Kitab Tindakan-Tindakan Pidana
KITAB TINDAKAN-TINDAKAN PIDANA
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Definisinya
Secara bahasa jinaayaat yang merupakan bentuk jamak dari jinayah berasal dari kataجَنَى الذَّنْبَ يَجْنِيْهِ جِنَايَة , yang berarti menyeret kepada dosa atau kejahatan. Kata tersebut dijamakkan sekali pun berbentuk masdar, karena berbeda-beda macamnya. Sebab keja-hatan itu terkadang terjadi terhadap jiwa, terkadang terhadap ang-gota badan, terkadang disengaja, dan terkadang tanpa disengaja.
Adapun secara istilah, jinayah berarti pelanggaran terhadap badan yang menyebabkan ia harus diqishas atau didenda.
Agungnya Kehormatan Kaum Muslimin
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا ۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam Neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” [An-Nisaa’/4: 29-30]
Allah juga berfirman:
وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
“Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutuknya serta menyediakan adzab yang besar baginya.” [An-Nisaa’/4: 93]
Dan dalam firman-Nya:
مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَن قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا
“Oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi bani Israil, bahwa barangsiapa membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan ma-nusia semuanya.” [Al-Maa-idah/5: 32]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اِجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوْا: وَمَا هُنَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: اَلشِّرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ.
“Jauhilah oleh kalian tujuh dosa besar yang menghancurkan (kalian).” Para Sahabat bertanya, “Apa itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “(1) Menyekutukan Allah, (2) sihir, (3) membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan hak, (4) memakan harta riba, (5) memakan harta anak yatim, (6) lari dari medan perang, dan (7) menuduh berzina wanita mukminah yang tidak tahu menahu serta terjaga kehormatannya.”[1]
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ.
“Sungguh, hilangnya dunia lebih ringan bagi Allah dari pada terbunuhnya seorang muslim.”[2]
Dari Abu Sa’id al-Khudri dan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhuma, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
لَوْ أَنَّ أَهْلَ السَّمَاءِ وَأَهْلَ اْلأَرْضِ اشْتَرَكُوا فِي دَمِ مُؤْمِنٍ َلأَكَبَّهُمُ اللهُ فِي النَّارِ.
“Seandainya penghuni langit dan bumi ikut serta dalam penumpahan darah seorang mukmin, sungguh Allah akan menjerumuskan mereka ke dalam Neraka.”[3]
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ فِي الدِّمَاءِ.
‘Perkara yang pertama kali diadili di antara manusia adalah masalah darah.’”[4]
Dan dari beliau (Ibnu Mas’ud) Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
يَجِيءُ الرَّجُلُ آخِذًا بِيَدِ الرَّجُلِ فَيَقُولُ يَا رَبِّ هَذَا قَتَلَنِي فَيَقُولُ اللهُ لَهُ: لِمَ قَتَلْتَهُ فَيَقُولُ: قَتَلْتُهُ لِتَكُونَ الْعِزَّةُ لَكَ فَيَقُولُ: فَإِنَّهَا لِي وَيَجِيءُ الرَّجُلُ آخِذًا بِيَدِ الرَّجُلِ فَيَقُولُ إِنَّ هَذَا قَتَلَنِي فَيَقُولُ اللهُ لَهُ: لِمَ قَتَلْتَهُ؟ فَيَقُولُ: لِتَكُوْنَ الْعِزَّةُ لِفُلاَنٍ، فَيَقُولُ: إِنَّهَا لَيْسَتْ لِفُلاَنٍ فَيَبُوءُ بِإِثْمِهِ.
“Akan datang seorang laki-laki menggandeng tangan orang lain, lalu berkata, ‘Ya Rabb, ia telah membunuhku.’ Allah berfirman, ‘Mengapa engkau membunuhnya?’ Ia menjawab, ‘Agar kemuliaan ada pada-Mu.’ Allah berfirman, ‘Sesungguh-nya kemuliaan itu milik-Ku.’ Lalu datang seorang laki-laki menggandeng tangan orang lain, lalu berkata, “Ya Rabb, ia telah membunuhku.’ Allah berfirman, ‘Mengapa engkau membunuhnya?’ Ia menjawab, ‘Agar kemuliaan ada pada si fulan.’ Allah berfirman, ‘Sesungguhnya kemuliaan itu bukan milik si fulan.’ Lalu si pembunuh kembali dengan membawa dosa.”[5]
Larangan Bunuh Diri
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ يَتَرَدَّى فِيهِ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا، وَمَنْ تَحَسَّى سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَسُمُّهُ فِي يَدِهِ يَتَحَسَّاهُ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا، وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ فِي يَدِهِ يَجَأُ بِهَا فِي بَطْنِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا.
