Ahlus Sunnah Meyakini Adanya Hisab, Meyakini Al-Mizan, Mengimani al-Haudh, ash-Shirath
Ketiga puluh tiga:
AHLUS SUNNAH MEYAKINI ADANYA HISAB
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Adanya hisab adalah benar menurut Al-Qur-an dan As-Sunnah serta ijma’ para ulama. Hisab secara bahasa (etimologi) adalah perhitungan. Sedangkan secara syar’i (terminologi) adalah Allah memperlihatkan kepada hamba-hamba-Nya tentang amal-amal mereka.[1]
Sebagaimana firman Allah al-Hasiib:
إِنَّ إِلَيْنَا إِيَابَهُمْ ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُمْ
“Sesungguhnya kepada Kami-lah mereka kembali, kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah membuat perhitungan atas mereka.” [Al-Ghaasyiyah/88: 25-26]
Di dalam shalatnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berdo’a:
اَللّهُمَّ حَاسِبْنِي حِسَابًا يَسِيْرًا.
“Ya Allah, hisablah diriku dengan hisab yang mudah.”
Kemudian ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bertanya tentang apa yang dimaksud dengan hisab yang mudah? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah memperlihatkan kitab (hamba)-Nya kemudian Allah memaafkannya begitu saja. Barangsiapa yang dipersulit hisabnya, maka ia akan binasa.”[2]
Sifat hisab bagi seorang Mukmin, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyendiri dengan hamba-Nya yang Mukmin dan memperlihatkan dosa-dosa hamba-Nya, hingga ketika ia merasa bahwa ia akan binasa, Allah berkata kepadanya: “Aku tutup bagimu dosamu di dunia dan Aku mengampuni dosa-dosamu hari ini, maka diberikan kepadanya kitab kebaikannya. Adapun orang kafir dan munafiq, mereka dipanggil di hadapan seluruh makhluk, mereka adalah orang-orang yang berdusta atas Nama Allah.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَيَقُولُ الْأَشْهَادُ هَٰؤُلَاءِ الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَىٰ رَبِّهِمْ ۚ أَلَا لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ
“Dan para saksi akan berkata: ‘Orang-orang inilah yang telah berdusta terhadap Rabb mereka.’ Ingatlah, laknat Allah (ditim-pakan) kepada orang yang zhalim.” [Huud/11: 18]”[3]
Orang-orang kafir, mereka itu tidak dihisab sebagaimana dihisabnya orang yang dihitung kebaikan dan kejelekannya, karena sesungguhnya mereka itu (orang-orang kafir) tidak ada kebaikannya. Akan tetapi amal-amal mereka dihitung, lalu dibiarkan begitu saja dan mereka diadzab dengan sebab amalannya itu[4]
Pada hari Kiamat, seluruh amalan orang kafir yang baik akan dijadikan seperti debu-debu yang beterbangan atau seperti fatamorgana dan tidak ada nilainya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan Kami hadapkan seluruh amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal-amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” [Al-Furqan/25: 23][5]
Hisab ini dilakukan terhadap seluruh manusia dan ada di antara kaum Mukminin yang masuk Surga tanpa hisab.
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ سَبْعُوْنَ أَلْفًا بِغَيْرِ حِسَابٍ، وَهُمُ الَّذِيْنَ لاَ يَكْتَوُوْنَ، وَلاَيَسْتَرْقُوْنَ، وَلاَ يَتَطَيَّرُوْنَ، وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ.
“Tujuh puluh ribu orang akan masuk Surga tanpa hisab. Me-reka adalah orang-orang yang tidak berobat dengan cara kay[6], tidak meminta diruqyah, tidak bertathayyur dan hanya ber-tawakkal kepada Allah semata.”[7]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1] Lihat Syarah Lum’atil I’tiqaad (hal. 117) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah.
[2] HR. Ahmad (VI/48, 185), al-Hakim (I/255) dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitaabus Sunnah (no. 885). Dishahihkan oleh al-Hakim dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi.
[3] HR. Al-Bukhari (no. 2441) dan Muslim (no. 2768 (52)), dari Sahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu
[4] At-Tanbiihatul Lathiifah (hal. 71).
