Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Sosok Penegak Panji-Panji Tauhid
SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB SOSOK PENEGAK PANJI-PANJI TAUHID
1. Keadaan Sosial Politik Najd Kala Itu.
Mayoritas dari penduduk Najd kala itu terdiri dari kabilah-kabilah Arab yang dikenal akan nasabnya, dan para pendatang yang berdatangan untuk tinggal di Najd hanyalah minoritas saja.
Waktu itu sisi pandang masyarakat Najd terhadap seseorang tergantung pada nasab yang dia miliki. Hal ini sangat menyolok sekali terutama dalam urusan perkawinan, lowongan mendapat pekerjaan dan lain sebagainya. Masyarakat Najd terbagi menjadi dua kelompok atau dua golongan, Hadhari dan Badawi (Badui), meskipun didapati perubahan sifat atau ciri pada sebagian penduduk. Yang demikian itu menimbulkan kesulitan bagi kita untuk menggolongkan kelompok yang ketiga ini, karena mereka itu bukan Badui murni dan juga tidak Hadhari murni[1]
Orang-orang Badui merasa bangga atas diri mereka dan kehidupan padang pasirnya. Mereka merasa bahwa orang-orang Hadhari hina di hadapan mereka. Penunjang kehidupan ekonomi mereka adalah kekayaan binatang, dan yang paling berharga bagi mereka diantara binatang-binatang yang ada adalah unta. Dan kebetulan daerah Najd adalah daerah yang kaya akan unta sehingga tidak aneh kalau Najd biasa disebut dengan Ummul Ibil.[2]
Adapun orang-orang Hadhari (orang-orang kota) memiliki pandangan yang berbeda dengan orang-orang Badui, yang mana sebagian mereka berpendapat bahwa sifat kejantanan yang ada pada orang-orang Hadhari ataupun yang ada pada orang-orang Badui berada pada garis yang sama[3], sebagian yang lain berpendapat bahwa orang-orang Badui harus diperlakukan dengan kekerasan, karena dengan cara demikian mereka bisa menjadi baik.[4]
Adapun penunjang kehidupan ekonomi mereka adalah bertani. Sedangkan perdagangan adalah satu-satunya penunjang kehidupan ekonomi yang ada atau dimiliki oleh orang-orang Badui maupun orang-orang Hadhari.
Mengenai hal kepemimpinan, sangatlah jauh berbeda antara orang-orang Badui dengan orang-orang Hadhari. Di mana seorang pemimpin yang ada di kalangan orang-orang Badui haruslah memenuhi kriteria seorang pemimpin, misalnya memiliki derajad lebih dari yang lain, pemberani dan memiliki pandangan dan gagasan yang jitu. Cara-cara mereka ini lebih mirip dengan sistem demokrat. Adapun orang-orang Hadhari lebih cenderung pemilihan pemimpin mereka jatuh ke tangan orang-orang yang memilki kekuatan dan kekuasaan, cara-caranyapun sudah banyak dicampuri dengan kelicikan dan tipu muslihat demi teraihnya kepemimpinan tersebut.
2. Keadaan Kegaamaan Di Najd Waktu Itu.
Penduduk negeri Najd sebelum adanya dakwah yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab keadaannya menyedihkan. Keadaan yang apabila seorang mukmin menyaksikannya tidak akan ridla selama-lamanya. Syirik (persekutuan) terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala tumbuh dengan suburnya, baik syirik besar maupun syirik kecil. Sampai-sampai kubah, pepohonan, bebatuan, gua dan orang-orang yang dianggap sebagai wali pun disembah sebagaimana layaknya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Penduduk Najd kala itu telah terpesona dengan kehidupan dunia dan syahwat. Sehingga pintu-pintu kesyirikan terbuka lebar untuk mereka. Marja’ (sandaran) mereka kepada ahli sihir dan para dukun, sehingga negeri Najd terkenal akan hal itu. Bahkan Makkah, Madinah dan Yaman menjadi basis kemusyrikan kala itu. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan umat Islam ini dengan dilahirkannya seorang mujaddid besar, penegak panji-panji tauhid dan penyampai kebenaran yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya. Dialah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, yang kelak berjuang mati-matian dalam rangka tegaknya tauhidullah dan menebas habis setiap yang berbau syirik terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Nasab dan Kelahirannya
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hidup ditengah-tengah keluarga yang dikenal denan nama keluarga Musyarraf (Ali Musyarraf), dimana Ali Musyarraf ini cabang atau bagian dari Kabilah Tamim yang terkenal. Sedangkan Musyarraf adalah kakek beliau ke-9 menurut riwayat yang rajih. Dengan demikian nasab beliau adalah Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Ahmad bin Rasyid bin Buraid bin Muhammad bin Buraid bin Musyarraf.[5]
Beliau dilahirkan di negeri Uyainah pada tahun 1115H. Daerah Uyainah ini terletak di wilayah Yamamah yang masih termasuk bagian dari Najd. Letaknya berada di bagian barat laut dari kota Riyadh yang jaraknya (jarak antara Uyainah dan Riyadh) lebih kurang 70 Km.
