Hukum Menghadiri Walimah
HUKUM MENGHADIRI WALIMAH
Oleh
Ustadz Abu Bilal Juli Dermawan
Dasar hukum perintah untuk menghadiri walimah pernikahan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيْمَةِ فَلْيَأْتِهَا
Jika seorang dari kalian diundang ke walimah, maka hendaklah mendatanginya.[1]
Dan dalam hadits lain, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ
Siapa yang meninggalkan undangan tersebut, maka ia telah mendurhakai Allah dan Rasul-Nya.[2]
Hadits-hadits diatas menunjukkan wajibnya mendatangi undangan walimatul ‘urs. Inilah yang masyhur dari perkataan para Ulama.
Dalam madzhab Syâfi’i, hukum menghadiri undangan walimatul ‘urs adalah wajib. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Menghadiri undangan walimah itu diperintahkan, namun apakah wajib ataukah sunnah, ini yang diperselisihkan. Pendapat yang terkuat dalam hal ini dalam madzhab Syâfi’i, menghadiri undangan walimah itu fardhu ‘ain bagi setiap yang diundang. Namun, undangan tersebut menjadi gugur, jika ada udzur.”[3].
Akan tetapi, kewajiban tersebut terikat dengan beberapa syarat:
- Walimah seorang Muslim, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila salah seorang saudara kalian mengundang saudaranya (sama saja) apakah undangan walimah ‘urs atau semisalnya, maka datangilah”[4]
Syaikh Muhammad al-‘Utsaimîn rahimahullah berkata, “Kalau seandainya engkau memiliki tetangga non-muslim yang meyelenggarakan pernikahan, dan mengadakan walimah lalu mengundangmu, maka hukum menghadirinya adalah mubah (diperbolehkan), tidak wajib. Karena memenuhi undangan orang non-muslim hukumnya boleh, kecuali didalamnya terdapat syiar-syiar agama (mereka), begitupula dalam hari raya mereka, maka menghadiri undangannya tidak diperbolehkan (diharamkan).[5]
- Mendapatkan undangan secara khusus melalui telepon, kartu undangan atau semisalnya. Adapun undangan bersifat umum, maka tidak termasuk wajib, karena bersifat fardhu kifayah.
Syaikh Muhammad al-‘Utsaimîn rahimahullah berkata,”Apabila kartu undangan walimatul urs ditujukan untuk semua orang, tidak ditentukan siapa yang diundang, maka mungkin dapat dikatakan ini adalah undangan bersifat umum, sehingga tidak wajib memenuhi undangan seperti ini. Akan tetapi, jika dia yakin bahwa dialah yang diundang, maka memenuhi undangan ini menjadi wajib, karena ini sama saja dengan undangan dari lisan si pengundang”. [Lihat Al-Qâulul Mufîd ’alâ Kitâbit Tauhîd]
- Tidak terdapat kemungkaran, kecuali hendak mengingkarinya. ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu berkata, “Aku pernah membuat makanan. Lalu kuundang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyantapnya. Beliau pun datang lalu melihat di dalam rumah ada gambar-gambar (makhluk bernyawa). Beliau pun kembali. Ketika ditanya alasan Beliau kembali, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّفِيالْبَيْتِسِتْرًافِيْهِتَصَاوِيْرُ،وَإِنَّالْمَلاَئِكَةَلاَتَدْخُلُبَيْتًافِيْهِتَصَاوِيْرُ
Di dalam rumah itu ada satir yang bergambar. Sungguh malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang ada gambar-gambar di dalamnya.[6]
- Tidak ada udzur yang menghalangi hadir, seperti sakit, safar, atau mendapatkan undangan sebelumnya ke tempat walimah lainnya.
Bagaimana jika berpuasa?
Jika menghadiri walmatul urs dalam keadaan puasa, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
Pertama :Tetap berpuasa dan mendoakan
إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى طَعَامٍ فَلْيُجِبْ، فَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ، وَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ. يَعْنِى اَلدُّعَاءَ
Apabila seseorang dari kalian diundang makan, maka penuhilah undangan itu. Apabila ia tidak berpuasa, maka makanlah (hidangannya), tetapi jika ia sedang berpuasa, maka hendaklah ia mendo’akan (orang yang mengundangnya).[7]
Kedua: Boleh membatalkan dan ikut makan.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَادُعِيَأَحَدُكُمْإِلَىطَعَامٍفَلْيُجِبْ. فَإِنْشَاءَطَعِمَوَإِنْشَاءَتَرَكَ
“Apabila salah seorang dari kalian diundang makan, hendaknya dia memenuhinya. Kalau mau, dia makan. Kalau dia mau pula, dia tidak makan.”[8]
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Jika puasanya adalah puasa sunnah dan yang menyajikan makanan (si pengundang) merasa berat dengan puasanya (kecewa karena dia tidak makan), maka yang afdhal (lebih utama) adalah dia berbuka”.[9]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] HR. Al-Bukhâri no.5173, Muslim no.1429, Abu Dawud no. 3736.
[2] HR. Al-Bukhâri no. 5177 dan Muslim no. 1432
[3] Syarh Shahîh Muslim 9:208.
[4] HR. Muslim no.1429.
[5] Asy-Syarhu al-Mumti’ 5/337.
[6] HR.Al-Bukhâri no.5957, Muslim no.2017, an-Nasa’i 8/215.
[7] HR. Muslim no. 1431 , Ahmad 2/507, al-Baihaqi 7/263 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[8] HR. Muslim no.(3504 dari Jâbir Radhiyallahu anhu
[9] Lihat al-Minhâj 9/237.
- Home
- /
- A9. Fiqih Ibadah6 Nikah
- /
- Hukum Menghadiri Walimah