Umar bin Al-Khattab Menghidupkan Kembali Tarawih Berjama’ah

UMAR BIN AL-KHATTAB MENGHIDUPKAN KEMBALI SHALAT TARAWIH (BERJAMA’AH) DAN MENYURUH MENUSIA KALA ITU UNTUK SHALAT SEBELAS RAKA’AT

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Telah kami sebutkan sebelumnya, bahwa semenjak kematian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam para sahabat Radhiyallahu ‘anhum terus menjalankan shalat tarawih dengan berpencar-pencar dan bermakmum kepada imam yang berbeda-beda.[1]

Itu terjadi di masa kekhalifahan Abu Bakar dan di awal kekahlifahan Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Kemudan akhirnya Umar bin Al-Khattab menyatukan mereka untuk bermakmum kepada satu imam. Abdurrahman bin Abdul Qariy berkata :

رجت مع عمر بن الخطاب ليلة في رمضان إلى المسجد فإذا الناس أوزاع متفرقون يصلي الرجل لنفسه ويصلي الرجل فيصلي بصلاته الرهط (عدد يجمع من ثلا ثة إلى عشرة) فقال: [والله] إني لأرى لو جمعت هؤلاء على قارىء واحد لكان أمثل ثم عزم فجمعهم على أبي بن كعب [قال] : ثم خرجت معه ليلة أخرى والناس يصلون بصلاة قارئهم [ف] قال عمر: نعمت البدعة هذه والتي ينامون عنها أفضل من التي يقومون يريد آخر الليل وكان الناس يقومون أوله

Suatu malam di bulan Ramadhan, aku keluar bersama Umar bin Al-Khattab menunju masjid. Ternyata kami dapati manusia berpencar-pencar disana sini. Ada yang shalat sendirian, ada juga yang shalat mengimami beberapa gelintir orang. Beliau berkomentar : “(Demi Allah), seandainya aku kumpulkan orang-orang itu untuk shalat bermakmum kepada satu imam, tentu lebih baik lagi”. Kemudian beliau melaksanakan tekadnya, beliau mengumpulkan mereka untuk shalat bermakmum kepada Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu ‘anhu. Abdurrahman melanjutkan : “Pada malam yang lain, aku kembali keluar bersama beliau, ternyata orang-orang sudah sedang shalat bermakmum kepada salah seorang qari mereka. Beliaupun berkomentar : “Sebaik-baik bid’ah, adalah seperti ini”. Namun mereka yang tidur dahulu (sebelum shalat) lebih utama dari mereka yang shalat sekarang

Yang beliau maksudkan yaitu mereka yang shalat di akhir waktu malam. Sedangkan orang-orang tadi shalat di awal waktu malam”

Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwattha (I : 136-137), demikian juga Al-Bukhari (IV : 203), Al-Firyabi (II : 73, 74 : 1-2). Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah (II : 91 : 1) dengan lafazh yang mirip, namun tanpa ucapan beliau : “sebaik-baiknya bid’ah, ya yang seperti ini”. Demikian juga Ibnu Sa’ad (V : 42) dan Al-Firyabi dari jalur lain (74 : 2) meriwayatkannya dengan lafazh : “kalau yang seperti ini dianggap bid’ah, maka sungguh satu bid’ah yang amat baik sekali”. Para perawinya terpercaya, kecuali Naufal bin Iyyas. Imam Al-Hafizh mengomentarinya dalam “At-Taqrib” ; “Bisa diterima”, maksudnya apabila diiringi hadits penguat, kalau tidak, maka tergolong hadits yang agak lemah. Begitu penjelasan beliau dalam mukaddimah buku tersebut.

Perlu diketahui, bahwa dikalangan para ulama belakangan ini, cukup dikenal penggunaan ucapan Umar diatas, yaitu ucapan beliau : “Sebaik-baiknya bid’ah …. “ sebagai dalil dalam dua perkara :

Pertama : Berjama’ah dalam shalat tarawih adalah bid’ah yang tidak penah ada di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Persepsi ini jelas amatlah keliru, tidak perlu banyak dikomentari karena sudah demikian jelasnya. Sebagai dalilnya, cukup bagi kita hadits-hadits terdahulu ; yaitu yang mengkisahkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan manusia kala itu dalam tiga malam bulan Ramadhan. Kalaupun akhirnya beliau meninggalkan berjama’ah, semata-mata hanya karena takut dianggap wajib.