Perjalanan dalam Menuntut Ilmu
Ibnu Ghannam berkata : “Muhammad bin Abdul Wahhab telah menampakkan semangat thalabul-ilmi nya sejak usia belia. Beliau memiliki kebiasaan yang sangat berbeda dengan anak-anak sebayanya. Beliau tidak suka dengan main-main dan perbuatan yang sia-sia.[6] Beliau mulai thalabul-ilmi dengan mendalami al-Qur’anul Karim, sehingga tidak aneh kalau beliau sudah hafal ketika umur 10 tahun[7]. Yang demikian itu terjadi pada diri beliau dikarenakan banyak faktor yang mendukungnya. Diantaranya adalah semangat beliau yang sangat menggebu-gebu dalam menuntut ilmu, juga keadaan lingkungan keluarga yang benar-benar mendorong dan memicu beliau untuk terus menerus menuntut ilmu. Dan Syaikh Abdul Wahhab-lah guru dan sekaligus orang tua beliau yang pertama-tama mencetak kepribadian beliau.
Sampai-sampai ketika ayah beliau Syaikh Abdul Wahhab menulis surat kepada seorang temannya mengatakan (dalam surat tersebut) : ” Sesungguhnya dia (Muhammad bin Abdul Wahab) memiliki pemahaman yang bagus, kalau seandainya dia belajar selama satu tahun niscaya dia akan hafal, mapan serta menguasai apa yang dia pelajari. Aku tahu bahwasanya dia telah ihtilam (baligh) pada usia dua belas tahun. Dan aku melihatnya sudah pantas untuk menjadi imam, maka aku jadikan dia sebagai imam shalat berjamaah dikarenakan ma’rifah dan ilmunya tentang ahkam. Dan pada usia balighnya itulah aku nikahkan dia. Kemudian setelah nikah, dia meminta izin kepadaku untuk berhaji, maka aku penuhi permintaannya dan aku berikan segala bantuan demi tercapai tujuannya tersebut. Lalu berangkatlah dia menunaikan ibadah haji, salah satu rukun dari rukun-rukun Islam”.[8]
Setelah berhaji beliau belajar dengan para Ulama Haramain (Makkah dan Madinah) selama lebih kurang dua bulan. Kemudian setelah itu kembali lagi ke daerah Uyainah. Setelah pulang dari haji beliau terus memacu belajar. Beliau belajar dari ayah yang sekaligus sebagai guru pelajaran Fiqh Hambali, tafsir, hadits dan tauhid.[9]
Tidak berapa lama kemudian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menunaikan ibadah haji untuk yang kedua kalinya. Kemudian menuntut ilmu dari Ulama Haramaian, khususnya para ulama Madinah Al-Munawarah. Di Madinah beliau belajar dien dengan serius, dan Madinah saat itu adalah tempat berkumpulnya ulama dunia. Diantara guru beliau yang paling beliau kagumi dan senangi adalah Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi. Setelah beliau merasa cukup untuk menuntut ilmu dari para ulama Madinah al-Munawwarah ini maka beliau kembali lagi ke kampung halaman, Uyainah.
Setahun kemudian beliau memulai berkelana thalabul-ilmi menuju daerah Irak dan Ahsaa.[10] Kota Damaskus saat itu sebuah kota yang sarat akan kegiatan keislaman. Disana terdapat sebuah madrasah yang digalakkan padanya ke ilmuan tentang madzhab Hambali dan kegiatan-kegiatan yang menunjang keilmuan tersebut. Oleh karena itu negeri yang pertama kali di cita-citakannya untuk menuntut ilmu adalah Syam. Di negeri itulah Damaskus berada. Namun dikarenakan perjalanan dari Najd menuju Damaskus secara langsung sangat sulit, maka Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab pergi menuju Bashrah (Irak)[11], pada saat itu beliau berkeyakinan bahwa perjalanan dari Bashrah menuju Damaskus sangatlah mudah.
