Iman Dan Istiqamah

IMAN DAN ISTIQAMAH

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله

عَنْ عَمْرٍو وَقِيْلَ أَبِيْ عَمْرَةَسُفْيَانَ بْنِ عَبْدِاللهِ الثَّقَفِي رَضِيَ اللهُ عَنْهَ , قَالَ: قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ , قُلْ لِيْ فِيْ اْلإِسْلاَمِ قَوْلاً , لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًاغَيْرَكَ. قَالَ: قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ , ثُمَّ اسْتَقِمْ . رواه مسلم

Dari Abu ‘Amr, dan ada yang mengatakan dari Abu ‘Amrah Sufyân bin ‘Abdillâh ats-Tsaqafi Radhiyallahu anhu, yang berkata : “Aku berkata, ‘Ya Rasulullah! Katakanlah kepadaku dalam Islam sebuah perkataan yang tidak aku tanyakan kepada orang selain engkau.’ Beliau menjawab, ‘Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah Azza wa Jalla,’ kemudian istiqâmahlah.’”

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 38), Ahmad (III/413; IV/384-385), at-Tirmidzi (no. 2410), an-Nasâ-i dalam as-Sunanul Kubra (no. 11425, 11426, 11776), Ibnu Mâjah (no. 3972), ad-Dârimi (II/298), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 6396, 6397, 6398), ath-Thayâlisi (no. 1327), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (no. 21-22), Ibnu Abid Dun-ya dalam ash-Shamt (no. 7), al-Hâkim (IV/313), Ibnu Hibbân (no. 938, 5668, 5669, 5670, 5672-at-Ta’lîqâtul Hisân), al-Baihaqi dalam Syu’abul Imân (no. 4572, 4574, 4575), dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 16).

Pada riwayat Imam Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasâi, dan Ibnu Mâjah ada tambahan :

قُلْتُ : يَارَسُوْلَ اللهِ, مَاتَخَافُ عَلَيَّ؟ فَأَخَذَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِطَرْفِ لِسَانِ نَفْسِهِ , ثُمَّ قَالَ: هَذَا

Aku berkata : “Ya Rasulullah! Apakah sesuatu yang paling engkau khawatirkan padaku?” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallammemegang ujung lidahnya sendiri kemudian berkata, “Ini

Imam at-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahîh.

KEDUDUKAN HADITS
Hadits ini adalah hadits yang singkat, padat dan indah yang merupakan kekhususan bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Walaupun singkat, namun telah memberikan jawaban tentang pokok-pokok Islam yang ditanyakan oleh si penanya dalam dua kata, yaitu iman dan istiqâmah  menurut manhaj yang benar.[1]

Sebagaimana telah diketahui bahwa Islam adalah tauhid dan taat. Tauhid terkandung dalam kata “Amantu billâh (aku beriman kepada Allah Azza wa Jalla )” dan taat terkandung dalam kata “Istiqâmah” karena arti istiqâmah adalah mengerjakan yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang, termasuk yang berkait dengan amalan hati dan badan yaitu iman, Islam, dan ihsan. Allah Azza wa Jalla berfirman,

فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ

 “…Karena itu tetaplah kamu (beribadah) kepada-Nya dan mohonlah ampunan kepada-Nya…” [Fushshilat/41:6][2]

Dalam ayat di atas terdapat isyarat bahwa pasti ada kelalaian (kekurangan) dalam istiqâmah yang diperintahkan; kemudian dilakukan istighfâr (mohon ampun kepada Allah Azza wa Jalla ) yang menghasilkan taubat dan kembali kepada istiqâmah.[3]

SYARAH HADITS
Perkataan shahabat Radhiyallahu anhum, “Katakanlah kepadaku dalam Islam sebuah perkataan yang tidak aku tanyakan kepada orang selain engkau.” Maksudnya adalah ajarkanlah kepadaku suatu perkataan tentang pengertian Islam yang jelas bagi diriku sehingga aku tidak perlu lagi menanyakan tafsirnya kepada orang lain dan aku akan mengerjakannya.” Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah Azza wa Jalla ,’ kemudian istiqâmahlah.”[4]

Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,”Katakanlah,” maksudnya, ucapkanlah dengan lisanmu serta iringi dengan pembenaran hatimu ”Aku beriman kepada Allah Azza wa Jalla ,” bahwa Dialah Allah Azza wa Jalla , Ilâh Yang Maha Esa yang wajib diibadahi oleh semua makhluk, yang disifati dengan sifat-sifat yang sempurna Yang Mahatinggi, dan wajib disucikan dari sifat-sifat yang jelek. Apa saja yang dijadikan-Nya benar maka itulah yang benar dan apa saja yang dijadikan-Nya batil maka itu batil. ”Kemudian Istiqâmahlah,” yaitu istiqâmahlah (konsistenlah-red) di atas konsekuensi perkataan tersebut; berupa mencintai Allah Azza wa Jalla yang mendatangkan keridhaan dan kecintaan-Nya serta menjauhkan diri dari kemurkaan-Nya dengan meninggalkan semua yang menyebabkan kemarahan-Nya.[5]

Pengertian Istiqâmah
Menurut bahasa, istiqâmah artinya adalah al-i’tidâl (lurus). Dikatakan aqâmasy syai-a was taqâma artinya lurus dan mapan.

Sedang menurut syari’at, istiqâmah adalah meniti jalan lurus yaitu agama yang lurus (Islam) tanpa menyimpang ke kanan atau ke kiri. Istiqâmah mencakup melakukan seluruh ketaatan, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi dan meninggalkan seluruh yang dilarang.[6]

Banyak perkataan para Shahabat, Tabi’in, dan yang lainnya dalam mendefinisikan istiqâmah. Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu dan Qatâdah rahimahullah berkata, “Maksudnya, berlaku luruslah dalam melaksanakan hal-hal yang diwajibkan.” Abu Bakar Radhiyallahu anhu menafsirkan firman Allah Azza wa Jalla , ( ثُمَّ اسْتَقَامُوْا ) “Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka,” (Fushshilat/41:30) dengan mengatakan, ”Mereka adalah orang-orang yang tidak menyekutukan Allah Azza wa Jalla dengan sesuatu pun.”[7]

Qâdhi ‘Iyâdh rahimahullah mengatakan, “Maksudnya, mereka mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dan beriman kepada-Nya kemudian berlaku lurus, tidak menyimpang dari tauhid, dan selalu iltizâm (konsekuen dan konsisten) dalam melakukan ketaatan kepada-Nya sampai mereka meninggal.”[8]

Imam al-Qusyairi rahimahullah berkata, “Istiqâmah adalah sebuah derajat, dengannya berbagai urusan menjadi sempurna dan berbagai kebaikan dan keteraturan bisa diraih. Barangsiapa yang tidak istiqâmah dalam kepribadiannya  maka dia akan sia-sia dan gagal. Dikatakan, ”Istiqâmah tidak akan bisa dilakukan kecuali oleh orang-orang yang besar, karena ia keluar dari hal-hal yang dianggap lumrah, meninggalkan adat kebiasaan, dan berdiri di hadapan Allah Azza wa Jalla dengan jujur.”[9]

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, ”Para ulama menafsirkan istiqâmah dengan ” لُزُوْمُ طَاعَةِ اللهِِ ” artinya tetap konsekuen dan konsisten dalam ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla .”[10]

Keutamaan Istiqâmah
Istiqâmah mempermudah rizki dan melapangkan kehidupan di dunia. Allah Azza wa Jalla berfirman,

وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا

“Dan sekiranya mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), niscaya Kami akan mencurahkan kepada mereka air  yang cukup.” [al-Jinn/72:16]

Imam al-Qurhubi rahimahullah berkata, “Maksudnya, seandainya orang-orang kafir itu beriman, niscaya Kami berikan mereka keleluasan di dunia dan Kami lapangkan rezeki mereka.”[11]

Firman Allah Azza wa Jalla :

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Rabb kami adalah Allah,” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.” [Fushshilat/41:30]

Maksudnya, mereka beriman kepada Allah Azza wa Jalla Yang Maha Esa, kemudian istiqâmah di atasnya dan di atas ketaatan sampai Allah Azza wa Jalla mewafatkan mereka.[12]

