Keutamaan Bulan Sya’ban
KEUTAMAAN BULAN SYA’BAN
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله
Alhamdulilah was Sholaatu was salaamu ‘ala Rasulillah.
Alhamdulillah kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala nikmat yang tidak terhingga. Kalau kita mau hitung nikmat-nikmat Allah, maka kita tidak akan bisa dan tidak akan mampu menghitungnya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌﱠ
“Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya.Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menghitungnya.Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” [Ibrahim/14: 34]
Kalau kita bandingkan antara nikmat-nikmat Allah yang kita peroleh dengan musibah, pasti yang banyak adalah nikmat.Adapun musibah hanya sebentar tidak lama.
Di antara nikmat Allah, kita sekarang berada di bulan Sya’ban.Apa saja sunnah-sunnah yang harus kita lakukan di bulan sya’ban ini dan apa saja yang tidak boleh kita lakukan.
DEFINISI BULAN SYA’BAN
Dinamakan Sya’baan ( شَعْبَانَ ) –diambil dari lafazh شَعْبٌ yang artinya kelompok atau golongan– karena orang-orang Arab dahulu pada bulan tersebut berpencar-pencar ( يَتَشَاعَب) untuk mencari sumber air. Juga karena mereka berpisah-pisah ( تَشَاعُب / terpencar) di gua-gua. Dan dikatakan sebagai bulan Sya’ban karena bulan tersebut muncul ( شَعَبَ ) di antara dua bulan mulia, yaitu Rajab dan Ramadhan. Bentuk jamaknya adalah شَعَبَنَات dan شَعَابِيْن. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Dinamakan Sya’ban karena sibuknya mereka mencari air atau sumur setelah berlalunya bulan Rajab yang mulia. Dan ada juga yang berpendapat selain itu.”Wallaahu a’lam.[1]
KEUTAMAAN BULAN SYA’BAN
1. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Sering Berpuasa di Bulan Sya’ban
Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma,ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berpuasa hingga kami mengatakan beliau tidak pernah berbuka; dan pernah beliau senantiasa berbuka hingga kami mengatakan beliau tidak pernah berpuasa. Aisyah Radhiyallahu anhuma melanjutkan,
…وَمَا رَأَيْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِـيْ شَعْبَانَ.
“Aku tidak melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan puasa sebulan, kecuali Ramadhan. Dan aku tidak melihat beliau berpuasa lebih banyak dari bulan-bulan yang lain melainkan pada bulan Sya’ban.”[2]
عَنْ أَبِيْ سَلَمَةَ، أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا حَدَّثَتْهُ قَالَتْ: لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم يَصُوْمُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، وَكَانَ يَصُوْمُ شَعْبَانَ كُلَّهُ، وَكَانَ يَقُوْلُ: خُذُوْا مِنَ الْعَمَلِ مَاتُطِيْقُوْنَ، فَإِنَّ اللهَ لَايَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوْا، وَأَحَبُّ الصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم مَادُوْوِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّتْ، وَكَانَ إِذَا صَلَّى صَلَاةً دَاوَمَ عَلَيْهَا
Dari Abu Salamah, ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma pernah menceritakan kepadanya, dia berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak daripada bulan Sya’ban. Beliau berpuasa pada bulan Sya’ban sepenuhnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Lakukanlah amalan (sunnah) semampu kamu. Sesungguhnya Allah tidak akan merasa bosan (terhadap amal yang terus-menerus kalian lakukan), hingga kalianlah yang merasa bosan.’Shalat yang paling dicintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah shalat yang dikerjakan secara terus-menerus (konsisten), walaupun hanya sedikit.Apabila beliau mengerjakan suatu shalat, beliau mengerjakannya secara terus-menerus (konsisten).”[3]
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ قَيْسٍ أَنَّهُ سَمِعَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَقُوْل: كَانَ أَحَبُّ الشُّهُوْرِ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم أَنْ يَصُوْمَهُ شَعْبَانَ ثُمَّ يَصِلُهُ بِرَمَضَانِ .