Setelah di Bashrah, ternyata apa yang beliau yakini sementara ini tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Perjalanan dari Basrah menuju Damaskus yang semula dianggap mudah ternyata sulit. Maka bertekadlah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab untuk tinggal di Bashrah. Beliau belajar Fiqh dan Hadits dari sejumlah ulama yang berada di kota Bashrah tersebut -hanya saja dari nara sumber yang ada- tidak menyebutkan nama guru-guru beliau yang ada di kota tersebut kecuali hanya seorang saja yaitu Syaikh Muhammad al-Majmu’i[12]. Disamping ilmu fiqh dan hadits beliau juga mendalami ilmu Qawaidul-Arabiyyah sehingga beliau betul-betul menguasainya. Bahkan selama tinggal di Bashrah beliau sempat mengarang beberapa kitab yang berkenaan dengan Qawaidul Lughah al-Arabiyyah[13].
Ternyata tidak semua orang yang ada di Bashrah senang terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan ulama-ulama yang sepemikiran dengan beliau, khususnya para ulama suu’ yang ada di Bashrah, dimana mereka tidak henti-hentinya menentang dan memusuhi beliau. Nah dikarenakan ulah dan permusuhan mereka terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab itulah akhirnya beliau dengan berat hati meninggalkan negeri Bashrah, tempat beliau belajar dan dakwah saat itu.
Kemudian beliau pergi menuju suatu tempat yang bernama az-Zubair. Setelah perjalanan beberapa saat di sana, beliau melanjutlan perjalanan menuju al-Ahsaa’. Di daerah tersebut beliau melanjutkan studinya dengan belajar ilmu dien dari para ulama al-Ahsaa’. Di antara guru-guru beliau yang ada di al-Ahsaa’ tersebut adalah Syaikh Abdullah bin Fairuz, Syaikh Abdullah bin Abdul Lathif serta Syaikh Muhammad bin Afaliq. Dan memang, Ahsaa’ saat itu merupakan gudang nya ilmu sehingga orang-orang Najd dan orang-orang sebelah timur jazirah Arab berdatangan ke Ahsaa’ untuk menuntut ilmu di sana.
Kemudian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab melanjutkan kelana thalabul-ilmi nya ke daerah Haryamala dan tiba di sana pada tahun 1115H[14]. Dimana kebetulan ayah beliau yang tadinya menjadi qadhi di Uyainah telah pindah ke daerah tersebut. Maka berkumpullah beliau dengan ayahnya di sana.
Tapi baru dua tahun bertemu dan berkumpul dengan orang tua beliau. Ayah beliau Syaikh Abdul Wahhab bin Sulaiman meninggal dunia, tepatnya pada tahun 1153H[15]. Sepeninggal ayahnya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menggantikan ayahnya dalam melaksanakan segala aktivitasnya di negeri Haryamala tersebut. Dalam waktu yang cukup singkat nama beliau sudah mulai tersohor. Sehingga orang-orang pun mulai berdatangan ke Haryamala untuk menuntut ilmu dari beliau. Bahkan para pemimpin negeri pun di sekitar Haryamala pun menerima ajakan dan dakwah beliau. Sehingga tidak aneh kalau Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hanya dua tahun tinggal di Haryamala (sepeninggal ayahnya) demi menyambut ajakan dan tawaran Amir negeri Uyainah Utsman bin Ma’mar untuk tinggal di negeri Uyainah, negeri kelahiran beliau[16].
Dakwah Sebelum Bergabung Dengan Amir Dir’iyyah
Sebenarnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab senantiasa berdakwah di setiap tempat dimana beliau belajar. Di Najd itu sendiri atau di Bashrah, di Az-Zubair, al-Ahsaa’, Haryamala dan lain sebagainya. Akan tetapi beliau mulai mengerahkan segala apa yang dimiliki sekembali beliau dari Haryamala, tepatnya mulai tahun 1155H. Beliau mulai dakwah mubarakah tersebut di negeri Uyainah tempat kelahiran dan kampung halaman beliau.
