Wasiat Perpisahan

WASIAT PERPISAHAN

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله

عَنِ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ رَضِيَ اللّٰـهُ عَنْهُ قَالَ  :صَلَّـىٰ بِنَا رَسُوْلُ اللّٰـهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا ، فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً ؛ ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ ، وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ ، قَالَ قَائِلٌ : يَا رَسُوْلَ اللّٰـهِ ! كَـأَنَّ هٰذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ ، فَـمَـاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا ؟ فَقَالَ : «أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللّٰـهِ ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِـيْرًا ، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْـخُلَفَاءِ الْـمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ ، تَـمَسَّكُوْا بِـهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ ، وَإِيَّاكُمْ وَمُـحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ ، فَإِنَّ كُلَّ مُـحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Diriwayatkan dari al-‘Irbâdh bin Sâriyah Radhiyallahu anhu bahwa ia berkata, “Suatu hari Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami, lalu memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang membekas pada jiwa, yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati menjadi takut, maka seseorang berkata, ‘Wahai Rasulullâh! Seolah-olah ini adalah nasehat dari orang yang akan berpisah, maka apakah yang engkau wasiatkan kepada kami?’ Maka Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertakwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian sepeninggalku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafâr Râsyidîn yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian setiap perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah itu adalah sesat.”

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh, diriwayatkan oleh Imam-imam Ahlul Hadits, di antaranya adalah Imam Ahmad dalam Musnadnya 7/126-127, Imam Abu Dâwud no. 4607) dan ini lafazhnya, Imam at-Tirmidzi no. 2676, Imam Ibnu Mâjah no. 42, Imam ad-Dârimi 1/44, Imam Ibnu Hibbân dalam Shahîhnya no. 5, at-Ta’lîqâtul Hisân dan no. 102, al-Mawârid, Imam al-Hâkim 1/95-96, Imam Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah no. 54-59, Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah 1/205, no. 102, Imam al-Baihaqi dalam Sunannya 10/114, Imam al-Lâlikâi dalam Syarah Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah 1/ 83, no. 81 dan lain-lain.

Hadits ini dishahîhkan oleh para imam Ahlul Hadits. Imam at-Tirmidzi rahimahullah mengatakan, “Hadits ini hasan shahîh.” Imam al-Bazzâr rahimahullah mengatakan, “Hadits ini tsâbit shahîh.” Imam Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Hadits ini tsâbit.” Imam al-Hâkim rahimahullah mengatakan, “Hadits ini shahîh dan tidak ada cacatnya,” dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi rahimahullah. Hadits ini dishahîhkan juga oleh Imam al-‘Allâmah al-Muhaddits Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni rahimahullah dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah no. 937 dan 2735 dan dalam Irwâ-ul Ghalîl 8/107-109, no. 2455

DISYARIATKANNYA MEMBERIKAN NASIHAT
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasehat kepada para Sahabatnya, kemudian seorang Sahabat mengatakan,

يَا رَسُوْلَ اللّٰـهِ ! كَأَنَّ هٰذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ ، فَمَـاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا ؟

Wahai Rasulullâh! Nasihat ini seakan-akan nasihat dari orang yang akan berpisah, maka apakah yang engkau wasiatkan kepada kami?

Ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam amat serius dalam memberikan nasehat tersebut dan tidak seserius itu pada nasehat yang lainnya. Oleh karena itu, para Sahabat paham bahwa nasehat tersebut adalah nasehat orang yang akan berpisah, karena orang yang akan berpisah dapat mempunyai pengaruh dalam perkataan dan perbuatan yang tidak bisa dikerjakan orang lain. Karenanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seseorang shalat seperti shalatnya orang yang akan berpisah, ia akan mengerjakannya sesempurna mungkin.[1]

Agama adalah nasehat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat. Mereka (para Sahabat) bertanya: ‘Untuk siapa, wahai Rasulullâh?’ Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum Muslimin atau Mukminin, dan bagi kaum Muslimin pada umumnya.”[2]

Nasehat merupakan hak seorang Muslim atas Muslim yang lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Hak orang Muslim atas Muslim lainnya ada enam. Ditanyakan, “Apa saja keenam hak tersebut, wahai Rasulullâh?” Beliau menjawab, “Jika engkau bertemu dengannya maka ucapkanlah salam kepadanya, jika ia mengundangmu maka penuhilahnya, jika ia meminta nasihat kepadamu maka  nasihatilah dia, jika ia bersin kemudian memuji Allah maka doakan dia (dengan ucapan: yarhamukallâh), jika ia sakit maka jenguklah, dan jika ia meninggal dunia maka antarkan (jenazah)nya.”[3]

Prinsip dalam memberikan nasehat ialah harus ikhlas semata-mata karena Allah Azza wa Jalla dan mengikuti contoh Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bukan dengan membuka aib orang yang dinasehati. Sebab, orang yang aibnya dibuka tidak akan mau menerima nasehat. Begitu juga dengan menuduh orang lain. Orang yang dituduh, akan sulit baginya untuk menerima nasehat karena menuduh tidaklah sama dengan memberi nasehat. Sebaliknya juga orang yang diberikan nasehat jangan menuduh orang yang memberikan nasehat dengan tuduhan yang jelek.

KEUTAMAAN SALAFUSH SHALIH
Perkataan al-‘Irbâdh bin Sâriyah Radhiyallahu anhu,

فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ…

“Lalu memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang membekas pada jiwa, yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati menjadi takut…”

Di dalamnya terdapat isyarat tentang baiknya keadaan para Sahabat, bersihnya jiwa-jiwa mereka, dan selamatnya hati-hati mereka. Mereka mengambil pelajaran dari sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , merasa takut tatkala mendengar firman Allah Azza wa Jalla , dan ini merupakan tanda keimanan dan kebaikan. Menangis dan rasa takut hati ketika mendengar peringatan dari firman Allah  k dan sabda Rasul-Nya adalah dua sifat kaum Mukminin yang dipuji oleh Allah Azza wa Jalla . Seperti firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,  “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut Nama Allah gemetar (takutlah) hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah kuat imannya dan hanya kepada Rabb mereka bertawakkal.” [al-Anfâl/8:2]

Sesungguhnya orang yang menangis karena takut kepada Allah Azza wa Jalla , matanya itu tidak akan disentuh api neraka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَيْنَانِ لاَتَـمَسُّهُمَـا النَّارُ : عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللّٰـهِ ، وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَـحْرُسُ فِـيْ سَبِيْلِ اللّٰـهِ

Ada dua mata yang tidak akan disentuh oleh api Neraka, mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang begadang untuk berjaga di jalan Allah.[4]

Maksud dari dua mata yang begadang untuk berjaga di jalan Allah ialah ketika berjuang di jalan Allah Azza wa Jalla melawan musuh, ia senantiasa berjaga-jaga di perbatasan karena khawatir kaum Muslimin diserang oleh musuh. Oleh karena itu, wajib mencintai para Sahabat Radhiyallahu anhum , memuliakan  mereka, memohonkan ampunan dan keridhaan Allah Azza wa Jalla untuk mereka, dan mengikuti contoh teladan mereka. Mereka adalah pendahulu ummat ini yang telah menyampaikan al-Qur`ân dan Sunnah Nabi-Nya kepada kita.

