Perkawinan Sejenis Dalam Tinjauan Islam

PERKAWINAN SEJENIS DALAM TINJAUAN ISLAM

Oleh
Ustadz Ruslan Zuardi Mora Elbagani, Lc.

Bila dicermati dengan seksama, secara bahasa, perpaduan antara kata “perkawinan” dengan kata “sejenis” yang sering dijumpai pada istilah “perkawinan sejenis”, terdapat ketidakcocokan makna. Hal itu dikarenakan, perkawinan adalah penggabungan, persilangan, dan pembastaran dari dua jenis kelamin yang berbeda, laki-laki dengan perempuan pada manusia, atau jantan dengan betina pada hewan dan tumbuhan. Sehingga tidak tepat jika perkawinan itu terjadi hanya antara satu jenis makhluk hidup.

Meski fenomena ini dilegalkan di sebagian wilayah di negara-negara Eropa (Barat), namun hal itu lebih layak disebut dengan hubungan sejenis, karena tidak lebih dari sekedar pelampiasan nafsu birahi dengan cara yang salah. Adapun pernikahan, memiliki makna yang jauh lebih luas dan mulia dari pada sekedar pelampiasan nafsu. Demikian pula perkawinan dalam syariat Islam tidak dibenarkan, kecuali dari dua jenis kelamin yang berbeda.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَخَلَقْنَاكُمْ أَزْوَاجًا

Dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan. [an-Nabâ’/78:8].

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum kamu dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. [ar-Ra’d/13:38].

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu[1]   sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. [ar-Rûm/30:21].

Dalam bahasa Arab, kata “zauj” dan “azwaj” bermakna istri atau suami. Kata ini tidak terwujud, kecuali bila diawali dengan pernikahan atau perkawinan antara dua individu berjenis kelamin yang berbeda.

Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala’

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. [an-Nisâ’/4:3].

Banyak ayat senada yang memerintahkan untuk menikahi wanita (lawan jenis).

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

    تَزَوَّجُوْا الْوَلُوْدَ الْوَدُوْدَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمُ

Nikahilah wanita yang penyayang dan subur. karena aku berbangga dengan banyaknya jumlah kalian- ummatku-(yakni pada hari kemudian[2]

HUKUM HUBUNGAN SEJENIS
Jika menelaah peradaban manusia, sebenarnya fenomena penyimpangan seksual sudah terjadi jauh sebelum masa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tepatnya pada masa Nabi Lûth yang diutus untuk kaum Sadoum. Hampir semua kitab tafsir mengabadikan kisah tersebut dengan menyingkap kandungan ayat-ayat yang berkaitan dengan kisah Nabi Lûth. Sebagaimana dapat dilihat dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ ﴿٢٨﴾ أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ وَتَقْطَعُونَ السَّبِيلَ وَتَأْتُونَ فِي نَادِيكُمُ الْمُنْكَرَ ۖ فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا ائْتِنَا بِعَذَابِ اللَّهِ إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ

Dan (ingatlah) ketika Lûth berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun dari umat-umat sebelum kamu. Apakah sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki, menyamun[3] dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu ?” Maka jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan, “Datangkanlah kepada kami azab Allâh, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.” [al-‘Ankabût/29:28-29]

Juga firman-Nya.

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ﴿٨٠﴾إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ ۚ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ﴿٨١﴾ وَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا أَخْرِجُوهُمْ مِنْ قَرْيَتِكُمْ ۖ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ﴿٨٢﴾ فَأَنْجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلَّا امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ﴿٨٣﴾ وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا ۖ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِينَ

Dan (Kami juga telah mengutus) Lûth (kepada kaumnya). Ingatlah tatkala ia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fâhisyah itu[4] yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu ? Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas”. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan, “Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri,” kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu. [al-A’raf/7:80-84].

Juga firman-Nya :

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ وَأَنْتُمْ تُبْصِرُونَ ﴿٥٤﴾ أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ ۚ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ ﴿٥٥﴾ فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا أَخْرِجُوا آلَ لُوطٍ مِنْ قَرْيَتِكُمْ ۖ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ ﴿٥٦﴾ فَأَنْجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلَّا امْرَأَتَهُ قَدَّرْنَاهَا مِنَ الْغَابِرِينَ

Dan (ingatlah kisah) Lûth, ketika dia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fâhisyah itu sedang kamu melihatkan(nya)? Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu(mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu),” maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan: “Usirlah Lûth beserta keluarganya dari negerimu; karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (mendakwakan dirinya) bersih,” maka Kami selamatkan dia beserta keluarganya, kecuali isterinya. Kami telah mentakdirkan dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). [an-Naml/27:54-57].

