Faedah Dari Dua Ayat Tentang Kepemimpinan.
FAEDAH DARI DUA AYAT TENTANG KEPEMIMPINAN
Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا﴿٥٨﴾يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Sesungguhnya Allâh menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allâh memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allâh adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allâh dan ta’atilah Rasûl(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Qur’an) dan Rasûl (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [An-Nisâ’/4:58-59]
Pengertian Ayat[1]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ
Sesungguhnya Allâh menyuruh kamu menyampaikan amanat
Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kalian untuk menunaikan berbagai amanat yang diserahkan kepada kalian untuk ditunaikan kepada yang berhak. Amanat adalah semua yang diamanahkan kepada seseorang dan diperintahkan untuk melaksanakannya. (Dalam ayat ini) Allâh Azza wa Jalla memerintahkan para hamba-Nya untuk menunaikan amanat dengan sempurna tanpa dikurangi dan ditambah-tambahi. Yang termasuk dalam pengertian amanat ini adalah kekuasaan, harta, rahasia dan segala yang diperintahkan yang hanya diketahui Allâh Azza wa Jalla (banyaknya-red). Para ahli fikih menjelaskan bahwa setiap orang yang diberi amanat, wajib menjaganya di tempat penjagaan sesuai dengan amanat tersebut. Mereka menyatakan, karena amanat tidak mungkin ditunaikan kecuali dengan menjaganya. Oleh sebab itu, menjaga amanat hukumnya wajib.
Firman Allâh Azza wa Jalla :
إِلَىٰ أَهْلِهَا
kepada yang berhak menerimanya,
Menunjukkan bahwa amanat tidak boleh diberikan atau tidak boleh diserahkan kecuali kepada orang yang berhak menerimanya (atau wakilnya-red) karena wakil dari orang itu sama dengan orang yang diwakilinya. Seandainya amanah tersebut diserahkan kepada yang tidak berhak berarti dia tidak disebut sebagai orang yang telah menunaikan amanah (meskipun faktanya amanah itu telah dijaga dan diserahkan-red).
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kita semua untuk bersikap adil dalam memutuskan urusan manusia. Perintah mencakup penetapan hukum pada darah (nyawa), harta dan kehormatan seseorang, baik sedikit ataupun banyak, baik untuk kerabat ataupun orang lain, orang yang baik atau fajir (jahat) serta teman ataupun musuh.
Yang dimaksud dengan adil yang Allâh Azza wa Jalla perintahkan dalam memutuskan sebuah hukum adalah semua yang Allâh Azza wa Jalla syariatkan melalui Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam berupa had dan hukum-hukum. Ini berarti menuntut kita untuk mengetahui keadilan (syari’at-red) itu sendiri agar bisa berhukum dengannya.
Karena semua syari’at ini merupakan perintah yang baik dan adil, maka Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Sesungguhnya Allâh memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allâh adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [An-Nisâ’/4:58]
Ini merupakan pujian dari Allâh Azza wa Jalla terhadap perintah-perintah dan semua larangan-Nya, karena perintah dan larangan-Nya mencakup semua kemashlahatan dunia dan akhirat serta untuk menolak mafsadat di dunia dan akhirat. Karena pembuat syariatnya (yaitu Allâh Azza wa Jalla –red) adalah Dzat yang maha mendengar dan maha melihat, yang tidak ada satupun yang luput dari-Nya dan Allâh Azza wa Jalla maha mengetahui kemaslahatan hamba yang tidak diketahui oleh hamba yang bersangkutan.
Firman Allâh Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allâh dan ta’atilah Rasûl(-Nya),
Wahai kaum Mukminin laksanakanlah semua perintah Allâh Azza wa Jalla dan Rasûl-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jauhilah semua larangannya.
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
dan ulil amri di antara kamu.
Ulûl Amri adalah semua yang memiliki kekuasaan syar’i, seperti para Ulama dan umara’ (pemerintah) dan yang dimaksud adalah perintah dan larangannya dalam rangka mentaati Allâh Azza wa Jalla dan Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam .
Firman Allâh Azza wa Jalla :
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu
Apabila kalian berbeda pendapat dan berselisih baik diantara kalian atau antara kalian dan ulil amri.
Firman Allâh Azza wa Jalla :
فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Qur’an) dan Rasûl (sunnahnya),
Merujuk kepada Allâh Azza wa Jalla melalui al-Qur`an dan kepada Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam dengan bertanya langsung ketika beliau hidup dan merujuk kepada sunnahnya setelah beliau wafat.
Firman Allâh Azza wa Jalla :
إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian.
