Menghayati Karunia dan Nikmat yang Telah Diberikan Oleh Allâh
CARA MERAIH CINTA ALLAH : MENGHAYATI SEGALA KARUNIA DAN NIKMAT YANG TELAH DIBERIKAN OLEH ALLAH AZZA WA JALLA, BAIK NIKMAT LAHIR MAUPUN BATIN.
Semakin dalam penghayatan seorang hamba akan karunia dan nikmat dari Allâh Azza wa Jalla , maka semakin besar pula cintanya kepada Allâh Azza wa Jalla. Hal itu karena:
Pertama: Manusia difitrahkan untuk mencintai dirinya, eksistensi dan kesempurnaanya. Sebaliknya, membenci kekurangan, kesengsaraan dan kematian. Hal itu seharusnya membuat manusia mencitai Allâh Azza wa Jalla dengan sepenuh hati, karena Allâh lah yang telah menciptakan dan membuatnya ada, padahal sebelumnya dia bukan apa-apa. Allâh lah yang memberinya kekuatan padahal sebelumnya dia adalah makhluk yang lemah. Allâh lah yang memberinya keindahan rupa padahal sebelumnya dia hanya setetes air yang hina.
Kedua: Tabi’at manusia adalah mencintai orang yang berderma kepadanya, yang berlaku lemah lembut, serta membantunya dalam kesulitan. Jika manusia menghayati, dia akan tahu bahwa Allâh lah satu-satunya dzat yang selalu mengasihi dan menyayanginya tanpa batas, dengan segala nikmat dan karunia yang Dia berikan. Sekalipun nikmat tersebut datang melalui uluran tangan orang lain, namun pada hakikatnya itu semua bersumber dari Allâh Azza wa Jalla .
Ketiga: Orang dermawan dihormati dan dicintai oleh semua orang, bahkan oleh orang-orang yang yang belum pernah mendapatkan uluran tangannya. Oleh karena itu jika ada seorang pemimpin yang terkenal dengan sifat adil, santun dan mengasihi rakyatnya, hati kita merasa hormat dan cinta kepadanya, bahkan berharap untuk bisa mendapat kebaikan darinya, meskipun dia berada di negeri lain yang jauh. Maka terlebih lagi dengan sang pencipta yang telah menciptakan kita dan memberikan karunia yang tak terhingga, seharusnya kita mencintainya lebih dari apapun.[1]
Semakin banyak nikmat dan karunia Allâh Azza wa Jalla , seharusnya semakin besar dan tinggi cinta kita kepada Allâh Azza wa Jalla. Maka jika nikmat Allâh itu tak terhingga, seharusnya cinta kita kepada-Nya tak mengenal batas.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَاۗ
Jika kamu menghitung nikmat Allâh, niscaya kamu tidak akan mamu menghitungnya, [Ibrahim/14:34]
Ayat tersebut Allâh turunkan dalam dua surat yang berbeda, yaitu surat Ibrahim ayat 34 (di atas) dan surat an-Nahl ayat 18. Penutup dari dua ayat tersebut pun berbeda satu dengan yang lainnya.
Dalam surat Ibrahim ayat tersebut di tutup dengan firman Allâh Azza wa Jalla :
اِنَّ الْاِنْسَانَ لَظَلُوْمٌ كَفَّارٌ
Sesungguhnya manusia itu sangat dzalim dan sangat mengingkari nikmat Allâh [Ibrahim/14:34]
Sedangkan dalam surat An-nahl ayat tersebut ditutup dengan firman Allâh Azza wa Jalla :
اِنَّ رَبَّكُمْ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌۙ
Sesungguhnya Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [An-Nahl/16:7]
Imam ar-Razi rahimahullah menjelaskan dua ayat tersebut: Jika dihayati, ada sebuah poin yang sangat penting, seakan-akan Allâh Azza wa Jalla berfirman: segala nikmat dan karunia yang kalian peroleh wahai manusia adalah bersumber dari-Ku. Kalian menikmati karunia itu tanpa mensyukurinya, dan kalian gunakan untuk berbuat dzalim. Sedangkan Aku memberikan nikmat tersebut dengan penuh ampunan dan kasih sayang. Maka jika kalian dzalim Aku ampuni dan jika kalian kufur Aku kasihi dan sayangi. Aku tahu kalian lemah dan membangkang, maka kekurangan itu aku balas dengan karunia dan pembangkangan itu aku balas dengan kasing sayang.[2]
Salah satu bukti kemurahan Allâh Azza wa Jalla , bahwa manusia tidak dituntut untuk bisa menghitung semua nikmat yang Allâh Azza wa Jalla berikan, karena manusia tidak mungkin akan sanggup melakukannya. Kewajiban manusia adalah menghayati nikmat-nikmat tersebut, mentadaburi dan mensyukuri sebatas yang dia mampu.
Pada hakikatnya menghayati dan mentadaburi nikmat itu sendiri termasuk bentuk syukur nikmat, sehingga orang yang menghayati dan mentadaburi nikmat telah melakukan dua ibadah sekaligus, yaitu: syukur dan tadabur. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙالَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allâh) bagi orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allâh sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata),”Wahai Rabb kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia, Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka. [Ali Imran/3:190-191]
Contoh nikmat Allâh Azza wa Jalla paling nyata yang harus ditadaburi oleh manusia adalah proses penciptaan manusia itu sendiri. Bagaimana Allâh Azza wa Jalla menciptakannya dari setetes air yang berisikan sari pati tanah lalu menanamnya dalam rahim wanita yang kokoh?, bagaimana bisa janin yang tertutup rapat mendapatkan asupan makanan sampai ia lahir?, bagaimana janin itu ada yang terlahir sebagai laki-laki maupun wanita tanpa ada seorangpun yang bisa mengaturnya?, bagaimana Allâh Azza wa Jalla mengajari bayi yang baru terlahir untuk bisa minum dari air susu ibunya?, bagaimana air susu itu bisa menumbuhkan daging dan tulang-tulang?, hingga akhirnya bayi itu tumbuh menjadi manusia sempurna yang bisa melihat, berbicara dan melakukan segala aktifitasnya.
Dan masih banyak lagi nikmat serta karunia yang Allâh Azza wa Jalla berikan, yang membuat hamba merasa malu ketika tidak bisa menghayati dan mensyukurinya. Terlebih lagi jika tidak bisa menanamkan rasa cinta (kepada Allah) dalam hatinya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XXI/1438H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Mukhtashor Minhajul Qashidin, hal 223-224, dengan sedikit perubahan.
[2] Ar-Razi, at-Tafsir al-Kabîr, jilid 19 hal 103
- Home
- /
- A9. Fiqih Dakwah Tazkiyah...
- /
- Menghayati Karunia dan Nikmat...