Hukum Wanita Yang Mengalami Haid Pertama

HUKUM WANITA YANG MENGALAMI HAIDH PERTAMA

Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu-Asy-Syaikh

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu-Asy-Syaikh ditanya : Tentang hukum wanita yang baru pertama kali mengalami haidh?

Jawaban.
Pendapat yang benar, yang tidak boleh bagi kaum wanita untuk mengambil pendapat-pendapat lainnya selain pendapat ini adalah bahwa jika seorang wanita yang belum pernah mengalami haidh mengeluarkan darah pada suatu waktu yang diperkirakan sebagai masa haidh, maka ia harus meninggalkan shalat, puasa serta ibadah lainnya sehingga habis masa haidnya, masa itu adalah masa haidh, dan tidak perlu baginya untuk menunggu sampai berulangnya peristiwa serupa (untuk menetapkan sebagai masa haisdnya).

Kaum wanita pada masa sekarang dan juga pada masa-masa sebelumnya hanya melaksanakan pendapat ini. Ini adalah pendapat yang benar dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan pendapat ini adalah pendapat yang benar dalam masalah ini. Adapun pendapat-pendapat ulama madzhab Hanbali sejauh yang saya ketahui adalah sama dengan pendapat ini, kemudian mereka menta’birkannya lima belas hari. Yang benar, pendapat ini adalah pendapat yang tidak ada dalil yang menguatkannya, untuk itu jika seorang wanita masih mengeluarkan darah hingga enam belas hari atau tujuh belas hari, atau delapan belas hari maka ia harus meinggalkan shalat, puasa serta ibadah lainnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : Seorang wanita harus meninggalkan shalat, puasa serta ibadah lainnya selama masih mengalir darinya darah yang bukan darah istihadhah (darah penyakit) dan darah istihadhah itu dapat dikenali.

Darah istihadhah adalah darah yang keluar terus menerus dalam jumlah yang banyak(defenisi darah istihadhah menurut Syaikhhul Islam). Dan perlu saya beritahukan di sini bawha ketika Allah menyebutkan tentang haidh, Allah tidak menyebutkan batas umur haidh, tidak menyebutkan masa haidh dan tidak merinci permulaan masa haidh, begitu pula Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan bahwa permulaan haidh adalah begini dan begitu. Pada dasarnya bahwa darah yang keluar dari kemaluan seorang wanita adalah darah haidh, memang benar jika disebutkan bahwa ada darah yang dinamakan darah istihadhah, akan tetapi darah istihadhah ini memilki hukum tersendiri dan darah tersebut dapat dibedakan dengan darah haidh. Untuk itu tidak ada jalan lain bagi kaum wanita kecuali harus melakasanakan pendapat ini. Bahkan sekalipun seseorang hendak mengobati wanita sehingga mereka melaksanakan pendapat tentu mereka tidak mampu dan tidak melaksankan pendapat orang tersebut. Dan ini meskipun bukan hujjah tapi bisa menerangkan bahwa apa yang disebutkan di dalam pendapat ini terdapat kesulitan.

Baca Juga  Wanita Nifas Tidak Boleh Shalat dan Puasa

[Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/99]

[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Terbitan Darul Haq]

  1. Home
  2. /
  3. A9. Fiqih Ibadah1 Thaharah...
  4. /
  5. Hukum Wanita Yang Mengalami...