Al-Ghaniy, Maha Kaya

AL-GHANIY (MAHA KAYA)

Oleh
Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin

Al-Ghaniyy merupakan salah satu nama Allah Azza wa Jalla yang sangat indah. Keindahannya terletak pada nama dan makna-Nya. Nama ini, sebagaimana nama-nama Allah Azza wa Jalla lainnya, juga menunjukkan sifat kesempurnaan bagi Allah Azza wa Jalla , yaitu Kesempurnaan yang tidak mengandung unsur kelemahan sedikitpun ditinjau dari semua sudutnya.

Para ulama yang menghimpun nama-nama Allah Azza wa Jalla , mencantumkan nama ini di dalam kitab mereka.[1]

Imam al-Baihaqi (wafat th.458 H) memasukkannya ke dalam bab nama-nama Allah Azza wa Jalla yang penekanannya meniadakan penyerupaan antara Allah Azza wa Jalla dengan makhluk-Nya.[2]. Sebagai dalil bahwa al-Ghaniy merupakan nama Allah Azza wa Jalla . beliau membawakan firman Allah Azza wa Jalla :

وَاللَّهُ الْغَنِيُّ وَأَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ

Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang membutuhkan(Nya).  [Muhammad/ 47:38].

Selanjutnya, beliau rahimahullah membawakan perkataan al-Hulaimi tentang makna nama al-Ghaniy, yaitu: Bahwa Allah Azza wa Jalla Maha sempurna dengan apa yang Dia miliki dan apa yang ada disisi-Nya,  Sehingga Dia tidak butuh kepada selain-Nya. Sifat tidak membutuhkan inilah yang menjadi sifat Allah Azza wa Jalla , dan sifat membutuhkan adalah sifat kekurangan. Seseorang yang membutuhkan adalah seseorang yang memerlukan apa yang dibutuhkannya hingga dapat ia capai dan ia raih.

Sementara itu, pihak yang dibutuhkan pasti memiliki kelebihan dibandingkan pihak yang membutuhkan. Jadi, segala sifat kurang tidak pernah ada pada Allah Azza wa Jalla dzat Yang Maha Qadîm (Maha terdahulu). Sifat lemah tidak pernah ada pada-Nya, dan tidak ada siapapun yang dapat melebihi Allah Azza wa Jalla . Segala sesuatu selain Allah Azza wa Jalla adalah makhluk yang diciptakan dan diadakan oleh-Nya, mereka tidak memiliki kewenangan apapun atas dirinya, kecuali menurut apa yang dikehendaki dan diatur oleh Allah Azza wa Jalla . Oleh karena itu, tidak boleh dibayangkan bahwa selain Allah Azza wa Jalla masih ada yang berpeluang memiliki kelebihan atas Allah Azza wa Jalla .[3]

Di tempat lain, Imam al-Qurthubi t dalam menafsirkan ayat di atas mengatakan: “Allah Azza wa Jalla Maha Kaya artinya, Allah Azza wa Jalla tidak membutuhkan harta benda kalian”.[4]

Imam at-Thabari juga menyatakan tafsir yang senada dalam Kitab Tafsirnya.[5]

Di samping ayat di atas, Allah Azza wa Jalla juga berfirman :

وَإِنَّ اللَّهَ لَهُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ

Dan sesungguhnya Allah Azza wa Jalla benar-benar Maha Kaya lagi Maha Terpuji. [al-Hajj/ 22:64]

Imam al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan: ” Maka Allah Azza wa Jalla tidak membutuhkan sesuatupun dan Dia Azza wa Jalla Maha terpuji dalam segala keadaan-Nya.[6]

Pada ayat yang lain Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَرَبُّكَ الْغَنِيُّ ذُو الرَّحْمَةِ

Dan Rabbmu Maha Kaya yang  mempunyai sifat kasih sayang.[al-An’âm/ 6:133]

