Qardh (Pinjaman)

QARDH (PINJAMAN)

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Fadhilah (Keutamaan) Qardh
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَاللهُ فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ.

Barangsiapa menghilangkan suatu kesusahan dari seorang muslim dari kesusahan-kesusahan dunia, niscaya Allah akan menghilangkan darinya kesusahan dari kesusahan-kesusahan akhirat. Dan barangsiapa yang memberi kemudahan kepada orang yang mu’sir (kesulitan membayar hutang), niscaya Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Dan Allah selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya.”[1]

Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً.

Tidaklah seorang muslim memberi pinjaman kepada muslim yang lain dua kali kecuali, ia seperti menyedekahkannya sekali.[2]

Ancaman Keras Tentang Hutang
Dari Tsauban, budak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:

مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ الْكِبْرِ وَالْغُلُوْلِ وَالدَّيْنِ.

Barangsiapa yang meninggal dunia dalam keadaan berlepas diri dari tiga hal, maka ia masuk surga; (yaitu) sombong, ghulul (khianat dalam hal harta rampasan perang) dan hutang.[3]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ.

Jiwa seorang mukmin tergantung dengan hutangnya hingga ia melunasinya.’”[4]

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِيَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ.

Barangsiapa yang mati dan memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka akan dilunasi dari kebaikannya, (karena) di sana (akhirat) tidak ada dinar tidak pula dirham.’”[5]

Dari Abu Qatadah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di tengah mereka, lalu beliau menyebutkan kepada mereka bahwa jihad fii sabilillah dan beriman kepada Allah adalah amalan yang paling utama. Kemudian seseorang berdiri lalu berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu jika aku terbunuh fii sabilillah, apakah dosa-dosaku akan dihapus (diampuni)?” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Ya, apabila engkau terbunuh fii sabilillah sedang engkau dalam keadaan sabar dan mengharap pahala, maju dan tidak mundur.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bagaimana pertanyaanmu (tadi)?” Ia berkata, “Bagaimanakah pendapatmu apabila aku terbunuh fii sabilillah, apakah dosa-dosaku akan dihapus (diampuni)?” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نَعَمْ، وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ الدَّيْنَ، فَإِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَم قَالَ لِي ذلِكَ.

Ya, apabila engkau terbunuh fii sabilillah sedang engkau dalam keadaan sabar dan mengharap pahala, maju dan tidak mundur, kecuali hutang karena sesungguhnya Jibril Alaihissallam berkata kepadaku akan hal itu.[6]

Orang Yang Mengambil Harta Orang Lain Dengan Maksud Mengembalikannya Atau Merusaknya
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيْدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللهُ.

Barangsiapa yang mengambil harta orang dengan maksud mengembalikannya, maka Allah akan (menolong) untuk mengembalikannya. Dan barangsiapa yang mengambilnya dengan maksud merusaknya, maka Allah akan merusaknya.”[7]

Dari Syu’aib bin ‘Amr, ia berkata, “Telah bercerita kepada kami Shuhaib al-Khair dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam beliau bersabda:

أَيُّمَا رَجُلٍ يَدِينُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِيَ اللهَ سَارِقًا.

Siapa saja yang berhutang dengan suatu hutang dengan niat tidak akan mengembalikan kepadanya, maka ia akan bertemu dengan Allah sebagai seorang pencuri.’”[8]

Perintah Untuk Membayar Hutang
Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

Baca Juga  Riba

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Men-dengar lagi Maha Melihat.” [An-Nisaa’/4: 58]

Bersikap Baik Dalam Membayar Hutang
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Seseorang pernah memberi pinjaman seekor unta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia datang kepada Nabi menagih hutangnya, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berikan kepadanya.” Para Sahabat lalu mencari untanya dan mereka tidak menemukannya kecuali unta yang lebih baik, maka Nabi bersabda, “Berikan kepadanya.” Ia berkata, “Engkau telah memenuhi hakku (semoga) Allah memenuhinya untukmu.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً.

Sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam membayar hutang.”[9]

Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, ia berkata,

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ، قَالَ مِسْعَرٌ: أُرَاهُ قَالَ ضُحًى، فَقَالَ: صَلِّ رَكْعَتَيْنِ، وَكَانَ لِي عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَضَانِي وَزَادَنِي.

Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang beliau berada di masjid. -Mis’ar berkata, ‘Aku berpendapat ia berkata di saat waktu Dhuha.’- Lalu beliau bersabda, “Shalatlah dua raka’at.” Dan adalah beliau berhutang kepadaku, maka beliau membayarnya kepadaku dan memberikan tambahan kepadaku.’”[10]

Dari Isma’il bin Ibrahim bin ‘Abdillah bin Abi Rabi’ah al-Makhzumi, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminjam tiga puluh atau empat puluh ribu kepadanya ketika memerangi Hunain. Tatkala beliau datang dan melunasi hutang kepadanya, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَارَكَ اللهُ لَكَ فِي أَهْلِكَ وَمَالِكَ إِنَّمَا جَزَاءُ السَّلَفِ الْوَفَاءُ وَالْحَمْدُ.

Semoga Allah memberi berkah kepadamu pada keluarga dan hartamu, sesungguhnya balasan memberi pinjaman adalah (agar) dilunasi dan dipuji.”[11]

Bersikap Baik Dalam Menagih Hutang
Dari Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah Radhiyallahu anhum bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ طَالَبَ حَقًّا فَلْيَطْلُبْهُ فِي عَفَافٍ وَافٍ أَوْ غَيْرِ وَافٍ.

Barangsiapa yang menuntut suatu hak, maka hendaklah ia memintanya dengan hormat, ditunaikan (dibayar) maupun tidak ditunaikan.”[12]

Memberikan Tangguh Kepada Orang Yang Kesulitan Membayar Hutang
Allah Ta’ala berfirman:

وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَن تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” [Al-Baqarah/2: 280]

Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَاتَ رَجُلٌ فَقِيلَ لَهُ مَاكُنْتَ تَقُوْلُ؟ قَالَ: كُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ فَأَتَجَوَّزُ عَنِ الْمُوسِرِ وَأُخَفِّفُ عَنِ الْمُعْسِرِ، فَغُفِرَ لَهُ.

Ada seseorang yang meninggal, lalu dikatakan kepadanya, ‘Apa yang dahulu engkau katakan?’ Ia menjawab, ‘Aku dahulu berjual beli dengan orang-orang, aku bersikap lembut (dalam menagih hutang) kepada orang yang diberi kelapangan, dan aku memberi keringanan kepada orang yang kesulitan.’ Maka ia pun diampuni.’[13]

Dari Abul Yasar, Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُظِلَّهُ اللهُ فِي ظِلِّهِ، فَلْيُنْظِرْ مُعْسِرًا أَوْ لِيَضَعْ لَهُ.

Barangsiapa yang ingin untuk dinaungi oleh Allah dalam naungan-Nya, maka hendaklah ia memberi tangguh kepada orang yang kesulitan atau ia membebaskan hutangnya.’[14]

Menunda-Nunda Membayar Hutang Bagi Yang Mampu Adalah Kezhaliman
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ.

Mathlul Ghani (orang kaya yang menunda-nunda pembayaran hutang) adalah kezhaliman.’”[15]

Orang Yang Mampu Membayar Hutang Boleh Dipenjara Jika Ia Enggan Membayar Hutangnya
Dari ‘Amr bin asy-Syarid dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوْبَتَهُ.

Layyu al-Wajid (orang kaya yang menunda-nunda dalam membayar hutang) halal kehormatannya dan hukumannya.[16]

Baca Juga  Syirkah (Perserikatan)

Setiap Hutang yang Menarik Manfaat adalah Riba
Dari Abu Burdah, ia berkata, “Aku datang ke Madinah dan bertemu dengan ‘Abdullah bin Salam, lalu ia berkata, “Ikutlah bersamaku ke rumah, aku akan memberimu minum dari gelas yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminum darinya, dan engkau shalat di masjid yang beliau shalat di dalamnya.” Lalu aku berangkat bersamanya. Ia memberiku minum sawiq dan memberiku makan kurma, aku juga shalat di masjidnya. Kemudian ia berkata kepadaku, “Sesung-guhnya engkau berada di suatu negeri yang tersebar riba di dalamnya dan di antara pintu-pintu riba adalah salah seorang dari kalian memberi piutang hingga waktu (yang ditentukan), dan jika telah jatuh temponya, ia datang dengan membawa hutangnya dan sekeranjang hadiah, maka takutlah engkau terhadap keranjang tadi beserta isinya.”[17]