[5] Lihat juga QS. Ibrahim/14: 18 dan an-Nuur/24: 39.
[6] Kay adalah pengobatan dengan menggunakan sundutan besi panas.
[7] HR. Al-Bukhari (no. 6472 (secara ringkas), 6541), Muslim (no. 220), at-Tirmidzi (no. 2446), dari Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma
Ketiga puluh empat:
AHLUS SUNNAH MEYAKINI TENTANG AL-MIZAN
Ahlus Sunnah meyakini tentang ditegakkannya اَلْمِيزَانُ (timbangan) dan dibukanya catatan-catatan amal. Secara bahasa (etimologi) arti mizan adalah alat (neraca) untuk mengukur sesuatu berdasarkan berat dan ringan. Secara istilah (terminologi), mizan adalah sesuatu yang Allah letakkan di hari Kiamat untuk menimbang amalan hamba-Nya, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Al-Qur-an, As-Sunnah dan ijma’ Salaf.[1]
Sebagaimana firman-Nya:
فَمَن ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَٰئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ خَالِدُونَ تَلْفَحُ وُجُوهَهُمُ النَّارُ وَهُمْ فِيهَا كَالِحُونَ
“Barangsiapa yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barangsiapa yang ringan timbangannya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam Neraka Jahannam. Wajah mereka dibakar api Neraka dan mereka di Neraka itu dalam keadaan cacat.” [Al-Mu’minuun/23: 102-104]
وَكُلَّ إِنسَانٍ أَلْزَمْنَاهُ طَائِرَهُ فِي عُنُقِهِ ۖ وَنُخْرِجُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كِتَابًا يَلْقَاهُ مَنشُورًا اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَىٰ بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا
“Dan setiap manusia telah Kami kalungkan (catatan) amal perbuatannya di lehernya. Dan pada hari Kiamat, Kami keluarkan baginya sebuah kitab dalam keadaan terbuka. ‘Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada hari ini sebagai penghisab atas dirimu.’” [Al-Israa/17: 13-14]
Allah Ta’ala berfirman:
وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَٰذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا ۚ وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا ۗ وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
“Dan diletakkanlah kitab, lalu engkau akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya. Mereka berkata: ‘Celakalah kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya,’ dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabb-mu tidak akan menganiaya seorangpun.” [Al-Kahfi/18: 49][2]
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
كَلِمَتَانِ خَفِيْفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ، ثَقِيْلَتَانِ فِي الْمِيْزَانِ، حَبِيْبَتَانِ إِلَى الرَّحْمنِ: سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ، سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ.
“Dua kalimat yang ringan diucapkan oleh lisan, berat dalam timbangan (pada hari Kiamat), dan dicintai oleh ar-Rahman (Allah Yang Maha Pengasih): ‘Subhaanallaah wa bihamdihi, Subhaanallaahil ‘Azhiim.”’[3]
Mizan secara hakiki memiliki dua daun timbangan.
Hal ini berdasarkan hadits-hadits yang shahih, di antaranya hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhuma tentang hadits pemilik Bithaqah (kartu), Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَتُوْضَعُ السِّجِلاَّتُ فِيْ كِفَّةٍ وَاْلبِطَاقَةُ فِيْ كِفَّةٍ، فَطَاشَتِ السِّجِلاَّتُ وَثَقُلَتِ الْبِطَاقَةُ، فَلاَ يَثْقُلُ مَعَ اسْمِ اللهِ شَيْءٌ.
“Lalu catatan-catatan (amal) itu diletakkan di salah satu sisi daun Neraca dan bithaqah di daun Neraca lainnya, maka catatan-catatan itu melayang dan bithaqah yang lebih berat, maka tidak ada sesuatu yang lebih berat dibandingkan Nama Allah.”[4]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1] Syarah Lum’atul I’tiqaad (hal. 120) karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah
[2] Lihat juga dalam QS. Al-Anbiyaa/21: 47, az-Zalzalah/99: 7-8 dan al-Insyiqaaq/84: 7-12
[3] HR. Al-Bukhari (no. 6406, 6682) dan Muslim (no. 2694 (31)), dari Sahabat Abu Hurai.trah
[4] HR. At-Tirmidzi (no. 2639), Ibnu Majah (no. 4300), al-Hakim (I/6, 529), Ahmad (II/213), dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash c. Hadits ini shahih, lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 135).
