Tabarruk (Mencari Berkah)

Kelima puluh lima:
TABARRUK (MENCARI BERKAH)[1]

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Keberkahan berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun Allah Azza wa Jalla mengkhususkan sebagian berkah-Nya kepada seorang hamba atau makhluk tertentu yang dikehendaki-Nya. Oleh karena itu, seseorang atau suatu makhluk atau benda tidak boleh dinyatakan mempunyai berkah kecuali berdasarkan dalil (dari Al-Qur-an atau as-Sunnah yang shahih).

Berkah artinya kebaikan yang banyak atau kebaikan yang tetap dan tidak hilang.

Al-Qur-an Kitabullah dikatakan mengandung berkah apabila dibaca, difahami dan diamalkan. Ada pula waktu-waktu yang mengandung berkah seperti malam Lailatul Qadar. Tabarruk dengan Lailatul Qadar yaitu dengan melaksanakan ibadah pada 10 malam terakhir pada bulan Ramadhan dengan ibadah yang sesuai dengan Sunnah-sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun tempat yang ada berkahnya seperti Masjidil Haram[2], Masjid Nabawi[3], dan Masjid al-Aqsha.

Ada beberapa hal yang mengandung berkah, baik berbentuk benda yang ada berkahnya seperti air Zamzam, atau amal yang ada berkahnya, yaitu setiap amal shalih yang dikerjakan dengan ikhlas dan ittiba’ kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau berbentuk pribadi yang ada berkahnya seperti tubuh para Nabi.

Namun, kita tidak boleh bertabarruk (meminta berkah) kepada manusia beserta peninggalannya, kecuali kepada pribadi dan peninggalan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup dan tidak berlaku lagi setelah wafatnya. Semua barang peninggalan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah tidak ada dan lenyap. Setelah wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada seorang pun dari Sahabat yang bertabarruk kepada diri Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu dan lainnya.

Baca Juga  Berhukum Dengan Apa Yang Diturunkan Allah Subhanahu Wa Ta'ala

Kalau kepada Abu Bakar yang dijamin masuk Surga saja tidak diperbolehkan bagi seorang pun untuk bertabarruk kepadanya, apalagi kepada orang selain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Seorang Mukmin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, harus tunduk kepada wahyu: Al-Qur-an dan As-Sunnah. Tidak boleh mempunyai i’tiqad (keyakinan) tentang sesuatu kecuali berdasarkan dalil. Karena itu tidak boleh menganggap sesuatu mengandung berkah kecuali dengan dalil. Demikian pula tidak boleh bertabarruk dengan sesuatu, apakah itu berupa pohon, batu, kuburan atau lainnya kecuali dengan dalil.

Tabarruk (meminta berkah) termasuk perkara yang berdasarkan kepada nash. Untuk itu tidak boleh bertabarruk kepada sesuatu kecuali pada hal yang telah dinyatakan oleh dalil.

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1] At-Tabarruk al Masyru’ wat Tabarruk al-Mamnu’ karya Dr. ‘Ali bin Nufayyi’ al-‘Ulyani dan Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah (hal. 15-16).
[2] Tabarruk dengan Masjidil Haram yaitu dengan melaksanakan Thawaf, Sa’i dan ibadah-ibadah yang lainnya sesuai dengan Sunnah, bukan dengan mengusap-usap bagian Ka’bah karena yang boleh diusap hanya dua Rukun; Rukun Yamani dan Hajar Aswad.
[3] Tabarruk dengan Masjid Nabawi yaitu dengan melaksanakan ibadah di Masjid Nabawi, bukan dengan berdo’a di sisi kuburnya, perbuatan ini bid’ah atau minta sesuatu kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  yang merupakan perbuatan syirik besar.