Kedua: Bahwa diantara bid’ah itu ada yang terpuji. Dengan (ucapan Umar) tadi, mereka mengkhususkan keumuman hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Setiap bid’ah itu adalah sesat”. Dan juga hadits-hadits lain yang sejenis. Pendapat ini juga bathil ; hadits tersebut harus diartikan dengan keumumannya, sebagaimana yang dijelaskan nanti dalam tulisan khusus mengenai bid’ah, insya Allahu Ta’ala. Adapun ucapan Umar : Sebaik-baik bid’ah, adalah yang seperti ini”, yang beliau maksudkan bukanlah bid’ah dalam pengertian istilah; yang berarti : Mengada-ada dalam menjalankan ibadah tanpa tuntunan (dari Nabi). Sebagaimana yang kita tahu, beliau tidak pernah melakukan sedikitpun. Bahkan sebaliknya, beliau menghidupkan banyak sekali dari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun yang beliau maksudkan dengan bid’ah adalah dalam salah satu pengertiannya menurut bahasa. Yaitu suatu kejadian yang baru yang belumlah dikenal sebelum beliau perkenalkan. Dan tidak diragukan lagi, bahwa tarawih berjama’ah belumlah dikenal dan belum diamalkan semenjak zaman khalifah Abu Bakar dan juga di awal-awal kekhalifahan Umar sendiri Radhiyallahu anhuma –sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya-. Dalam pengertian begini, ia memang bid’ah. Namun dalam kacamata pengertian bahwa ia sesuai dengan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia adalah sunnah, bukannya bid’ah. Hanya dengan alasan itulah beliau memberikan tambahan kata “baik”. Pengertian seperti inilah yang dipegang oleh para ulama ahli tahqiq (peneliti) dalam menafsirkan ucapan Umar tadi. Abdul Wahhab As-Subki dalam “Isyraqul Mashabiih Fi Shalati At-Tarawih” yang berupa kumpulan fatwa (I : 168) menyatakan :

Baca Juga  Shalatnya Wanita yang Sedang Umrah di Masjidil Haram atau Hotel?

“Ibnu Abdil Barr berkata : “Dalam hal itu Umar tidak sedikitpun membuat-buat sesuatu melainkan sekedar menjalani apa yang disunnahkan, disukai dan diridhai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dimana yang menghalangi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan secara kontinyu semata-mata karena takut dianggap wajib atas umatnya. Sedangkan beliau adalah orang yang pengasih lagi pemurah terhadap umatnya. Tatkala Umar mengetahui alasan itu dari Rasulullah, sementara ia mengerti bahwa amalan-amalan yang wajib tidak akan bertambah ataupun berkurang lagi sesudah kematian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; maka beliaupun mulai menghidupkannya dan menyuruh manusia untuk melakukannya. Kejadian itu berlangsung pada tahun 14 H. Itu adalah keutamaan yang Allah simpan lalu diperuntukkan bagi beliau Radhiyallahu ‘anhu. Yang mana Abu Bakar sekalipun tidak pernah terinspirasi untuk melakukannya. Meskipun, beliau lebih utama dan lebih segera melakukan kebaikan –secara umum- daripada Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Akan tetapi masing-masing dari keduanya dianugerahi Allah keutamaan-keutamaan yang tidak dimiliki yang lainnya”. As-Subki menyatakan :

“Kalau melakukan tarawih berjama’ah itu tidaklah memiliki tuntunan, tentu ia termasuk bid’ah yang tercela ; sebagaimana shalat sunnah hajat di malam Nishfu Sya’ban, atau di Jum’at pertama bulan Rajab. Itu harus diingkari dan jelas kebatilannya (yakni kebatilan pendapat yang mengingkari bolehnya shalat tarawih berjama’ah). Dan kebatilan perkara tersebut merupakan pengertian yang sudah baku dalam pandangan Islam”.

Al-Allamah Ibnu Hajar Al-Haitami didalam fatwa yang ditulisnya menyatakan : “Mengeluarkan orang-orang Yahudi dari semenanjung jazirah Arab, dan memerangi Turki (Konstantinopel, pent) adalah perbuatan yang dilakukan berdasarkan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak termasuk katagori bid’ah, meskipun belum pernah dilakukan di masa hidup beliau. Sedangkan ucapan Umar berkenaan dengan tarawih : “Sebaik-baiknya bid’ah…” yang dimaksud adalah bid’ah secara bahasa. Yaitu sesuatu yang diperbuat tanpa contoh sebeumnya ; sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِّنَ الرُّسُلِ