Demikianlah sejarah yang memberikan pemahaman betapa hina perbuatan keji ini, dan kehinaan bagi pelakunya.

Selanjutnya dalam khazanah keilmuan Islam khususnya ilmu fiqh, praktek homoseksual dan lesbian telah dibahas tuntas, bahwa hukumnya haram. Penyimpangan seksual ini yang dalam Islam sering disebut al-fâhisyah (dosa besar) merupakan perilaku sangat menjijikkan dan bertentangan dengan kodrat ataupun tabiat manusia. Para Ulama selain mengharamkannya, juga sangat mengutuk serta mengecam perbuatan itu. Namun demikian, pendapat para ulama tidaklah berlebihan dalam masalah tersebut karena telah jelas dalil-dalil yang mereka kemukakan.

Bila ditelusuri secara bahasa, sebenarnya tidak ada perbedaan penggunaan kata antara homoseksual dengan lesbian. Dalam bahasa Arab keduanya dinamakan al liwath. Pelakunya dinamakan al-luthiy (lotte). Namun demikian, Imam al-Mawardi rahimahullah membedakannya. Beliau menyebut homoseksual dengan liwath, dan lesbian dengan sihaq atau musâhaqah.[5]

Adapun hukum perbuatan ini sangat jelas disebutkan dalam al-Qur’ân, Hadits dan ijmâ’ para Ulama. Allâh Azza wa Jalla menggambarkan azab yang menimpa kaum Nabi Lûth dalam firman-Nya :

فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ﴿٨٢﴾مُسَوَّمَةً عِنْدَ رَبِّكَ ۖ وَمَا هِيَ مِنَ الظَّالِمِينَ بِبَعِيدٍ

Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Lûth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Rabbmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim. [Hûd/11:82-83]

Tidaklah Allâh Azza wa Jalla  menurunkan azabnya kecuali kepada orang-orang yang zhalim (melakukan hal yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla ). Dalam sebuah hadits, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

Baca Juga  Hukum Perkawinan Dengan Ahlul Bid'ah

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي عَمَلَ قَوْمِ لُوْطٍ

Dari Jâbir bin Abdullâh Radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takuti (menimpa) umatku adalah perbuatan kaum Lûth”[6]

Para Ulama juga sudah Ijmâ’, bahwa perilaku homoseksual dan lesbian adalah haram. Ini sudah menjadi Ijma’ (kesepakatan) Ulama Islam. Artinya, tidak ada diantara para Ulama yang berselisih tentang masalah ini. Jadi, tidak ada seorang Ulama pun yang berpendapat tentang kehalalannya. Hal ini sudah menjadi ketetapan hukum sejak dahulu sampai hari kemudian.

Ibnu Qudâmah al-Maqdisi menyebutkan bahwa penetapan hukum haramnya praktek homoseksual adalah Ijma’ (kesepakatan) Ulama, berdasarkan nash-nash al-Qur’ân dan al-Hadits.[7] Sehingga, dapat diambil kesimpulkan tentang haramnya hubungan sejenis menurut syari’at Islam.

HUKUMAN BAGI PELAKU HUBUNGAN SEJENIS
Menurut sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ  : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ وَجَدْتُمُوْهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوْطٍ فَاقْتُلُوْا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُوْلَ بِهِ

Dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma, ia berkara, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang kalian dapatkan melakukan perbuatan homoseksual, maka bunuhlah kedua pelakunya.”[8]

Akan tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai jenis dan bentuk hukuman yang dikenakan kepada pelakunya. Timbulnya perbedaan ini karena perbedaan dalam menginterpretasi dalil-dalil yang bersumber dari al-Qur’ân, al-Hadits dan atsar (fakta sejarah sahabat). Mereka berbeda pendapat mengenai hukuman yang layak diberlakukan kepada para pelakunya.

Perbedaan yang muncul hanya menyangkut dua hal. Pertama, perbedaan sahabat dalam menentukan jenis hukuman. Kedua, perbedaan ulama dalam mengkategorikan perbuatan tersebut, apakah dikategorikan zina atau bukan? Perbedaan ini berimplikasi terhadap kadar atau jenis hukuman yang dikenakan. Dan di bawah ini pendapat beberapa ulama salaf.