Jika kalian beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan hari pembalasan. Ini menunjukkan bahwa merujuk kepada al-Qur`an dan Sunnah dalam semua perselisihan termasuk syarat iman kepada Allâh dan hari akhir.
Firman Allâh Azza wa Jalla :
ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Berhukum kepada al-Qur`an dan Sunnah tersebut lebih baik untuk kalian dan lebih bagus dan indah akibatnya, karena hukum Allâh Azza wa Jalla dan Rasûl-Nya adalah hukum terbaik, teradil dan paling maslahat buat manusia dalam urusan agama dan dunia mereka serta lebih baik akibatnya bagi mereka
Oleh karena itu Syaikh Abdurrâhmân bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Kemudian Allâh Azza wa Jalla memerintahkan agar (kaum Muslimin-red) mentaati Allâh Azza wa Jalla dan mentaati Rasûl-Nya. Yaitu dengan melaksanakan perintah-perintah keduanya, baik perintah yang wajib maupun yang sunnah serta menjauhi apa yang dilarang. Allâh Azza wa Jalla juga memerintahkan untuk mentaati ulil amri yaitu mereka yang memiliki kekuasaan pada masyarakat seperti para penguasa, pemerintah dan para Ulama yang memberikan fatwa. Urusan agama dan dunia ini tidak akan baik kecuali dengan mentaati dan tunduk kepada mereka sebagai wujud ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan mengharapkan pahala-Nya. Namun dengan syarat, (kewajiban taat itu berlaku selama-red) mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Apabila mereka menyuruh melakukan yang maksiat, maka tidak boleh ada ketaatan sama sekali pada makhluk dalam kemaksiatan kepada sang Pencipta. Sepertinya, inilah rahasia, mengapa kata kerja perintah dihapus ketika Allâh Azza wa Jalla memerintahkan taat kepada ulil amri dan Allâh Azza wa Jalla menyebut kata kerja perintah tersebut ketika menyuruh taat kepada Rasûl, karena Rasûl tidak akan memerintahkan sesuatu kecuali ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan siapa yang mentaatinya maka telah mentaati Allâh Azza wa Jalla . Sedangkan ulil amri, maka kaum Muslimin diperintahkan untuk mentaati mereka dengan syarat tidak dalam kemaksiatan.
Kemudian Allâh Azza wa Jalla memerintahkan (kaum Muslimin-red) untuk mengembalikan perselisihan yang terjadi, baik dalam masalah ushul ataupun cabang agama kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasûl-Nya, yaitu kepada al-Qur`an dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam . Keduanya berisi pemutus seluruh masalah khilafiyah, …. sebab al-Qur`an dan as-Sunnah adalah tiang bangunan agama dan iman seseorang tidak akan lurus atau tidak akan benar kecuali dengan keduanya.
Jadi, mengembalikan perselisihan kepada keduanya merupakan syarat keimanan. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
Jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian.
Penggalan firman Allâh Azza wa Jalla ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mengembalikan perkara yang diperselisihkan kepada keduanya berarti sejatinya, dia bukan seorang Mukmin.[2]
FAEDAH DUA AYAT INI[3]:
Diantara faedah yang dapat diambil dari dua ayat ini adalah:
1. Allâh Azza wa Jalla mengumpulkan dua kewajiban dalam dua ayat ini : Kewajiban penguasa terhadap rakyatnya dan kewajiban rakyat kepada penguasanya. Allâh Azza wa Jalla memulai dengan kewajiban penguasa terhadap rakyatnya dengan berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
Sesungguhnya Allâh menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. [An-Nisâ’/4:58]
Kemudian Allâh Azza wa Jalla melanjutkannya dengan kewajiban rakyat dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allâh dan taatilah Rasûl(-Nya), dan ulil amri di antara kamu.[An-Nisâ’/4:59]
Faedah yang disampaikan Imam Ibnu Abi Zamanain dalam kitab Ushûl as-Sunnah, hlm. 275
2. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan ulil amri untuk menunaikan amanat kepada pemiliknya dan itu dengan memilih pemimpin yang terbaik; karena ketidaktepatan dalam perkara ini termasuk tanda-tanda kiamat, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam :
إِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