Ketiga puluh lima:
AHLUS SUNNAH MENGIMANI ADANYA AL-HAUDH
Lafazh al-haudh (الْحَوْضُ) secara bahasa (etimologi) adalah al-jam’u (kumpulan), dikatakan menghimpun (mengumpulkan) air, lalu ditempatkan pada suatu wadah apabila telah terkumpul. Kadang-kadang dimaknai dengan wadah air.
Secara syar’i (terminologi), makna al-haudh adalah telaga air yang turun dari sungai Surga pada hari Kiamat yang diperuntukkan bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits-hadits mutawatir dan berdasarkan kesepakatan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنِّيْ فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ…
“Sesungguhnya aku telah mendahului kalian menuju al-haudh…”[1]
Setiap Nabi عليهم الصلاة والسلام memiliki telaga. Namun telaga Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang paling besar, paling mulia, dan paling indah.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ لِكُلِّ نَبِيٍّ حَوْضًا، وَإِنَّهُمْ يَتَبَاهَوْنَ أَيُّهُمْ أَكْثَرُ وَارِدَةً، وَإِنِّيْ أَرْجُوْ أَنْ أَكُوْنَ أَكْثَرَهُمْ وَارِدَةً.
“Sesungguhnya setiap Nabi memiliki al-haudh (telaga), mereka membanggakan diri, siapa di antara mereka yang paling banyak peminumnya (pengikutnya). Dan aku berharap, akulah yang paling banyak pengikutnya.”[2]
Telaga yang diperuntukkan bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, airnya lebih putih daripada susu, lebih manis daripada madu, lebih harum daripada minyak kesturi, panjang dan lebarnya sejauh perjalanan sebulan, bejana-bejananya seindah dan sebanyak bintang di langit. Maka kaum Mukminin dari ummat beliau akan meminum dari haudh (telaga) tersebut. Barangsiapa yang meminum seteguk air dari haudh (telaga) ini, maka ia tidak akan merasa haus lagi setelah itu selamanya.[3]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
حَوْضِي مَسِيْرَةُ شَهْرٍ، مَاؤُهُ أَبْيَضُ مِنَ اللَّبَنِ، وَرِيْحُهُ أَطْيَبُ مِنَ الْمِسْكِ، وَكِيزَانُهُ كَنُجُومِ السَّمَاءِ، مَنْ شَرِبَ مِنْهَا فَلاَ يَظْمَأُ أَبَدًا.
“Telagaku (panjang dan lebarnya) satu bulan perjalanan, airnya lebih putih daripada susu, aromanya lebih harum dari-pada kesturi, bejananya sebanyak bintang di langit, siapa yang minum darinya, ia tidak akan merasa haus selamanya.”[4]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1] HR. Al-Bukhari (no. 6583) dan Muslim (no. 2290), dari Sahabat Sahl bin Sa’d.
[2] HR. At-Tirmidzi (no. 2443) dari Sahabat Samurah radhiyallahu anhu. Lihat Shahihut Tirmidzi (no. 1988) dan Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1589).
[3] Hadits tentang adanya al-haudh (telaga) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam riwayatnya mutawatir. Lihat hadits-hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitaabur Riqaaq; bab ke-53, Muslim dalam Kitaabul Fadhaa-il; bab Itsbaat Haudhi Nabiyyina j wa Shifaatihi (IV/1792-1801). Lihat Kitaabus Sunnah li Ibni Abi ‘Ashim; bab Dzikru Haudhin Nabi j (hal. 307-344), Syarhul ‘Aqiidah Thahaawiyyah (hal. 227-228) takhrij Syaikh al-Albani; dan Syarah Lum’atil I’tiqaad (hal 123-125) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
[4] HR. Al-Bukhari (no. 6579).
