Al-Udh-hiyah (Kurban)

AL-UDH-HIYAH (KURBAN)

Pembahasan Kesebelas
Hewan Kurban yang Utama dan yang Dimakruhkan
Yang paling utama dari hewan kurban menurut jenisnya adalah unta, lalu sapi. Jika penyembelihannya dengan sempurna, kemudian domba, kemudian kambing biasa, kemudian sepertujuh unta, kemudian sepertujuh sapi.

Yang paling utama menurut sifatnya adalah hewan yang memenuhi sifat-sifat sempurna dan bagus dalam binatang ternak. Hal ini sudah dikenal oleh ahli yang berpengalaman dalam bidang ini. Di antaranya:

  1. Gemuk.
  2. Dagingnya banyak.
  3. Bentuk fisiknya sempurna.
  4. Bentuknya bagus.
  5. Harganya mahal.

Sedangkan yang dimakruhkan dari hewan kurban adalah:

  1. Telinga dan ekornya putus atau telinganya sobek, memanjang atau melebar.
  2. Pantat dan ambing susunya putus atau sebagian dari keduanya seperti -misalnya puting susunya terputus-.
  3. Gila
  4. Kehilangan gigi (ompong).
  5. Tidak bertanduk dan tanduknya patah.

Ahli fiqih رحمهم الله juga telah memakruhkan al-‘Adhbaa’ (hewan yang hilang lebih dari separuh telinga atau tanduknya), al-Muqaabalah (putus ujung telinganya), al-Mudaabirah (putus dari bagian belakang telinga), asy-Syarqa’ (telinganya sobek oleh besi pembuat tanda pada binatang), al-Kharqaa’ (sobek telinganya), al-Bahqaa’ (sebelah matanya tidak melihat), al-Batraa’ (yang tidak memiliki ekor), al-Musyayya’ah (yang lemah) dan al-Mushfarah v.[1]

Pembahasan Kedua belas
Daging Kurban yang Dimakan, Dihadiahkan dan Dishadaqahkan
Disunnahkan bagi orang yang berkurban untuk memakan sebagian hewan kurbannya, menghadiahkannya dan bershadaqah dengannya. Hal ini adalah masalah yang lapang/longgar dari sisi ukurannya. Namun yang terbaik menurut kebanyakan ulama adalah memakan sepertiganya, menghadiahkan sepertiganya dan bershadaqah sepertiganya.

Tidak ada perbedaan dalam kebolehan memakan dan menghadiahkan sebagian daging kurban antara kurban yang sunnah dan kurban yang wajib, dan juga tidak ada perbedaan antara kurban untuk orang hidup, orang yang wafat atau wasiat.

Diharamkan menjual bagian dari hewan kurban baik dagingnya, kulitnya atau bulunya dan tidak boleh juga memberi sebagian dari hewan kurban tersebut kepada jagalnya sebagai upah penyembelihan, karena hal itu bermakna jual beli.[2]

Ibnu Hazm rahimahullah berpendapat lebih jauh dari itu, sampai ia menetapkan kewajiban memakan sebagian hewan kurbannya, ia mengatakan, “Diwajibkan atas setiap orang yang berkurban untuk memakan sebagian hewan kurbannya dan itu harus dilakukan walaupun hanya sesuap atau lebih. Juga diwajibkan bershadaqah darinya dengan sesukanya, baik sedikit atau pun banyak dan itu harus, dan dimubahkan memberi makan kepada orang kaya dan kafir dan menghadiahkan sebagiannya jika ia berkeinginan untuk itu.”[3]

Pembahasan Ketiga belas
Yang Dituntut dari Orang yang Berkurban
Jika seorang muslim ingin berkurban untuk diri dan keluarganya atau menyumbang kurban untuk orang yang hidup atau yang telah wafat dan masuk bulan Dzulhijjah, baik masuknya dengan melihat hilal atau menyempurnakan bulan Dzulqa’dah tiga puluh hari, maka diharamkan baginya mengambil sebagian dari rambut, kuku dan kulitnya sampai ia menyembelih kur-bannya.

Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiyallahu anha bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ

Jika kalian melihat hilal Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian ingin berkurban, maka janganlah mengambil (memotong) rambut dan kukunya sedikit pun sampai ia menyembelih kurbannya.”[4]

Pembahasan Keempat belas
Hikmah tidak Memotong Rambut, Kuku dan Bulu Kulit
Para ulama menjelaskan sedikit hikmah larangan memotong rambut dan kuku serta bulu, Di antaranya:

  1. Ada yang mengatakan bahwa ketika orang yang berkurban berserikat dengan muhrim (orang yang berihram haji) dalam sebagian amalan hajinya, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih kurban, maka sesuailah sebagian hukumnya dalam larangan memotong rambut dan kuku.
  2. Ada yang mengatakan bahwa hikmahnya agar seluruh anggota tubuh orang yang berkurban tetap lengkap untuk dibebaskan dari api
  3. Ada yang mengatakan bahwa hikmahnya membiarkan rambut dan kuku sempurna agar diambilnya bersama sembelihan kurban, sehingga menjadi bagian kurban disisi Allah dan kesempurnaan ibadah dengannya.

Tampaknya itu semua dan selainnya yang dimaksudkan sebagai hikmah. Wallaahu a’lam.

Pembahasan Kelima belas
Perkara yang Perlu Diingat

  1. Banyak terlontar pertanyaan dari orang-orang pada malam tanggal tigapuluh Dzulqa’dah, apakah mereka boleh memotong rambut dan kuku mereka? Kita katakan, “Jika belum pasti masuk bulan Dzulhijjah pada malam tiga puluh tersebut, maka mereka diperbolehkan untuk itu dan tidak mengapa, sebab permasalahan ini berhubungan dengan masuknya bulan Bulan Dzulhijjah itu dapat ditetapkan dengan melihat hilal atau menyempurnakan Dzulqa’dah tigapuluh hari. Namun siapa yang ingin berhati-hati pun dibolehkan.
  2. Jika telah masuk sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan seorang muslim belum berniat menyembelih kurban lalu memotong rambut dan kukunya, kemudian setelah lewat dua atau tiga hari atau lebih ia ingin menyembelih kurban, maka wajib baginya untuk tidak memotong semenjak ia berniat, dan tidak mengapa baginya perkara yang telah berlalu. Walillaahil Hamd.
  3. Para ulama berbeda pendapat, apakah memotong rambut dan kuku hukumnya haram, adalah makruh atau mubah bagi orang yang ingin berkurban? Yang rajih, hukumnya adalah haram, karena asal dari larangan adalah untuk pengharaman dan tidak ada yang memalingkan hukum tersebut dari asalnya. Namun bila seorang muslim telah memotong rambut dan kukunya, maka tidak dikenakan fidyah, hanya saja wajib baginya bertaubat dan beristighfar dari pelanggaran larangan tersebut.
  4. Orang yang ingin menyembelih kurban kemudian telah memotong rambut dan kukunya masih diperbolehkan menyembelih kurbannya, dan memotong rambut dan kukunya tersebut tidak menghalanginya berkurban, sebab hal itu adalah satu perkara dan hal lainnya adalah perkara berbeda. Namun, orang tersebut berdosa dengan sebab melanggar larangan tersebut. Sedangkan apa yang diduga oleh orang umum bahwa itu menyebabkan kurbannya tidak diterima, maka tidak berdasar sama sekali secara syari’at.
  5. Orang yang memiliki hajat di bolehkan memotong rambut, kuku dan sedikit bulunya, seperti jika kukunya sobek lalu butuh di potong atau kulitnya terkelupas sehingga mengganggunya, maka ia dibolehkan untuk menghilangkannya atau terkena luka sehingga butuh memotong bulu atau rambutnya dibolehkan.
  6. Larangan memotong rambut, kuku dan kulit ditujukan khusus bagi orang yang ingin berkurban untuk dirinya dan keluarganya, atau menyumbang kurban untuk orang hidup atau yang telah Sedangkan orang yang dimasukkan dalam pahala kurban seperti isteri dan anak, maka tidak terkena larangan ini, karena larangan ini khusus bagi yang ingin berkurban saja. Sebagian ulama berpendapat bahwa larangan tersebut juga mengenai mereka, karena mereka berserikat dengan orang yang berkurban dalam masalah pahala, sehingga berserikat juga dalam hukum. Namun yang rajih adalah pendapat pertama. Wallaahu a’lam.
  7. Perwakilan tidak ada pengarunya dalam larangan memotong rambut dan kuku serta kulit ini, karena yang dilarang memotongnya hanyalah orang yang ingin berkurban. Adapun wakil dan orang yang diwasiati maka tidak Sedangkan dugaan banyak orang bahwa jika ia (orang yang berkurban) telah diwakilkan orang lain (penyembelihannya), maka, ia di bolehkan memotong rambut, kuku dan kulitnya, maka ini tidaklah benar. Hal ini harus diingat!
  8. Orang yang ingin berkurban dan telah bertekad melaksanakan haji atau umroh, janganlah memotong rambut dan kukunya ketika ihram, sedangkan mencukur atau mengambil sebagian rambutnya karena haji dan umroh, maka itu adalah wajib walaupun orang yang berhaji atau umroh tersebut akan menyembelih kurban, karena mengambil rambut atau mencukur ini adalah nusuk (bagian dari haji atau umroh), sehingga tidak dikenai larangan memotong rambut dan kuku ini.
  9. Seorang wanita dibolehkan menyembelih kurbannya langsung. Adapun dugaan orang umum (awam) tentang ketidakbolehan wanita menyembelih tidak ada dasarnya dalam syari’at. Ibnu Qudamah berkata dalam kitab al-Mughni, “Ibnul Mundzir berkata, ‘Semua ulama -yang telah aku hafal- sepakat membolehkan sembelihan oleh wanita dan anak-anak.’”[5]
Baca Juga  Hari Raya yang Kami Inginkan