Apabila amanah diterlantarkan maka nantikanlah kiamat. Ada yang bertanya: Bagaimana menterlantarkannya wahai Rasûlullâh ? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Apabila urusan diserahkan kepada bukan ahlinya maka tunggulah kiamat. [HR. Al-Bukhâri, no. 6496]
Memilih pemimpin yang terbagus dan terbaik adalah dengan memperhatikan agamanya terlebih dahulu, setelah itu baru melihat kepada kemampuannya mengemban tanggung jawab tugas tersebut, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. [Al-Qashâsh/28:26]
3. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk menghukumi diantara manusia dengan keadilan. Tidak ada keadilan kecuali pada syariat Allâh Azza wa Jalla , sebab Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ
Sesungguhnya Allâh menyuruh (kamu) berlaku adil. [An-Nahl/16:90]
Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla bersikap keras kepada orang-orang yang tidak berhukum dengan hukum Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ ﴿٤٩﴾ أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allâh, dan janganlah kemu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allâh kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allâh), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allâh menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allâh bagi orang-orang yang yakin? [Al-Mâidah/5:49-50]
4. Menegakkan pemerintahan (imârah) hukumnya wajib, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Taatilah Allâh dan ta’atilah Rasûl(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. [An-Nisaa’/4:59]
5. Yang dimaksud dengan ulil amri adalah penguasa dan Ulama.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ada perbedaan riwayat dari Imam Ahmad rahimahullah tentang makna ulil amri. Ada dua riwayat dari beliau. Yang pertama adalah Ulama dan kedua adalah penguasa (umarâ`). Dua pendapat ini ada juga dari tafsir Sahabat tentang ayat ini. Yang shahih, ayat ini mencakup keduanya, karena Ulama dan umara’ adalah ulil amri terhadap ajaran Allâh dan Rasûl-Nya. Sebabnya, Ulama adalah wali dalam menjaga, menjelaskan, menyampaikan dan membelanya serta membantah orang yang menyimpang darinya dan Allâh Azza wa Jalla telah menugaskan mereka untuk itu, Allâh Azza wa Jalla berfirman :
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ۚ فَإِنْ يَكْفُرْ بِهَا هَٰؤُلَاءِ فَقَدْ وَكَّلْنَا بِهَا قَوْمًا لَيْسُوا بِهَا بِكَافِرِينَ
Mereka itulah orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka kitab, hikmat (pemahaman agama) dan kenabian. Jika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya (yang tiga macam itu), maka sesungguhnya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak mengingkarinya.[al-An’âm/ 6:89]
Umara’ adalah wali yang menjalankan, memelihara, berjihad, memaksa orang menjalankan perintahnya dan menahan dengan kekuatan semua orang yang memberontak.
Dua jenis inilah sebenarnya manusia dan selainnya dari jenis manusia ikut mereka dan menjadi rakyatnya. [4]
Allâh Azza wa Jalla membuka ayat ini dengan panggilan iman yang menunjukkan bahwa yang diinginkan darinya termasuk dari konsekuensi nama iman yang menjadi panggilannya. Dalam hal ini ada isyarat bahwa jika kalian beriman maka iman menuntut ini dan itu dari kalian, karena hal itu termasuk tuntutan iman dan kesempurnaannya.[5]
6. Allâh Azza wa Jalla mengkhususkan Ulama dan umara’ dengan ketaatan karena mereka memiliki kapasitas untuk memerintah dan melarang. Para Ulama menyampaikan syariat Allâh Azza wa Jalla, karena mereka orang yang paling mengetahuinya. Dari merekalah diketahui perintah dan larangan syariat. Sedangkan para Umarâ’ melaksanakannya sebagaimana melaksanakan hukumnya pada rakyatnya baik memberi hadiah atau hukuman, karena mereka yang paling mampu untuk itu.
7. Ijma’ para Ulama bahwa ulil amri yang memiliki hak-hak penguasa adalah harus Muslim, sebagaimana dinukilkan oleh imam an-Nawawi rahimahullah dari al-Qâdhi ‘Iyâdh rahimahullah yang berkata: Para Ulama berijma’ bahwa imamâh tidak sah untuk orang kafir. Hal ini karena Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
dan Allâh sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. [ An-nisaa’/4:141]
Demikian juga diisyaratkan dalam ayat diatas dalam kata (وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ).
