Hadits yang Memerintahkan Untuk Mengikuti Nabi

BAB II. KEDUDUKAN AS-SUNNAH DALAM SYARI’AT ISLAM

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

B. Hadits-Hadits Yang Memerintahkan Kita Untuk Mengikuti Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam Dalam Segala Hal
Begitu pula halnya dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, banyak kita temui perintah yang mewajibkan untuk mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala perkara, di antaranya ialah:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى.

1. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap ummatku akan masuk Surga, kecuali yang enggan.” Mereka (para Shahabat) bertanya: “Siapa yang enggan itu?” Jawab beliau: “Barangsiapa yang mentaatiku pasti masuk Surga, dan barangsiapa yang mendurhakaiku, maka sungguh ia telah enggan.”[1]

عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: جَاءَتْ مَلاَئِكَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ نَائِمٌ فَقَالَ بَعْضُهُمْ: إِنَّهُ نَائِمٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ أَنَّ الْعَيْنَ نَائِمَةٌ وَالْقَلْبَ يَقْظَانُ فَقَالُوْا: إِنَّ لِصَاحِبِكُمْ هَذَا مَثَلاً، فَاضْرِبُوْا لَهُ مَثَلاً فَقَالَ بَعْضُهُمْ: إِنَّهُ نَائِمٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ إِنَّ الْعَيْنَ نَائِمَةٌ وَالْقَلْبَ يَقْظَانٌ، فَقَالُوْا: مَثَلُهُ كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى دَارًا، وَجَعَلَ فِيْهَا مَأْدُبَةً وَبَعَثَ دَاعِيًا فَمَنْ أَجَابَ الدَّاعِيَ دَخَلَ الدَّارَ وَأَكَلَ مِنَ الْمَأْدُبَةِ، وَمَنْ لَمْ يُجِبِ الدَّاعِيَ لَمْ يَدْخُلِ الدَّارَ وَلَمْ يَأْكُلْ مِنَ الْمَأْدُبَةِ، فَقَالُوْا: أَوِّلُوْهَا لَهُ يَفْقَهْهَا، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: إِنَّهُ نَائِمٌ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ: إِنَّ الْعَيْنَ نَائِمَةٌ وَالْقَلْبَ يَقْظَانُ، فَقَالُوْا: فَالدَّارُ الْجَنَّةُ، وَالدَّاعِي مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَنْ أَطَاعَ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ، وَمَنْ عَصَى مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَمُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَّقَ بَيْنَ النَّاسِ.

2. Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Telah datang beberapa Malaikat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika beliau sedang tidur. Sebagian dari mereka berkata, ‘Dia sedang tidur,’ dan yang lainnya berkata, ‘Sesungguhnya matanya tidur tetapi hatinya sadar.’ Para Malaikat berkata, ‘Sesungguhnya bagi orang ini ada perumpamaan, maka buatlah perumpamaan baginya.’ Sebagian lagi berkata, ‘Sesungguhnya ia sedang tidur,’ yang lain berkata, ‘Matanya tidur tetapi hatinya sadar.’ Para Malaikat berkata, ‘Perumpamaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seperti seorang yang membangun rumah, lalu ia menyediakan hidangan dalam rumahnya itu, kemudian ia mengutus seorang pengundang, maka ada orang yang memenuhi undangan itu dan masuk ke rumah serta makan hidangannya. Tetapi adapula orang yang tidak memenuhi undangannya, tidak masuk ke rumah dan tidak makan hidangannya.’ Mereka berkata, ‘Terangkan tafsir dari perumpamaan itu agar orang dapat faham.’ Sebagian mereka berkata lagi, ‘Ia sedang tidur,’ yang lainnya berkata, ‘Matanya tidur, tetapi hatinya sadar.’ Para Malaikat berkata, ‘Rumah yang dimaksud adalah Surga, sedang pengundang adalah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa mentaati Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti ia taat kepada Allah, dan barangsiapa mendurhakai Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti ia telah mendurhakai Allah; dan Muhammad itu adalah pemisah di antara manusia.”[2]