Imam al-Alûsi al-Baghdadi (wafat th.1270 H) menjelaskan: Arti ayat tesebut ialah, tidak ada satupun yang kaya dalam segala sesuatu kecuali Allah Azza wa Jalla . Allah Azza wa Jalla tidak membutuhkan hamba-Nya dan tidak membutuhkan pula untuk ibadah hamba-Nya.[7]

Demikian pula yang dikatakan oleh Imam Syaukani rahimahullah. Beliau rahimahullah mengatakan: Arti ayat tersebut adalah, Allah Azza wa Jalla Maha kaya terhadap makhluk-Nya. Dia tidak membutuhkan mereka dan tidak pula membutuhkan ibadah mereka. Iman mereka tidak memberi manfaat apapun kepada Allah Azza wa Jalla dan kekafiran mereka juga tidak mendatangkan madharat apapun kepada-Nya.[8]

Ini senada dengan sabda Rasulullah n dalam hadits qudsi, bahwa Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَاعِبَادِي! إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوْا ضُرِّي فَتَضُرُّوْنِي، وَلَنْ تَبْلُغُوْا نَفْعِي فَتَنْفَعُوْنِي. يَاعِبَادِي! لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ، كَانُوْا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ، مَا زَادَ ذَلِكَ فِى مُلْكِي شَيْئًا. يَاعِبَادِي! لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ، كَانُوْا عَلَى أَفْجَرِقَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ، مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئًا. رواه مسلم

Artinya : ” Wahai para hambaKu! Sesungguhnya kalian tidak akan mampu mencapai tingkat yang dapat membahayakanKu, dan tidak pula akan mampu mencapai tingkat yang dapat memberi manfaat kepadaKu. Wahai para hambaKu! Sesungguhnya jika makhluk pertama hingga makhluk terakhir dari kalian, baik jin maupun manusia, semuanya menjadi satu hati yang paling bertakwa di antara kalian, tidaklah yang demikian itu akan menambahkan kekuasaanKu sedikitpun. Wahai para hambaKu! Sesungguhnya jika makhluk pertama hingga makhluk terakhir dari kalian, baik jin maupun manusia, semuanya menjadi satu hati yang paling jahat di antara kalian, tidaklah yang demikian itu akan mengurangi kekuasaanKu sedikitpun”. (Hadits Qudsi Shahîh Riwayat Imam Muslim) [9]

Imam Ibnu Rajab al-Hanbali t (wafat th. 795 H) menjelaskan hadits Qudsi di atas sebagai berikut: [10]

Firman Allah Azza wa Jalla :

يَاعِبَادِي! إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوْا ضُرِّي فَتَضُرُّوْنِي، وَلَنْ تَبْلُغُوْا نَفْعِي فَتَنْفَعُوْنِي

“Wahai para hambaKu! Sesungguhnya kalian tidak akan mampu mencapai tingkat yang dapat membahayakanKu, dan tidak pula akan mampu mencapai tingkat yang dapat memberi manfaat kepadaKu.

Maknanya, para hamba Allah Azza wa Jalla tidak akan mampu menimpakan madharat kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak akan mampu memberikan manfaat kepada-Nya, sebab Allah Azza wa Jalla adalah Dzat Yang Ghaniy (Maha kaya) dan Maha terpuji. Dia tidak membutuhkan ketaatan-ketaatan para hamba-Nya. Ketaatan para hamba tidak bermanfaat bagi Allah Azza wa Jalla , tetapi merekalah yang mengambil manfaat dengan ketaatannya kepada Allah Azza wa Jalla. Begitu pula, Allah tidak mengalami bahaya apapun jika mereka durhaka kepada-Nya, tetapi merekalah yang akan mengalami bahaya jika mereka durhaka kepada Allah Azza wa Jalla . Allah Azza wa Jalla berfirman:

Baca Juga  Kesempurnaan Dalam Nama-nama dan Sifat-Sifat Allâh

وَلَا يَحْزُنْكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ ۚ إِنَّهُمْ لَنْ يَضُرُّوا اللَّهَ شَيْئًا