Para Ulama menjelaskan bahwa siapapun tidak boleh mencela dan mencaci-maki para Sahabat karena baiknya hati mereka. ‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu mengatakan tentang para Sahabat Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,

مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُتَأَسِّـيًا فَلْيَتَأَسَّ بِأَصْحَابِ رَسُوْلِ اللّٰـهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَإِنَّـهُمْ كَانُوْا أَبَرَّ هٰذِهِ اْلأُمَّةِ قُلُوْبًا ، وَأَعْمَقَهَا عِلْمًـا ، وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا ، وَأَقْوَمَهَا هَدْيًا ، وَأَحْسَنَهَا حَالاً ، قَوْمًا اِخْتَارَهُمُ اللّٰـهُ لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ ، وَِلإِقَامَةِ دِيْنِهِ فَاعْرِفُوْا لَـهُمْ فَضْلَهُمْ ، وَاتَّبِعُوْهُمْ فِـيْ آثَارِهِمْ ، فَإِنَّـهُمْ كَانُوْا عَلَى الْـهُدَى الْـمُسْتَقِيْمِ

Barangsiapa di antara kalian yang ingin mengambil teladan, hendaklah mengambil teladan dari para Sahabat Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Karena sesungguhnya mereka adalah ummat yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit bebannya, paling lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya. Suatu kaum yang Allah Azza wa Jalla telah pilih untuk menemani Nabi-Nya dan untuk menegakkan agama-Nya, maka kenalilah keutamaan mereka serta ikutilah atsar-atsarnya karena mereka berada di atas jalan yang lurus.[5]

Para Salafush Shalih memiliki sekian banyak keutamaan, maka kewajiban kita adalah mencintai, menghormati dan mengikuti jejak mereka, serta memohonkan ampunan, rahmat, dan keridhaan Allah Azza wa Jalla  untuk mereka. Maka dianjurkan untuk mengucapkan radhiyallâhu ‘anhum ketika kita menyebut para Sahabat, sebagai realisasi dari firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha terhadap mereka dan mereka ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” [at-Taubah/9:100]

Tidak boleh ada seorang pun yang mencela dan menjelekkan para Sahabat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَتَسُبُّوْا أَصْحَابِـيْ ، فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ ! لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا ، مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ

Janganlah kalian mencaci para Sahabatku! Demi Dzat Yang diriku berada di tangan-Nya, sungguh, jika seandainya salah seorang dari kalian berinfak sebesar Gunung Uhud berupa emas, maka belum mencapai nilai infak mereka meskipun (mereka infak hanya) satu mud (yaitu sepenuh dua telapak tangan) dan tidak juga separuhnya.[6]

Karena itulah Imam Abu Zur’ah ar-Râzi rahimahullah (wafat th. 264 H) berkata, “Apabila engkau melihat seseorang mencela salah seorang dari Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ketahuilah bahwa ia adalah zindiq (munafik). Karena sesungguhnya Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu benar, sesungguhnya al-Qur`ân itu benar, dan yang menyampaikan al-Qur`ân kepada kita adalah mereka, para Sahabat Rasulullâh Radhiyallahu anhum . Dan orang-orang yang mencela itu hendak merusak persaksian kita demi membatalkan al-Qur`ân dan Sunnah. Maka celaan itu hanyalah pantas untuk mereka. Mereka adalah orang-orang zindiq.”[7]

Kaum Muslimin dianjurkan untuk mendoakan para Sahabat dengan doa yang terdapat di dalam al-Qur`ân yang artinya, “Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu daripada kami, dan janganlah Engkau biarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Wahai Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.” [al-Hasyr/59:10]

BERTAKWALAH KEPADA ALLAH  AZZA WA JALLA
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,

أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللّٰـهِ…

Aku wasiatkan kalian agar bertakwa kepada Allah…

Wasiat takwa adalah wasiat yang paling mulia, wasiat yang menjamin kebahagiaan di dunia dan di akhirat bagi orang yang berpegang teguh kepadanya. Dan wasiat takwa merupakan wasiat Allah Azza wa Jalla kepada manusia generasi pertama dan akhir, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang yang telah diberikan kitab suci sebelum kamu dan (juga) kepadamu agar bertakwa kepada Allah. Tetapi jika kamu ingkar, maka (ketahuilah) milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah Mahakaya, Maha Terpuji.” [an-Nisâ’/4:31]

Takwa yang dimaksud menurut penjelasan para Ulama bukan sekedar melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, namun harus dirinci lagi. Perintah paling besar dalam syari’at adalah mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dan larangan yang terbesar adalah menjauhkan syirik.

Thalq bin Habîb t mengatakan, “Takwa ialah engkau melaksanakan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dengan cahaya dari Allah Azza wa Jalla karena mengharap ganjaran dari Allah Azza wa Jalla , dan engkau meninggalkan perbuatan maksiat kepada Allah Azza wa Jalla dengan cahaya dari Allah Azza wa Jalla karena takut terhadap adzab Allah Azza wa Jalla .[8]

Di antara pesan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita semua ialah agar selalu bertakwa dimana pun kita berada. Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Bertakwalah kepada Allah dimana pun engkau berada dan iringilah per-buatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya ia akan menghapuskannya serta bergaullah bersama manusia dengan akhlak yang baik.[9]

MENDENGAR DAN TAAT KEPADA ULIL AMRI (PENGUASA KAUM MUSLIMIN)
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,

وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ

Mendengar dan taat

Maksudnya, mendengar dan taat kepada ulil amri (penguasa) kaum Muslimin. Mendengar apabila mereka berbicara dan menaati apabila mereka memerintahkan sesuatu. Dalam surat an-Nisâ ayat 59, Allah Azza wa Jalla berwasiat kepada kaum Muslimin agar mereka menaati Allah Azza wa Jalla , Rasul-Nya, dan ulil amri dari kalangan kaum Muslimin yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur`ân) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [an-Nisâ’/4:59]

Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَطَاعَةَ فِـيْ مَعْصِيَةِ اللّٰـهِ ، إِنَّـمَـا الطَّاعَةُ فِـي الْـمَعْرُوْفِ

Tidak boleh taat terhadap perintah yang di dalamnya terdapat maksiat kepada Allah. Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebajikan.[10]

Di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah wajib taat kepada pemimpin kaum Muslimin selama mereka tidak menyuruh berbuat maksiat, meskipun mereka berbuat zhalim. Karena menaati mereka termasuk dalam ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla, sedangkan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla adalah wajib.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَلَى الْـمَرْءِ الْـمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِـيْـمَـا أَحَبَّ وَكَرِهَ ، إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ ، فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat kepada penguasa pada apa-apa yang ia cintai atau ia benci, kecuali kalau ia disuruh untuk berbuat maksiyat, jika ia disuruh untuk berbuat maksiyat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat.[11]

Imam al-Qâdhi ‘Ali bin ‘Ali bin Muhammad bin Abil-‘Izz ad-Dimasyqi rahimahullah (yang terkenal dengan Ibnu Abil ‘Izz wafat th. 792 H) berkata, “Hukum menaati ulil amri adalah wajib (selama tidak dalam kemaksiatan) meskipun mereka berbuat zhalim, karena keluar dari ketaatan kepada mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dibanding dengan kezhaliman penguasa itu sendiri. Bahkan bersabar terhadap kezhaliman mereka dapat melebur dosa-dosa dan dapat melipatgandakan pahala. Karena Allah Azza wa Jalla tidak akan menguasakan mereka atas diri kita melainkan disebabkan kerusakan amal perbuatan kita juga. Ganjaran itu bergantung pada amal perbuatan. Maka hendaklah kita bersungguh-sungguh memohon ampunan, bertaubat, dan memperbaiki amal perbuatan. Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan).”  [asy-Syûrâ/42:30]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman yang artinya, “Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zhalim itu menjadi pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” [al-An’âm/6:129]