Tentang ayat di atas, al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, ”Mereka mengikhlaskan amal semata-mata karena Allah Azza wa Jalla dan melaksanakan ketaatan sesuai dengan syari’at Allah Azza wa Jalla .”[13]

Baca Juga  Bangunan Islam (Syarah Rukun Islam)

Ayat ini menunjukkan bahwa para malaikat akan turun menuju orang-orang yang istiqâmah ketika kematian menjemputnya, ketika dalam kubur dan ketika dibangkitkan. Para malaikat itu memberikan rasa aman dari ketakutan ketika kematian menjemput dan menghilangkan rasa sedih akibat berpisah dengan anaknya karena Allah Azza wa Jalla adalah pengganti dari hal itu. Juga memberikan kabar gembira berupa ampunan dosa dan kesalahan serta amalnya diterima. Juga kabar gembira tentang Surga yang belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga, dan belum pernah terlintas dalam hati manusia.[14]

Istiqâmah Adalah Meniti Ash-Shirâthal Mustaqîm
Istiqâmah adalah meniti ash-shirâthal mustaqîm, yaitu agama yang lurus yang tidak melenceng ke kiri dan ke kanan. Istiqâmah mencakup pengamalan seluruh ketaatan, yang lahir maupun batin serta meninggalkan larangan yang lahir maupun batin. Jadi sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menjadi wasiat yang menghimpun seluruh ajaran agama.[15] Allah Azza wa Jalla memerintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para pengikutnya agar istiqâmah di atas syari’at yang bijaksana, karena hal ini adalah agama yang kita diperintahkan untuk beribadah dengannya. Sedangkan selain Islam yaitu pendapat para tokoh yang kosong dari dalil tidak bisa disebut agama dan tidak pula sebagai  hujjah.[16]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا ۚ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Maka tetaplah engkau (Muhammad) (di jalan yang benar), sebagaimana telah diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang bertaubat bersamamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sungguh, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” [Hûd/11:112]

al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Allah Azza wa Jalla memerintahkan Rasul dan hamba-hamba-Nya yang beriman agar teguh dan selalu istiqâmah karena itu merupakan sebab untuk mendapatkan pertolongan yang besar dalam mengalahkan musuh dan dapat menghindari bentrokan serta dapat terhindar dari perbuatan melampaui batas. Karena melampaui  batas -meskipun terhadap orang musyrik- merupakan kehancuran. Dan Allah Azza wa Jalla memberi tahu bahwa Dia Maha Melihat perbuatan hamba-hamba-Nya, AllahSubhanahu wa Ta’ala tidak lalai dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya.”[17]

Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu berkata, “Tidak ada ayat yang diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam al-Qur`an yang lebih berat dan sulit bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamdaripada ayat ini.”[18]

Diriwayatkan dari Ibnu ’Abbâs Radhiyallah anhu, ia berkata, ”Abu Bakar Radhiyallahu a nhu berkata, ’Wahai Rasulullah! Engkau telah beruban.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

شَيَّبَتْنِيْ هُوْدٌ ، وَ الْوَاقِعَةُ ، وَ الْـمُرْسَلاَتُ ، وَ  عَمَّ يَتَسَاءَلُوْنَ،  وَ إِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ

Aku telah dibuat beruban oleh (surat) Hûd, al-Wâqi’ah, al-Mursalât, ‘Amma yatasâ-alûn, dan Idzasy Syamsu kuwwirat[19]

Istiqâmah Hati
Hati adalah bagian tubuh yang paling penting. Seorang hamba hendaknya berusaha dengan sungguh-sungguh agar hatinya tetap istiqâmah. Karena hati adalah raja  bagi seluruh anggota tubuhnya. Jika hati istiqâmah, maka seluruh anggota tubuhnya pun ikut istiqâmah.