Amir Uyainah Utsman bin Muhammad bin Ma’mar sangat gembira dengan kedatangan beliau, bahkan dia berkata kepada Syaikh : “Tegakkanlah dakwah di jalan Allah dan kami senantiasa akan membantumu”. Maka mulaialah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sibuk dengan urusan dakwah, ta’lim, serta mengajak manusia kepada kebaikan dan saling mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga dalam waktu yang cukup singkat nama beliau sudah masyhur di kalangan penduduk Uyainah. Mereka datang ke tempat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab untuk thallabul ilmi, bahkan penduduk negeri sebelah pun datang ke Uyainah dalam rangka ingin belajar kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Pada suatu hari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menemui Amir Uyainah, kemudian beliau berkata : “Wahai Amir (Utsman bin Muhammad bin Ma’mar), izinkanlah saya untuk menghancurkan kubah Zaid bin Khathab, karena sungguh kubah tersebut dibangun dalam rangka menentang syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Allah Ta’ala tidak akan ridha selama-lamanya dengan amalan tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah melarang dijadikannya kuburan sebagai masjid, kubah Zaid ini telah menjadi fitnah bagi manusia dan merubah aqidah mereka. Oleh karena itu wajib bagi kita untuk menghancurkannya”. Kemudian Amir Uyainah menjawab : “Silakan kalau engkau memang menghendaki yang demikian itu”. Lalu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab memohon kepada Amir Uyainah agar beliau dibantu oleh tentara Uyainah, karena ditakutkan akan adanya perlawanan dari penduduk desa Jabaliyah, desa terdekat dari kubah Zaid bin Khathab.
Maka keluarlah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bersama 600 tentara Uyainah dan di tengah-tengah mereka ada Utsman bin Muhammad bin Ma’mar, Amir negeri Uyainah. Setelah penduduk Jabaliyah mendengar khabar bahwa Kubah Zaid bin Khathab akan dihancurkan, maka serempak mereka berniat untuk mempertahankan kubah tersebut. Hancur leburlah kubah Zaid bin Khathab yang sudah lama mereka agung-agungkan dan mereka sembah. Demikian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, beliau selalu memberantas hal-hal yang berbau syirik dan hal-hal yang mengarah kepada kesyirikan. Beliau menegakkan hukuman had (hukuman cambuk atau rajam atau potong tangan bagi yang berhak). Sehingga, sampailah berita tentang beliau ini ke telinga Amir Al-Ahsaa’, saat itu Sulaiman bin Urai’ir al-Khalidi, dan para pengikutnya dari bani Khalid. Khabar yang dipahami oleh mereka bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah orang yang suka menhancurkan kubah dan suka merajam wanita. Akhirnya dia berkirim surat kepada Amir Uyainah agar Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dibunuh, kalau tidak, maka dia tidak akan menyerahkan pajak emas yang biasa diberikan kepada Amir Uyainah dan dia pun akan menyerang negeri Uyainah.
Rasa cemas pun menghantui diri Amir Uyainah. Yang demikian pada akhirnya dia menemui Syaikh Muhamad bin Abdul Wahhab seraya berkata : “Wahai Syaikh …. sesungguhnya Amir Al-Ahsaa’ telah menulis surat kepadaku begini dan begini. Dia menginginkan agar kami membunuhmu. Kami tidak ingin untuk membunuhmu ! dan kami pun tidak berani dengan dia, tiada daya dan upaya pada kami untuk menentangnya. Oleh karena itu kami berul-betul mengharap Syaikh agar sudi meninggalkan negeri Uyainah ini”. Kemudian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata : “Wahai Amir …., sesungguhnya apa yang aku dakwahkan ini adalah agama Allah dan realisasi kalimat La ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah. Maka barangsiapa yang berpegang teguh dengan agama ini serta menegakkannya di bumi Allah ini, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menolongnya dan memberinya kekuatan serta menjadikan dia sebagai penguasa di negeri para musuhnya. Jika engkai bersabar dan beristiqamah serta mau menerima ajaran ini, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menolongmu, menjagamu dari Amir Al-Ahsaa’ dan yang lainnya dari musuh-musuhmu, serta Allah Ta’ala akan menjadikanmu sebagai penguasa atas negerinya dan keluarganya”. Kemudian Amir Uyainah berkata lagi : “Wahai Syaikh …., sesungguhnya kami tiada daya dan upaya untuk memeranginya dan kami tiada mempunyai kesabaran untuk menentangnya”.
Maka tiada pilihan lain bagi syaikh Muhamamd bin Abdul Wahhab, kecuali harus keluar dan meninggalkan negeri Uyainah, kampung halaman beliau sendiri.
Keberadaan di Negeri Dir’iyyah
1. Sebab perginya beliau menuju Dir’iyyah.
Saat itu sudah menjadi suatu keharusan bagi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab untuk segera meninggalkan negeri Uyainah, maka tempat yang paling cocok dan sesuai bagi kelancaran dakwah menurut beliau adalah negeri Dir’iyyah. Yang demikian itu dikarenakan negeri Dir’iyyah semakin hari semakin kuat dalam hal ketentaraan. Hal itu terbukti dengan direbutnya kembali kekuasaan yang selalu dirong-rong oleh Sa’d bin Muhammad pemimpin Bani Khalid.[17] Di sisi lain, hubungan antara para pemimpin Dir’iyyah dengan pemimpin Bani Khalid kurang harmonis. Maka di saat pemimpin Bani Khalid bersekongkol dengan Amir Uyainah untuk mengeluarkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, di saat itu pula Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab ingin bergabung dengan para pemimpin Dir’iyyah.