Apabila rakyat ingin selamat dari kezhaliman pemimpin mereka, hendaklah mereka meninggalkan kezhaliman itu juga.”[12]

Syaikh al-Albâni rahimahullah berkata, “Penjelasan di atas sebagai jalan selamat dari kezhaliman para penguasa yang ‘warna kulit mereka sama dengan kulit kita, berbicara sama dengan bahasa kita (bahasa Arab)’ karena itu agar umat Islam selamat:

  1. Hendaklah kaum Muslimin bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla .
  2. Hendaknya mereka memperbaiki ‘akidah mereka.
  3. Hendaklah mereka mendidik diri dan keluarganya di atas Islam yang benar sebagai penerapan firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sebelum mereka merubah keadaan diri mereka sendiri.” [ar-Ra’d/13:11]

Untuk menghindarkan diri dari kezhaliman penguasa bukan dengan cara mengikuti sangkaan sebagian orang yaitu dengan memberontak, mengangkat senjata ataupun dengan cara kudeta, karena yang demikian itu termasuk bid’ah dan menyalahi nash-nash syari’at yang memerintahkan untuk merubah diri kita lebih dahulu. Karena itu harus ada perbaikan kaidah dalam pembinaan, dan pasti Allah Azza wa Jalla menolong hamba-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Kuat, Maha Perkasa.” [al-Hajj/22:40][13]

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya di antara hikmah Allah Azza wa Jalla dalam keputusan-Nya menjadikan para raja, pemimpin, dan pelindung umat manusia berada satu jenis dengan amal perbuatan mereka, bahkan amal perbuatan mereka seakan-akan tampak tercermin pada pemimpin dan penguasa mereka. Jika mereka lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka, dan jika mereka adil, maka akan adil pula penguasa mereka terhadap mereka, tetapi jika mereka zhalim, maka akan zhalim pula penguasa dan pemimpin mereka. Jika tampak tipu muslihat dan penipuan di tengah-tengah mereka, maka demikian pula yang terjadi pada pemimpin mereka. Dan jika menolak hak-hak Allah Azza wa Jalla atas mereka dan enggan memenuhinya, maka para penguasa dan pemimpin mereka pun akan menolak hak-hak yang ada pada mereka dan kikir untuk menerapkannya pada mereka. Dan jika dalam muamalah mereka mengambil sesuatu yang bukan haknya dari orang-orang lemah, maka para penguasa pun akan mengambil hal-hal yang bukan haknya serta menimpakan berbagai beban dan tugas kepada mereka.

Setiap yang mereka keluarkan (yang mereka ambil) dari orang-orang lemah, maka akan dikeluarkan (diambil) pula oleh para penguasa itu dari diri mereka dengan kekuatan (paksaan). Dengan demikian amal perbuatan mereka tercermin pada amal perbuatan penguasa dan pemimpin mereka. Dan menurut hikmah Ilâhiyyah, tidaklah diangkat seorang pemimpin atas orang-orang jahat lagi berbuat keji, kecuali orang-orang yang sejenis dengan mereka. Ketika pada kurun-kurun pertama merupakan kurun yang paling baik, maka demikian itu pula para pemimpin mereka. Dan ketika mereka mulai tercemari, maka pemimpin mereka pun mulai tercemari pula.

Dengan demikian, hikmah Allah Azza wa Jalla menolak jika kita di zaman ini dipimpin oleh orang-orang seperti Mu’awiyah dan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, apalagi orang-orang seperti Abu Bakar dan ‘Umar, tetapi pemimpin kita itu sesuai dengan keadaan kita. Dan pemimpin orang-orang sebelum kita pun sesuai dengan kondisi mereka. Masing-masing dari kedua hal tersebut merupakan konsekuensi dan tuntutan hikmah Allah Azza wa Jalla .”[14]

Baca Juga  Kehormatan Darah dan Harta Seorang Muslim

Pada masa pemerintahan ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu ada seseorang yang bertanya kepada beliau, “Kenapa pada zaman kamu ini banyak terjadi pertengkaran dan fitnah, sedangkan pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar tidak?” ‘Ali Radhiyallahu anhu  menjawab, “Karena pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar  yang menjadi rakyatnya adalah aku dan Sahabat yang lainnya. Sedangkan pada zamanku yang menjadi rakyatnya adalah kalian.”[15]

Oleh karena itu, untuk mengubah keadaan kaum Muslimin agar menjadi baik, Allah Azza wa Jalla memerintahkan agar kita mengubah diri kita sendiri terlebih dulu, bukan mengubah penguasa yang ada. Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” [ar-Ra’d/13:11]

Kita harus memperhatikan kewajiban mendengar dan taat kepada ulil amri. Bila tidak, maka akan terjadi kehinaan, kekacauan, pertumpahan darah, kaum Muslimin menjadi korban, dan lain sebagainya. Sedangkan darah kaum Muslimin itu lebih mulia dari pada Ka’bah yang mulia dan lebih berat di sisi Allah Azza wa Jalla dari pada hancurnya dunia.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللّٰـهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ

Hancurnya dunia ini lebih ringan dosanya di sisi Allah dari pada terbunuhnya seorang Muslim.[16]

TERJADINYA PERPECAHAN DAN PERSELISIHAN DI TENGAH KAUM MUSLIMIN
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كَثِيْرًا

Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian sepeninggalku, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak.

Sesungguhnya perpecahan dan perselisihan dalam Islam itu tercela. Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “Dan janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat adzab yang berat. [Ali ‘Imrân/3:105]

Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka menjadi (terpecah) dalam golongan-golongan, sedikit pun bukan tanggung jawabmu (Muhammad) atas mereka. Sesungguhnya urusan mereka (terserah) atas Allah. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. [al-An’âm/6:159]

Syaikh ‘Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Ayat ini menjelaskan bahwa agama Islam memerintahkan untuk berjama’ah dan bersatu serta melarang perpecahan dan perselisihan dalam prinsip agama, bahkan dalam setiap permasalahan agama, baik yang pokok maupun cabangnya.”[17]

Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ اِفْتَرَقُوْا عَلَىٰ اِثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّـةً ، وَإِنَّ هٰذِهِ اْلأُمَّةَ سَتَـفْـتَـرِقُ عَلَـىٰ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْـنَ : ثِـنْـتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِـي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِـي الْـجَنَّةِ ، وَهِيَ الْـجَـمَـاعَةُ

Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang Ahlul Kitab sebelum kalian telah berpecah-belah menjadi 72 golongan. Sesungguhnya umat Islam akan berpecah-belah menjadi 73 golongan, 72 golongan tempatnya di neraka dan hanya satu golongan di Surga, yaitu al-Jama’âh.[18]

Dalam riwayat lain disebutkan:

كُلُّهُمْ فِـي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً : مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِـيْ

Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para Sahabatku berjalan di atasnya.[19]

JALAN SELAMAT DARI PERPECAHAN DAN PERSELISIHAN ADALAH DENGAN BERPEGANG TEGUH KEPADA AL-QUR-AN DAN AS-SUNNAH MENURUT PEMAHAMAN SALAFUSH SHALIH
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِـيْ ، وَسُنَّةِ الْخُـلَفَاءِ الْـمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ

Maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafâur Râsyidin yang mendapat petunjuk.

Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas terdapat perintah untuk berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah Khulafâur Râsyidin sepeninggal beliau. Sunnah adalah jalan yang dilalui, termasuk di dalamnya berpegang teguh kepada keyakinan-keyakinan, perkataan-perkataan, dan perbuatan-perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafâur  Râsyidin. Itulah Sunnah yang paripurna. Oleh karena itu, generasi Salaf dahulu tidak menamakan Sunnah, kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari al-Hasan, al-Auzâ’i, dan Fudhail bin ‘Iyâdh.[20]

Keempat Khalifah tersebut disebut Râsyidîn karena mereka mengetahui kebenaran dan memutuskan segala perkara dengan kebenaran. Râsyîd adalah lawan kata dari ghâwi. Ghâwi ialah orang yang mengetahui kebenaran, namun mengamalkan kebalikannya. Sedangkan kata Mahdiyyîn maksudnya adalah Allah Azza wa Jalla membimbing mereka kepada kebenaran dan tidak menyesatkan mereka darinya. Jadi, manusia terbagi menjadi tiga: râsyid, ghâwi, dan dhâll.

Râsyid ialah orang yang mengetahui kebenaran dan mengikutinya. Dhâll ialah orang yang tidak mengetahui kebenaran secara total. Jadi, seluruh orang râsyid itu ialah orang yang mendapatkan petunjuk, dan orang yang diberi petunjuk dengan petunjuk paripurna ialah orang yang râsyid (mendapatkan petunjuk), karena petunjuk hanya sempurna dengan mengetahui kebenaran dan mengamalkannya.[21]

Perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengikuti Sunnah beliau dan Sunnah Khulafâ Râsyidin setelah perintah mendengar dan taat kepada ulil amri adalah bukti bahwa Sunnah para Khulafâur Râsyidin harus diikuti seperti halnya mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ini tidak berlaku bagi Sunnah para pemimpin selain Khulafâ Râsyidin.[22]

Ini menunjukkan bahwa kita wajib berpegang kepada al-Qur`ân dan Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih. Selain itu, kita diwajibkan mengikuti manhaj para Salafush Shalih karena Allah Azza wa Jalla menyebutkan dalam al-Qur`ân tentang wajibnya kita mengikuti mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “Maka jika mereka beriman sebagaimana kamu telah beriman, sungguh, mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. dan Dialah yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” [al-Baqarah/2:137]

Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan itu seburuk-buruk tem-pat kembali. [an-Nisâ’/4:115]

Kita berpegang dengan pemahaman Salaf, mengikuti jejak Salafus Shalih, dengan tujuan ingin selamat dunia akhirat dan ingin masuk Surga, bukan untuk mencari kedudukan, harta, dan ketenaran.  Kita mengikuti jejak mereka supaya selamat di dunia dan di akhirat dan agar Allah Azza wa Jalla memasukkan kita ke dalam Surga-Nya, bukan untuk memperoleh kesenangan dunia, harta, jabatan, maupun kekuasaan.

Kita wajib mengikuti jejak Salafush Shalih karena mereka adalah khairun nâs (sebaik-baik manusia), dan khairu hâdzhihil ummah (dan sebaik-baik ummat ini).

Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِـيْ ، ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَـهُمْ ، ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَـهُمْ

Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa Tâbi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tâbi’ut Tâbi’în).[23]

Mengenai berpegang kepada al-Qur`ân dan Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya menyuruh berpegang saja. Tetapi menyuruh kita agar memegangnya dengan sangat kuat dan erat sehingga beliau mengungkapkannya melalui sabda beliau,

عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian

Sabda beliau merupakan kiasan tentang kuatnya berpegang teguh kepada Sunnah. Hal itu karena sudah begitu banyaknya fitnah dan syubhat yang ada. Kadang-kadang ada orang berpegang pada manhaj Salaf lalu keluar dari manhaj Salaf karena banyaknya fitnah, syubhat, dan syahwat. Fitnah terbagi menjadi dua: fitnah syahwat dan syubhat. Fitnah syubhat ialah fitnah yang terkait dengan pemahaman, aliran, kelompok, firqah, keyakinan, dan lainnya. Sedangkan fitnah syahwat ialah yang berkenaan dengan harta, wanita, jabatan, kedudukan, kekuasaan, dan lain sebagainya.[24]

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggabungkan Sunnah Sahabatnya dengan Sunnahnya, dan memerintahkan untuk mengikutinya seperti memerintahkan untuk mengikuti Sunnahnya, sampai-sampai beliau memerintahkan agar menggigitnya dengan gigi geraham. Dan ini meliputi apa yang mereka fatwakan dan apa yang mereka contohkan walaupun sebelumnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka tidak melakukannya. Karena jika tidak, maka itu juga termasuk Sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hal ini juga meliputi apa yang mereka fatwakan secara keseluruhan atau sebagian besar dari mereka atau sebagian mereka saja karena Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkannya dengan apa yang disunnahkan (dicontohkan) oleh Khulafâ Râsyidin. Dan sudah dimaklumi, jika mereka mencontohkan hal itu pada saat yang bersamaan, maka bisa diketahui bahwa Sunnah tiap orang dari mereka (Sahabat) pada masa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah termasuk Sunnah Khulafâur Râsyidin.”[25]

Hadits ini sebagai pukulan keras yang menghujam di kepala para ahlul bid’ah yang menyelisihi manhaj Salaf, karena hal ini ditunjukkan oleh beberapa hal:

Pertama: Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan Sunnah Khulafâur Râsyidin, yaitu pemahaman Salaf, dengan Sunnah beliau. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak bisa dipahami kecuali dengan manhaj Salaf.

Kedua: Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan Sunnah Khulafâur Râsyidin sebagai Sunnah beliau, beliau mengatakan, “Gigitlah ia dengan gigi geraham.” Dan tidak mengatakan, “Gigitlah keduanya dengan gigi geraham.” Dengan demikian jelaslah bahwa Sunnah Khulafâ`ur Râsyidin termasuk Sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Ketiga: Beliau menghadapkan (menjadikan berlawanan) semua itu dengan peringatan terhadap bid’ah, maka hal ini menunjukkan setiap yang menyelisihi manhaj Salaf berarti ia terjerumus dalam bid’ah tanpa ia sadari.

Keempat: Beliau menjadikan hal itu (manhaj Salaf) sebagai solusi dari perselisihan dan kebid’ahan, barangsiapa yang berpegang teguh kepada Sunnah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah Khulafâ`ur Râsyidin maka ia termasuk dalam golongan yang selamat kelak di hari Kiamat.

Kelima: Beliau tidak menjadikan Sunnahnya dan Sunnah Khulafâ  Râsyidin dalam perselisihan yang banyak itu. Hal ini menunjukkan bahwa semuanya itu berasal dari Allah Azza wa Jalla , karena terjadinya perselisihan yang banyak tidak mungkin dari Allah Azza wa Jalla , sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya, “Sekiranya (al-Qur`ân) itu bukan dari Allah, pasti mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya.” [an-Nisâ’/4:82]

Dari poin-poin yang berkaitan ini maka jelaslah bahwa jalan keselamatan dari perselisihan dan perpecahan serta jalan untuk melindungi kehidupan dari kesesatan hawa nafsu dan rusaknya syubhat dan syahwat adalah dengan memahami Sunnah Rasulullâh dengan pemahaman mereka. Karena mereka telah mendapat bagian melimpah dari Sunnah tersebut, mereka berhasil menempati posisi terdepan dan memimpin masa, sehingga tidak menyisakan kesempatan bagi generasi setelahnya untuk menyusul dan menyamai mereka karena mereka berhenti di atas petunjuk, telah dicukupkan dengan ilmu, dan dengan ketajaman pandangan mereka melihat Sunnah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi sesuatu yang paling agung di hati mereka, paling hebat dalam jiwa mereka.