Dasar dari istiqâmah adalah keistiqâmah-an hati di atas tauhid seperti penafsiran Abu Bakar ash-shiddîq dan lain-lain tentang firman Allah Azza wa Jalla , إِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا   “Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Rabb kami adalah Allah Azza wa Jalla ,” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka…(al-Ahqâf/46:13) bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak berbuat syirik kepada Allah  k dan tidak menoleh kepada tuhan selain Allah Azza wa Jalla .[20] Jadi, jika hati telah istiqâmah di atas ma’rifatullâh, takut kepada-Nya, mengagungkan-Nya, segan kepada-Nya, mencintai-Nya, menginginkan-Nya, berharap kepada-Nya, berdoa kepada-Nya, bertawakkal kepada-Nya dan berpaling dari selain Dia, maka sungguh, seluruh anggota badan akan istiqâmah dengan taat kepada-Nya. Karena hati adalah raja bagi organ tubuh (lainnya) yang merupakan pasukan hati. Jika raja sudah istiqâmah, maka pasukan dan rakyatnya akan istiqâmah pula.[21]

Istiqâmah Lisan
Anggota tubuh yang terpenting yang perlu mendapatkan perhatian setelah hati adalah lisan. Karena lisan adalah media yang mengungkapkan apa yang tersimpan dalam lubuk hati.  Terkadang keluar ucapan yang dianggap sepele (juga tidak sengaja-red) namun dapat membuat pengucapnya  binasa di dunia dan akhirat.

Dalam hadits ini, ketika Sufyân bin ’Abdillâh Radhiyallahu anhu bertanya, ”Apa yang engkau khawatirkan padaku?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Ini,” sambil memegang ujung lidah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ini menunjukkan bahwa lisan sangat berbahaya, sebab seseorang dapat istiqâmah apabila lisannya istiqâmah dalam ketaatan atau tidak mengucapkan perkataan yang mendatangkan dosa dan murka Allah Azza wa Jalla. Diriwayatkan dari Abu Sa’id Radhiyallahu anhu , dia memarfu’kannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ اْلأََعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُوْلُ : اِتَّقِ اللهَ فِيْنَا فَإِنَّمَـا نَحْنُ بِكَ، فَإِنِ اسْتَقَمْتَ ؛ اِسْتَقَمْنَا ، وَإِنِ اعْوَجَجْتَ ؛ اِعْوَجَجْنَا

“Jika anak keturunan Adam berada di pagi hari, seluruh organ tubuh tunduk kepada lidah dengan berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah Azza wa Jalla pada kami, karena kami bersamamu. Jika engkau istiqâmah, kami juga istiqâmah. Jika engkau menyimpang, kami juga menyimpang.”[22]

Dan kebanyakan yang menyeret manusia ke neraka adalah lisan. Banyak nash yang berisi ancaman bagi yang membiarkan lisannya begitu saja tanpa kendali.

إِنَّ الْعَبْدَ لَـيَـتَـكَـلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَـتَـبَـيَّـنُ مَا فِـيْهَا يَـهْوِيْ بِـهَا فِـى النَّـارِ أَبْـعَدَ مَا بَيْـنَ الْـمَشْرِقِ وَالْـمَغْرِبِ

“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kata-kata yang tidak jelas, maka akan menjerumuskannya ke dalam Neraka lebih jauh daripada apa yang ada di antara timur dan barat.[23]

Demikian pula banyak nash yang mendorong agar menjaga lisan dan meluruskannya sesuai dengan perintah Allah. Di antaranya:

Allah Azza wa Jalla berfirman:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya Malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” [Qâf/50:18]

Dalam ayat ini terdapat penjelasan bahwa semua ucapan manusia akan dihisab. Ada Malaikat yang selalu mengawasi semua perkataan manusia dan selalu menulisnya, baik yang baik maupun yang buruk.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

أَنَازَعِيْمٌ فِيْ رَبْضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَوَإِنْ كَانَ مُحِقًّا , وَأَناَزَعِيْمٌ بِبَيْتٍ فِيْ وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَ إِنْ كَانَ مَا زِحًا , وَأَنَا زَعِيْمٌ بِبَيْتٍ فِيْ أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ

 “Aku menjamin dengan sebuah istana yang terdapat di taman-taman Surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan meskipun ia yang benar; aku menjamin dengan sebuah istana yang terdapat di tengah Surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun ia hanya bercanda; dan aku menjamin dengan sebuah istana di Surga yang tertinggi bagi orang yang membaguskan akhlaknya.”[24]