Imam Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi) berpendapat:
“Praktek homoseksual tidak dikategorikan zina dengan alasan: (1) karena tidak ada unsur (kriteria) kesamaan antara keduanya. Unsur menyia-nyiakan anak dan ketidakjelasan nasab (keturunan) tidak didapatkan dalam praktek homoseksual, (2) berbedanya jenis hukuman yang diberlakukan para sahabat”.

Berdasarkan kedua alasan ini, maka Abu Hanifah berpendapat bahwa hukuman terhadap pelaku homoseksual adalah ta’zir (diserahkan kepada penguasa atau pemerintah).[9]

Menurut Muhammad ibnu al-Hasan asy-Syaibani dan Abu Yusuf (keduanya murid Abu Hanifah): “Praktek homoseksual dikategorikan zina, dengan alasan adanya beberapa unsur kesamaan antara keduanya, seperti: (1) tersalurkannya syahwat pelaku, (2) tercapainya kenikmatan (karena penis dimasukkan ke lubang dubur), (3) tidak diperbolehkan dalam Islam, (4) menumpahkan (menyia-nyiakan) air mani”.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Muhammad Ibnu al-Hasan dan Abu Yusuf berpendapat bahwa hukuman terhadap pelaku homoseksual sama seperti hukuman yang dikenakan kepada pezina, yaitu kalau pelakunya muhshan (sudah menikah), maka dihukum rajam (dilempari dengan batu sampai mati), dan kalau ghairi muhshan (bujang), maka dihukum cambuk dan diasingkan selama satu tahun.[10]

Imam Malik berpendapat:
“Praktek homoseksual dikategorikan zina, dan hukuman yang setimpal untuk pelakunya adalah dirajam (bila ia baligh, berakal, dan tidak dipaksa), baik pelakunya muhshan (sudah menikah) atau ghairi muhshan (perjaka)”.[11]

Sedangkan menurut Imam Syafi’i:
“Praktek homoseksual tidak dikategorikan zina, tetapi terdapat kesamaan ; bahwa keduanya sama-sama merupakan hubungan seksual terlarang dalam Islam. Hukuman untuk pelakunya ialah: kalau pelakunya muhshan (sudah menikah), maka dihukum rajam; kalau ghairi muhshan (bujang), maka dihukum cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun”.

Pendapat ini sama dengan pendapat Said bin Musayyib, Atha’ bin Abi Rabah, an-Nakha’i, al-Hasan dan Qatadah.[12]

Menurut Imam Hambali:
“Praktek homoseksual dikategorikan zina. Mengenai jenis hukuman yang dikenakan kepada pelakunya beliau mempunyai dua pendapat: (1) dihukum sama seperti pezina, kalau pelakunya muhshan (sudah menikah) maka dihukum rajam, dan alau pelakunya ghairi muhshan (bujang), maka dihukum cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Pendapat inilah yang paling kuat. (2) dibunuh dengan dirajam, baik pelakunya muhshan maupun ghairi muhshan“.[13]

Terlepas dari pendapat para ulama di atas, dapatlah dikatakan jika hukuman dari perbuatan keji ini sangatlah pedih dan memalukan.

Setelah mengetahui hukum perbuatan keji ini dan hukuman bagi pelakunya, maka jelaslah kekeliruan pendapat yang mengatakan bahwa hubungan sejenis itu merupakan kelaziman yang dibuat oleh Allâh –dan Allâh berlepas diri dari yang mereka katakan secara dusta. Adapun sikap bagi seorang Muslim, bila dibacakan kepadanya ayat Allâh Azza wa Jalla , hendaklah ia tunduk dan patuh pada perintah, dan menjauhkan diri dari larangan-larangan Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Hendaklah seseorang berjalan sesuai fitrahnya (naluri suci) yang selalu mengarahkan jiwa manusia ke arah kebaikan. Janganlah sesekali mencoba untuk menghindari fitrah dan mengikuti hawa nafsu yang dapat mengantarkannya pada perbuatan fasik.

Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala:

فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ ۚ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. [ash-Shaff/61:5].

Allâh Azza wa Jalla juga melarang orang-orang yang mengada-ada tentang suatu hukum dalam syariat Islam. Allâh Azza wa Jalla berfirman.