Rahn (Gadai)

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1] Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 1888)], Shahiih Muslim (IV/2074, no. 2699), Sunan at-Tirmidzi (IV/265, no. 4015), Sunan Abi Dawud (XIII/289, no. 4925).
[2] Hasan: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1389)], Sunan Ibni Majah (II/812, no. 2430)
[3] Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1956)], Sunan Ibni Majah (II/806, no. 2412), Sunan at-Tirmidzi (III/68, no. 1621).
[4] Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6779), al-Misykaah (no. 2915)], Sunan at-Tirmidzi (II/270, no. 1084)
[5] Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1958)], Sunan Ibni Majah (II/807, no. 2414)
[6] Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1197)], Shahiih Muslim (III/1501, no. 1885), Sunan at-Tirmidzi (III/127, no. 1765), Sunan an-Nasa-i (VI/34).
[7] Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 598)], Shahiih al-Bukhari (V/53, no. 2387).
[8] Hasan shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1954)], Sunan Ibni Majah (II/ 805, no. 2410)
[9] Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (V/225)], Shahiih al-Bukhari (IV/58, no. 2393), Shahiih Muslim (III/1225, no. 1601), Sunan an-Nasa-i (VII/291), Sunan at-Tirmidzi (II/389, no. 1330), secara ringkas.
[10] Shahih: Shahiih al-Bukhari (V/59, no. 2394), Sunan Abi Dawud (IX/197, no. 3331), pada kalimat yang terakhir saja.
[11] Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1968)], Sunan Ibni Majah (II/809, no. 2424), Sunan an-Nasa-i (VII/314).
[12] Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1965)], Sunan Ibni Majah (II/809, no. 2421)
[13] Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1963)], Shahiih al-Bukhari (V/58, no. 2391)
[14] Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1963), Sunan Ibni Majah (II/808, no. 2419)
[15] Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (V/61, no. 2400), Shahiih Muslim (III/1197, no. 1564), Sunan Abi Dawud (IX/195, no. 3329), Sunan at-Tirmidzi (II/386, no. 1323), Sunan an-Nasa-i (VII/317), Sunan Ibni Majah (II/803, no. 2403)
[16] Hasan: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 4373)], Sunan an-Nasa-i (VII/317), Sunan Ibni Majah (II/811, no. 2427), Sunan Abi Dawud (X/56, no. 3611), Shahiih al-Bukhari secara ta’liq (V/62).
Asal makna al-mathlu adalah al-maad (panjang). Ibnu Faris berkata, “Mathaltu al-hadidah amthaluha mathlan (aku memanjangkan besi), yaitu apabila madad-tuha litathuula (aku memanjangkannya sehingga menjadi panjang).” Al-Azhari berkata, “Al-mathlu artinya al-mudafa’ah (menolak) dan yang dimaksud di sini adalah mengakhirkan apa yang berhak untuk ditunaikan tanpa udzur syar’i. Sedangkan makna hadits, yaitu haram bagi orang kaya dan mampu untuk mengakhirkan (menunda-nunda) pembayaran hutangnya jika telah jatuh temponya, berbeda dengan orang yang tidak mampu.”
Layyu al-wajid artinya mengulur-ulur pembayaran hutang. Al-wajid adalah orang yang mampu membayar hutang, (maka orang yang seperti itu) halal kehormatannya dan hukumannya, maksudnya orang yang mempunyai (se-suatu atau uang) untuk membayar (hutangnya) halal kehormatannya bagi si pemberi hutang untuk mengatakan, “Dia telah menzhalimiku.” Dan ia (halal) untuk dihukum dengan cara ditahan dan dipukul
[17] Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (V/235)], Shahiih al-Bukhari (no. 342, 3814), Sunan al-Baihaqi (V/349)