8. Rahasia pengulangan kata kerja أَطِيعُوا pada firman Allâh Azza wa Jalla : أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ dimana diulang dalam ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan kepada Rasûl-Nya. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: Allâh Azza wa Jalla membedakan antara ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasûl-Nya dalam kata kerja dan tidak mencukupkan hanya dengan satu kata kerja saja dan berfirman : أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ menggabung antara ketaatan kepada Rasûl dan ketaatan ulil amri dan mencukupkan dengan satu amil saja. Terdapat sebuah rahasia yang indah yaitu menunjukkan semua yang diperintahkan oleh Rasûl itu wajib ditaati walaupun tidak diperintahkan secara khusus dalam al-Qur`an. Sehingga kewajiban mentaati Rasûl berdiri sendiri dan bergabung, sehingga tidak salah difahami bahwa yang diperintahkan Rasûl itu diwajibkan hanya yang ada dalam al-Qur`an dan kalau tidak maka tidak wajib mentaatinya, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan:
يُوشِكُ رَجُلٌ شَبْعَانُ مُتَّكِئٌ عَلَى أَرِيكَتِهِ يَأْتِيْهِ الأَمْرُ مِن أَمْرِيْ فَيَقُولُ : بَيْنَنَا وبَيْنَكُمْ كِتَابُ اللهِ مَا وَجَدْتَنَا فِيهِ مِنْ شَيْئٍ اتَّبَعْنَاهُ، أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
Hampir saja ada seseorang yang kenyang duduk bersandar di atas kursi empuknya, datang kepadanya perintah dari perintahku lalu ia berkata, ‘Antara kami dengan kalian ada kitabullah. Semua yang kami temukan padanya, maka kami mengikutinya. Ketahuilah sesungguhnya aku diberikan al-Qur`an dan yang semisalnya bersamanya [HR. Abu Dawud no. 4604 dan dishahihkan al-Albani].[6]
9. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk mentaati ulil amri tanpa mengulangi kata kerja perintah (أَطِيعُوا ) sebagaimana pada penyebutan perintah taat kepada Allâh dan taat kepada Rasûl-Nya. Ini, karena ulil amri tidak ditaati kecuali ikut kepada ketaatan Allâh dan Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam .
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: adapun ulil amri maka tidak wajib mentaati salah seorang dari mereka kecuali masuk dibawah ketaatan kepada Rasûl bukan ketaatan tersendiri yang terpisah, sebagaimana dalam hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda:
عَلَى الْمَرْءِ الْسَّمْعُ وَ الطَّاعَةُ، فِيمَا أَحَبَّ أَوْ كَرِهَ، إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Wajib bagi seorang untuk patuh dan taat pada semua yang dia sukai atau benci kecuali diperintahkan bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk maksiat maka tidak ada kepatuhan dan ketaatan. [HR. Ibnu Majah no. 2864 tanpa lafazh as-Sam’u dan tambahan kata Muslim dan dishahihkan al-Albani].[7]
10. Ayat ini menunjukkan kewajiban patuh dan taat kepada ulil amri.
11. Apabila terjadi perselisihan maka wajib merujuk kepada dalil.
Dalil adalah semua yang sudah ditetapkan oleh Allâh dan Rasûl-Nya. Ketika keputusan dan hukum Allâh Azza wa Jalla dan Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam itu satu tidak ada kontradiksi, maka Allâh Azza wa Jalla berfirman (فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ) dan tidak menyatakan: (فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَ إِلَى الرَّسُولِ)
12. Allâh Azza wa Jalla menutup ayat ini dengan menjelaskan hikmah umum dari hukum-hukum yang ada dalam ayat dengan firman-Nya: (ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا), yaitu dalam pensyariatan hukum ada kebaikan dunia dan kebaikan akhirat. Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan: (pengertian ayat) adalah semua yang Aku perintahkan kepada kalian berupa ketaatan kepada-Ku dan ketaatan kepada Rasûl-Ku dan ulil amri serta mengembalikan permasalahan yang diperselisihkan kepada-Ku dan Rasûl-Ku itu lebih baik bagi kalian di dunia dan akhirat dan ia adalah kebahagiaan kalian di dua negeri tersebut sehingga itu lebih baik dan bagus akibatnya bagi kalian.
Demikian semoga bermanfaat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XXI/1438H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Diambil dari Tafsir As-Sa’di hlm 183-184 dan al-Jâmi’ al Wajiz Fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz, Dr. Aiman Faatih al-‘Amir hlm 171.
[2] Lihat Tafsîr as-Sa’di, hlm 183-184
[3] Diambil dan diringkas dari kitab Thali’atul Hiwâr ad-Dârij Baina as-Sunnah wal Khawârij, Syeikh Abdulmâlik Ramadhâni halaman 9-25.
[4] Risâlah at-Tabûdzakiyah hlm 169
[5] Risâlah at-Tabûdzakiyah hlm 112
[6] Risâlah at-Tabûdzakiyah hlm 112
[7] Risâlah at-Tabûdzakiyah hlm 112
- Home
- /
- A8. Politik Pemikiran Salafiyyun...
- /
- Faedah Dari Dua Ayat...