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ وَهَٰذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allâh. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allâh tidaklah beruntung. [an-Nahl/16:116].

BAHAYA HUBUNGAN SEJENIS
Sesungguhnya tanpa disadari dalam perilaku homoseksual dan lesbian terdapat banyak bahaya besar. Bahaya yang paling besar adalah melanggar aturan syari’at, yang sudah sangat jelas menerangkan perbuatan nista ini. Demikian pula dengan ancaman neraka, juga sudah cukup mewakili bahaya-bahaya lainnya. Itu dikarenakan melencengnya fitrah mereka sebagai manusia yang bermula dari tidak tunduk dan patuh terhadap syariat Islam. Disamping itu juga terdapat bahaya secara medis dan psikologis.

Pertama, Bahaya Secara Medis, misalnya:
Sakit pada anus
Hal ini bisa terjadi pada pelaku homoseksual, karena bila dibandingkan dengan vagina, struktur anus jauh lebih ketat. Bila terdapat tekanan yang kuat saat melakukan hubungan seks pada anus, maka hal tersebut dapat menyebabkan rasa nyeri, sakit, tidak nyaman atau bahkan lecet hingga menyebabkan sakit saat buang air besar. Ini dikarenakan anus tidak seperti organ reproduksi wanita atau vagina yang diciptakan untuk dapat melubrikasi dirinya sendiri saat timbulnya rangsangan, sedangkan pada anus hal tersebut tidak terjadi.

Demikian pula hal ini dapat berimbas pada penularan virus dan bakteri berbahaya, seperti Escherichia coli (E. coli). Penularan bakteri ini dapat menyebabkan penyakit yang ringan dan parah seperti gastroenteritis (penyakit infeksi usus yang sangat menular). Beberapa strain E. coli (E. coli uropathic) juga dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, mulai dari cystitis (radang kandung kemih) hingga pielonefritis (infeksi ginjal serius akibat bakteri).[14]

Kanker
Penelitian yang dilakukan oleh Cancer Research Inggris[15] menemukan, bahwa homoseksual dan lesbian lebih rentan terkena kanker. Dari penelitian yang dilakukan selama tahun 2001, 2003, dan 2005, diketahui bahwa (penderita kanker) 1.493 pria dan 918 wanita mengaku sebagai gay dan lesbian. Sementara 1.116 wanita mengaku berorientasi biseksual.

Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa gay dua kali lebih berisiko terkena kanker dibandingkan dengan pria heteroseksual. Pria heteroseksual memiliki kemungkinan 5%, sementara pria gay diketahui memiliki risiko lebih dari 8% untuk terkena kanker. Terdapat beberapa kanker yang rawan diderita oleh para pelaku hubungan sejenis diantaranya:

  1. Kanker anal yang disebabkan virus HPV (Human Papillomavirus).[16]
  2. Kanker mulut yang disebabkan oral seks para gay dan lesbi pada banyak pasangan yang berbeda.
Baca Juga  Perintah Untuk Menikahkan Orang yang Sendirian Tanpa Pasangan

HIV dan PMS
Kecenderungan gay dan waria menularkan HIV/AIDS dikatakan oleh dr Yulia Maryani, selaku dokter praktek penanganan masalah infeksi menular seksual (IMS).

“Kelompok gay cenderung melakukan hubungan seksual lewat anus (anal seks, Red). Seperti diketahui, anus adalah tempat pembuangan yang banyak ditemui pembuluh darah di daerah sekitar anus. Sehingga dengan seks yang rutin dilakukan lewat anus akan mengakibatkan pecahnya pembuluh darah yang mengakibatkan luka pada bagian tersebut. Luka inilah yang nantinya akan menjadi pintu masuknya virus HIV melalui darah,” terang Yulia di ruang prakteknya, di kawasan Jalan Veteran Medan, Kamis (8/3).

Tidak hanya rentan tertular HIV, sambung Yulia, gay dan lesbi juga rentan terhadap penularan penyakit IMS (IMS yang bisa menular melalui hubungan seks anal antara lain human immunodeficiency virus (HIV), human papilloma virus (HPV), yang dapat menyebabkan kutil kelamin, kanker dubur, hepatitis A dan C, chlamydia, gonorrhea dan herpes. Dan perlu diingat, seseorang yang terkena IMS memiliki risiko lebih besar untuk terinfeksi HIV. Bahkan, menurut Yulia dari pengalaman yang ditemui terhadap sejumlah pasiennya dari kelompok gay dan lesbi, banyak dari mereka yang tidak mengetahui jika mereka telah terinfeksi IMS maupun HIV.