Tapi sebab yang terpenting dari kepergian beliau menuju negeri Dir’iyyah adalah dikarenakan dakwah yang beliau sebarkan selama ini mendapat sambutan yang hangat dari para pemimpin negeri tersebut. Di antara mereka adalah keluarga Suwailin, kedua saudara Amir Dir’iyyah (Tsinyan dan Musyairi) dan juga anaknya yang bernama Abdul Aziz.[18]
2. Pertemuan dengan Amir Dir’iyyah.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab meninggalkan negeri Uyainnah kemudian pergi ke negeri Dir’iyyah dalam keadaan dijaga dan dikawal oleh orang-orangnya Utsman bin Ma’mar (Pemimpin Uyainah).[19]
Nara sumber yang ada, saling berbeda dalam menentukan tahun kepindahan beliau ke negeri Dir’iyyah. Namun yang terkuat (arjah) adalah perkataan Ibnu Ghannam yang menyebutkan bahwa kepindahan Beliau dari Uyainah ke Dir’iyyah terjadi ditahun 1157H. Hal ini dikarenakan Ibnu Ghannam lebih dekat kepada Syaikh dibanding dengan yang lainnya dari kalangan mumanikhin (para ahli tarikh)[20].
Di saat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berada di rumah keluarga Suwailin, datanglah Amir Dir’iyyah Muhammad bin Sa’ud atas anjuran istrinya demi menyambut kedatangan Syaikh Muhammad. Yang akhirnya terwujud suatu kesepakatan bersama untuk saling beramal dalam rangka menegakkan dakwah Islamiyah semaksimal mungkin. Dan kesepakatan inilah yang nantinya sebagi asas dan pondasi bagi berdirinya Daulah Jadidah (Saudi Arabia).
Sebagian dari para penulis ada yang berpendapat bahwa dari kesepakatan itu pula tercetuslah suatu pernyataan, bahwasanya urusan pemerintahan dipikul oleh Muhammad bin Sa’ud dan keturunannya, sedang urusan agama (diniyyah) di bawah pengawasan dan bimbingan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab beserta keturunannya[21]. Namun nampaknya pernyataan yang seperti ini belum pernah ada, hanya saja kebetulan keturunan Muhammad bin Sa’ud sangat berbakat dalam mengendalikan urusan pemerintahan, demikian juga keturunan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sangat mumpuni untuk melanjutkan perjuangan beliau, sehingga hal ini terkesan sudah diatur sebelumnya, padahal hanya kebetulan saja.[22]
Demikianlah, Syaikh Muhamamd bin Abdul Wahhab dan Amir Dir’iyyah masih berada diatas kesepakatan yang telah mereka sepakati bersama sampai mereka pergi ke rahmatullah. Dan selanjutnya diteruskan oleh keturunan mereka masing-masing di kemudian hari.
Akidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
1. Apakah yang dimaksud Wahhabiyyin ..?
Merupakan suatu hal yang sudah ma’ruf bahwasanya kata Wahhabiyyin adalah sebutan bagi para pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam aqidah dan juga sebutan bagi orang-orang Najd yang berasaskan metode beliau dalam hal dakwah. Sebagaimana pula kata Wahhabiyin digunakan sebagai sebutan bagi aqidah beliau dan para pengikutnya.
Merupakan suatu hal yang ma’ruf pula bahwasanya penyandaran (nisbah) kata tersebut lebih tepat kepada nama ayahnya dari pada nama beliau sendiri. Penyandaran seperti ini kalau dilihat dari segi bahasa, merupakan penyandaran yang shahih. Sebagaimana disandarkannya para pengikut Imam Ahmad kepada nama ayah beliau yaitu dengan sebutan Hanbaliyyah atau Hanabillah. Dan diantara hikmah dari digunakannya sebutan tersebut (Wahhabiyyah) adalah tidak terjadi kesamaran (iltibas) antara penyandaran kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dengan kepada penyandaran kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam[23]. Dan tidak diragukan lagi bahwa penyebutan kata-kata Wahhabiyyin atau Wahhabiyyah ini keluar dari lisan orang-orang yang tidak senang terhadap apa-apa yang diajarkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.[24]
Tujuan dari penyebutan kata-kata tadi agar para manusia lari dan enggan untuk menerima dakwah beliau. Dengan kata lain, bahwasanya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dituduh telah menyeru kepada agama baru atau madzhab kelima.[25]
Para pendukung dakwah Syaikh Muhamamd bin Abdul Wahhab, khususnya yang terdahulu tidak rela dengan penyebutan atau penamaan seperti itu, bahkan mereka menamai diri mereka dengan sebutan yang lain, seperti Diinul Islam, Al-Muwahhidin serta menamai dakwah yang mereka lakukan dengan sebutan Da’watut-Tauhid, Ad-Dakwah As-Salafiyah atau Ad-Dakwah saja.[26]
Dan yang tampak adalah bahwasanya mereka lebih suka untuk menggunakan sebutan Al-Muwahhidin sebagai penegas atas aqidah yang bersih yang ada pada mereka dan sebagai pembeda antara diri mereka dengan orang-orang yang sudah menyimpang dari agama Islam yang haq ini.