Dari Abdullah bin Abi Qays, bahwasanya dia mendengar ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata: “Bulan yang paling disukai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpuasa adalah bulan Sya’ban. Karena itulah, beliau menyambungkan puasa pada bulan itu dengan puasa bulan Ramadhan.”[4]
2. Bulan Sya’ban adalah Bulan Diangkatnya Amal-amal Manusia kepada Allah Ta’ala
Hal ini berdasarkan hadits dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhu, ia mengatakan, “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, saya tidak melihat engkau berpuasa di suatu bulan seperti engkau berpuasa di bulan Sya’ban.”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
ذٰلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيْهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِـيْ وَأَنَا صَائِمٌ.
“Bulan itu, banyak manusia yang lalai, yaitu (bulan) antara Rajab dan Ramadhan, bulan diangkatnya amal-amal kepada Rabb semesta alam, dan aku ingin amalku diangkat dalam keadaan aku sedang berpuasa.”[5]
3. Memperbanyak puasa di bulan Sya’ban sangat membantu badan dan hati untuk lebih siap menyambut bulan Ramadhan dalam menjalani ketaatan kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala.[6]
Larangan berpuasa di pertengahan bulan Sya’ban
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلَا تَصُوْمُوْا.
“Jika memasuki pertengahan bulan Sya’ban, maka janganlah kalian berpuasa.”[7]
Larangan dalam hadits ini berkaitan dengan orang yang baru mulai puasa dari pertengahan sya’ban atau bagi orang yang kalau dia puasa dia akan lemah. Adapun orang yang sudah biasa melakukan puasa sunnah dan dia kuat ketika melaksanakan puasa sunnah tersebut, maka dianjurkan bagi dia puasa dari awal sya’ban[8] sampai dua hari menjelang Ramadhan. Karena mendahului Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari, tidak boleh dengan dasar hadits yang shahih, kecuali bagi orang yang sudah terbiasa berpuasa.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
لَا يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُوْنَ رَجُلٌ كَانَ يَصُوْمُ صَوْمًا فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ.
“Jangan sekali-kali salah seorang di antara kalian mendahului puasa Ramadhan dengan melakukan puasa sehari atau dua hari (sebelumnya), kecuali seseorang yang terbiasa berpuasa (dan waktu kebiasaan puasanya itu jatuh) pada hari itu, maka silahkan dia berpuasa pada hari itu.”[9]
MALAM NISHFU SYA’BAN
Adanya keutamaan di malam Nishfu Sya’ban. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَطَّلِعُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، فَيَغْفِرُ لِـجَمِيْعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ.
“Allah Tabaraka wa Ta’ala melihat kepada makhluk-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, lalu Dia mengampuni seluruh makhluk-Nya kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.”[10]
Dari Abu Tsa’labah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا كَانَ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ اطَّلَعَ اللهُ إِلَى خَلْقِهِ فَيَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِيْنَ
“Apabila sampai malam Nishfu Sya’ban, maka Allah melihat kepada para hamba-Nya di lalu mengampuni orang-orang yang beriman.”[11]
Dan dalam riwayat dari Abu Musa disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ لَيَطَّلِعُ فِـيْ لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِـجَمِيْعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala melihat (kepada makhluk-Nya)di malam Nishfu Sya’ban, dan memberi ampunan bagi orang-orang yang beriman kecuali orang yang musyrik dan orang yang mendengki.”[12]
Maka ini adalah kesempatan bagi setiap Muslim untuk meraih ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengharap masuk Surga, yaitu dengan menghilangkan kedengkian antara dirinya dengan orang lain, baik dekat maupun jauh, seperti apabila terjadi dalam keluarganya… Juga berdo’a dan bertaubat dari maksiat dan dosa durhaka kepada kedua orang tua, melalaikan shalat, berlaku zhalim kepada orang, dosa riba, ghibah, namimah (mengadu domba), mendengarkan musik dan lagu, dan dosa kemaksiatan lainnya.