“Janganlah kamu disedihkan oleh orang-orang yang segera menjadi kafir; sesungguhnya mereka tidak sekali-kali dapat memberi mudharat kepada Allah Azza wa Jalla sedikitpun. [Ali-Imrân/ 3:176]

Kemudian firman Allah Azza wa Jalla dalam hadits Qudsi di atas:

يَاعِبَادِي! لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ، كَانُوْا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ، مَا زَادَ ذَلِكَ فِى مُلْكِي شَيْئًا. يَاعِبَادِي! لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ، كَانُوْا عَلَى أَفْجَرِقَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ، مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئًا

” Wahai para hambaKu! Sesungguhnya jika makhluk pertama hingga makhluk terakhir dari kalian, baik jin maupun manusia, semuanya menjadi satu hati yang paling bertakwa di antara kalian, yang demikian itu tidaklah menambahkan kekuasaanKu sedikitpun. Wahai para hambaKu! Sesungguhnya, jika makhluk pertama hingga makhluk terakhir dari kalian, baik jin maupun manusia, semuanya menjadi satu hati yang paling jahat di antara kalian, tidaklah yang demikian itu akan mengurangi kekuasaanKu sedikitpun.

Ayat  ini merupakan isyarat bahwa kekuasaan Allah Azza wa Jalla tidak akan bertambah dengan ketaatan para hamba-Nya, meskipun semua berkumpul menjadi orang bertakwa.. Demikian pula, kekuasaan Allah Azza wa Jalla akan berkurang dengan kedurhakaan para hamba-Nya meskipun mereka semua, baik jin maupun manusia, menjadi satu untuk durhaka kepada Allah Azza wa Jalla. Karena sesungguhnya Allah Azza wa Jalla adalah Dzat Yang Ghaniy (Maha Kaya), tidak membutuhkan apapun kepada selain-Nya. Dia memiliki kesempurnaan yang mutlak, baik Dzat, sifat maupun perbuatan-perbuatan-Nya. Kekuasaan Allah Azza wa Jalla adalah kekuasaan sempurna yang tidak memiliki kekurangan sedikitpun, dalam semua seginya. (Sampai di sini perkataan Ibn Rajab secara ringkas dan bebas).

Demikianlah makna nama Allah Azza wa Jalla al-Ghaniy, nama yang sangat indah, maknanya pun sangat agung dan mulia.

Selanjutnya, jika nama ini merupakan nama yang menunjukkan pada sifat muta’addi (memiliki akibat langsung pada makhluk), maka di dalamnya mengandung tiga perkara, yaitu; 1) Penetapan  bahwa al-Ghaniy adalah nama Allah Azza wa Jalla . 2) Penetapan sifat yang terkandung dalam nama tersebut sebagai sifat Allah Azza wa Jalla , dan 3) Penetapan konsekuensi yang menjadi tuntutan dari nama itu, misalnya bahwa Allah Azza wa Jalla memenuhi segala kebutuhan makhluk-Nya, sebab Allah Azza wa Jalla adalah al-Ghaniy.

Namun, jika nama itu menunjukkan sifat ghairu muta’addi atau sifat lazim (tidak memiliki dampak langsung pada makhluk), maka di dalamnya hanya mengandung dua perkara, yaitu; 1) Penetapan al-Ghaniy sebagai nama Allah Azza wa Jalla . 2) Penetapan sifat yang terkandung dalam nama tersebut sebagai sifat Allah.[11]

Kemudian terkait dengan perintah Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا

“Hanya milik Allah Azza wa Jalla lah Asmâ-ul Husnâ (nama-nama yang sangat indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut/mengingat Asmâ-ul Husnâ itu. [al-A’râf/ 7:180]

Maka, berdoa kepada Allah Azza wa Jalla dengan menyebut atau mengingat nama al-Ghaniyu meliputi dua bentuk :

Pertama, jika yang dimaksud berdoa adalah memohon, misalnya, ketika seseorang hendak memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar kebutuhan-kebutuhan moral maupun materinya dipenuhi, hendaknya ia terlebih dahulu menyebut nama al-Ghaniy.