“Barangsiapa bunuh diri dengan melemparkan diri dari gunung, maka di Neraka Jahannam ia akan terus-menerus melemparkan dirinya di dalam Jahannam itu selama-lamanya. Barangsiapa bunuh diri dengan meminum racun, maka di Neraka Jahannam ia akan terus-menerus meminum racun di dalamnya selama-lamanya. Barangsiapa bunuh diri dengan besi, maka besi itu akan diberikan di tangannya sehingga ia menusuk-nusuk perutnya di dalam Neraka Jahannam selama-lamanya.”[6]
Dari Jundab bin ‘Abdillah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ بِهِ جُرْحٌ فَجَزِعَ فَأَخَذَ سِكِّينًا فَحَزَّ بِهَا يَدَهُ فَمَا رَقَأَ الدَّمُ حَتَّى مَاتَ قَالَ اللهُ تَعَالَى: بَادَرَنِي عَبْدِيْ بِنَفْسِهِ حَرَّمْتُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ.
“Dahulu kala dari orang-orang sebelum kalian ada seorang laki-laki yang terluka, maka ia tidak bersabar, lalu ia mengambil sebilah pisau dan menyayat tangannya sehingga darah terus mengalir sampai ia meninggal. Kemudian Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah mendahului-Ku terhadap jiwanya, maka Aku haramkan Surga baginya.’”[7]
Dan dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa ath-Thufail bin ‘Amr ad-Dausi menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau menginginkan sebuah benteng kuat dan kokoh?” (Perawi berkata, “Benteng tersebut milik Daus pada masa Jahiliyyah.”) Namun beliau menolak karena menginginkan bersama kaum Anshar yang telah dipersiapkan oleh Allah. Kemudian pada saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, ath-Thufail bin ‘Amr juga hijrah bersama seseorang dari kaumnya. Lalu mereka alergi dengan cuaca Madinah, lalu temannya itu sakit dan tidak sabar. Kemudian ia mengambil sebuah anak panah yang lebar permukaannya dan memotong pergelangan tangannya. Darah terus mengalir dari tangannya dan ia pun meninggal. Setelah itu ath-Thufail bin ‘Amr melihat temannya dalam tidurnya, dan ia melihatnya dalam keadaan yang baik, lalu ia pun melihat tangannya tertutup. Lalu ia bertanya, ‘Apa yang dilakukan Rabb-mu kepadamu?’ Ia menjawab, ‘Dia telah mengampuniku karena hijrahku menuju Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Ath-Thufail bertanya lagi, ‘Mengapa tanganmu tertutup?’ Ia menjawab, ‘Dikatakan kepadaku, ‘Kami tidak akan pernah memperbaiki apa yang telah engkau rusak.’’ Kemudian ath-Thufail menceritakannya pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau bersabda:
اَللّهُمَّ وَلِيَدَيْهِ فَاغْفِرْ.
‘Ya Allah, ampunilah kedua tangannya.’”[8]
Sebab Diperbolehkannya Membunuh
Allah berfirman:
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar...” [Al-Israa’: 33]
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوْا ذلِكَ عَصَمُوْا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ.
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat. Apabila mereka melakukan hal itu, maka mereka telah menjaga darah dan harta mereka dariku kecuali dengan hak Islam. Adapun perhitungan amalnya tergantung pada Allah.”[9]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan maksud hak di atas yang menye-babkan bolehnya terjadi pembunuhan dengan sabda beliau:
لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ، اَلنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالثَّيِّبُ الزَّانِي وَالْمُفَارِقُ لِدِيْنِهِ التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ.
“Tidak halal menumpahkan darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, dan aku adalah utusan Allah, kecuali dengan salah satu dari tiga perkara; (1) qishas karena pembunuhan, (2) seorang muhshan (telah menikah) yang berzina, atau (3) orang murtad yang meninggalkan jama’ahnya.”[10]
Macam-Macam Pembunuhan
Pembunuhan memiliki tiga macam; (1) benar-benar disengaja, (2) seperti disengaja, dan (3) tidak disengaja.
Benar-benar disengaja maksudnya pembunuhan yang dimaksudkan oleh seorang mukallaf yang membunuh untuk membunuh orang yang darahnya dilindungi, dengan suatu benda yang secara logika bisa membunuhnya.
Seperti disengaja yaitu apabila ia hanya bermaksud memukulnya dengan suatu benda yang tidak biasa digunakan untuk membunuh akan tetapi orang tersebut meningal (terbunuh).
Tidak disengaja yaitu apabila mukallaf melakukan sesuatu yang diperbolehkan seperti menembak binatang buruan atau yang lainnya, namun mengenai manusia.
