Saat Tepat Berinfak

SAAT TEPAT BERINFAK

Membicarakan infak, al-hamdulillah, fenomena yang nampak di tengah kaum muslimin, mereka sangat antusias menyisihkan sebagian kekayaannya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala . Penggalangan dan penyadaran berinfak marak dimana-mana. Tak sedikit dana infak yang tersalurkan kepada yang berhak menerimanya. Sungguh hal ini merupakan sebuah pemandangan yang menggembirakan.

Perbuatan yang baik ini, tentunya perlu mendapat perhatian dan motivasi ekstra, karena memang infak memiliki nilai yang sangat penting. Yaitu sebagai wujud kepedulian sebagai muslim, seperti kepada masyarakat yang kurang mampu, pembangunan sarana pendidikan Islam, penguatan sektor ekonomi, menciptakan suasana keakraban dan kasih-sayang, serta senasib-sepenanggungan antara sesama muslim.

Seringkali, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyandingkan antara shalat dan infak. Sebabnya shalat adalah hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan jembatan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Di dalam shalat terkandung unsur tauhid, sanjungan dan pujian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Sedangkan infak, adalah perlakuan baik kepada sesama dengan sesuatu yang bermanfaat. Pihak yang paling berhak menerimanya, ialah kaum kerabat, keluarga, hamba sahaya dan orang-orang asing (yang membutuhkan) yang tidak terikat dengan pertalian keluarga.[1]

Manfaat Infak Dalam Pembentukan Masyarakat yang Kuat dan Kokoh
Salah satu sifat kaum muttaqîn (orang-orang yang bertakwa) yang termaktub dalam surat al-Baqarah, mereka menyisihkan sebagian rizki yang mereka terima untuk diinfakkan di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala .

الم ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

Alif lâm mîm. Kitab (Al-Qur`ân) ini tidak ada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka. [al-Baqarah/2: 1-3].

Kepedulian melakukan perbuatan yang simpatik itu, terdorong oleh pengakuan hati, bahwa harta kekayaan yang diperolehnya adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala . Peroleh harta adalah amanah dari-Nya, yang nantinya akan ditanyakan bagaimana cara mengelola dan mendistribusikannya.

Dengan pengakuan ini, maka akan mampu mendorong munculnya rasa solidaritas dan ingin berbagi kepada sesama umat manusia, terutama kaum dhu’afa` (orang-orang lemah). Perasaan senasib-sepenanggungan tertanam dengan kuat dalam hati mereka. Keimanan telah memotivasinya untuk berderma kepada sesama yang membutuhkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ

Sedekah adalah burhaan (bukti keimanan).

Dari sisi ini, jiwa akan menjadi bersih dari sifat kikir dan bakhil. Kehidupan akan dipenuhi dengan ketenangan, saling memahami, saling bekerjasama antara anggota masyarakat. Suasana kehidupan akan terhindar dari pertikaian dan permusuhan.

Apalagi dengan situasi ketika harga kebutuhan semakin mahal. Beras seolah menjadi barang mahal bagi sebagian keluarga. Sehingga tak terhindarkan, nasi aking pun menjadi santapan rutin setiap harinya. Kebutuhan lainnya kian melambung tinggi dan sebagian barang sulit dijumpai. Dalam kondisi berat seperti ini, uluran tetangga, para dermawan ataupun bantuan finansial dan material, tentu akan menggembirakan dan mengobati kepedihan para kaum dhuafa. Hidup bagi mereka menjadi lebih bersahabat.

Kapan Berinfak?
Bersedekah dan berinfaq merupakan perbuatan terpuji dan termasuk sifat dari orang-orang pilihan. Jika demikian, lantas kapan seseorang semestinya menyisihkan pendapatannya untuk berinfak? Apakah seseorang yang berinfak harus terlebih dulu menjadi seorang hartawan yang kaya raya dan berlimpah uang, baru kemudian menyedekahkan sebagian hartanya? Ataukah bagaimana?

Baca Juga  Mengungkit Sedekah Merusak Berkah Ibadah

Para sahabat pernah menanyakan permasalahan ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melontarkan himbauan untuk bersedekah[2]. Pertanyaan mereka terjawab melalui firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut :

وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ

Dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah, “Kelebihan (dari apa yang diperlukan).

Ayat di atas memuat pertanyaan mengenai kadar harta yang diinfakkan. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan urusan ini dan memerintahkan mereka untuk menginfakkan harta yang ringan menurut mereka, tidak berkait dengan kebutuhan dan keperluan mendesak mereka. Atau dengan bahasa lain, harta yang diinfakkan diambilkan dari harta yang sudah melebihi kebutuhan yang tidak bisa dikesampingkan.[3]

Keterangan ini bertolak dari makna kata “al-‘afwu” yang termaktub dalam ayat yang mulia di atas. Imam Ibnu Jariir rahimahullah meriwayatkan dengan sanad hasan dari Ibnu ‘Abbaas Radhiyallahu anhuma, al-‘afwu, berarti, kadar yang melebihi kebutuhan keluarga.[4]

Tidak beda dengan keterangan di atas, Imam al-Qurthubi rahimahullah mendefinisikannya sebagai sesuatu yang ringan, berlebih (sisa), dan seseorang tidak merasa berat untuk mengeluarkan (melepaskannya). Lebih lanjut, beliau menjelaskan tentang ayat di atas: “Pengertiannya, berinfaklah dengan (nominal) yang sudah melebihi kebutuhan, dan tidak mengganggu diri kalian. Agar kalian tidak menjadi orang-orang yang bergantung kepada orang lain nantinya[5]

Terlintas dalam penuturan Imam al-Qurthubi rahimahullah, manfaat dari ketetapan tersebut. Yaitu, supaya seseorang tidak malah mengalami kekurangan setelah berinfak, hingga membutuhkan bantuan orang lain untuk menutupi kebutuhannya.