Yang jelas, kerancuan penilaian manusia terhadap dakwah yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya karena disebabkan hal yang bermacam-macam diantaranya : jeleknya pemahaman segelintir orang yang menisbatkan diri kepada dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab akan hakekat dakwah yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab itu sendiri, dan juga banyaknya tuduhan-tuduhan yang dihembuskan oleh musuh-musuh beliau terhadap dakwah yang beliau lakukan.[27]
Dua perkara itulah sumber bagi kritik dan tuduhan yang tidak-tidak atas Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya.[28]
2. Gencarnya permusuhan mereka terhadap Syaikh Muhammad bin Abddul Wahhab dan para pengikutnya.
Para penentang dakwah beliau dari kalangan kaum muslimin terbagi menjadi dua kelompok :
- Sekelompok manusia dari ahlu Najd yang selalu menentang dakwah beliau tetapi hanya pada masa-masa awal dakwah beliau.
- Sekelompok manusia yang berelebihan dalam menentang dakwah beliau. Mereka berkata bhawa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengaku-ngaku bahwa dirinya adalah seorang nabi, tapi dia sembunyikan hal itu karena takut terhadap manusia. Dan dia tidaklah melaksanakan kewajiban-kewajiban agama kecuali untuk menutup-nutupi keaiban dan tipuan saja.[29]
Sebagai tambahan dari itu semua, mereka juga mensifati Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya dengan sebutan Al-Mubtadi’ah, Al-Malahidah dan Al-Khawarij. Namun sebutan yang terkahir inilah yang sering dipakai oleh musuh-musuh beliau. Yang demikian itu dikarenakan persangkaan mereka bahwasanya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya menganggap hanya diri mereka saja yang muslimin adapun selain mereka tidak, dan juga Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya memerangi setiap orang yang tidak cocok terhadap apa yang mereka dakwahkan, serta mereka adalah orang-orang yang rajin dalam menjalankan ibadah sebagaimana Khawarij di zaman para shahabat dahulu.
Adalah suatu yang ma’ruf bahwasanya sangkaan dan tuduhan yang dilancarkan oleh musuh-musuh beliau adalah tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya sangat jauh berbeda dengan kelompok Khawarij dalam hal-hal yang sudah jelas, khususnya masalah aqidah. Dan juga berbeda sekali dalama masalah ihtiram terhadap para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, khususnya Utsman dan Ali. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sangat menaruh rasa ihtiram terhadap mereka, sedang orang-orang Khawarij sangat mengucilkan para shahabat bahkan mengkafiran sebagian dari mereka. Maka sikap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam masalah-masalah diatas dan juga dalam masalah Imamah (kepemimpinan) sesuai dan mengikuti manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah[30]. Perbedaan yang sangat menyolok antara Khawarij dengan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah bahwasanya kaum Khawarij mengkafirkan Ahlul Kabair (selain syirik), sedangkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya dalam mensikapi ahlul kabair adalah sebagaimana madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yaitu Ashin (orang maksiat) atau fasiq tapi tidak keluar dari Islam.[31]
Diantara musuh beliau ada yang mengatakan bahwa munculnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab ini sama dengan tempat munculnya Musailamah al-Kadzab. Sebagaimana mereka mengatakan bahwasanya ada riwayat-riwayat yang mencela negeri Najd. Selain itu mereka juga mengatakan bahwasanya Syaikh Muhamamd bin Adbul Wahhab ini adalah keturunan Dzil Khuwaishirah yang mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan tentang mereka bahwasanya nanti ada dari kalangan mereka yang keluar dari Islam sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya.[32]
Namun dengan mudahnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya membantah perkataan tadi. Mereka menjawab. Sesungghnya tempat tidak pantas untuk dijadikan sebagai ukuran (mizan) terhadap sesuatu bahkan tidak didapati seorang nabi berada di suatu daerah kecuali daerah tadi adalah daerah yang sangat rusak.