عَنْ أَبِي مُوْسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّمَا مَثَلِي وَمَثَلُ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَتَى قَوْماً فَقَالَ: يَا قَوْمِ إِنِّي رَأَيْتُ الْجَيْشَ بِعَيْنَيَّ وَإِنِّي أَنَا النَّذِيْرُ الْعُرْيَانُ، فَالنَّجَاءَ فَأَطَاعَهُ طَائِفَةٌ مِنْ قَوْمِهِ فَأَدْلَجُوْا فَانْطَلَقُوْا عَلَى مَهْلِهِمْ فَنَجَوْا، وَكَذَّبَتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ فَأَصْبَحُوْا مَكَانَهُمْ فَصَبَّحَهُمُ الْجَيْشُ فَأَهْلَكَهُمْ وَاجْتَاحَهُمْ فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ أَطَاعَنِي فَاتَّبَعَ مَا جِئْتُ بِهِ وَمَثَلُ مَنْ عَصَانِي وَكَذَّبَ بِمَا جِِئْتُ بِهِ مِنَ الْحَقِّ

3. Dari Abi Musa Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Perumpamaanku dan perumpamaan apa-apa yang Allah utus aku dengannya seperti seorang yang mendatangi suatu kaum, lalu ia berkata, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya aku melihat pasukan musuh dengan mata kepalaku dan sesungguhnya aku pengancam yang nyata, maka marilah menuju kepada keselamatan. Sebagian dari kaum itu mentaatinya, lalu mereka masuk pergi bersamanya, maka selamatlah mereka. Sebagian dari mereka mendustakan. Pagi-pagi mereka diserang oleh pasukan musuh lalu mereka dihancurkan dan diluluhlantakan. Demikianlah perumpamaan orang-orang yang taat kepadaku dan mengikuti apa yang aku bawa dan perumpamaan orang-orang yang durhaka kepadaku dan mendustakan kebenaran yang aku bawa.”[3]

عَنْ أَبِي رَافِعٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ أُلْفِيَنَّ أَحَدُكُمْ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيْكَتِهِ يَأْتِيْهِ اْلأَمْرُ مِنْ أَمْرِي مِمَّا أَمَرْتُ بِهِ أَوْ نَهَيْتُ عَنْهُ فَيَقُوْلُ: لاَ نَدْرِي مَا وَجَدْنَا فِي كِتَابِ اللهِ اتَّبَعْنَاهُ.

4. Dari Abi Rafi’ Radhiyallahu anhu, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Nanti akan ada seorang di antara kalian yang duduk bersandar di sofanya lalu datang kepadanya perintah dari perintahku dari apa-apa yang aku perintah dan aku larang. Ia berkata: ‘Aku tidak tahu apa-apa. Yang kami dapati dalam Kitabullaah kami ikuti (dan yang tidak terdapat dalam Kita-bullaah kami tidak ikuti).[4]

Baca Juga  As-Sunnah dan Para Penentangnya Di Masa Lalu dan Masa Sekarang

عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلاَ إِنِّي أُوْتِيْتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلاَ يُوْشِكُ رَجُلٌ شَبْعَانُ عَلَى أَرِيْكَتِهِ يَقُوْلُ: عَلَيْكُمْ بِهَذَا الْقُرْآنِ فَمَا وَجَدْتُمْ فِيْهِ مِنْ حَلاَلٍ فَأَحِلُّوْهُ، وَمَا وَجَدْتُمْ فِيْهِ مِنْ حَرَامٍ فَحَرِّمُوْهُ وَإِنَّ مَا حَرَّمَ رَسُوْلُ اللهِ كَمَا حَرَّمَ اللهُ أَلاَ لاَ يَحِلُّ لَكُمْ لَحْمُ الْحِمَارِ اْلأَهْلِيِّ وَلاَ كُلُّ ذِي نَابٍ مِنَ السَّبُعِ، وَلاَ لُقَطَةُ مُعَاهَدٍ إِلاَّ أَنْ يَسْتَغْنِيَ عَنْهَا صَاحِبُهَا وَمَنْ نَزَلَ بِقَوْمٍ فَعَلَيْهِمْ أَنْ يَقْرُوْهُ فَإِنْ لَمْ يَقْرُوْهُ فَلَهُ أَنْ يُعْقِبَهُمْ بِمِثْلِ قِرَاهُ.