Seseorang, kalau mengeluarkan sedekah yang banyak bisa menyesal dan malah membutuhkan (bantuan orang lain). Memberikan sedekah dengan jumlah sedikit, tetapi dilakukan dari waktu ke waktu lebih membekas pada keimanan dan dan lebih bermanfaat bagi hartanya”[6]

Keterangan di atas merujuk sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

خَيْرُ الصَّدَقَةِ مَا كَانَ عَنْ ظَهْرِ غِنًى

Sebaik-baik sedekah, ialah sedekah yang dikeluarkan di luar kebutuhan. [HR al-Bukhâri dan Muslim].

Jumhur ulama mengartikan hadits di atas, yaitu dalam infak-infak yang bersifat tathawwu’ (sukarela).

Bagaimana Dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu?
Sejarah menceritakan, Abu Bakr ash-Shiddîq ialah seorang yang sangat dermawan. Kontribusi finansialnya di jalan Allah begitu besar. Dalam soal infak, seratus persen kekayaan, beliau serahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sepeser pun tidak disisakan bagi keluarganya. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikut:

عَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا أَنْ نَتَصَدَّقَ فَوَافَقَ ذَلِكَ مَالًا عِنْدِي فَقُلْتُ الْيَوْمَ أَسْبِقُ أَبَا بَكْرٍ إِنْ سَبَقْتُهُ يَوْمًا فَجِئْتُ بِنِصْفِ مَالِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَبْقَيْتَ لِأَهْلِكَ قُلْتُ مِثْلَهُ قَالَ وَأَتَى أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِكُلِّ مَا عِنْدَهُ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَبْقَيْتَ لِأَهْلِكَ قَالَ أَبْقَيْتُ لَهُمْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ قُلْتُ لَا أُسَابِقُكَ إِلَى شَيْءٍ أَبَدًا حسنه الألباني في صحيح سنن أبي داود

Dari ‘Umar bin al-Khaththâb, ia berkata: “Rasulullah memerintahkan kami untuk bersedekah. Perintah ini bertepatan dengan kondisiku yang sedang memiliki sejumlah kekayaan. Lantas aku berkata: ‘Hari ini, aku akan mendahului Abu Bakar. Aku ingin mendahuluinya walau sehari saja,’ maka aku pun datang dengan membawa separo dari hartaku. Kemudian datanglah Abu Bakar dengan membawa seluruh hartanya. Rasulullah bertanya kepadanya: ‘Apa yang engkau tinggalkan bagi keluargamu?’ Ia menjawab,’Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya’.” Aku (Umar) berkata: “Aku tidak akan mampu mengalahkan Abu Bakar selamanya”. [HR Abu Dawud. dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni)].

Baca Juga  Memilih Haji Sunnah Ataukah Sedekah Untuk Membiayai Para Pejuang

Imam al-Baghawi rahimahullah telah memadukan keterangan para ulama di atas dengan perbuatan Abu Bakar dengan berkata:
Yang terbaik ialah seseorang hendaknya menyedekahkan harta di luar kebutuhannya dan menyisakan untuk keperluan dirinya. Karena dikhawatirkan dilanda cobaan kemiskinan. Bila itu terjadi, bisa saja ia menyesali perbuatannya (berinfak) sehingga terhapuslah pahalanya lalu menjadi beban orang lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari Abu Bakar yang menyedekahkan seluruh hartanya, karena mengetahui kekuatan iman dan kebenaran tawakkalnya. Dan beliau tidak mengkhawatirkan fitnah atas diri Abu Bakar, seperti yang dikhawatirkan terjadi pada orang lain.

Adapun seseorang yang bersedekah, sementara keluarganya membutuhkan atau masih terlilit hutang -dalam keadaan seperti ini- maka melunasi hutang dan mencukupi kebutuhan keluarganya itu lebih utama. Kecuali jika ia seorang yang penyabar dan mengutamakan orang lain atas dirinya meskipun membutuhkan, seperti yang dilakukan Abu Bakar. Begitu pula yang dilakukan kaum Anshar yang lebih mengutamakan kaum Muhajirin. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuji mereka dalam firman-Nya:

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. [al-Hasyr/59:9][7].

Syaikh asy-Syinqithi rahimahullah dengan menukil keterangan dari sejumlah ulama, beliau ingin mendudukan persoalan ini. Kata beliau:
“Masing-masing kesempatan memiliki cara tersendiri. Suatu saat, perbuatan itsâr (mengutamakan orang lain dengan bantuan materi) terlarang. Demikian ini, manakala ada sejumlah biaya yang wajib ditanggung seseorang yang mau berinfak. Misalnya, tanggungan nafkah bagi istri-istri dan lain-lain. Kemudian ia berinfak pada bagian yang tidak wajib ini dengan meninggalkan kewajibannya. (Ini itsaar yang terlarang), berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ

Dan mulailah dengan orang-orang yang menjadi tanggunganmu.[8]

Kesimpulannya, infak diambilkan dari harta yang sudah berlebih, di luar kebutuhannya. Tujuannya, supaya tidak berpengaruh pada anggaran kebutuhan pokok rumah tangga, dan hal ini tergantung pada kondisi seseorang. (Abu Minhal)

Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XI/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Ringkasan dari Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm, 1/170.
[2] Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm
[3] Taisirul-Karîmir-Rahmân, hlm. 89, Adhwâ`ul-Bayân, 1/38
[4] At-Tafsîr ash-Shahîh, 1/331.
[5] Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur`ân, 3/60
[6] Ahkâmul-Qur`ân, 1/202
[7] Lihat Syarhus-Sunnah
[8] Adhwâ`ul-Bayân, 1/41