Ketiga puluh enam:
AHLUS SUNNAH MENGIMANNI ADANYA ASH-SHIRATH
Ahlus Sunnah mengimani adanya ash-shiraath (اَلصِّرَاطُ). Ash-shiraath secara bahasa (etimologi) berarti jalan, sedangkan me-nurut syar’i (terminologi) adalah jembatan yang dibentangkan di atas Neraka Jahannam yang akan dilewati ummat manusia menuju Surga sesuai dengan amal perbuatan mereka.[1]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِن مِّنكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا ۚ كَانَ عَلَىٰ رَبِّكَ حَتْمًا مَّقْضِيًّا ثُمَّ نُنَجِّي الَّذِينَ اتَّقَوا وَّنَذَرُ الظَّالِمِينَ فِيهَا جِثِيًّا
“Dan tidak ada seorang pun dari kalian melainkan akan mendatangi Neraka itu. Hal itu bagi Rabbmu adalah satu kemestian yang sudah ditetapkan. Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa dan membiarkan orang-orang yang zhalim di dalam Neraka dalam keadaan berlutut.” [Maryam/19: 71-72]
‘Abdullah bin Mas’ud, Qatadah dan Zaid bin Aslam Radhiyallahu anhum menafsirkan ayat di atas bahwa yang dimaksud adalah melewati shirath. Sedangkan Sahabat Ibnu‘Abbas Radhiyallahu anhuma dan yang lainnya menafsirkannya dengan masuk Neraka lalu dikeluarkan kembali (diselamatkan) oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, berdasarkan ayat 72 tersebut. Dan pendapat yang kuat adalah yang menafsirkannya dengan melewati shirath. Wallaahu a’lam.[2]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang orang-orang yang melewati shirath: “Yang pertama kali melewatinya secepat kedipan mata, secepat kilat, kemudian seperti angin, seperti burung terbang, seperti orang berlari, seperti orang berjalan, dan ada pula yang merangkak. Mereka dibawa oleh amal perbuatannya. Ketika itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas jembatan dan berdo’a: ‘Ya Allah, selamatkanlah, selamatkanlah.’ Pada kedua sisi jembatan itu ada kait-kait yang digantungkan, diperintahkan untuk mengait siapa yang telah diperintahkan kepadanya. Maka ada yang terkoyak tetapi selamat dan ada pula yang dicampakkan ke dalam Neraka.”[3]
Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu menjelaskan tentang sifat shirath bahwasanya shirath itu lebih halus dari rambut dan lebih tajam dari pedang.[4]
Apabila mereka telah menyeberangi jembatan itu, mereka akan diberhentikan, lalu masing-masing mereka diberi balasan atas kezhaliman yang pernah mereka lakukan di dunia. Sehingga apabila mereka sudah dibersihkan dan disucikan, barulah mereka baru diizinkan untuk memasuki Surga.[5]
Orang yang pertama kali meminta dibukakan pintu Surga adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam[6]. Dan ummat yang pertama-tama memasuki Surga adalah ummat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[7]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1] At-Tanbiihatul Lathiifah (hal. 71-72) dan Syarah Lum’atil I’tiqaad (126).
[2] Lihat Syarah Lum’atil I’tiqaad (hal. 126) dan Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 415-416) tahqiq Syaikh al-Albani.
[3] HR. Al-Bukhari (7439), Muslim dalam Kitaabul Iimaan bab 81 (no. 183), dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu. Lihat Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (II/160-162) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
[4] Disebutkan oleh Imam Muslim pada akhir hadits no. 183 (302).
[5] HR. Al-Bukhari (no. 2440, 6535), Fat-hul Bari (XI/395), Ahmad (III/13, 63, 74), dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu.
[6] HR. Muslim Kitabul Iman (no. 197(333)) dan Ahmad (III/136), dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.
[7] HR. Al-Bukhari (no. 876) dan Muslim (no. 855(20)), dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
- Home
- /
- A3. Aqidah Ahlus Sunnah...
- /
- Ahlus Sunnah Meyakini Adanya...