Peringatan!
Tidak boleh mengkhususkan hari tersebut dengan puasa, shalat dan semacamnya, sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengkhususkan hari tersebut dengan hal-hal itu, beliau tidak pernah menetapkannya, dan tidak pula para Shahabatnya yang mulia Radhiyallahu anhum.
Dan diriwayatkan tentang hal ini, hadits yang bathil dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Apabila datang malam Nishfu Sya’ban, maka shalatlah pada malam itu dan puasalah di siangnya. Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala pada malam itu turun ke langit dunia sejak terbenamnya matahari, lalu Dia berfirman, ‘Ketahuilah, orang yang meminta ampunan maka akan diampuni, orang yang meminta rizki maka akan diberi rizki, siapa yang sakit maka akan disehatkan, siapa yang begini maka akan begitu… hingga terbit matahari.’”
Hadits ini adalah dusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 1388), di sanadnya ada Abu Bakrah bin ‘Abdillah bin Muhammad bin Abi Sabrah al-Qurasyi al-‘Amiri al-Madini. Adz-Dzahabi berkata dalam Miizaan, “Didha’ifkan oleh al-Bukhari dan selainnya.”[13]
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata, “Seandainya mengkhususkan ibadah pada malam tersebut disyari’atkan tentunya malam Jum’at lebih utama daripada malam-malam selainnya. Sebab, hari Jum’at merupakan hari yang paling utama berdasarkan dalil-dalil yang shahih. Karenanya, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan ummatnya dari mengkhususkannya dengan shalat malam, maka hal itu menunjukkan bahwa malam selainnya lebih utama untuk tidak boleh kecuali ada dalil yang mengkhususkannya.
Oleh karena itu, ketika malam Lailatul Qadar dan malam-malam di bulan Ramadhan disyari’atkan untuk dihidupkan dengan ibadah, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan ummatnya untuk menghidupkannya dan beliau sendiri juga memberikan teladan. Seandainya malam Nishfu Sya’ban, malam Jum’at pertama di bulan Rajab, atau malam Isra’ Mi’raj disyari’atkan untuk mengkhususkannya dengan perayaan atau ibadah tertentu, tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamakan menganjurkannya kepada ummat beliau atau mencontohkannya. Dan seandainya hal itu terjadi, niscaya akan dinukil oleh para Shahabat kepada ummat dan mereka tidak akan menyembunyikannya. Sebab, mereka adalah sebaik-baik manusia dan bersemangat memberi nasihat setelah para Nabi.”[14]
Imam as-Suyuthi rahimahullah berkata, “Adanya riwayat-riwayat –baik yang marfu’ maupun atsar (yang mauquf)–, ini sebagai dalil bahwa bulan Sya’ban adalah bulan mulia. Akan tetapi tidak ada dalil tentang amalan shalat secara khusus dan untuk menyemarakkannya.”[15]
HADITS-HADITS PALSU TENTANG AMALAN NISHFU SYA’BAN
Terdapat beragam hadits-hadits palsu tentang amalan di malam Nishfu Sya’ban, di antaranya:
“Wahai ‘Ali, barangsiapa shalat seratus raka’at pada malam Nishfu Sya’ban dengan membaca surah Al-Fatihah sepuluh kali pada setiap raka’at, maka Allah akan memenuhi seluruh kebutuhannya.”