5. Dari Miqdam bin Ma’di Kariba Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‘Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan Al-Kitab (Al-Qur-an) dan yang seperti Al-Qur-an bersamanya. Ketahuilah, nanti akan ada orang yang kenyang di atas sofanya sambil berkata, ‘Cukuplah bagimu untuk berpegang dengan Al-Qur-an (saja), apa-apa yang kalian dapati hukum halal di dalamnya maka halalkanlah dan apa-apa yang kalian dapati hukum haram di dalamnya, maka haramkanlah.’ (Ketahuilah) sesungguhnya apa-apa yang diharamkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama seperti yang diharamkan Allah, ketahuilah tidak halal bagi kalian keledai negeri dan tiap-tiap yang bertaring dari binatang buas dan tidak halal pula barang pungutan (kafir) mu’ahad kecuali bila pemiliknya tidak memerlukannya dan barangsiapa yang singgah di suatu kaum, maka wajib atas mereka menghormatinya. Bila mereka tidak menghormatinya, maka wajib baginya menggantikan yang serupa dengan penghormatan itu.”[5]

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَ هُمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِيْ وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ.

6. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‘Aku tinggalkan dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya yaitu Kitabullah dan Sunnahku, serta keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya mendatangiku di Telaga (di Surga).”[6]

قَالَ الْعِرْبَاضُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : صَلَّى بِنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَناَ مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ، فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْناَ فَقَالَ: أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كَثِيْراً، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ، تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.

7. Berkata al-‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu, “Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami kemudian beliau menghadap kepada kami dan memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati takut, maka seseorang berkata: ‘Wahai Rasulullah nasehat ini seakan-akan nasehat dari orang yang akan berpisah, maka berikanlah kami wasiat.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Aku wasiatkan kepada kalian supaya tetap bertakwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian setelahku maka ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru, karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid‘ah. Dan setiap bid‘ah itu adalah sesat.[7]

Dalil-dalil dari Al-Qur-an al-Karim dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang tersebut di atas memberikan petunjuk yang sangat penting sekali kepada kita, secara global sebagai berikut:

  1. Tidak ada perbedaan antara hukum Allah dan hukum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena tidak boleh seorang mukmin memilih-milih dengan maksud menyalahinya, dan yang demikian termasuk durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka perbuatan tersebut sudah termasuk sesat.
  2. Tidak boleh seseorang mendahului Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana ia tidak boleh mendahului Allah, yakni tidak boleh menyalahi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Maksud dari ayat pertama dari surat al-Hujurat adalah: ‘Janganlah kalian berkata hingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, janganlah kalian memerintah hingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah, janganlah kalian berfatwa hingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berfatwa dan jangan menetapkan satu urusan hingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menghukumi dan memutuskan.”[8]
  3. Taat kepada Rasul berarti taat kepada Allah.
  4. Orang yang berpaling dari taat kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti termasuk kelakuan orang-orang kafir.
  5. Ketika terjadi perselisihan dalam urusan agama, maka wajib kita kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan (manusia) untuk mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya. Allah mengulangi kalimat: وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ sebagai pemberitahuan bahwa taat kepada Rasul hukumnya wajib tanpa pamrih dan tanpa membandingkan lagi dengan Kitabullah, bahkan perintah beliau wajib ditaati secara mutlak, baik perintah itu ada di dalam Al-Qur-an maupun tidak, ‘Karena beliau diberikan Kitab dan yang seperti itu bersamanya,’ dan Allah tidak menggunakan kata taat kepada ulil amri, bahkan Allah membuang fii tha’at karena kepada ulil amri sudah terkandung dalam taat kepada Rasul[9]. Para ulama telah bersepakat bahwa kembali kepada Allah berarti kembali kepada kitab-Nya (Al Qur-an) dan kembali kepada Rasul ketika beliau masih hidup dan setelah beliau wafat kembali kepada sunnah-sunnah-Nya dan yang demikian termasuk dari syarat-syarat keimanan.
  6. Jatuhnya kaum muslimin dan hilangnya kekuatan mereka disebabkan mereka terus berselisih dan tidak mau kembali kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah.
  7. Orang yang menyalahi perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mendapat fitnah di dunia dan adzab di akhirat.
  8. Orang yang menyalahi perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mendapat akibat yang jelek di dunia dan akhirat
  9. Wajib memenuhi panggilan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perintahnya, karena yang demikian akan membuat hidup jadi lebih baik dan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
  10. Taat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam penyebab utama masuknya seseorang ke dalam Surga dan memperoleh kesuksesan yang besar, dan orang yang durhaka kepadanya akan masuk ke dalam Neraka serta mendapatkan adzab yang hina.
  11. Di antara ciri-ciri orang munafiq, apabila mereka diajak untuk berhukum kepada hukum Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kepada Sunnahnya, mereka tidak mau bahkan berusaha untuk menghalang-halangi orang yang ingin kembali kepada-Nya.
  12. Orang-orang mukmin berbeda dengan orang-orang munafiq, karena orang-orang mukmin bila diseru untuk berhukum dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka segera memenuhinya seraya berkata, “Sami’na wa atha’na (Kami dengar dan kami mentaati).”
  13. Setiap yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka wajib kita mengikutinya dan setiap yang dilarangnya, wajib bagi kita menjauhinya.
  14. Contoh tauladan bagi umat Islam dalam segala urusan agama adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  15. Setiap kalimat yang diucapkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ada hubungannya dengan agama dan urusan ghaib yang tidak dapat diketahui akal dan tidak pula percobaan, maka hal itu merupakan wahyu dari Allah kepada beliau yang tidak ada kebathilan di dalamnya.
  16. As-Sunnah merupakan penjelas bagi Al-Qur-an yang diturunkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  17. Al-Qur-an harus dijabarkan dengan As-Sunnah, bahkan As-Sunnah sama dengan Al-Qur-an dalam sifat wajib taat dan mengikutinya.
  18. Apa-apa yang diharamkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama dengan apa-apa yang diharamkan Allah, demikian pula segala sesuatu yang dibawa Rasulullah yang tidak terdapat dalam Al-Qur-an, maka dia sama dengan Al-Qur-an berdasarkan keumuman hadits no. 5.
  19. Manusia bisa selamat dari kesesatan dan penyelewengan hanyalah dengan berpegang dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah yang demikian itu merupakan hukum yang tetap berlaku terus sampai hari Kiamat, dan tidak boleh memisahkan antara Al-Qur-an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  20. Kewajiban mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencakup masalah ‘aqidah maupun ahkam, dan meliputi seluruh perkara agama, serta tertuju kepada siapa saja yang sudah sampai kepadanya risalah da’wah sampai hari Kiamat.[10]
Baca Juga  Sanad dan Matan, Pembagian As-Sunnah