Kedua, jika yang dimaksud berdoa adalah beribadah secara umum, maka hendaknya seseorang melakukan peribadatan kepada Allah Azza wa Jalla dengan penuh kesadaran, penuh semangat, penuh rasa harap, dan dengan cara yang benar, mengingat Allah Azza wa Jalla adalah al-Ghaniy, Rabb yang Maha Kaya. Manusia sangat butuh beribadah kepada Allah Azza wa Jalla agar mendapatkan kasih sayang serta ridha-Nya, sedangkan Allah Azza wa Jalla Maha Kaya, tidak membutuhkan segala ibadah manusia.

Begitulah sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Bin Shâlih al-‘Utsaimin t , bahwa berdoa kepada Allah Azza wa Jalla meliputi dua pengertian, yaitu berdoa dalam arti memohon dan berdoa dalam arti beribadah secara umum.[12]

Sebagai penutup, ada beberapa faidah yang secara garis besar dapat diambil dari pengenalan terhadap nama Allah Azza wa Jalla ; al-Ghaniy. Diantaranya:

  1. Akan menjadikan seseorang semakin bergantung dan bertawakkal kepada Allah Azza wa Jalla , sebab ia meyakini Allah Azza wa Jalla Maha Kaya. Hal ini akan menjadikannya selalu tenteram dalam menjalani kehidupan.
  2. Akan membentuknya menjadi penuh harap kepada Allah Azza wa Jalla .
  3. Akan menjadikan orang bersikap tawâdhu’ (rendah hati), tidak pernah sombong apalagi terhadap Allah Azza wa Jalla , karena ia ingat bahwa Allah Azza wa Jalla Maha Kaya, Maha tidak membutuhkan dirinya dan tidak membutuhkan ibadah serta ketaatannya.
  4. Akan menjadikan orang tersebut selalu bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla , karena Dia-lah yang mencukupi segala kebutuhannya.
  5. Akan menjauhkan seseorang dari memohon kepada selain Allah Azza wa Jalla , karena mereka tidak akan mungkin mampu memenuhi segala kebutuhannya. Hanya Allah Azza wa Jalla , al-Ghaniy, yang Maha Kaya dan memenuhi segala kebutuhannya.
Baca Juga  Al-Wadûd, Yang Maha Mencintai Hamba-Hamba-Nya Yang Shaleh

Demikianlah, maka hendaknya kaum Muslimin berusaha lebih mengenal, memahami, menghayati dan menjalankan konsekuensi dari nama al-Ghaniy ini. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Kaya dan tidak membutuhkan apapun. Allâhu Akbar Wa Lillâhi al-Hamdu. Wallâhu a’lam.

Marâji’