Hadits ini maudhu’ (palsu). Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Tidak diragukan lagi bahwa hadits ini maudhu’ (palsu).”[16]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Hadits ini maudhu’ berdasarkan kesepakatan ahli hadits.”[17]
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menambahkan, “Dan sungguh kami telah melihat mayoritas orang yang melakukan shalat Alfiyah ini sampai larut malam, hingga mereka pun malas shalat Shubuh atau bahkan tidak shalat Shubuh.”[18]
Imam Ibnul Qayyim Vmengatakan, “Di antara contoh hadits-hadits maudhu’ adalah hadits tentang shalat Nishfu Sya’ban.”[19]
AMALAN-AMALAN SUNNAH DI BULAN SYA’BAN
Ada beberapa amalan yang dikerjakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam khusus pada bulan Sya’ban.
Memperbanyak Puasa Sunnah
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, “Bulan yang paling dicintai Rasulullah untuk berpuasa padanya adalah (bulan) Sya’ban kemudian beliau menyambungnya dengan Ramadhan.”[20]
Memperbanyak Amal Ketaatan pada Waktu-waktu yang Banyak Manusia Lalai Darinya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ذٰلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ…
“Bulan itu, banyak manusia yang lalai, yaitu (bulan) antara Rajab dan Ramadhan…”[21]
Dalam hadits ini terdapat dalil disunnahkannya untuk menghidupkan waktu-waktu yang banyak manusia lalai darinya dengan amal-amal shalih dan ketaatan.
Memperbanyak Amalan Shalih
Sebab pada bulan Sya’ban amal-amal seluruh manusia akan diangkat kepada Allah Azza wa Jalla.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
… وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيْهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِـيْ وَأَنَا صَائِمٌ.
“… Di bulan itu diangkat amal-amal (manusia) kepada Allah Rabb semesta alam, maka aku senang apabila saat amalku diangkat aku sedang berpuasa.”[22]
Oleh karena itu perbanyak amal-amal sholeh di bulan Sya’ban ini dengan:
- Melaksanakan shalat lima waktu dan rawatibnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
…فَعَلَيْكُمْ بِالصَّلَاةِ فِـيْ بُيُوْتِكُمْ ، فَإِنَّ خَيْرَ صَلَاةِ الْمَرْءِ فِـيْ بَيْتِهِ إِلَّا الصَّلَاةَ الْمَكْتُوْبَةَ.
“Kerjakanlah shalat (sunnah) di rumah kalian.Karena sebaik-baik shalat seseorang adalah yang dikerjakan di rumahnya, kecuali shalat wajib.”[23][24]
- Shalat Tahajjud dan Witir.
- Shalat Dhuha.
- Baca al-Qur’an, khatamkan dan fahami isinya.
- Memperbanyak dzikir kepada Allah, baca dzikir pagi dan petang, hafalkan dan fahami artinya!
- Memperbanyak sedekah, baik berupa uang maupun makanan.
- Membantu dan menolong orang-orang susah, orang-orang yang sakit, orang-orang yang mengalami kesulitan, mendamaikan orang yang bersengketa.
- Dan amal-amal sholeh lainnya.
- Kesempatan Untuk Mengqadha’ Puasa Ramadhan
Wajib untuk diperhatikan dan menjadi peringatan bagi orang yang masih mempunyai utang puasa Ramadhan sebelumnya untuk membayarnya sebelum masuk bulan Ramadhan berikutnya.Dan tidak boleh mengakhirkannya hingga Ramadhan berikutnya, kecuali darurat.Misalnya, udzur yang terus berlanjut sampai dua Ramadhan.
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata,
كَانَ يَكُوْنُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيْعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلَّا فِـيْ شَعْبَانَ.
“Suatu ketika aku memiliki hutang puasa Ramadhan dan aku tidak bisa mengqadha’nya selain pada bulan Sya’ban.”[25]
Melatih Diri untuk Menyongsong Bulan Ramadhan
Telah disebutkan sebelumnya bahwa puasa di bulan Sya’ban adalah sebagai latihan untuk menghadapi puasa di bulan Ramadhan, sehingga seorang hamba tidak merasa terlalu berat dan sulit dalam berpuasa sebulan penuh padanya karena sebelumnya telah terlatih berpuasa. Seseorang yang berpuasa pada bulan Sya’ban sebelum Ramadhan akanmendapatkan kelezatan berpuasa sehingga ia menghadapi puasa Ramadhan dengan penuh semangat dan kekuatan.