Selanjutnya mereka mengatakan : “Sesunguhnya Najd yang ada dalam hadits adalah Najdul Iraq bukan Najd Saudi, dan maksud dari apa yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya dari keturunan Dzil Khuwaishirah ada yang keluar dari Islam sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya adalah keturunan Dzil Khuwaishirah yang berada di daerah Haruriyyah yang mengadakan pemberontakan terhadap kekhalifahan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu.[33]
Mengingat begitu rincinya pembahasan mengenai aqidah Syaikh Muhamamd bin Abdul Wahhab silakan membaca dan mengkaji buku-buku beliau, diantaranya :
- Kitabut Tauhid. (Judul lengkap dari buku ini adalah Kitabut Tauhid Alladzi Huwa Haqqullahi ‘alal Abiid. Menurut riwayat Ibnu Ghannam, beliau menulis buku ini ketika masih di Haryamala[34], sedangkan cucu beliau Syaikh Muhammad bin Hasan mengatakan buku ini ditulis di Bashrah[35]. Namun itu semua tidak jadi masalah, yang jelas buku ini yang pertama kali beliau tulis. Kemudian buku ini di syarah oleh kedua cucunya (Abdurrahman bin Hasan dan Sulaiman bin Abdullah) dengan judul Fathul Majid dan Taisirul Azizil Hamid).
- Kasyfusy Syubhat. (Buku ini ditulis untuk membantah kerancuan tauhid yang dipegangi oleh musuh-musuh beliau.[36] Buku ini ditulis di hari-hari akhir beliau di Uyainah atau setelah beliau pindah ke Dir’iyyah).[37]
- Mufidul Mustafiid fii kufri Taarikit Tauhid. (Buku ini ditulis pada tahun 1167H. Buku ini juga senada dengan buku Kasyfusy Syubhat yaitu membahas kerancuan tauhid yang dipegangi oleh musuh-musuh beliau).[38]
- Al Ushulul Tsalatsah wa Adillatuhaa. (Buku ini termasuk buku tipis, karena beliau tidak begitu memakan waktu dalam menyelesaikan tulisan tersebut. Basyar menyebutkan bahwa buku ini ditulis sebelum beliau pindah ke Dir’iyyah).
- Kalimat fii bayani syahadati an laa ilaaha illallah wa bayani tauhid.
- Arba’u Qawaaid liddin.
- Kalimatun fii ma’rifati syahaadati an laa ilaaha illallah wa anna muhammadar rasulullah.
- Arba’u qawaa’idin dzakarahallahu fii muhkami kitabihi.
- Almasaailul khamsu alwaajibu ma’rifatuha.
- Tafsiiru kalimatit tauhid.
- Sittatu ushulin ‘adliimatin.
- Sittatu mawaadhi manqulatun minas sirah an nabawiyyah.
- Qishashul Anbiyaa’
- Masailul jaahiliyyah
- Mukhtashar siiratur rasul
- Mukhtashar zaadul ma’ad.
- Attafsiir ‘alaa ba’dhi suaril qur’an
- Ushul Iman
- Fadhul Islam
- Kitaabul Kabaa’ir
- Nahiihatul muslimin bi ahaadiitsi khatamil mursalin.
- Kitabul fadhailil qur’an
- Ahaadits fi fitani walhaadits
- Ahkamu tammannilmaut
- Hukmul ghibati wannamimah
- Hukmu katmil ghaidi wal hilmi
- Majmuu’ul hadiits ‘alaa abwaabil fiqhi.
- Aadaabul masyi ilash shalati
- Ibthaalu waqfil janat wal itsmi
- Ahkamush shalaati
- Mukhtasharul inshafi wasy syarhu kabir
- Khuthabusy Syaikh
- Mukaatabaatusy Syaikh
- Fataawasy Syaikh
- Kitaabaatun ukhra massuubatun ilas Syaikh
[Diterjemahkan dan dinukil dari buku : Al-Imam Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Da’watuhu Wasiiratuhu, Lisamahatisy Asyaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Hayaatuhu Wafikruhu, Ta’lif Dr. Abdullah Ash-Shalih Al-‘Utsaimin, Penyusun Abu Aufa, dan disalin ulang dari Majalah As-Sunnah Edisi 10/1/1415-1994]
_______
Footnote
[1] ‘Unwaanul Majdi Fil Taariikhin Najd karya Utsman bin Basyar juz 2 hal. 189, Hawadits karya Ibrahim bin Isa hal. 32,36,50
[2] Mulahazhat III Burikat juz 1 hal. 69
[3] Minsyaimil Arab Lifahd al-Marik juz 3 hal.99
[4] Diwanun-Nabti II Khalid al-Farj juj 1 hal.43.