  1. Shahîh Muslim Syarh Nawawi, tahqîq : Khalil Ma’mun Syîha, Dâr al-Ma’rifah, Beirut, cet. III, 1417 H/1996 M.
  2. Al-Asmâ’ was Shifât, karya Imam al-Baihaqiy, tahqîq : Abdullah bin ‘Âmir, Dâr al-Hadîts, Kairo, 1426 H/2005 M.
  3. Tafsir al-Qurthbi, yaitu al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, Beirut- Libanon, tahqîq : Abdur Razzâq al-Mahdi, cet. II – 1420 H/1999 M.
  4. Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Dhabth wa ta’lîq: Mahmud Syakir. Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, Beirut – Libanon, cet. I – 1421 H/2001 M.
  5. h al-Ma’âni Fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa as-Sab’i al-Matsâni, karya Imam al-Alusi al-Baghdâdi, tahqiiq : Muhammad Ahmad al-Amad & Umar Abdus Salam as-Salâmi, Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, Beirut, Libanon, cet. I dari terbitan terbaru th. 1420 H/2000 M
  6. Fathu al-Qadîr, karya Imam asy-Syaukani
  7. Îqâzh al-Himam al-Muntaqâ min Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam oleh al-Hâfizh Ibnu Rajab al-Hanbali, karya Syaikh Abu Usâmah Sâlim bin ‘Îd al-Hilâliy, Dâr Ibnu al-Jauzi, cet. VII, Muharam 1425 H.
  8. Al-Qawâ’id al-Mutslâ Fî Shifâtillah wa Asmâ’ihi al-Husnâ, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin, tahqîq : Asyraf bin Abdul Maqshûd bin Abdur Rahîm, Maktabah as-Sunnah- Kairo, cet. I, 1411 H/1990 H.
  9. Dan lain-lain.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote`
[1] Lihat Mu’taqâd Ahli Sunnah wal Jama’âh Fî Asmâ’illâh al-Husna, Dr.Muh. Khalîfah atTamîmi, Penerbit Adhwâ’ as-Salaf, Riyâdh, cet. I th 1419 H/1999 M hal. 159.]
[2] Lihat Al-Asmâ’ was Shifât, karya Imam al-Baihaqi, tahqîq : Abdullâh bin ‘Âmir, Dâr al-Hadîts, Kairo, th 1426 H/2005 M. Hal. 45-50
[3] Lihat Al-Asmâ’ was Shifât hal. 49-50.]
[4] Lihat Tafsir al-Qurthubi, yaitu al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, Beirut- Libanon, tahqîq : Abdur Razzaq  al-Mahdi, cet. II – 1420 H/1999 M. Juz 16 hal. 219]
[5]   Lihat Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl al-Qur’ân, Dhabth wa ta’lîq: Mahmûd Syâkir. Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, Beirut – Libanon, cet. I – 1421 H/2001 M. Juz 26, hal 77.
[6] Lihat Tafsîr al-Qurthbiy, Juz 12, hal. 86
[7]h al-Ma’âni Fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa as-Sab’i al-Matsâni, karya Imam al-Alusi al-Baghdadi, tahqîq : Muhammad Ahmad al-Amad & Umar Abdus Salâm as-Salâmi, Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabî, Beirut, Libanon, cet. I terbitan terbaru th. 1420 H/2000 M, Juz 8, hal. 380
[8] Lihat Fathu al-Qadîr, karya Imam asy-Syaukani, ayat 133 dari Surah al-An’âm.]
[9] Lihat Shahîh Muslim Syarh Nawawi, tahqîq : Khalil Ma’mûn Syîha, Dâr al-Ma’rifah, Beirut, cet. III, 1417 H/1996 M. Juz XVI/348 – Kitab al-Birr wash Shilah, Bab 15, no. 6517.
[10] Lihat Îqazh al-Himam al-Muntaqâ min Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam, oleh al-Hâfizh Ibnu Rajab al-Hanbali, karya Syaikh Abû Usâmah Salîm bin ‘Îd al-Hilâli, Dâr Ibnu al-Jauzi, cet. VII, Muharam 1425 H, hadits ke 24, hal. 345 dan 347-348, dinukil secara bebas dan ringkas.
[11] Lihat kaidah semacam ini pada al-Qawâ’id al-Mutslâ Fî Shifâtillâh wa Asmâ’ihi al-Husnâ, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin, tahqîq : Asyraf bin Abdul Maqshûd bin Abdur Rahîm, Maktabah as-Sunnah- Kairo, cet. I, 1411 H/1990 H. kaidah ke III dari Qawâ’id Fî Asmâ’ Allah k . hal. 13
[12] Lihat penjelasan Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin t pada al-Qawâ’id al-Mutslâ Fî Shifâtillâh wa Asmâ’ihi al-Husnâ, tentang Makna berdoa kepada Allah k dan tentang cara menyebut atau mengingat nama-nama Allah k ketika berdoa kepada-Nya, hal. 7; halaman muqadimah.]