Imam al-Bukhari meriwayatkan satu hadits dengan sanadnya dari Ka’ab bin Malik, beliau berkata:

أَنَّ جَارِيَةً لَهُمْ كَانَتْ تَرْعَى غَنَمًا بِسَلْعٍ فَأَبْصَرَتْ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا مَوْتًا فَكَسَرَتْ حَجَرًا فَذَبَحَتْهَا فَـقَالَ ِلأَهْلِهِ لاَ تَأْكُلـُوا حَتَّى آتِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَأَسْأَلَهُ أَوْ حَتَّى أُرْسِلَ إِلَيْهِ مَنْ يَسْأَلُهُ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ بَعَثَ إِلَيْهِ، فَأَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَكْلِهَا

Seorang jariyah (budak perempuan) milik mereka menggembalakan kambing di daerah Sil’a, lalu ia melihat seekor kambingnya akan mati. Kemudian ia memecah batu dan menyembelih kambing tersebut. Maka Ka’ab berkata kepada keluarganya: Jangan kalian makan dulu sampai aku mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertanya atau sampai diutus orang yang menanyakannya. Lalu sampailah beliau ke Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau mengutus seseorang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk memakannya.”

  1. Ada juga orang yang tidak memperhatikan wasiat kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya, lalu menyumbang kurban untuk kerabatnya yang telah meninggal dan tidak menunaikan wasiat mereka. Ini adalah tidak boleh, karena melaksanakan wasiat hukumnya wajib, apabila menambah dan menyumbang dari dirinya, maka tidak mengapa. Kami telah melihat orang yang memiliki tanggung jawab atas wasiat kedua orang tuanya atau salah seorang darinya memenuhi wasiat mereka tersebut dengan berdalih mereka menyumbangkan untuk orang tuanya tersebut setiap tahun seekor kurban atau Hukum ini juga mencakup wasiat kerabat atau yang lainnya. Maka ingatlah hal tersebut.
  2. Sebagian orang yang menyembelih kurban, mereka sengaja mengambil sedikit darahnya dan melumurkannya ke tembok dengan anggapan bahwa tembok ini akan menjadi saksi baginya di hari Kiamat dan membiarkan darah tersebut sampai hilang dengan sendirinya. Perbuatan ini tidak ada dalilnya dalam syari’at, bahkan pelakunya dikhawatirkan (menjadi sesat) kalau saja tidak
  3. Dewasa ini muncul satu perkembangan baik yang timbul dari solidaritas dan kerjasama kaum muslimin, yaitu pengiriman hewan kurban kepada para pengungsi dan muhajirin kaum musli-min di beberapa negara-negara Islam. Sebagian ulama melarangnya dan sebagian lain membolehkannya dan yang rajih menurut saya, di sana ada perbedaaan antara kurban seorang muslim untuk diri dan keluarganya serta yang telah diwasiatkan kepadanya dengan kurban tabarru vv. Adapun sembelihan muslim untuk diri dan keluarganya, dan demikian juga yang diwasiatkan dengan ketentuan tempat dan orang yang dibagi yang telah ditentukan, maka menurut saya yang utama adalah tidak dikirimkan dan harus disembelih ditempat orang yang berkurban tersebut. Sedangkan hewan kurban tabarru’, maka perkaranya mudah saja –insya Allah-.
Baca Juga  Takbir Pada Dua Hari Raya dan Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah

Seandainya perkara ini diserahkan kepada tinjauan mufti sesuai kebutuhan manusia dan yang lebih kuat menurutnya dari prioritas yang ada, maka tentunya hal itu benar.