Katakanlah : Aku bukanlah rasul yang pertama di antara raul-rasul…” [Al-Ahqaf/46:9]

Jadi yang dimaksud bukanlah bid’ah secara istilah. Karena bid’ah secara istilah menurut syari’at adalah sesat, sebagaimana yang ditegaskan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun sebagian ulama yang membaginya menjadi bid’ah yang baik dan tidak baik, sesungguhnya yang mereka bagi hanyalah bid’ah menurut bahasa. Sedangkan orang yang mengatakan setiap bid’ah itu sesat maksudnya adalah bid’ah menurut istilah. Bukankah kita mengetahui bahwa para shahabat Radhiyallahu ‘anhum dan juga para tabi’in yang mengikuti mereka dengan kebaikan juga menyalahi adzan pada selain shalat yang lima waktu, misalnya shalat dua Hari Ied, padahal tidak ada larangannya (secara khusus). Mereka juga menganggap makruh mencium dua rukun Syami (di Masjidil Haram), atau shalat seusai sa’i antara Shafa dan Marwah yang dikiaskan dengan shalat seusai berthawaf. Demikian juga halnya segala yang ditinggalkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara itu mungkin dilakukan, maka meninggalkan amalan itu menjadi sunnah ; sementara mengamalkannya menjadi bid’ah yang tercela. Maka seperti : Mengusir orang-orang Yahudi dari tanah Arab dan mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf, tidaklah masuk dalam konteks pembicaraan kita tentang “yang mungkin” dikerjakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dimasa hidupnya. Segala yang ditinggalkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena adanya penghalang seperti shalat tarawih berjama’ah misalnya ; maka apabila ada kemungkinan yang pasti[2], berarti hilanglah penghalang yang ada tersebut.[3]

Umar Radhiyallahu anhu Memerintahkan Manusia Untuk Shalat 11 Raka’at
Adapun perintah Umar Radhiyallahu ‘anhu untuk didirikannya tarawih 11 raka’at, adalah berdasarkan apa yang diriwayatkan Imam Malik dalam “Al-Muwaththa” (I : 137) (dan No. 248), dari Muhammad bin Yusuf, dari As-Saib bin Yazid bahwasanya beliau menuturkan.

أمر عمر بن الخطاب رضي الله عنه أبي بن كعب وتميما الداري أن يقوما للناس بإحدى عشر ركعة قال: وقد كان القارئ يقرأ بالمئين حتى كنا نعتمد على العصي من طول القيام وما كنا ننصرف إلا في بزوغ الفجر

Umar bin Al-Khattab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari untuk mengimami manusia (shalat tarawih) 11 raka’at”. Beliau melanjutkan : “Dan kala itu, seorang qari/imam biasa membaca ratusan ayat sehingga kami terpaksa bertelekan pada tongkat kami karena terlalu lama berdiri. Lalu kami baru bubar shalat menjelang fajar”.

Baca Juga  Shalat Tarawih Nabi dan Salafush Shalih

Saya katakan : Derajat sanad hadits ini shahih sekali. Sesungguhnya Muhammad bin Yusuf, syaikh/guru Imam Malik adalah orang yang terpercaya berdasarkan kesepakatan ahli hadits. Beliau juga dijadikan hujjah oleh Al-Bukhari dan Muslim. Sedangkan As-Saib bin Yazid adalah seorang shahabat yang ikut berthaji bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau masih kecil. Lalu dari jalur sanad Imam Malik juga, Abu Bakar An-Naisaburi mengeluarkan hadits itu dalam “Al-Fawaid” (I : 153), Al-Firyabi (75 : II-76 : I) dan Al-Baihaqi dalam “As-Sunan Al-Kubra” (I : 196)

Riwayat Malik tentang tarawih 11 raka’at tadi diiringi dengan penguat dari Yahya bin Sa’id Al-Qatthan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam “Al-Mushannaf” (II : 89 : 2), juga dengan riwayat dari Isma’il bin Umayyah, Usamah bin Zaid, Muhammad bin Ishaq oleh Imam An-Naisaburi ; juga dengan riwayat Ismail bin Ja’far Al-Madani oleh Ibnu Khuzaimah dalam hadits Ali bin Hajar (IV : 186 : 1). Mereka semua mengatakan : Dari Muhammad bin Yusuf dengan lafazh tadi, kecuali Ibnu Ishaq, beliau mengatakan : “Tiga belas raka’at” demikianlah yang diriwayatkan oleh Ibnu Nashar dalam ‘Qiyamu Al-Lail” (91), dan beliau menambahkan:

“Ibnu Ishaq menyatakan : “Tidak pernah aku mendengar dalam masalah itu (yakni bilangan raka’at tarawih pada bulan Ramadhan) riwayat yang lebih shahih dan lebih meyakinkan daripada hadits As-Saib. Yaitu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakannya pada malam hari 13 raka’at”.