Karena bulan Sya’ban merupakan langkah awal dalam menyongsong bulan Ramadhan, maka hendaklah kaum Muslimin mengisi bulan ini dengan melatih diri beramalketaatan kepada Allah, mulai dari berpuasa, bersedekah dan membaca Al-Qur-an supaya jiwa benar-benar siap dalam menyambut Ramadhan.
Salamah bin Kuhail Radhiyallahu anhu berkata, “Dahulu dikatakan bahwa Sya’ban adalah bulannya para qurraa’ (pembaca Al-Qur-an).” Juga diriwayatkan dari ‘Amr bin Qais al-Mula-i Radhiyallahu anhu apabila bulan Sya’ban telah masuk, maka ia menutup tokonya dan meluangkan waktu (khusus) untuk membaca Al-Qur-an.[26]
Maksudnya para Ulama rahimahullah ketika masuk bulan Sya’ban mereka sibuk membaca Al-Qur’an, terutama lagi para imam yang mengimami shalat lima waktu dan shalat Tarawih (Qiyamu Ramadhan) mereka sibuk Muraja’ah hafalan Al-Qur’an. Jadi sejak bulan Sya’ban mereka sudah meluangkan waktu sepenuhnya untuk membaca Al-Qur’an, lebih-lebih lagi kalau sudah masuk bulan Ramadhan yang merupakan Syahrul Qur’an, mereka membacanya siang dan malam hari.
KEYAKINAN-KEYAKINAN SESAT DAN AMALAN-AMALAN BID’AH SEPUTAR BULAN SYA’BAN
1. Keyakinan bahwa Ajal, Umur, dan Rizki Manusia Ditentukan pada Bulan Sya’ban
Ini adalah keyakinan yang bathil.Sebab, tidak ada dalil dari Al-Qur-an al-Karim dan As-Sunnah ash-Shahihah yang menjelaskan hal ini.Adapun dalil yang banyak digunakan oleh kebanyakan orang adalah hadits yang lemah dan palsu.
Misalnya:
“Dari ‘Utsman bin al-Mughirah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‘Ajal manusia ditetapkan dari bulan Sya’ban ke Sya’ban berikutnya, sehingga ada seorang yang menikah dan dikaruniai seorang anak, lalu namanya keluar sebagai orang-orang yang akan mati.’”
Hadits ini mursal. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Jaami’ul Bayan (no. 31043) dan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman(no. 3558), tetapi sanadnya terhenti sampai pada ‘Utsman bin al-Mughirah saja, tidak sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Hadits ini mursal,tidak bisa untuk menentang nash-nash (yang lain).”[27]
Bahkan Hadits ini lemah sekali, karena ada rawinya yang sangat lemah.
2. Keyakinan bahwa Al-Qur-an Diturunkan pada Malam Nishfu Sya’ban
Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ ۚ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada malam yang diberkahi.Sungguh, Kamilah yang memberi peringatan.” [Ad-Dukhaan/44: 3]
Mereka mengatakan bahwa maksud dari ayat ini adalah malam Nishfu Sya’ban sebagaimana yang diriwayatkan dari Ikrimah dan yang lainnya.Akan tetapi, penafsiran ini adalah bathil, sebab maksud dari ayat tersebut adalah malam Lailatul Qadar yang adanya hanya di bulan Ramadhan dengan dalil dari Al-Qur’an.Sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah.[28]
3. Mengkhususkan Bulan Sya’ban untuk Berziarah Kubur
Sya’ban adalah bulan menjelang Ramadhan yang diyakini banyak orang sebagai waktu utama untuk ziarah kubur, yaitu mengunjungi (jawa=nyadran) kubur-kubur orang tua, karib kerabat, atau para wali, kyai, dan sebagainya.
