Melakukan Aqiqah Untuk Diri Sendiri?
MELAKUKAN AQIQAH UNTUK DIRI SENDIRI?
Pertanyaan.
Assalamualaikum. Ustadz mau tanya tentang aqiqah. Saya belum di aqiqah, boleh tidak saya mengaqiqahi diri sendiri sekarang, ada dalilnya tidak ustadz, mohon bantuan dan jawabannya. Terima kasih sebelumnya.
Jawaban.
Dalam masalah ini, Ulama berselisih menjadi dua pendapat.
1. Orang yang tidak diaqiqahi sewaktu kecil, dianjurkan untuk mengaqiqahi dirinya.
Ini merupakan pendapat ‘Atha rahimahullah , Hasan al-Bashri rahimahullah , dan Muhammad bin Sirin rahimahullah , al-Hafizh al-Iraqi rahimahullah menyebutkan bahwa Imam Syafi’i rahimahullah berpendapat, orang itu diberi pilihan untuk mengaqiqahi dirinya. Al-Qaffal asy-Syasyi dari kalangan Syafi’iyyah menganggap baik orang itu mengaqiqahi dirinya diwaktu dewasa. Ini juga satu riwayat dari Imam Ahmad, asy-Syaukani t mengakui pendapat ini dengan syarat hadits yang dibawakan dalam bab ini shahih. Sedangkan ulama di zaman ini yang berpendapat dengan pendapat ini adalah syaikh Abdul Aziz bin Baaz, syaikh Al-Albani, Lajnah Daimah, dan lainnya.
2. Orang yang tidak diaqiqahi sewaktu kecil tidak perlu mengaqiqahi dirinya.
Ini merupakan pendapat Malikiyyah. Mereka berkata, “Sesungguhnya aqiqah untuk orang dewasa tidak dikenal di Madinah. Ini juga satu riwayat dari Imam Ahmad. Pendapat ini juga dinisbatkan kepada Imam Syafi’i rahimahullah , akan tetapi penisbatannya dilemahkan oleh Imam Nawawi rahimahullah , al-Hafizh Ibnu Hajar, dan lainnya. Yang benar dari Imam Syafi’i rahimahullah adalah memberikan pilihan sebagaimana disebutkan pada pendapat pertama. Sedangkan ulama di zaman ini yang berpendapat dengan pendapat ini adalah syaikh Al-‘Utsaimin, syaikh Al-Jibrin, dan lainnya. [Lihat al-Mughni 9/461, al-Majmu’ 8/431, Fathul Bari 12/12-13, Tharhut Tats-rib 5/209 dan lain-lain]
Yang rajih (lebih kuat) dalam masalah ini adalah pendapat pertama, berdasarkan hadits berikut ini.
عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدِ مَا بُعِثَ نَبِيًا
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi dirinya sendiri setelah menjadi nabi.
Hadits ini diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu dengan dua jalur riwayat.
Jalur pertama sangat dha’if (sangat lemah), dan jalur inilah yang dinyatakan mungkar, batil, atau lemah, oleh ulama. Oleh karena itu kita dapatkan sebagian Ulama dan ustadz mendhai’ifkan hadits ini. Padahal jika mereka mendapatkan dan memperhatikankan jalur periwayatan lainnya, niscaya mereka akan menguatkannya.
Jalur yang lain hasan, sehingga hadits ini bisa dijadikan hujjah (pegangan). Oleh karena itu, sebagian ulama Salaf yang berpendapat dengan kandungan hadits ini dan mengamalkannya.
Syaikh al-Albani rahimahullah menjelaskan kedudukan hadits ini dengan panjang lebar dalam kitab beliau, Silsilah al-Ahadits as-Shahihah no. 2726. Inilah ringkasan dari penjelasan Syaikh al-Albani rahimahullah.
Hadits ini diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu dengan dua jalur.
1. Dari Abdullah bin Muharrar, dari Qatadah, dari Anas bin Malik.
Diriwayatkan oleh Abdur Rozzaq dalam al-Mushannaf 4/329/7960, Ibnu Hibban dalam adh-Dhu’afa 2/33, al-Bazzar dalam Musnadnya 2/74/1237 Kasyful Astar ; dan Ibnu Adi dalam al-Kamil lembaran ke 209/1. Jalur ini juga disebutkan oleh adz-Dzahabi dalam biografi Abdullah bin Muharrar di dalam kitab al-Mizan. Dalam at-Talkhis (4/147) al-Hafizh ibnu Hajar menisbatkan riwayat ini kepada al-Baihaqi.
Jalur ini sangat dha’if karena perawi yang bernama Abdullah bin Muhrarrar adalah sangat dha’if.
2. Dari al-Haitsam bin Jamil ; dia berkata, Abdullah bin al-Mutsanna bin Anas menuturkan kepada kami, dari Tsumamah bin Anas, dari Anas bin Malik.
Jalan periwayatan ini diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam kitab Musykilul Atsar 1/461, ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath 1/55/2, no. 976 dengan penomoran syaikh al-Albani ; Ibnu Hazm dalam al-Muhalla 8/321, adh-Dhiya al-Maqdisi dalam al-Mukhtarah lembaran 71/1. Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Ini sanadnya hasan. Para perawinya dijadikan hujjah oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahîhnya, selain al-Haitsam bin Jamil, dan dia ini tsiqah (terpercaya) hafizh (ahli hadits), termasuk guru Imam Ahmad”.
Di antara ulama Salaf yang menerima kandungan hadits ini adalah Imam Muhammad bin Sirin rahimahullah . Beliau berkata:
«لَوْ أَعْلَمُ أَنَّهُ لَمْ يُعَقَّ عَنِّي لَعَقَقْتُ عَنْ نَفْسِي»
“Jika aku tahu bahwa aku belum diaqiqahi, sungguh aku pasti akan mengaqiqahi diriku sendiri”. [Mushannaf Abdur Razzaq, no. 24236; dishahihkan syaikh Albani dalam Silsilah al-Ahadits as-Shahihah no. 2726]
Demikian juga imam Al-Hasan Al-Bashri, beliau berkata:
إذَا لَمْ يُعَقَّ عَنْك فَعُقَّ عَنْ نَفْسِك وَإِنْ كُنْت رَجُلًا
“Jika engkau belum diaqiqahi, maka lakukan aqiqah untuk dirimu sendiri, walaupun engkau sudah menjadi lelaki dewasa”. [Al-Muhalla bil Atsâr, 6/240; karya Ibnu Hazm; dihasankan syaikh al-Albani di dalam Silsilah al-Ahadits as-Shahihah no. 2726]
Kesimpulannya : Orang yang tidak diaqiqahi sewaktu kecil disunahkan untuk mengaqiqahi dirinya di waktu dewasa.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XXI/1439H/2018M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
- Home
- /
- A9. Fiqih Ibadah6 Kurban...
- /
- Melakukan Aqiqah Untuk Diri...