Akibat ketidaktahuan inilah yang akhirnya menyebarkan virus ke orang lain, apalagi para pelaku seks yang dominan berganti-ganti pasangan”.

Kedua, Bahaya Secara Psikologis (Rohani).
Banyak kaum homoseksual yang kemudian menjadi sangat posesif dengan pasangannya. Hal Ini disebabkan karena peluang mereka yang jauh lebih terbatas dibandingkan dengan kaum heteroseksual.  Sehingga bermula dari sikap posesif inilah muncul tindakan kekerasan dan pembunuhan di kalangan kaum homoseksual dan lesbian (jauh lebih banyak jika dibandingkan dari segi proporsional). Perasaan gelisah karena merasa berbeda dan berdampak pada terkucilkan dalam pergaulan bermasyarakat (terutama masyarakat timur) yang berakhir dengan keputusasaan yang menyebabkan sulit untuk berubah.

Begitulah azab yang diterima di dunia yang tentu saja tidak sebanding dengan azab besar yang akan diterima di akhirat kelak.

SOLUSI HUBUNGAN SEJENIS
Untuk mengetahui solusi yang perlu diambil dalam pencegahan tindakan hubungan sejenis maupun pengobatan bagi pelaku penyimpangan tersebut, sebaiknya kita mengetahui penyebab terjadinya homoseksual dan lesbian itu.

Terdapat penyebab yang berbeda-beda yang mengakibatkan berbeda pula penanganannya. Penyebab utama yang sudah pasti menyebabkan fenomena ganjil ini adalah kurangnya iman yang membuat seseorang tidak tunduk dan patuh terhadap syari’at Islam yang sudah jelas mengharamkan praktek homoseksual dan lesbian ini. Selain itu terdapat penyebab secara psikologis, diantaranya trauma masa lalu (pernah mengalami pelecehan seksual, misal disodomi), membenci lawan jenis,  keluarga yang tidak harmonis (ayah atau ibu yang kasar), atau pernah dikecewakan pasangan, dan lingkungan yang buruk (maksiat yang menghalalkan free sex, praktek homoseksual dan lesbian).

Untuk mencegah praktek hubungan sejenis diantaranya pendidikan Islam sejak kecil, sehingga menjauhkan generasi muda dimulai dari sekedar fikiran negatif hingga perbuatannya. Yaitu pendidikan Islam secara benar dengan tunduk dan patuh terhadap syari’at Islam serta berjalan di atas fitrah sebagai manusia. Hubungan keluarga yang harmonis berlandaskan syari’at Islam serta lingkungan yang agamis juga memiliki peranan yang sangat penting. Selain itu, perhatian dari orang tua kepada anaknya sejak kecil (aktivitasnya dan lingkungan di sekitarnya) dan perlindungan terhadap bahaya yang mengancam merupakan hal yang tidak boleh dilupakan. Sementara itu, dengan menyibukkan diri pada hal-hal yang bermanfaat seperti menuntut ilmu (terutama ilmu agama) juga menjadi benteng pertahanan yang akan menjauhkan diri dari orientasi aneh yang menjurus pada hubungan ganjil ini.

Adapun jika seseorang tersebut sudah terlanjur memiliki keluarga yang tidak agamis dan harmonis, maka segeralah bentengi diri dengan iman, sehingga tidak jatuh pada trauma mendalam yang memicu pada kebencian berlebihan terhadap lawan jenis. Sedangkan apabila berada pada lingkungan yang buruk dan penuh maksiat, hendaklah segera hijrah kepada lingkungan yang baik (terutama lingkungan agamis yang selalu mengamalkan syariat Islam secara baik).

Diantara solusi yang dapat ditempuh oleh pelaku hubungan sejenis, adalah keinginan yang kuat untuk berubah dengan diawali taubat nasuha (tidak akan mengulangi kembali perbuatan dosa), kemudian berusaha secara sabar, sungguh-sungguh dan disiplin mengontrol hasrat diri, melupakan trauma masa lalu (apabila ia merupakan penyebab perilaku menyimpang ini). Selanjutnya dukungan dari orang-orang sekitar, baik para orang tua, kerabat dan teman yang baik, bahkan psikolog sangatlah diperlukan. Dengan melakukan terapi kognitif, seperti membangunkan kesadaran bahwa apa yang pelaku perbuat merupakan kesalahan tanpa menyudutkan dan menumbuhkan motivasi pada diri si pelaku. Juga dengan terapi behavior, yaitu si pelaku dimasukkan dalam lingkungan yang lebih bersih dan baik (terutama lingkungan Islami), yang mendukung kesembuhannya serta dijauhkan dari komunitasnya.