Ziarah kubur tidak khusus pada bulan Sya’ban saja.Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan ummatnya untuk berziarah kubur supaya melembutkan hati dengan mengingat kematian. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
زُوْرُوْا الْقُبُوْرَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ.
“Ziarah kuburlah kalian karena hal itu lebih mengingatkan kalian pada kematian.”[29]
Karena itu, ritual sebagian masyarakat dimana mereka mengkhususkan berziarah kubur (nyadran atau nyekar) pada waktu-waktu tertentu seperti menjelang bulan Ramadhan, adalah suatu kesalahan karena tidak ada keterangannya dari syari’at Islam yang mulia.
4. Ritual Ruwahan
Sebagian masyarakat mengadakan ritual kirim do’a bagi kerabat yang telah meninggal dunia dengan membaca surahYaasiin (Yasinan) atau disertai juga dengan Tahlilan. Ritual ini dikenal dengan Ruwahan.Orang Jawa menyebut bulan Sya’ban dengan Ruwah, yang berasal dari kata arwah, sehingga bulan Sya’ban menjadi identik dengan kematian.Karena itu, tradisi Yasinan atau Tahlilan di bulan Sya’ban menjadi laris. Padahal semua ini tidak ada contoh dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabat Radhiyallahu anhum. Semua perbuatan ini adalah bid’ah.
5. Ritual Nishfu Sya’ban
Sebagian masyarakat mengkhususkan malam Nishfu Sya’ban untuk mengerjakan shalat dan berdo’a. Perlu diketahui bahwa mengkhususkan suatu amalan ibadah pada waktu-waktu tertentu memerlukan dalil/keterangan yang jelas dari Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih. Jika tidak, maka amalan tersebut adalah bid’ah yang tercela.
Adapun tentang amalan tertentu di malam Nishfu Sya’ban, maka tidak ada hadits yang shahih tentangnya.Seluruh hadits yang menyebutkan tentang amalan di malam Nishfu Sya’ban adalah hadits yang maudhu’ (palsu) dandha’if (lemah).Sehingga, tidak ada amalan khusus apapun di malam ini, baik itu membaca Al-Qur-an (Tadarusan), shalat Alfiyah, do’a jama’ah, dan sebagainya.Inilah pendapat dari kebanyakan ulama, dan ini adalah pendapat yang benar.Wallaahul Muwaffiq.
Mudah-mudahan penjelasan tentang bulan Sya’ban ini bermanfaat bagi penulis dan kaum Muslimin.[30]
Semoga shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para Shahabatnya, dan orang-orang yang mengamalkan dan membela Sunnah beliau sampai akhir zaman.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّم
Penulis
Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Senin, 5 Sya’ban 1441 H/ 30 Maret 2020
_______
Footnote
[1] Lihat Lisanul ‘Arab dan Fat-hul Baari (IV/251).
[2] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 1969) dan Muslim (no. 1156 (175)).
[3] Shahih: HR. al-Bukhari (no. 1970)) dan Muslim (no. 782).
[4] Shahih: HR. Ahmad (VI/188), Abu Dawud (no. 2431), an-Nasaa-i (IV/199), Ibnu Khuzaimah (no. 2077), dan al-Hakim (I/434).
[5] Hasan: HR. An-Nasaa-i (IV/201), Ahmad (V/201), dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1898).
[6] Lihat Lathaaiful Ma’aarif (hlm. 258).
[7] Shahih: HR. Abu Dawud (no. 2337), at-Tirmidzi (no. 738), ad-Darimi (II/17), Ibnu Majah (no. 1651), Ahmad (II/442), dan lainnya. At-Tirmidzi berkata: Hadits ini hasan Shahih. Lihat Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 2025).
[8] Fathul Baari (IV/129), Syarah Ma’aanil Aatsaar (II/84-85), dan Fathu Dzil Jalaalil wal Ikraam bi Syarhi Buluughil Maraam (VII/449).