[5] Kitab Raudhah II Hussain bin Ghannam juz 1, hal.25, Unwanul majdi fil Tarikh Najd II Utsman bin Basyar juz I hal. 113, Hawadits II Ibrahim bin Isa hal. 125. Rasaali (Majmu’ur Rasaali wal Masaali an-Najdiyyah) juz 3 hal.379.
[6] Raudhah II Husain bi Ghannam juz 1 hal.25
[7] Raudhah II Husain bi Ghannam juz 1 hal.25
[8] Raudhah II Husain bin Ghannam juz 1 hal, 25
[9] Raudhah II Husain bin Ghannam juz 1 hal, 26
[10] Ulama’ud Dakwah II Abdur Rahman Ali Syaikh hal. 7
[11] Unwanul Majdi III Haidary hal. 221, Ulama’ud Dakwah II Abdur Rahman Ali Syaikh hal. 7
[12] Unwanul Majdi Fi Tarikhi Najd II Utsman bin Basyar juz 1 hal. 21
[13] Raudhah II Husain bin Ghannam juz 1 hal. 27
[14] Unwanul Majdi Fi Tarikhi Najd II Utsman bin Basyar juz 1 hal. 20-21
[15] Unwanul Majdi Fi Tarikhi Najd II Utsman bin Basyar juz 1 hal. 20-21
[16] Raudhah II Husain bin Ghannam juz 1 hal. 30
[17] Unwaanul Majdi Fii Taarikhin Najd karya Utsman bin Basyar juz 2, hal. 233
[18] Raudhah karya Hushain bin Ghannam juz 1 hal.31,222
[19] Unwaanul Majdi Fii Taarikhin Najd karya Utsman bin Basyar juz 1, hal.23
[20] Raudhah karya Ibnu Ghannam juz 2 hal.8 ‘Unwaanul Majdi fii Tarikhin Najd juz 1 hal. 32 Hawadits karya Ibrahim bin Isa hal.108.
[21] Lam’usy Syihab hal. 30,35
[22] Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Hayatuhu wa Fikruhu karya Abdullah bin Ash-Shalih al-‘Utsaimin hal.55-56.
[23] Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Hayatuhu Wa Fikruhu karya Asy-Syaikh Abdullah bin Ash-Shalih Al-Utsaimin hal. 101
[24] Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Hayatuhu Wa Fikruhu karya Asy-Syaikh Abdullah binAsh-Shalih Al-Utsaimin hal. 101
[25] Raudhah karya Husain bin Ghannam juz 1 hal. 139.
[26] Raudhah karya Husain bin Ghannam juz 1 hal 31, Al-Hadiyyah Assunniyah Wattuhfah Al-Wahhabiyyah An-Najdiyyah disusun oleh Sulaiman bin Sahman hal. 27, Ulama’ud Dakwah karya Abdir Rahman Ali Syaikh.
[27] Raudhah karya Husain bin Ghannam juz 1 hal.12,115, Al-Hidayyah karya Sulaiman bin Sahman hal. 31.
[28] Raudhah karya Husain bin Ghannam juz 1 hal. 158, Al-Hidayyah hal. 31.
[29] Misbahul Anaam hal. 3, Ad-Daur hal. 47 dan Al-Asinnah hal. 12.
[30] Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Hayatuhu Wa Fikruhu, Ta’lif Asy-Syaikh Abdullah Ash-Sholih Al-Utsaimin hal. 105 Rasail juz 4 hal. 59-62.
[31] Ibnu Taimiyyah karya Abi Zahroh hal. 166, Al-Islam karya Fadhlurrahman hal. 86.
[32] Shawaiq karya Sulaiman bin Abdul Wahhab hal. 30-35.
[33] Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Hayatuhu Wa Fikruhu, Ta’lif Asy-Syaikh Abdullah Ash-Sholih Al-Utsaimin hal. 107.
[34] Lihat Raudhah juz 1 hal.30.
[35] Lihat Al-Ajwibah juz 9 hal. 215
[36] Raudhah karya Ibnu Ghannam juz 1 hal.61
[37] Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Hayatuhu Wa Fikruhu hal. 77-7
[38] Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Hayatuhu Wa Fikruhu hal. 77-79
- Home
- /
- A8. Politik Pemikiran Wahhabi
- /
- Syaikh Muhammad bin Abdul...