Jika Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak mereka pada suatu perintah, secepatnya mereka segera memenuhinya baik beramai-ramai maupun sendiri-sendiri. Mereka segera membawa jiwa raganya untuk melaksanakan perintah tersebut tanpa perlu bertanya tentang dalil atau buktinya.

Oleh karena itu, mereka adalah orang yang paling berhak terhadap Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnahnya, baik dalam pemahaman, pengamalan, maupun dakwah. Dan yang wajib bagi orang setelah mereka adalah berpegang teguh kepada manhaj mereka, agar bisa bersambung dengan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan agama Allah Azza wa Jalla . Jika tidak, maka ia bagaikan pohon buruk yang tercabut dari dalam tanah dan ia tidak memiliki ketetapan.[26]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang akan terjadinya perpecahan dan perselisihan pada umatnya, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jalan keluar agar selamat dunia dan akhirat yaitu dengan mengikuti Sunnahnya dan Sunnah para Sahabat . Hal ini menunjukkan wajibnya mengikuti Sunnahnya (Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) dan Sunnah para Sahabatnya Radhiyallahu anhum.

JAUHILAH PERBUATAN BID’AH !
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,

وَإِيّـَاكُمْ وَمُـحْدَثَاتِ اْلأُمُـوْرِ فَـإِنَّ كُـلَّ مُـحْدَثَةٍ بِدْعَـةٌ

Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid‘ah

Yang dimaksud di sini adalah perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam urusan agama, bukan dalam urusan dunia. Sebab, perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam urusan dunia ada yang bermanfaat dan itu merupakan kebaikan dan ada pula yang berbahaya dan itu merupakan keburukan. Sedangkan perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam agama adalah buruk. Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” [al-Mâ`idah/5:3]

Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا بَـقِيَ شَيْءٌ يُـقَرِّبُ مِنَ الْجَـنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ

Tidak tertinggal sesuatu pun yang mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka, kecuali telah dijelaskan semuanya kepada kalian.[27]

Dalam hadits di atas disebutkan, “Setiap perkara yang baru adalah bid’ahmaka apakah yang dimaksud dengan bid’ah?

Definisi Bid’ah:
Imam asy-Syâthibi rahimahullah (wafat th. 790 H) mengatakan,[28]

اَلْبِدْعَةُ: طَرِيْقَةٌ فِـي الدِّيْنِ مُـخْتَرَعَةٌ ، تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا الْـمُبَالَغَةُ فِـي التَّعَبُّدِ لِلّٰـهِ سُبْحَانَهُ

Bid’ah adalah cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari’at dengan maksud untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Azza wa Jalla .

Artinya, bid’ah adalah cara baru yang dibuat tanpa ada contoh dari syari’at. Sebab, bid’ah adalah sesuatu yang keluar dari apa yang telah ditetapkan dalam syari’at.

Ungkapan “menyerupai syari’at” sebagai penegasan bahwa sesuatu yang diada-adakan dalam agama itu pada hakekatnya tidak ada dalam syari’at, bahkan bertentangan dengan syari’at dari beberapa sisi, seperti mengharuskan cara dan bentuk tertentu yang tidak ada dalam syari’at. Juga mengharuskan ibadah-ibadah tertentu yang dalam syari’at tidak ada ketentuannya.

Ungkapan “untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Azza wa Jalla ”, adalah pelengkap makna bid’ah. Sebab, demikian itulah tujuan para pelaku bid’ah, yaitu menganjurkan untuk tekun beribadah, karena manusia diciptakan Allah Azza wa Jalla hanya untuk beribadah kepada-Nya sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” [adz-Dzâriyât/51:56]

Seakan-akan orang yang membuat bid’ah melihat bahwa maksud dalam membuat bid’ah adalah untuk beribadah sebagaimana maksud ayat tersebut. Dia merasa bahwa apa yang telah ditetapkan dalam syari’at tentang undang-undang dan hukum-hukum belum mencukupi sehingga dia berlebih-lebihan dan menambahkan serta mengulang-ulanginya.[29]

Imam al-Hâfizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah (wafat th. 795 H) mengatakan, “Yang dimaksud dengan bid’ah adalah apa yang tidak memiliki dasar hukum dalam ajaran syari’at yang menunjukkan keabsahannya. Adapun yang memiliki dasar dalam syari’at yang menunjukkan kebenarannya, maka secara syari’at tidaklah dikatakan sebagai bid’ah, meskipun secara bahasa dikatakan bid’ah. Maka setiap orang yang membuat-buat sesuatu lalu menisbatkannya kepada ajaran agama, namun tidak memiliki landasan dari ajaran agama yang bisa dijadikan sandaran, berarti itu adalah kesesatan. Ajaran Islam tidak ada hubungannya dengan bid’ah semacam itu. Tak ada bedanya antara perkara yang berkaitan dengan keyakinan, amalan ataupun ucapan, lahir maupun bathin.

Terdapat beberapa riwayat dari sebagian Ulama Salaf yang menganggap baik sebagian perbuatan bid’ah, padahal yang dimaksud tidak lain adalah bid’ah secara bahasa, bukan menurut syari’at.

Contohnya adalah ucapan ‘Umar bin al-Khaththâb Radhiyallahu anhu ketika beliau mengumpulkan kaum Muslimin untuk melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan (shalat Tarawih) dengan mengikuti satu imam di masjid. Ketika beliau Radhiyallahu anhu keluar, dan melihat mereka shalat berjamaah. Maka, beliau Radhiyallahu anhu  berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah yang semacam ini.”[30]

Tidak diragukan lagi bahwa setiap bid’ah dalam agama adalah sesat dan haram, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru. Karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”[31]

Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak.[32]

Kedua hadits di atas menunjukkan bahwa perkara baru yang dibuat-buat dalam agama ini adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat dan tertolak. Bid’ah dalam agama itu diharamkan. Namun tingkat keharamannya berbeda-beda tergantung jenis bid’ah itu sendiri.

Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak didasari atas perintah kami maka amalannya tertolak.[33]

Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang mengatakan amalan bid’ah itu tertolak karena tidak terpenuhinya salah satu syarat dari dua syarat diterimanya ibadah, yaitu mutâba’ah (mengikuti contoh Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ). Syarat diterimanya ibadah ada dua: Pertama, niat ikhlas karena Allah Azza wa Jalla dan kedua, sesuai dengan Sunnah; yakni sesuai dengan Kitab-Nya atau yang dijelaskan Rasul-Nya dan Sunnahnya, jika salah satunya tidak dipenuhi, maka amalnya tersebut tidak bernilai shalih dan tertolak, hal ini ditunjukkan dalam firman-Nya yang artinya : Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya. [al-Kahfi/18:110]

Dalam ayat ini, Allah Azza wa Jalla memerintahkan agar menjadikan amal itu bernilai shalih, yaitu sesuai dengan Sunnah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian memerintahkan agar orang yang mengerjakan amal shalih itu mengikhlaskan niatnya karena Allah Azza wa Jalla  semata, tidak menghendaki selain-Nya.[34]

Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata dalam tafsirnya[35], “Inilah dua landasan amalan yang diterima: Pertama, ikhlas karena Allah Azza wa Jalla dan Kedua,  sesuai dengan Sunnah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”

