Sholat Tanpa Mengenakan Penutup Kepala
SHALAT TIDAK MENGENAKAN PENUTUP KEPALA (SONGKOK/PECI)
Oleh
Syaikh Abu Ubaidah Masyhur Hasan Salman
Beberapa Kesalahan Dari Segi Berbusana Dan Menutup Aurat Di Dalam Sholat
Sholat Tanpa Mengenakan Penutup Kepala (Songkok/Peci)
Boleh melakukan sholat dengan membuka kepala bagi kaum laki-laki, sebab kepala hanya menjadi aurat bagi kaum wanita bukan untuk kaum pria. Namun demikian, disunnahkan bagi setiap orang yang melakukan sholat untuk mengenakan pakaian yang layak dan paling sempurna. Diantara kesempurnaan busana sholat adalah dengan memakai ‘imamah (kain surban yang diikatkan di kepala), songkok atau sebagainya yang biasa dikenakan di kepala ketika beribadah.
Tidak memakai tutup kepala tanpa udzur (keadaan yang terpaksa), makruh hukumnya. Terlebih ketika melakukan sholat fardhu dan teristimewa lagi ketika mengerjakannya dengan berjama’ah[1].
Al-Albani berkata: “Menurut pendapatku, sesungguhnya sholat dengan tidak memakai tutup kepala hukumnya adalah makruh. Karena merupakan sesuatu yang sangat disunnahkan jika seorang muslim melakukan sholat dengan memakai busana islami yang sangat sempurna, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits: “Karena Allah paling berhak untuk dihadapi dengan berias diri.”
ﺇِﺫَﺍ ﺻَﻠَّﻰ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻓَﻠْﻴَﻠْﺒَﺲْ ﺛَﻮْﺑَﻴْﻪِ ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺃَﺣَﻖُّ ﻣَﻦْ ﺗُﺰُﻳِّﻦَ ﻟَﻪُ
“Jika salah seorang dari Kalian mengerjakan sholat, maka hendaklah dia memakai dua potong bajunya. Karena sesungguhnya Allah paling berhak dihadapi dengan berias diri.”.[2]
Tidak memakai penutup kepala bukan merupakan kebiasaan baik yang dikerjakan oleh para ulama salaf, baik ketika mereka berjalan di jalan maupun ketika memasuki tempat-tempat ibadah. Kebiasaan tidak memakai tutup kepala sebenarnya (adalah) tradisi yang dikerjakan oleh orang-orang asing. Ide ini memang sengaja diselundupkan ke negara-negara muslim ketika mereka melancarkan kolonialisasi. Mereka mengajarkan kebiasaan buruk dan sayangnya malah diikuti oleh umat Islam. Mereka telah mengesampingkan kepribadian dan tradisi keislaman mereka sendiri. Inilah sebenarnya pengaruh buruk yang dibungkus (dengan) sangat halus dan tidak pantas, untuk merusak tradisi umat Islam dan juga tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk memperbolehkan sholat tanpa memakai tutup kepala.
Adapun argumentasi yang memboleh (kan) membiarkan kepala tanpa tutup, seperti yang dikemukakan sebagian rekan-rekan kami, para kelompok pembela sunnah di Mesir adalah dengan mengqiyaskannya kepada busana orang yang sedang memakai baju ihram ketika melaksanakan ibadah haji. Ini adalah qiyas terburuk yang mereka lakukan dan yang pernah kami saksikan. Bagaimana hal ini bisa terjadi, sedangkan tidak menutup kepala ketika ihram adalah syi’ar dalam agama dan termasuk dalam manasik yang jelas tidak sama dengan aturan ibadah lainnya.
Seandainya qiyas yang mereka lakukan itu benar, pasti akan terbentur juga dengan pendapat yang menyatakan tentang kewajiban untuk membiarkan kepala agar tetap terbuka ketika ihram. Karena itu merupakan kewajiban dalam rangkaian ibadah haji[3].
Tidak pernah disebutkan sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak memakai tutup kepala ketika sholat, kecuali hanya ketika ihram. Barangsiapa yang menyangka beliau pernah tidak memakai ‘imamah ketika sholat selain pada saat melakukan ihram, maka dia harus bisa menunjukkan dalilnya. Dan yang benar itulah yang paling berhak untuk diikuti[4].
Yang perlu disebutkan di sini adalah bahwa sholat tanpa mengenakan tutup kepala hukumnya adalah makruh saja, sebagaimana yang disebutkan oleh al Baghawi dan mayoritas ulama lain[5]. Anggapan orang awam tentang tidak bolehnya bermakmum pada imam yang tidak memakai tutup kepala, maka anggapan tersebut tidaklah benar. (Tapi) Tidak bisa disangkal kalau itu memang lebih baik tidak dilakukan, sebelum seorang imam memenuhi semua syarat kesempurnaan sholat dan mengikuti semua sunnah Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Hanya kepada Allah kita memohon perlindungan.
[Disalin dari buku Al-Qaulul Mubin Fii Akhta-il Mushallin Edisi Indonesia Koreksi Total Ritual Sholat, Penulis Syaikh Abu Ubaidah Masyhurrah Ibn Hasan Ibn Mahmud Ibn Salman. Penerbit Pustaka Azzam, Jakarta, Oktober 2001]
_______
Footnote
[1] Fataawa Muhammad Rasyid Ridha (V/1849) dan al Sunan wa al Mubtadi’aat halaman 69
[2] Diriwayatkan oleh al Thahawi di dalam Syarh Mas’aani al Aatsaar ( I / 221 ), al Thabarani dan al Baihaqi di dalam al Sunan al Kubra ( II / 236 ) dengan kualitas sanad yang hasan. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam Majma’ al Zawaaid ( II / 51 ). Lihat juga al Silsilah al Shahihah nomor 1369
[3] Tamaamul Minnah fii al Ta’liiq ‘alaa Fiqh al Sunnah halaman 164-165
[4] al Diin al Khaalish ( III / 214 ) dan al Ajwibah al Naafi’ah ‘an al Masaail al Waaqi’ah halaman 110
[5] Lihat al Majmuu’ II / 51
- Home
- /
- A9. Fiqih Ibadah3 Shalat
- /
- Sholat Tanpa Mengenakan Penutup...