecuali jika bertepatan dengan puasa yang biasa dilakukannya. (Riwayat al-Bukhari).
  2. Puasa ‘Asyura merupakan pendidikan bagi manusia untuk berlomba-lomba dan bersaing dalam kebaikan. Setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan keutamaan ‘Asyura, beliau mengembalikannya kepada kehendak pelakunya. Dengan demikian terlihatlah siapa yang berlomba memburu kebaikan dan yang tidak.
  3. Puasa ‘Asyura mendidik manusia akan adanya perbedaan perbuatan (aktifitas) dengan tanpa mengingkari sebagian yang satu dengan sebagian yang lain, selama perkaranya memang terbuka untuk berbeda. Karenanya dahulu sebagian sahabat mempuasainya dan sebagian lagi tidak. Meskipun demikian tidak ada berita yang dinukilkan bahwa mereka saling menyalahkan atau menuduh (yang tidak melakukannya) lemah iman dan lain sebagainya.
  4. Puasa ‘Asyura adalah bukti bersegera dalam menyambut perintah Allah dan Rasul-Nya. Diriwayatkan dalam as-Shahihain dari hadits Salamah Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seorang lelaki untuk mengumumkan kepada manusia akan masuknya hari ‘Asyura, bahwa ‘siapa yang sedang makan boleh meneruskan atau menghentikannya lalu berpuasa, dan siapa yang belum makan maka janganlah dia makan.’
Baca Juga  Apakah Dianjurkan Berpuasa Pada Bulan Sya'ban Secara Penuh

Seruan itu disambut oleh para sahabat. Mereka tidak lagi bertanya-tanya atau mendiskusikannya, tetapi bersegera melakukannya. Karena itu wajib bagi seorang muslim dalam lakunya mengejawantahkan perintah-perintah Allah.

  1. Dahulu para sahabat Nabi Radhiyalahu anhum mendidik anak-anak mereka yang belum baligh untuk mempuasai hari ‘Asyura, sebagaimana yang diriwayatkan oleh ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz –semoga Allah meridhoinya-, dia berkata, “Kami mempuasainya demikin pula anak-anak kecil kami.” (Mutafaqun Alaihi).
  2. Upaya para sabahat Nabi –semoga Allah meridhoi mereka semua- dalam membiasakan anak-anak kecil mereka untuk berpuasa ‘Asyura adalah bukti bahwa seyogyanya syi’ar agama ditampakkan di tengah masyarakat, sekalipun kepada mereka yang belum terbebani melakukan kewajiban, agar terdidik untuk peduli dengan agama ini dan pemeluknya.
  3. Pendidikan yang sungguh-sungguh agar kuat bertahan dan bersabar. Karenanya para sahabat Nabi membiasakan anak-anak kecil mereka untuk berpuasa hingga ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz –semoga Allah meridhoinya– berkata, “Jika salah seorang dari anak-anak yang berpuasa itu menangis karena lapar, kami beri dia mainan yang terbuat dari bulu.” (Mutafaqun alaihi)
  4. Hari ‘Asyura menunjukkan bahwa berita yang datang dari Ahlulkitab dapat diterima, selama tidak bertentangan dengan syari’at kita. Hal itu ditunjukkan dari : Hari ‘Asyura adalah hari dimana Nabi Musa (bersama pengikutnya) diselamatkan dari tenggelam di lautan, dan itu adalah berita Ahlulkitab, meskipun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa jadi diwahyukan akan kebenaran berita itu. Pada yang demikian itu termasuk keadilan walau dengan musuh sekalipun dan itu bukan suatu yang tersembunyi.
  5. Kita lebih berhak terhadap Nabi Musa daripada Ahlulkitab yang mendustakannya dari berbagai sisi:
    • Kita mepercayainya dan mengimaninya sekalipun belum pernah melihatnya. Berbeda dengan kaumnya yang mendustakannya.
    • Nabi Musa menyerukan tauhid (pengesaan Allah) sebagaimana yang diseru oleh Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan tidak berbeda sedikitpun dari sisi ini.
    • Kita mempersaksikan bahwa Nabi Musa telah menyampaikan agama Allah yang menjadi tanggung jawabnya dan telah menunaikan risalah kerasulannya.
    • Kita tidak menyakitinya dengan celaan dan tuduhan. Berbeda dengan mereka yang mengatakan bahwa Nabi Musa aadar (berpenyakit kulit atau kelamin).

Firman Allah Subahanahu wa Ta’ala:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا لَا تَكُوۡنُوۡا كَالَّذِيۡنَ اٰذَوۡا مُوۡسٰى فَبَـرَّاَهُ اللّٰهُ مِمَّا قَالُوۡا ؕ وَكَانَ عِنۡدَ اللّٰهِ وَجِيۡهًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa ; Maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan.” [al-Ahzab/33:69]

    • Kita bersaksi bahwa jika Nabi Musa hidup di masa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada pilihan baginya selain mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    • Kita mengimani dengan apa yang dibawa oleh Nabi Musa –alaihi salam– dalam perkara aqidah (keyakinan) sekalipun kita belum pernah membaca atau mengetahuinya.
    • Kita bersaksi bahwa seluruh ummat Nabi Musa yang tidak mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Nabi Musa berlepas diri darinya.
    • Apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang dibawa oleh Nabi Musa –alaihi salam– berasal dari sumber yang sama sebagaimana yang dikatakan oleh An-Najasyi (raja Ethopia).

Inilah beberapa faidah dan renungan. Saya meminta kepada Allah semoga menjadikannya bermanfaat, dan senantiasa melindungi kita, menolong agama, al-Quran serta sunah nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[Disalin dari ثلاثون وقفة مع عاشوراء  Penulis : Syaikh Aqiil bin Saalim as-Syammari. Penerjemah Syafar Abu Difa. Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2013 – 1434]
_______
Footnote
[1] Hari raya adalah hari kegembiraan yang diantaranya diisi dengan makan-makan. Dengan berpuasa berarti telah menyelisihi ahlulkitab.

  1. Home
  2. /
  3. A5. Bulan Haram Dalam...
  4. /
  5. 30 Renungan Seputar Hari...