Saya katakan : Jumlah bilangan 13 raka’at ini, hanya diriwayatkan secara menyendiri oleh Ishaq. Dan riwayat itu, bersesuaian dengan riwayat lain dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha tentang shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan. Hal ini dijelaskan dalam riwayat lain, bahwa termasuk dalam yang 13 rakaat itu dua rakaat sunnah fajar, sebagaimana dalam komentar sebelumnya. Hadits Ibnu Ishaq inipun bisa dipahami dengan cara itu sehingga menyepakati riwayat jama’ah

Dari penjelasan terdahulu, dapat dipahami bahwa ucapan Ibnu Abdil Barr : “Saya tidak pernah mendengar seorangpun yang mengatakan 11 raka’at, kecuali Imam Malik ; adalah ucapan yang jelas keliru. Al-Mubarakfuri mengomentari dalam “Tuhfatul Ahwadzi (II : 74) : “itu adalah dugaan yang bathil”. Oleh sebab itu, Az-Zarqani juga menyanggahnya dalam “Syarhu Al-Muwattha (I : 25)” dengan ucapannya : “Hal itu tidak sebagaimana yang diucapkannnya (Ibnu Abdil Barr), karena dari jalur sanad yang lain Ibnu Manshur meriwayatkan juga dari Muhamamd bin Yusuf : “11 raka’at”, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Malik”.

Saya mengatakan : Derajat sanad hadits ini sungguh amat shahih, sebagaimana yang diutarakan oleh Imam As-Suyuthi dalam “Al-Mashabih”, (riwayat) ini saja sudah cukup untuk menyanggah pernyataan Ibnu Abdil Barr. Bagaimana lagi kalau digabungkan dengan beberapa riwayat penguat lainnya yang –saya lihat- tidak seorangpun yang mendahului saya dalam mengumpulkan riwayat-riwayat itu. Wal hamdulillah ‘ala taufiqihi.

[Disalin dari kitab Shalatu At-Tarawih, Edisi Indonesia Shalat Tarwih, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Penerjemah Abu Umar Basyir Al-Maidani, Penerbit At-Tibyan]
______
Footnote
[1] Saya katakan : “Demikianlah kondisi yang terjadi di masa hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau mengimami mereka selam tiga malam. Kemudian beliau meninggalkannya karena takut dianggap wajib atas mereka sebagai hadits Aisyah terdahulu. Sehingga kembalilah kaum muslimin kepada kebiasaan semula, hingga Umar mengumpulkan mereka. Semoga Allah mengganjarinya dengan kebaikan atas jasa beliau terhadap Islam. Ibnu At-Tiien dan yang lainnya berkata : “Umar bin Al-Khattab mengambil kesimpulan, denghan ketetapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan keabsahan shalat orang-orang yang bermakmum kepada beliau pada beberapa malam itu. Kalaupun ada yang beliu benci, hanya sebatas karena beliau khawatir akhirnya menjadi wajib atas mereka. Inilah yang menjadi rahasia kenapa Al-Bukhari mengutip hadits Aisyah yang terdahulu sesudah hadits Umar. Setelah nabi meninggal, kekhawitran itu sudah tidak berlaku lagi. Umar lebih mengutamakan kesimpulan demikian, karena berpencar-pencarnya kaum muslimin dapat menimbulkan perpecahan. Dan juga karena berjama’ah dengan satu imam itu lebih membawa semanngat bagi banyak orang yang shalat …. Dan terhadap ucapan Umar itu, mayoritas umat lebih cenderung …” Fathul Bari IV : 203-204
[2] Yang dimaksud dengan kemungkinan yang pasti : Adalah ketidak adaan penghalang itu sendiri. Contohnya shalat tarawih berjama’ah. Kemungkinan untuk melaksanakan perbuatan itu ada di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ada penghalangnya, yaitu takut dianggap wajib. Maka pada saat itu, kemungkinannya tidaklah pasti.
[3] Lihat Al-Ibda Fi Mudhaaril ibtida hal. 22-24

  1. Home
  2. /
  3. A9. Fiqih Ibadah3 Shalat...
  4. /
  5. Umar bin Al-Khattab Menghidupkan...