Menjelaskan tentang bahaya bid’ah dan ahlul bid’ah kepada umat tidaklah termasuk memecah belah persatuan kaum Muslimin, bahkan menjelaskan bahaya bid’ah dan membantah ahlul bid’ah termasuk dalam kategori jihad. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata, “Orang yang membantah ahlul bid’ah adalah mujahid, sampai Yahya bin Yahya berkata, ‘Membela Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih utama daripada jihad (fî sabîlillâh).’”[36]

SETIAP BID’AH ADALAH SESAT
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,

وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Dan setiap bid’ah adalah sesat

Sabda beliau di atas termasuk dari jawami’ul kalim beliau di mana tidak ada sesuatu pun yang keluar darinya, dan merupakan kaidah agung dalam prinsip-prinsip agama. Sabda beliau tersebut mirip dengan sabda beliau,

Baca Juga  Hadits Yang Paling Mulia Tentang Sifat-Sifat Wali-Wali Allah

مَنْ أَحْدَثَ فِـيْ أَمْرِنَا هٰذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak.[37]

Jadi, siapa saja yang mengada-ada perkara-perkara baru dan menisbatkannya kepada agama padahal tidak memiliki landasan hukum di agama, maka itu merupakan kesesatan dan agama berlepas diri darinya, baik dalam masalah keyakinan, perbuatan, atau perkataan yang tampak maupun perkataan yang tersembunyi.[38]

Imam Mâlik bin Anas Radhiyallahu anhu mengatakan:

مَنِ ابْتَدَعَ فِـي اْلإِسْلاَمِ بِدْعَةً  يَرَاهَا حَسَنَةً ، فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ مُـحَمَّدًا  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَـانَ الرِّسَالَـةَ ، ِلأَنَّ اللّٰـهَ يَـقُولُ : الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا, فَـمَـا لَـمْ يَـكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا ، فَـلاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا.

Barangsiapa yang mengadakan suatu bid’ah dalam Islam yang ia pandang hal itu baik (bid’ah hasanah), maka sungguh dia telah menuduh Nabi Muhammad n mengkhianati risalah agama ini. Karena sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah berfirman: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu…” (al-Mâ`idah/5:3) Maka, sesuatu yang pada hari itu (pada masa beliau masih hidup) bukanlah ajaran agama, maka hari ini pun sesuatu itu bukanlah ajaran agama.[39]

Maksud dari  كُلُّ بِدْعَةٍ  adalah semua bid’ah. Tidak ada kata كُلُّ بِدْعَةٍ  yang bermakna sebagian bid’ah. Apakah Sebagian sesat dan sebagian tidak??!!. Apabila kita bawakan hadits yang lain, yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasâ`i, dari Sahabat Jâbir Radhiyallahu anhu :

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

Setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.[40]

Maka akankah mereka mengatakan bahwa ada kesesatan yang tempatnya di Surga?? Semua kesesatan tempatnya adalah Neraka. Kullu dhalâlah fin naar, artinya setiap kesesatan tempatnya di Neraka. Kullu bid’atin dhalâlah, artinya setiap bidah adalah sesat. Sama-sama menggunakan kata kullu. Ada sebagian orang yang memahami kata kullu dalam “كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ itu sebagian bid’ah, tetapi ketika mereka mengartikan “كُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ tidak diartikan sebagian kesesatan tempatnya di Neraka, tetapi semua kesesatan tempatnya di Neraka. Inilah cara berfikir mereka yang kontradiksi. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga difahami Sahabat demikian, yaitu semua perbuatan bid’ah dalam agama adalah sesat. ‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata,

اِتَّبِعُوْا وَلاَ تَبْتَدِعُوْا فَقَدْ كُفِيْتُمْ ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Hendaklah kalian mengikuti dan janganlah kalian berbuat bid’ah. Sungguh kalian telah dicukupi (dengan Islam ini), dan setiap bid’ah adalah sesat.[41]

‘Abdullâh bin ‘Umar Radhiyallahu anhu berkata,

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً

Setiap bid’ah itu sesat, meskipun manusia memandang baik.[42]

Imam Abu Muhammad al-Hasan bin ‘Ali bin Khalaf al-Bar­bahâri rahimahullah (beliau adalah Imam Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah pada zamannya, wafat th. 329 H) berkata: “Jauhilah setiap perkara bid’ah sekecil apa pun, karena bid’ah yang kecil lambat laun akan menjadi besar. Demikian pula kebid’ahan yang terjadi pada umat ini berasal dari perkara kecil dan remeh yang mirip kebenaran sehingga banyak orang terpedaya dan terkecoh, lalu mengikat hati mereka sehingga susah untuk keluar dari jeratannya dan akhirnya mendarah daging lalu diyakini sebagai agama. Tanpa disadari, pelan-pelan mereka menyelisihi jalan lurus dan keluar dari Islam.”[43]

Imam Sufyân ats-Tsauri rahimahullah (wafat th. 161 H) berkata,

اَلْبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَـى إِبْلِيْسَ مِنَ الْـمَعْصِيَةِ، وَالْـمَعْصِيَةُ يُتَابُ مِنْهَا وَالْبِدْعَةُ لاَ يُتَابُ مِنْهَا

Perbuatan bid’ah lebih dicintai oleh Iblis daripada kemaksiyatan. Pelaku kemaksiyatan masih mungkin ia untuk bertaubat dari kemaksiyatannya sedangkan pelaku kebid’ahan sulit untuk bertaubat dari kebid’ahannya.[44]

Di antara contoh bid’ah yang dianggap baik oleh manusia antara lain :

  1. Bid’ah khawârij, yaitu memberontak kepada penguasa kaum Muslimin yang zhalim dan mengkafirkan pelaku dosa besar.
  2. Bid’ah Syi’ah, yaitu meyakini bahwa mushaf kaum Muslimin adalah kurang dan yang benar adalah mushaf yang ada pada mereka yang disebut dengan mushaf Fathimah, nikah mut’ah (kawin kontrak), mengkafirkan para Sahabat, dan lainnya.
  3. Bid’ah Jahmiyah, yaitu mengingkari sifat-sifat Allah Azza wa Jalla , mengatakan bahwa al-Qur`ân adalah makhluk, meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla ada di mana-mana, dan lain-lain.
  4. Bid’ah Murji’ah, yaitu mereka berpendapat bahwa amal tidak masuk dalam iman, iman tidak bertambah dan berkurang, dan lain-lain.
  5. Bid’ah Mu’tazilah, yaitu mereka mengatakan bahwa pelaku dosa besar berada di satu kedudukan di antara dua kedudukan yakni tidak Muslim tidak juga kafir, dan lain-lain.
  6. Bid’ah kaum Shufi dan para penyembah kubur, yaitu tawassul dengan kuburan dan orang shalih yang telah meninggal dunia, dzikir berjama’ah, dan lain-lain.
  7. Merayakan maulid (hari kelahiran) Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  8. Merayakan Isrâ’ Mi’râ
  9. Merayakan tahun baru Hijriyyah.
  10. Tahlilan dan mengirimkan pahala bacaan al-Qur`ân kepada orang yang sudah mati.
  11. Shalat Nishfu Sya’ban.
  12. Dan bid’ah-bid’ah lainnya yang sangat banyak.