Dampak Terjadinya Pembunuhan
Pada dua jenis pembunuhan terakhir berdampak diharuskannya kafarat atas pembunuh dan diyat (denda) atas keluarga pelaku. Dasarnya adalah firman Allah:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَن يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً ۚ وَمَن قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَن يَصَّدَّقُوا ۚ فَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۖ وَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُم مِّيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۖ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dan tidaklah layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja) dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [An-Nisaa/4: 92]
Adapun pembunuhan yang benar-benar disengaja, maka wali korban boleh memilih antara qishash dan memaafkannya dengan diyat. Hal ini berdasarkan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ۖ الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنثَىٰ بِالْأُنثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ اعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” [Al-Baqarah/2: 178]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يُقَادَ وَإِمَّا أَنْ يُفْدَى.
“Barangsiapa yang terbunuh keluarganya, maka ia boleh memilih dua hal; pelaku diqishash atau didenda.”[11]
Denda di sini bukan merupakan sebab akibat dari pembunuhan, namun ia hanyalah pengganti hukuman qishash. Oleh karenanya, keluarga korban boleh menetapkan hal lain selain denda yang telah ditentukan, walaupun ia lebih banyak, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا دُفِعَ إِلَى أَوْلِيَاءِ الْمَقْتُولِ، فَإِنْ شَاءُوْا قَتَلُوْا وَإِنْ شَاءُوا أَخَذُوا الدِّيَةَ وَهِيَ ثَلاَثُوْنَ حِقَّةً وَثَلاَثُوْنَ جَذَعَةً وَأَرْبَعُونَ خَلِفَةً وَمَا صَالَحُوا عَلَيْهِ فَهُوَ لَهُمْ وَذَلِكَ لِتَشْدِيْدِ الْعَقْلِ.
“Barangsiapa membunuh seorang mukmin, maka perkaranya diserahkan kepada wali korban. Apabila mereka menghendaki, mereka boleh membunuh, dan apabila mereka menghendaki, mereka boleh mengambil diyat. Yaitu berupa 30 ekor hiqqah (unta betina berumur tiga masuk empat tahun), 30 ekor jadza‘ah (unta betina berumur empat masuk lima tahun), dan 40 ekor khalifah (unta betina yang sudah bunting). Apa yang baik bagi mereka maka mereka boleh mengambilnya. Yang demikian untuk memberatkan tebusan.”[12]
Adapun memaafkan tanpa meminta diyat adalah yang paling utama, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَأَن تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ
“… Dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa…” [Al-Baqarah/2: 237]
Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا.
“Dengan pemberian maaf Allah tidaklah menambah seorang hamba kecuali kemuliaan.”[13]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1] Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (V/393, no. 2766), Shahiih Muslim (I/92, no. 89), Sunan Abi Dawud (VIII/77, no. 2857), Sunan an-Nasa-i (VI/257).
[2] Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 5077)], Sunan at-Tirmidzi (II/426, no. 1414), Sunan an-Nasa-i (VI/82).
[3] Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 5237)], Sunan at-Tirmidzi (II/427, no. 1419).
[4] Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (XII/187, no. 8664), Shahiih Muslim (III/ 1304, no. 1678), Sunan at-Tirmidzi (II/427, no. 1418), Sunan an-Nasa-i (VII/83).
[5] Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 2732)], Sunan an-Nasa-i [VII/84].
[6] Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (X/247, no. 5778), Shahiih Muslim (I/103, no. 109), Sunan at-Tirmidzi (III/260, no. 2116), Sunan Abi Dawud (X/354, no. 3855) disingkat pada kalimat tentang racun saja, Sunan an-Nasa-i (IV/67).
[7] Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (VI/496, no. 3463), Shahiih Muslim (I/107, no. 113).
[8] Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 98)], Shahiih Muslim (I/108, no. 116).
[9] Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (I/75, no. 25), Shahiih Muslim (I/53, no. 22).
[10] Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (XII/201, no. 2878), Shahiih Muslim (III/ 1302, no. 1676), Sunan Abi Dawud (XII/5, no. 4330), Sunan at-Tirmidzi (II/ 429, no. 1423), Sunan an-Nasa-i (VII/90), Sunan Ibni Majah (II/847, no. 2534).
[11] Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (XII/205, no. 6880), Shahiih Muslim (II/ 988, no. 1355).
[12] Hasan: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 1121)], Sunan at-Tirmidzi (II/423, no. 1406), Sunan Ibni Majah (II/877, no. 2626). Hiqqah yaitu unta yang mulai menginjak umur empat tahun. Jadza’ah yaitu anak kambing yang berumur 2 tahun, atau anak sapi serta kuda yang berumur tiga tahun, atau unta yang berumur lima tahun. Khalifah yaitu unta yang sedang bunting.
[13] Shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 1894)], Shahiih Muslim (IV/2001, no. 2588), Sunan at-Tirmidzi (III/254, no. 2098).
- Home
- /
- A9. Alwajiz8 Kitab Hukum...
- /
- Kitab Tindakan-Tindakan Pidana