Mudah-mudahan Allâh senantiasa membimbing kita kearah kebaikan dan menjauhkan kita dari segala yang dapat menimbulkan murka-Nya. Wallâhu Ta’ala a’lam.

Sumber Bacaan:

  1. Al-Qur’ân al-Karîm dan terjemahannya.
  2. Tafsîr ath-Thabari, cet. Muassasah ar-Risalah, th. 1420
  3. Tafsîr Ibnu Katsîr, cet. Dar ath-Thayyibah, th. 1420
  4. Sunan Abi Dâwud, Darul-Fikar.
  5. Sunan at-Tirmidzi, cet. Dar Ihya at-Turats al-‘Araby, Beirut.
  6. Sunan Ibnu Mâjah, cet. Darul-Fikar, Beirut.
  7. Sunan ad-Daruqudni, cet. Dar al-Ma’rifah, Beirut.
  8. Mustadrak al-Hâkim, cet. Dar al-Kutub al-‘Ilmiah.
  9. Al-Mabsûth, karya as-Sirkhisi, cet. Darul-Fikar.
  10. Fathu al-Qadîr.
  11. Syarhu al-Kabîr, karya Mawardi, cet. Darul-Fikar.
  12. Al-Mughni, karya Ibnu Qudâmah, cet. Darul-Fikar.
  13. Al-Inshâf, karya Mardawai, cet. Dar Ihya at-Turats al-‘Araby, Beirut.
  14. 14. Al-Hidâyah Syarhu al-Bidâyah, karya ‘Ali bin Abi Bakar al-Murgiyani.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XVI/1434H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Maksudnya adalah manusia
[2] HR an-Nasâ-i, 3227 dan Thabrani, 16902, dari Sahabat Ma’qil bin Yasâr Radhiyallahu anhu.
[3] Maksudnya homoseksual.
[4] Perbuatan fâhisyah ini ialah homoseksual. Lihat Tafsir ath-Thabari, 12/547 dan Tafsîr Ibnu Katsîr, 3/445.
[5] Lihat al-Hâwi al-Kabîr, karya al-Mawardi, 13/477.
[6] HR Ibnu Mâjah, 2563; Tirmidzi, 1457. Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan gharîb.Hâkim berkata, “Hadits shahîhul isnâd.” al-Mustadrak, 8057.
[7] Al-Mughni, juz 10 hlm. 155.
[8] Abu Dâwud, 4462; Ibnu Mâjah, 856; at-Tirmudzi, 1456; dan Darruquthni, 140.
[9] Al-Hidâyah Syarhul Bidâyah, 7/194-196; Fathul-Qadîr, 11/445-449, dan al-Mabsûth, 9/134-135.
[10] Dalam al-Hidâyah Syarhul-Bidâyah, 7/194-196; Fathul Qadîr, 11/444-449 dan al-Mabsûth, 9/132-133.
[11] Minahul Jalîl, 19/455.
[12] Al-Majmû’, 20/22-24 dan al-Hâwi al-Kabîr, 13/474-477.
[13] Al-Furû’10/53-57, al-Mughni, 10/155-157, dan al-Inshâf, 10/134-136.
[14] http://pendidikanpsikologiseksual.blogspot.com/2011/02/bahaya-melakukan-seks-lewat-anus.html
[15] http://m.merdeka.com/sehat/bahaya-kanker-di-balik-hubungan-sesama-jenis.html dalam artikel “Bahaya kanker di balik hubungan sesama jenis” oleh Reporter : Kun Sila Ananda (Minggu, 15 Juli 2012  10:13:00)
[16] Menurut research oleh Brat Camp, Direktur Eksekutif di Pelayanan Kesehatan dan Medis Nelson-Tebedo Clinic.

  1. Home
  2. /
  3. A9. Fiqih Ibadah6 Nikah
  4. /
  5. Perkawinan Sejenis Dalam Tinjauan...