Kiat Menggapai Istiqâmah
Di antara kiat yang dapat mengantarkan kepada istiqâmah dalam berbagai kondisi, perkataan, dan perbuatan ialah:

  1. Taubat nasûha.
  2. Murâqabatullâh, yaitu selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla , baik ketika tidak terlihat orang lain maupun saat terlihat.
  3. Muhâsabah, yaitu menginstrospeksi segala amal perbuatan yang telah dikerjakan.
  4. Mujâhadah, yaitu berjuang sungguh-sungguh menggembleng jiwa dalam ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla
  5. Berbagai Wasilah (Cara) Agar Tetap Teguh Di Atas Istiqâmah

Agar tetap istiqâmah, ada beberapa hal yang bisa dilakukan, di antaranya :

  1. Ikhlas dalam beramal dan mutâba’ah (mengikuti contoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam).
  2. Menjaga shalat lima waktu dengan berjama’ah di masjid.
  3. Berani dalam melakukan amar ma’rûf dan nahi munkar.
  4. Menuntut ilmu syar’i.
  5. Takut kepada Allah Azza wa Jalla dengan mengingat siksa Neraka yang sangat pedih.
  6. Mencari teman yang shalih.
  7. Menjaga hati, lisan, dan anggota badan dari yang diharamkan.
  8. Mengetahui langkah-langkah setan.
  9. Senantiasa berdzikir dan berdo’a agar diteguhkan di atas istiqâmah.

Di antara do’a yang sering dibaca Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  ialah:

Baca Juga  Jangan Dekati Zina!

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ

“Wahai Rabb yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agamamu.”[25]

FAEDAH HADITS

  1. Semangat para shahabat Radhiyallahu anhu terhadap ilmu dan semangat mereka dalam menjaga keimanan. Hal ini terlihat dari berbagai pertanyaan yang mereka lontarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyangkut semua yang bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat mereka.
  2. Orang yang tidak tahu hendaknya bertanya kepada orang yang berilmu.
  3. Kecerdasan Abu ‘Amr atau Abu ‘Amrah Radhiyallahu anhu , dia bertanya dengan pertanyaan agung yang merupakan puncak pertanyaan. Pertanyaan beliau sangat dibutuhkan setiap muslim.
  4. Selayaknya orang yang bertanya tentang ilmu mengajukan pertanyaan yang singkat, padat, dan berbobot sehingga berbagai disiplin ilmu tidak bercampur aduk.
  5. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jawâmi’ul kalim (perkataan yang singkat, maknanya padat). Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan seluruh kebaikan agama dalam dua kalimat, yaitu “Aku beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan istiqâmahlah”.
  6. Iman adalah keyakinan dengan hati, perkataan dengan lisan, dan perbuatan dengan anggota badan. Ini ditunjukkan oleh makna istiqâmah yang mencakup ketaatan hati, lisan, dan anggota badan.
  7. Dalam hadits ini terdapat perintah agar istiqâmah di atas iman dan tauhid dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla semata dan melaksanakan ibadah dengan istiqâmah hingga meninggal dunia.
  8. Iman kepada Allah Azza wa Jalla tidak sempurna kecuali dengan istiqâmah, yaitu istiqâmah dalam tauhid kepada Allah Azza wa Jalla dan melaksanakan ketaatan kepada-Nya.
  9. Menjaga lisan mempunyai pengaruh yang besar terhadap istiqâmah hati dan badan.
  10. Anjuran untuk introspeksi diri, apakah ia orang yang istiqâmah atau tidak, supaya ia memperbaiki diri.
  11. Derajat istiqâmah sangat tinggi yang menunjukkan kesempurnaan iman seseorang.
  12. Istiqâmah sangat berat, dan Allah Azza wa Jalla memudahkan bagi orang-orang yang ikhlas bertauhid dan terus-menerus dalam ketaatan.
  13. Orang yang menyia-nyiakan kewajiban berarti ia bukan orang yang istiqâmah bahkan ia telah menyeleweng. Dan penyelewengan akan semakin besar tergantung sejauh mana dia meninggalkan kewajiban atau melakukan hal yang diharamkan.
  14. Seorang muslim dianjurkan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla agar dikaruniai iman dan istiqâmah.

