Salam (Pesanan)

SALAM (PESANAN)

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Definisi Salam
As-Salam dengan dua fat-hah sama dengan as-salaf baik secara wazan (timbangan ilmu sharaf) maupun secara makna.

Dan hakikatnya secara syara’ adalah menjual barang yang telah disebut sifatnya di dalam tanggungan dengan bayaran kontan (di muka).[1]

Pensyari’atan Salam
Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…” [Al-Baqarah/2: 282]

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata, “Aku bersaksi bahwa salaf (salam/ pesanan) yang terjamin hingga waktu yang ditentukan telah dihalalkan Allah dalam kitab-Nya dan telah diizinkan padanya, kemudian ia membaca… (ayat diatas).”[2]

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma pula, “Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah dan pada waktu itu para penduduk Madinah melakukan akad salaf (salam) pada buah kurma dalam batas waktu dua tahun dan tiga tahun. Lalu beliau bersabda:

مَنْ أَسْلَفَ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ.

Barangsiapa memesan suatu barang, maka dia harus memesannya dalam takaran dan timbangan yang diketahui hingga batas waktu yang diketahui.[3]

Melakukan Akad Salam Kepada Orang Yang Tidak Memiliki Barangnya
Dalam akad salam tidak disyaratkan agar orang yang dipesan (al-musallam ilaih) memiliki barang yang dipesan (al-musallam fih).

Diriwayatkan dari Muhammad bin Abi al-Mujalid, ia berkata, “’Abdullah bin Syadad dan Abu Burdah mengutusku kepada ‘Abdullah bin Abi Aufa Radhiyallahu ‘anhu, lantas keduanya berkata, ‘Tanyakan kepadanya (yaitu ‘Abdullah bin Abi Aufa), apakah para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di zaman beliau melakukan akad salam pada hinthah (gandum)?’ ‘Abdullah menjawab, ‘Kami dahulu melakukan akad salam dengan petani dari penduduk Syam pada gandum, sya’ir dan minyak (zait) dalam takaran yang jelas hingga batas waktu yang jelas pula.’ Aku bertanya, ‘Apakah kepada orang yang ia memiliki barangnya?’ Ia menjawab, ‘Kami tidak menanyakan hal itu kepada mereka.’ Kemudian keduanya mengutusku kepada ‘Abdurrahman bin Abza, lalu aku bertanya kepadanya dan ia menjawab:

Baca Juga  Syuf'ah

كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْلِفُوْنَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ نَسْأَلْهُمْ، أَلَهُمْ حَرْثٌ أَمْ لاَ.

Dahulu para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan salam di zaman beliau dan kami tidak bertanya kepada mereka apakah mereka memiliki tanamannya atau tidak.[4]

Qardh (Pinjaman)

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1] Fiqhus Sunnah (III/171)
[2] Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1369)], Mustadrak al-Hakim (II/286), al-Baihaqi (VI/18)
[3] Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/429, no. 2240), Shahiih Muslim (III/ 1226, no. 1604), Sunan at-Tirmidzi (II/387, no. 1325), Sunan Abi Dawud (IX/ 348, no. 3446), Sunan Ibni Majah (II/765, no. 2280), Sunan an-Nasa-i (VII/290)
[4] Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1370)], Shahiih al-Bukhari (IV/430, no. 2244) dan ini adalah lafazhnya, Sunan Abi Dawud (IX/349, no. 3447), Sunan an-Nasa-i (VII/290), Sunan Ibni Majah (II/766, no. 2282).