  1. Seandainya waktu penyembelihan kurban yang sah telah lewat, padahal seorang muslim tersebut memiliki udzur atau udzurnya selalu ada sampai lewat waktu penyembelihan kurban yang sah tersebut, contohnya hewan kurbannya kabur dan tidak ditemukan kecuali setelah lewat waktu penyembelihan atau ia mewakilkan kepada orang lain untuk menyembelihnya, lalu sang wakil tersebut lupa, kemudian orang yang mewakilkan tersebut mengetahui bahwa wakilnya tersebut belum menyembelihnya, maka apakah ia boleh menyembelih (setelah waktu tersebut) dan menjadikan udzur tersebut sebagai pembenar keabsahan kurbannya? Hal ini masih menjadi perselisihan para ulama. Namun, Allah -Ta’ala- telah menghilangkan kesulitan umat ini dan tidak membebankan mereka dengan sesuatu di luar kemampuannya serta mensyari’atkan orang yang tertidur dari shalat atau lupa darinya untuk melaksanakan shalat ketika ingat tanpa ada kaffarat baginya.
  2. Jika hewan kurbannya telah ditentukan, maka wajib menunaikannya dan tidak boleh menggagalkannya, serta tidak boleh menggantinya kecuali dengan yang lebih baik. Sedangkan apa yang dilakukan sebagian orang yang membeli hewan kurbannya lalu menjualnya serta meremehkan hal tersebut, maka ini adalah kesalahan yang perlu diperingatkan. Apabila hewan tersebut melahirkan setelah penentuan tersebut, maka hukum anaknya sama dengan hukum induknya. Apabila mati sebelum disembelih, jika disebabkan kecerobohan dari orang yang berkurban, maka ia harus menggantinya, dan jika disebabkan perlakuan orang lain, maka orang tersebut wajib mengganti- Namun apabila hilang setelah disembelih atau dicuri, jika disebabkan karena kecerobohannya, maka hendaklah dia mengganti apa yang dishadaqahkan dari hewan tersebut saja, dan bila tidak maka tidak ada kewajiban menggantinya sama sekali.
  3. Orang yang mendapatkan pemberian bagian dari hewan kurban atau mendapat shadaqah darinya, maka diperbolehkan menggunakannya sesukanya, baik dijual, dihadiahkan atau dishadaqahkan kembali. Tapi jangan menjualnya kepada orang yang memberinya atau bershadaqah kepa

[Disalin dari kitab Ahkaamul ‘Iidain wa ‘Asyri Dzil Hijjah, Penulis Dr. ‘Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar. Judul dalam Bahasa Indonesia Lebaran Menurut Sunnah Yang Shahih, Penerjemah Kholid Syamhudi, Lc. Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_____
Footnote
v  Para ulama berselisih tentang makna al-Mushfarah, ada yang menyatakan bahwa ia adalah hewan yang terputus seluruh telinganya dan ada yang mengatakan bahwa ia adalah kambing yang kurus. Lihat Nailul Authar (V/123).-pen.
[1]  Al-Mughni (IX/442), Badaa-i’ush Shana-i’ (VI/2846), Nihaayatul Muhtaaj (VIII/128) dan al-Muhalla (VIII/41).
[2] Al-Mughni dengan Syarh al-Kabiir (XI/109), Tuhfatul Fuqa-haa’ (III/135) dan Shahiih Muslim bi Syarh an-Nawawi (XIII/ 130).
[3] Al-Muhalla (VIII/54).
[4] HR. Muslim dan lainnya dengan lafazh yang berbeda. Lihat Shahiih Muslim bi Syarh an-Nawawi (XIII/139).
[5] Al-Mughni (VIII/581).
vv Yaitu kurban seseorang yang lebih dari satu. Misalnya seorang berkurban 5 ekor kambing, maka satu adalah kurban untuk dirinya sedangkan yang lain ia niatkan untuk shada-qah. Keempat kambing tersebut dinamakan hewan kurban tabarru’.-pen

  1. Home
  2. /
  3. Pengumuman
  4. /
  5. Al-Udh-hiyah (Kurban)