C. Dalil-Dalil Ijma’ yang Memerintahkan Untuk Mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam

[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Penulis Yazid Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005]
_______
Footnote
[1] Hadits shahih riwayat al-Bukhari (no. 7280) dan Ahmad (II/361).
[2] Hadits shahih riwayat al-Bukhari (no. 7281), Fat-hul Baari (XIII/249-250). Yang dimaksud pemisah yakni memisahkan antara orang-orang mukmin dengan orang-orang kafir atau antara yang haq dengan yang bathil.
[3] Hadits shahih riwayat al-Bukhari (no. 6482, 7283) dan Muslim (no. 2283 (16)).
[4] Hadits shahih riwayat Ahmad (VI/8), Abu Dawud (no. 4605) dan ini adalah lafazh miliknya, at-Tirmidzi (no. 2663), Ibnu Majah (no. 13), Ibnu Hibban (no. 98-Mawarid) dan lainnya.
[5] Hadits shahih riwayat Abu Dawud (no. 4604) dan lafazh ini miliknya, Ahmad (IV/ 131), Ibnu Hibban (no. 12), ath-Thabrani (al-Mu’jamul Kabir XX/ no. 669-670), ath-Thahawy dalam Syarah Ma’anil Atsaar (IV/209) dan al-Baihaqy (IX/332).
[6] Hadits shahih riwayat al-Hakim (I/93) dan al-Baihaqy (X/114).
[7] HR. Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Darimy (I/44-45), al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah (I/ 205), al-Hakim (I/95-96), dishahihkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi, Syaikh al-Albany juga menshahihkan hadits ini dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 2455).
[8] I’lamul Muwaqqi’iin (II/94) tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman.
[9] I’lamul Muwaqqi’in (II/89), tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman.
[10] Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil ‘Aqaa-id wal Ahkam (hal. 33-36), oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani v, cet. I/ Darus Sa-lafiyah, th. 1406 H

  1. Home
  2. /
  3. A4. Kedudukan As-Sunnah Dalam...
  4. /
  5. Hadits yang Memerintahkan Untuk...