SETIAP KESESATAN TEMPATNYA DI NERAKA
Dalam riwayat an-Nasâ`i[45] dari Jâbir bin ‘Abdillâh Radhiyallahu anhu , Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

Dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka

Yang harus diperhatikan mengenai hadits ini bahwa kita tidak boleh memastikan orang yang berbuat bid’ah dan maksiyat itu tempatnya di Neraka. Kita tidak punya hak sama sekali. Sebagaimana kita juga tidak boleh memastikan orang yang berbuat ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla , tempatnya di Surga. Kecuali orang-orang yang telah ditentukan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sabda beliau di atas merupakan ancaman yang terdapat di dalam banyak hadits dan ayat al-Qur`ân sebagaimana yang disebutkan oleh para Ulama. Artinya orang yang melakukan perbuatan bid’ah diancam masuk Neraka. Adapun memastikan dia masuk Neraka, maka tidak boleh dilakukan dan sangat berbahaya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Seseorang yang berilmu terkadang menyebutkan ancaman terhadap sesuatu yang dipandangnya sebagai perbuatan dosa, padahal dia mengetahui bahwa orang yang menakwilnya diampuni dan tidak terkena ancaman. Tetapi dia menyebutkan hal itu untuk menjelaskan bahwa perbuatan dosa mengakibatkan mendapatkan siksa. Dia hanya mengingatkan untuk menghalangi manusia dari perbuatan yang dipandangnya sebagai dosa.”[46]

Beliau rahimahullah juga berkata, “Karena nash-nash ancaman bentuknya umum, maka kita tidak menyatakan dengannya kepada orang tertentu bahwa dia termasuk penghuni Neraka. Sebab memungkinkan tidak berlakunya hukum yang ditetapkan pada orang yang melakukannya karena adanya penghalang yang kuat seperti taubat, atau kebaikan-kebaikan yang menghapuskan keburukan, atau musibah-musibah yang menghapuskan dosa, atau syafa’at yang diterima, dan lain-lain.”[47]

Maka sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Setiap kesesatan tempatnya di Neraka,” adalah sifat bagi amal yang dilakukan seseorang dan sifat bagi buah amal yang dilakukannya, jika tidak disusuli dengan taubat dan meninggalkannya.

Kemudian sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “…di Neraka.” Tidak mengharuskan kekal di dalam Neraka atau berada lama di dalamnya. Tetapi seseorang masuk Neraka sesuai maksiat yang dilakukannya, baik bentuknya bid’ah maupun selainnya.

Berdasarkan hal ini, berlaku hukum lain, yaitu menghalalkan sesuatu yang diharamkan agama. Barangsiapa menghalalkan suatu bid’ah atau selainnya dari perbuatan maksiat dengan menghalalkan dalam hatinya padahal dia mengetahui dan mengakui bahwa sesuatu yang dilakukan tidak memiliki dasar dalam Sunnah, bahkan dia mengetahui bahwa tindakannya itu merupakan bentuk “mengoreksi” syariat maka ketika itu ia berada di dalam Neraka karena dia kufur.

Imam ath-Thahawi rahimahullah dalam kitab ‘akidahnya (hlm. 316-disertai syarah Ibnu Abil ‘Izz) mengatakan, “Kita tidak mengkafirkan seorang pun dari Ahlul Kiblat (kaum Muslimin) karena perbuatan dosa selama ia tidak menghalalkannya.”

Dan tidak diragukan lagi bahwa bid’ah adalah dosa yang sangat jelas dan maksiat yang sangat nyata. Dan dalil-dalil yang mengecamnya dan memerintahkan untuk menjauhinya sangat banyak sekali.[48]

 FAWAA-ID (PELAJARAN DARI HADITS INI)

  1. Disyari’atkan memberikan nasehat. Akan tetapi, hendaknya dilakukan pada tempatnya dan jangan terlalu sering agar tidak membosankan.
  2. Nasehat atau wasiat perpisahan biasanya menyentuh hati.
  3. Nasehat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam semuanya bermanfaat dan menyentuh hati para Sahabat.
  4. Boleh bagi seseorang untuk meminta nasehat dari orang alim (Ulama), dan dalam hal ini apabila ada sebabnya, yakni seseorang membutuhkan nasehat.
  5. Wasiat yang paling baik adalah wasiat takwa kepada Allah Azza wa Jalla .
  6. Seseorang akan mencapai takwa kepada Allah Azza wa Jalla apabila ia menuntut ilmu syar’i, mengamalkannya, dan mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dan menjauhkan syirik.
  7. Takwa adalah melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla dan menjauhkan larangan-Nya. Perintah yang paling besar adalah mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dan larangan yang terbesar adalah syirik.
  8. Takwa mempunyai keutamaan yang sangat banyak.
  9. Wajib mendengar dan taat kepada ulil amri (penguasa) dari kaum Muslimin dalam hal yang ma’ruf.
  10. Tidak boleh taat kepada ulil amri dalam hal maksiyat.
  11. Perintah taat kepada ulil amri meskipun dia seorang hamba sahaya (budak), menunjukkan pentingnya taat kepada ulil amri.
  12. Di antara mukjizat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau mengabarkan akan terjadinya perpecahan dan perselisihan di tengah-tengah kaum Muslimin.
  13. Jalan selamat dari perpecahan dan perselisihan adalah berpegang kepada al-Qur`ân dan Sunnah Nabi n serta memahaminya sebagaimana yang difahami oleh para Sahabat Radhiyallah anhum.
  14. Keutamaan Khulâfaur Râsyidin
  15. Keutamaan para Sahabat Radhiyallahu anhum, karena mereka adalah orang-orang yang berserah diri kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya.
  16. Baiknya hati para Sahabat Radhiyallahu anhum , karena mereka takut kepada Allah Azza wa Jalla .
  17. Wajib atas setiap Muslim mempelajari Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
  18. Kita wajib mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnahnya Khulafâ`ur Râsyidin serta berpegang teguh dengan keduanya.
  19. Kita wajib waspada dan hati-hati kepada setiap perkara yang baru yang tidak ada asalnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
  20. Setiap perkara yang baru yang diada-adakan dalam agama adalah bid’ah.
  21. Semua bid’ah adalah sesat, tidak ada bid’ah hasanah dalam Islam dan tidak ada juga pembagian bid’ah menjadi lima (hasanah, mubah, makruh, haram, dan wajib). Yang mengatakan semua bid’ah sesat adalah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau adalah orang yang paling tahu tentang Islam, paling fasih berbahasa Arab, dan paling jujur.
  22. Semua kesesatan tempatnya di Neraka.
  23. Menjelaskan tentang bahaya bid’ah kepada ummat tidak termasuk memecah belah kaum Muslimin, namun termasuk dalam kategori amar ma’ruf nahi munkar.
  24. Tidak boleh memastikan para pelaku bid’ah dengan masuk Neraka karena kita tidak tahu akhir kehidupannya. Bisa jadi ia bertaubat dari perbuatan bid’ahnya tersebut.
  25. Bid’ah merusak hati, akal, dan agama.

Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIII/1430H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2 /114
[2] Shahîh: HR. Muslim no. 55 (95)), Abu Dâwud no. 4944, an-Nasâ`i 7/156-157, Ibnu Hibbân dalam Ta’lîqâtul Hisân ‘alâ Shahîh Ibni Hibbân no. 4555, Ahmad 4/102-103, al-Baihaqi 8/163, dan lafazh ini milik Ibnu Hibbân dan Ahmad, dari Sahabat Abu Ruqayyah Tamîm bin ‘Aus ad-Dâri Radhiyallahu anhu.
[3] Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 1240, Muslim no. 2162 (5), Ahmad 2/372, 412, 540, dan Ibnu Hibbân no. 241, 242-At-Ta’lîqâtul Hisân) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .
[4] Shahîh: HR. at-Tirmidzi no. 1639 dari Sahabat ‘Abdullâh bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu .
[5] Atsar Shahîh: Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Bar dalam kitabnya Jâmi’ Bayânil ‘Ilmi wa Fadhlih 2/947 no. 1810, tahqîq Abul Asybal Samir az-Zuhairi.
[6] Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 3673, Muslim no. 2541, Abu Dâwud no. 4658, at-Tirmidzi no. 3861, Ahmad 3/11, al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah 14/69 no. 3859 dan Ibnu Abi ‘Ashim no. 988, dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu. Lihat Fathul Bâri 7/34-36
[7] Al-Kifâyah fî Ma’rifati Ushûli ‘Ilmi Riwâyah 1/118, no. 104, karya Abu Bakar bin ‘Ali bin Tsâbit, yang terkenal dengan sebutan al-Khathîb al-Baghdâdi, tahqîq Abu Ishâq Ibrâhîm bin Mushthafa Alu Bahbah ad-Dimyathi.
[8]  Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 1/400 karya Imam Ibnu Rajab al-Hanbali t , tahqîq Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhîm Bâjis.
[9] Hasan: HR. at-Tirmidzi no. 1987, Ahmad 5/153, 158, 177 dan ad-Dârimi 2/323 dari Sahabat Abu Dzarr z . Diriwayatkan juga oleh at-Tirmidzi no. 1987, Ahmad 5/236, dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Ausâth no. 3791 dari Sahabat Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu.
[10] Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 4340, 7257, Muslim no. 1840, Abu Dâwud no. 2625,  an-Nasâ`-i 7/159-160, Ahmad 1/94, dari Sahabat ‘Ali Radhiyallahu anhu . lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah 1/351, no. 181 oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah.
[11] Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 2955, 7144, Muslim no. 1839, at-Tirmidzi no. 1707, Ibnu Mâjah no. 2864, an-Nasâ`i 7/160, Ahmad 2/17, 142 dari Sahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu. Lafazh ini milik Muslim.
[12] Lihat Syarh ‘Aqîdah Thahâwiyah hlm. 543  takhrîj dan ta‘lîq Syuaib al-Arnauth dan Abdullâh bin Abdul Muhsin at-Turki.
[13] ‘Aqîdah Thahâwiyah hlm. 69, syarah wa ta’lîq Syaikh al-Albâni, cet. II/Maktab al-Islâmi, th. 1414 H.
[14] Miftâh Dâris Sa’âdah 2 /177-178 karya Imam Ibnul Qayyim (wafat th. 751 H), tahqîq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali al-Halabi.
[15] Sirâjul Mulûk 2/467 karya Abu Bakar at-Turthûsyi, dinukil dari Kamâ Takûnu Yuwallâ ‘Alaikum hlm. 61-62 karya Syaikh ‘Abdul Mâlik bin Ahmad Mubârak Ramadhâni.
[16] Shahîh: HR. at-Tirmidzi no. 1395 dan an-Nasâ`i 7/82 dari Sahabat ‘Abdullâh bin ‘Amr Radhiyallahu anhu .
[17] Taisîr Karîmir Rahmân fî Tafsîri Kalâmil Mannân hlm. 276-277, cet. I Maktabah al-Ma’ârif, th. 1420 H.
[18] Hasan: HR. Abu Dâwud no. 4597, Ahmad 4/102, al-Hâkim 1/128, ad-Dârimi 2/241, al-Ajûrri dalam asy-Syarî’ah no. 29, al-Lâlikâ`i dalam Syarah Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah 1/113 no. 150. Dishahîhkan oleh al-Hâkim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dari Mu’âwiyah bin Abi Sufyân. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan hadits ini shahîh masyhûr. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah no. 203-204.
[19] Shahîh: HR. at-Tirmidzi no. 2641 dan al-Hâkim 1/129 dari Sahabat ‘Abdullâh bin ‘Amr, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîhul Jâmi’ no. 5343. Lihat Dar-ul Irtiyâb ‘an Hadîts mâ Anâ ‘alaihi wa Ashhâbî oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilâli, cet. Dârur Rayah, th. 1410 H.
[20] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/120.
[21] Ibid 2/126.
[22] Ibid 2/121.
[23] Muttafaq alaih. HR. al-Bukhâri no. 2652 dan Muslim no. 2533 (212), dari Sahabat Abdullâh bin Masûd Radhiyallahu anhu .
[24] Tentang wajibnya mengikuti manhaj Salaf, lihat buku penulis Syarah ‘Aqîdah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Mulia dengan Manhaj Salaf.
[25] I’lâmul Muwaqqi’în 5/581.
[26] Lihat Bashâ-iru Dzawisy Syarâf hlm. 70-72 dengan sedikit diringkas.
[27] Shahîh: HR. ath-Thabrâni dalam Al-Mu’jamul Kabîr 2/155-156, no. 1647 dari Sahabat Abu Dzar al-Ghifâri Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah no. 1803
[28] Al-I’tishâm hlm. 43, Abu Ishâq Ibrâhîm bin Mûsa bin Muhammad al-Gharnathi asy-Syathibi, tahqîq Syaikh Masyhûr Hasan Salmân, cet. II-Dâr al-Atsariyah, 1428 H.
[29] Lihat ‘Ilmu Ushûlil Bida’ hlm. 24-25 oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hâmid.
[30] Shahîhul Bukhâri no. 2010. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/128
[31]  Hasan shahîh: HR. Abu Dâwud no. 4607, at-Tirmidzi no. 2676, Ahmad 4/126-127 dan Ibnu Mâjah no. 42, 43, 44, dari Sahabat Irbâdh bin Sâriyah Radhiyallahu anhu.
[32] Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 2697 dan Muslim no. 1718, dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha .
[33] Shahîh: HR. Muslim no. 1718 (18)).
[34] Lihat at-Tawassul Anwâ’uhu wa Ahkâmuhu oleh Fadhîlatus Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni, cet. III, Dârus Salafiyyah, th. 1405 H.
[35] Tafsîr Ibnu Katsîr 5/205, tahqîq Sami Salamah.
[36] Majmû’ Fatâwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 4/13.
[37] Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 2697 dan Muslim no. 1718, dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha.
[38] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/128
[39] Al-I’tishâm 1/62 tahqîq Syaikh Masyhûr Hasan Salmân, cet. II Dâr al-Atsyariyyah, th. 1428 H.
[40] Shahîh: HR. an-Nasâ`i 3/189 dari Jâbir Radhiyallahun anhu.
[41] Diriwayatkan oleh ad-Dârimi 1/69, al-Lâlikâ`i dalam Syarah Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah 1/96, no. 104, ath-Thabrâni dalam Mu’jamul Kabîr no. 8770, dan Ibnu Baththah dalam al-Ibânah no. 175.
[42] Riwayat al-Lâlikâ`i dalam Syarah Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah 1/104, no. 126, Ibnu Baththah al-‘Ukbari dalam al-Ibânah no. 205. Lihat ‘Ilmu Ushûlil Bida’ hlm. 92
[43] Syarhus Sunnah lil Imâm al-Barbahary no. 7, tahqîq Khâlid bin Qâsim ar-Raddadi, cet. 2/Dârus Salaf, th. 1418 H.
[44] Riwayat al-Lâlikâ`i dalam Syarah Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah no. 238.
[45] HR. an-Nasâ`i 3/189 dengan sanad shahîh. Di shahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Irwâ-ul Ghalîl 3/73, no. 608 dan Khuthbatul Hâjah hlm. 50, cet. I Maktabah al-Ma’ârif, th. 1421 H.
[46] Majmû’ Fatâwâ 23 /305
[47] Ibid 4/484
[48] Lihat ‘Ilmu Ushûl Bida’ hlm. 103-105