[9] Shahih: HR. al-Bukhari (no. 1914)) dan Muslim (no. 1082).
[10] Shahih: Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Hadits shahih, diriwayatkan dari beberapa orang Shahabat dengan beragam jalan yang saling menguatkan antara satu dengan lainnya. Di antaranya, Mu’adz bin Jabal, Abu Tsa’labah al-Khusyani, ‘Abdullah bin ‘Amr, Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah, Abu Bakr ash-Shiddiq, ‘Auf bin Malik, juga ‘Aisyah Radhiyallahu anha”Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (III/135-139, no. 1144).
[11] Hasan: HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (V/359, no. 3551) dan Ibnu Abi ‘Ashim (no. 523),dari Abu Tsa’labah al-Khusyani Radhiyallahu anhu. Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 771).
[12] Hasan: HR. Ibnu Majah (no. 1390), dari Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu. Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 1819).
[13] Lihat takhrij kitab al-Ihya’(I/164), Tadzkirah al-Madhuu’aat (I/312), Dha’iif Ibnu Majah (no. 294), Silsilah adh-Dha’iifah (no. 2132), Misykaatul Ma-shaabiih (1308), dan Dha’iif at-Targhiib (no. 623).
[14] At-Tahdziir minal Bida’ (hlm. 15-16).
[15] Al-Amru bil Ittiba’ (hlm. 178).
[16] Al-Maudhuu’aat (II/129), cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah.
[17] Iqtidhaa’ ash-Shiraathal Mustaqiim (II/138).
[18] Al-Maudhuu’aat (II/51), cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah.
[19] Al-Manarul Muniif (hlm. 98-99), tahqiq ‘Abdul Fattah Abu Ghuddah.
[20] Shahih: HR. Abu Dawud (no. 2431), dan lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud (VII/2101).
[21] Hasan: HR. An-Nasa-i (IV/201), Ahmad (V/201), dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1898).
[22] Hasan: HR. An-Nasa-i (IV/201). Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib (I/595, no. 1022).
[23] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 731, 6113, 7290), Muslim (no. 781), Ahmad (V/182, 187), Abu Dawud (no. 1447), ad-Darimi (I/317), Ibnu Khuzaimah (no. 1204), dan Ibnu Hibban (no. 2482–At-Ta’liiqaatul Hisaan). Lafazh ini milik Muslim.
[24] Dalam hadits ini dianjurkan untuk mengerjakan shalat-shalat sunnat di rumah, adapun shalat wajib lima waktu dikerjakan di masjid dengan berjama’ah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kondisi sakit pun tetap mengimami para Shahabat Radhiyallahu anhum. Kecuali di akhir hayatnya, beliau menyuruh Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu menjadi imam menggantikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[25] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 1950) dan Muslim (no. 1146).
[26] Lathaa-iful Ma’aarif fiimaa Limawaasimil ‘Aam minal Wazhaa-if (hlm. 258-259) karya al-Hafizh Ibnu Rajab V, tahqiq: Yasin Muhammad as-Sawaas, cet. V, th. 1420 H, Daar Ibnu Katsir–Beirut.
[27] Tafsiir Ibnu Katsir (VII/246), cet. Daar Thaybah.
[28] Tafsiir Ibnu Katsir (VII/246), cet. Daar Thaybah.
[29] Shahih: HR. Muslim (no. 976 (108)), Abu Dawud (no. 3234), an-Nasa-i (IV/90), dan lainnya.
[30] Bila anda ingin tahu tentang amalan sunnah dan amalan bid’ah pada bulan-bulan Hijriyah, silahkan baca buku “AMALAN SUNNAH SETAHUN” penerbit Khazanah Fawa-id-Depok, cet. Ke-3 1440 H/Juli 2019 M.
- Home
- /
- A5. Bulan Haram Dalam...
- /
- Keutamaan Bulan Sya’ban