Mudah-mudahan apa yang saya tulis bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Mudah-mudahan Allah menetapkan kita di atas Islam dan Sunnah dan kita diwafatkan di atas Islam dan Sunnah. Kita memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar dikarunia ats-Tsabât (istiqâmah) dalam mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dan melaksanakan Sunnah. Dan kita mohon kepada Allah agar kita diwafatkan dalam keadaan husnul khâtimah. Amîn

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ

MARAJI’

  1. Al-Qur-an dan terjemahnya.
  2. Tafsîr Ibni Katsî
  3. Tafsîr al-Qurthubi.
  4. Shahîh Muslim
  5. Musnad Imam Ahmad.
  6. Sunan at-Tirmidzi.
  7. Sunan Ibnu Mâ
  8. Sunan ad-Dâ
  9. Musnad ath-Thayâ
  10. Shahîh Ibni Hibbân (at-Ta’lîqâtul Hisân).
  11. Sunan al-Baihaqi.
  12. al-Mu’jamul Kabîr, karya Imam ath-Thabrâni.
  13. Syarah Shahîh Muslim lin Nawawi.
  14. Kitâbush Shamt libni Abid Dun-ya.
  15. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhîm Bâjis.
  16. Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah libni Daqîqil ’Ied.
  17. Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah lil Allâmah as-Sindi.
  18. Silsilatul Ahâdîtsish Shahîh
  19. Qawâ’id wa Fawâ-id minal ‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nâzhim Muhammad Sulthâ
  20. al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
  21. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimî

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10-11/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id (hal. 185).
[2] Lihat al-Wâfî fî Syarhil-‘Arba’în an-Nawawiyyah (hlm. 155).
[3] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/510) dan al-Wâfi fî Syarhil-Arba’în (hlm. 155).
[4] Syarahul-Arba’in libni Daqiqil ‘Ied (hlm. 85).
[5] Syarahul-Arba’in (hlm. 74) karya al-‘Allâmah as-Sindi.
[6] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/510).
[7] Tafsîr Ibni Katsîr (VII/176) tahqîq Sami bin Muhammad as-Salamah.
[8] Syarh Shahîh Muslim (II/8-9).
[9] Syarhul-Arba’în libni Daqîqil ‘Ied (hlm. 86).
[10] Bahjatun Nâzhirîn, Syarh Riyâdhis Shâlihîn (I/165).
[11] Tafsîr al-Qurthubi (XIX/17).
[12] Lihat Syarhul-Arba’în libni Daqiqil ‘Ied (hlm. 85).
[13] Tafsîr Ibni Katsîr (VII/175).
[14] Lihat Tafsîr Ibni Katsîr (VII/177) dengan diringkas dan Qawâ’id wa Fawâ-id (hlm. 186-187).
[15] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam  (I/510).
[16] Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id (hal. 187).
[17] Tafsîr Ibni Katsîr (IV/354).
[18] Lihat Tafsîr al-Qurthubi (IX/71).
[19] Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 3297), al-Hâkim (II/343), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ (IV/388, no. 5964), dan selainnya. Lihat Silsilatul-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 955).
[20] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/508).
[21] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam  (I/511-512).
[22] Hasan: HR. Ahmad (III/95-96), at-Tirmidzi (no. 2407), Ibnu Abid Dunya dalam Kitâbush Shamt (no. 12), Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 1), al-Baihaqi dalam Syu’abul Iimân (no. 4595), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ (III/342, no. 5779), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 4126), dan selainnya. Lihat Shahîhul Jâmi’ish Shaghîr (no. 351).
[23] Shahîh: HR. al-Bukhâri (no.  6477) dan Muslim (no. 2988 (50)), lafazh ini milik Muslim, dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[24] Hasan: HR. Abu Dâwud (no. 4800) dan al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubrâ (X/249) dari Shahabat Abu Umâmah Radhiyallahu anhu . Lihat Silsilatul Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 273).
[25] Shahîh: HR. At-Tirmdizi (no. 3522) dan Ahmad (VI/302, 315) dari Ummu Salamah.