Tergesa-Gesa Dalam Mengeluarkan Fatwa
BERHATI-HATI DALAM MEMBERI FATWA
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Sebagian ahli ilmu dari kalangan para praktisi dakwah dan sebagian penuntut ilmu (thalib ‘ilm), berbicara tentang masalah-masalah syari’at padahal mereka bukan ahlinya. Fenomena ini telah memasyarakat di kalangan kaum muslimin sehingga permasalahannya menjadi campur baur. Kami mengharap kepada Syaikh yang mulia untuk menjelaskan fenomena ini, semoga Allah memelihara Syaikh.
Jawaban.
Seorang muslim wajib memelihara agamanya dan hendaknya tidak meminta fatwa dari yang asal-asalan dan tidak berkompeten, tidak secara tertulis dan tidak juga lewat siaran yang dapat didengar dan tidak dari jalan apapun, baik yang berbicara itu seorang pakar maupun seorang ahli, karena yang memberikan fatwa harus mantap dalam memberikan fatwa, karena tidak setiap yang memberikan fatwa itu berkompeten untuk memberi fatwa, maka harus waspada.
Maksudnya, seorang muslim harus menjaga agamanya sehingga tidak terburu-buru dalam segala hal dan tidak menerima fatwa dari yang bukan ahlinya, tapi harus jeli sehingga bersikap hati-hari dalam kebenaran, bertanya kepada ahlul ilmi yang dikenal konsisten dan dikenal dengan keutamaan ilmunya sehingga memelihara agamanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. [An-Nahl/16 : 43]
Ahludz dzikr adalah ahlul ilmi yang menguasai ilmu dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Tidak boleh bertanya kepada orang yang agamanya diragukan atau keilmuannya tidak diketahui atau orang yang diketahuinya berpaling dari faham Ahlus Sunnah.
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Amir Hamzah dkk, Penerbit Darul Haq]
GOLONGAN AWAM TERGESA-GESA DALAM MENGELUARKAN FATWA
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ketika dilontarkan pertanyaan yang berkaitan dengan syari’at pada suatu majlis, umpamanya, orang-orang awam berlomba-lomba mengeluarkan fatwa dan mengemukakan pendapat dalam masalah tersebut yang biasanya tidak berdasarkan ilmu. Apa komentar Syaikh yang mulia mengenai fenomena ini? Dan apakah ini merupakan kebaikan terhadap Allah dan RasulNya?
Jawaban
Sebagaimana diketahui, bahwa seseorang tidak boleh berbicara tentang masalah agama Allah tanpa berdasarkan ilmu, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Katakanlah, ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui.” [Al-A’raf/7 : 33]
Hendaknya seseorang bersikap hati-hati dan takut berkata atas nama Allah tanpa berdasarkan ilmu. Ini tidak termasuk perkara duniawi yang merupakan medan akal. Bahkan, sekalipun mengenai perkara duniawi yang merupakan medan akal, hendaknya seseorang berhati-hati (tidak terburu-buru) dan perlahan-lahan, karena bisa jadi jawaban dirinya akan menjadi jawaban yang lainnya, sehingga seolah-olah ia menetapkan dari dua jawaban dan ungkapannya menjadi ungkapan terakhir yang menentukan. Banyak orang yang berbicara dengan pendapat mereka, maksud saya, dalam perkara-perkara yang bukan syari’at. Jika ia perlahan-lahan dan mengakhirkan pengungkapannya, akan tampak yang benar baginya dari banyaknya pendapat yang ada yang sebelumnya tidak terbesit di dalam benaknya.
Karena itu, saya sarankan kepada setiap orang, hendaklah perlahan-lahan untuk menjadi pembicara yang terakhir sehingga ia seolah-olah menjadi penentu di antara pendapat-pendapat tersebut. Sikap ini pun untuk mengetahui ragamnya pendapat yang belum diketahuinya sebelum ia mendengarnya saat itu. Demikian ini untuk perkara-perkara duniawi. Adapun untuk perkara-perkara agama, seseorang sama sekali tidak boleh berpendapat kecuali dengan ilmu yang diketahuinya dari Kitabullah dan Sunnah RasulNya atau pendapat-pendapat para ahlul ilmi.
(Alfazh wa Mafahim fi Mizanisy Syari’ah, hal. 44-46, Syaikh Ibnu Utsaimin)
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Disusun oleh Khalid Al-Juraisy,Penerjemah Amir Hamzah, Penerbit Darul Haq]
- Home
- /
- A9. Fiqih Dakwah Masail...
- /
- Tergesa-Gesa Dalam Mengeluarkan Fatwa