Ziarah Kubur

Kelima puluh tiga:
ZIARAH KUBUR

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk ziarah kubur ke pemakaman kaum Muslimin, karena ziarah kubur mengandung banyak manfaat. Manfaat ziarah kubur antara lain: akan melembutkan hati, mengingatkan kita kepada kematian dan mengingatkan akan negeri akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ أَلاَ فَزُوْرُوْهَا فَإِنَّهَا تُرِقُّ الْقَلْبَ، وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ، وَتُذَكِّرُ اْلآخِرَةَ، وَلاَ تَقُوْلُوْا هُجْرًا.

Aku pernah melarang kalian untuk ziarah kubur, sekarang ziarahilah kubur karena ziarah kubur dapat melembutkan hati, meneteskan air mata, mengingatkan negeri Akhirat dan janganlah kalian mengucapkan kata-kata kotor (di dalamnya).”[1]

إِنِّيْ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا فَإِنَّ فِيْهَا عِبْرَةً.

Sesungguhnya dulu aku telah melarang kalian dari berziarah kubur, maka sekarang ziarahilah kubur, sesungguhnya pada ziarah kubur itu ada pelajaran (bagi yang hidup).”[2]

Mengenai perbuatan yang dilakukan orang di kuburan dan ketika ziarah kubur ada tiga macam:[3]

  1. Ziarah yang disyari’atkan, yaitu ziarah kubur dengan tujuan untuk mengingat mati, akhirat, untuk memberikan salam kepada ahli kubur dan mendo’akan mereka atau memohonkan ampun untuk mereka.[4]
  2. Ziarah yang bid’ah, tidak sesuai dengan kesempurnaan tauhid. Ini merupakan salah satu sarana perbuatan syirik, di antaranya adalah ziarah ke kuburan dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya di sisi kuburan, atau bertujuan untuk mendapatkan berkah, menghadiahkan pahala kepada ahli kubur, membuat bangunan di atas kuburan, mengecat, menembok dan memberinya lampu penerang serta menulis nama di atas nisan.

Dalam sebuah hadits disebutkan:

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ، وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ (أَوْ يُزَادَ عَلَيْهِ) (أَوْ يُكْتَبَ عَلَيْهِ).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk menembok kuburan, duduk-duduk di atasnya dan membuat bangunan di atasnya (atau ditambah tanahnya) (atau ditulis atasnya- ditulis nama atas nisannya).”[5]

Juga termasuk perbuatan bid’ah bila menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah dan sengaja bepergian jauh untuk mengunjunginya.[6]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang larangan untuk mengadakan perjalanan dengan tujuan ibadah ke tempat-tempat selain dari tiga tempat:

لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: مَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَمَسْجِدِيْ هَذَا، وَمَسْجِدِ اْلأَقْصَى.

Tidak boleh mengadakan safar/perjalanan (dengan tujuan beribadah) kecuali ketiga masjid, yaitu: Masjidil Haram, dan Masjidku ini (Masjid Nabawi) serta Masjid al-Aqsha.”[7]

  1. Ziarah kubur yang syirik, yaitu ziarah yang bertentangan dengan tauhid, misalnya mempersembahkan suatu macam ibadah kepada ahli kubur, seperti berdo’a kepadanya sebagai-mana layaknya kepada Allah, meminta bantuan dan per-tolongannya, berthawaf di sekelilingnya, menyembelih kurban dan bernadzar untuknya dan lain sebagainya. Seorang Mukmin tidak boleh memalingkan ibadah kepada selain Allah, perbuatan ini adalah syirkun akbar dan mengeluarkan seseorang dari Islam bila sudah terpenuhi syaratnya dan tidak ada penghalangnya. Seluruh ibadah dan harus kita lakukan hanya kepada Allah saja dengan ikhlas tidak boleh menjadikan kubur sebagai perantara menuju kepada Allah, karena ini adalah perbuatan orang kafir Jahiliyah.[8]
Baca Juga  Ahlus Sunnah Menyuruh Kaum Muslimin untuk Sabar Ketika Mendapat Ujian Atau Cobaan

Sesuatu yang menjadi wasaa-il (sarana) dihukumi berdasar-kan tujuan dan sasaran. Setiap sesuatu yang menjadi sarana me-nuju syirik dalam ibadah kepada Allah atau menjadi sarana me-nuju bid’ah, maka wajib dihentikan dan dilarang. Setiap perkara baru (yang tidak ada dasarnya) dalam agama adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.[9]

Di muka bumi tidak ada satu pun kuburan yang mengandung berkah sehingga sia-sia orang yang sengaja ziarah menuju kesana untuk mencari berkah. Dalam Islam tidak dibenarkan sengaja mengadakan safar (perjalanan) ziarah (dengan tujuan ibadah) ke kubur-kubur tertentu, seperti kuburan wali, kyai, habib dan lainnya dengan niat (tujuan) mencari keramat dan berkah serta mengadakan ibadah di sana. Hal ini tidak boleh dan tidak dibenarkan di dalam Islam, karena perbuatan ini adalah bid’ah merupakan sarana yang menjurus kepada kemusyrikan.

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah mengatakan: “Syaithan terus menerus membisikkan kepada para penyembah kuburan, bahwa mendirikan sesuatu bangunan dan beribadah di samping kuburan para Nabi dan orang-orang shalih berarti mencintai mereka dan bahwa tempat itu merupakan tempat yang mustajab (terkabulnya do’a). Kemudian dari tingkat kepercayaan itu, syaithan mengalihkan mereka menuju berdo’a (kepada Allah) melalui perantara orang shalih yang dikubur itu dan bersumpah dengan nama Nabi atau orang shalih agar Allah mengabulkan do’anya. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat Yang Mahaagung, tidak boleh seseorang pun dari hamba-Nya bersumpah dengan nama makhluk-Nya dan tidak boleh seorang pun memohon kepada makhluk-Nya, karena yang berhak mengabulkan do’a hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.

Setelah kepercayaan seperti tersebut tertanam di hati mereka, syaithan membujuk mereka agar memanjatkan do’a dan menyembah kepada orang shalih yang telah dikubur itu, dan memohon syafa’at darinya, bukan dari Allah, serta menjadikan kuburannya sebagai berhala dengan diterangi lampu/lentera dan batu nisannya diselimuti kain, lalu dilakukan thawaf padanya, diusap, disentuh dan dicium, bahkan dilakukan ibadah haji kepadanya dan disembelih kurban di sisinya.

Setelah keyakinan ini mantap di hati mereka, syaithan mengalihkan, yaitu mengajak manusia agar menyembah kuburan itu dan menjadikannya sebagai tempat perayaan dan upacara ibadah. Mereka pun memandang bahwa hal itu lebih bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhiratnya. Semua perbuatan yang telah dilakukan mereka itu, bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan untuk memurnikan tauhid, dan agar tidak beribadah melainkan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja.

Setelah kepercayaan tadi mantap di hati mereka, syaithan mengalihkan mereka lagi, bahwa orang yang melarang perbuatan tersebut berarti telah merendahkan orang-orang yang memiliki derajat dan martabat yang tinggi dan menjatuhkan mereka dari kedudukan mereka tersebut serta menganggap mereka tidak mempunyai nilai kekeramatan maupun kemuliaan. Akhirnya orang-orang musyrik itu marah dan hati mereka jijik memandang orang yang mengajak kepada tauhid, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَإِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ ۖ وَإِذَا ذُكِرَ الَّذِينَ مِن دُونِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ

Dan apabila Nama Allah saja yang disebut, kesallah hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat; dan apa-bila nama sembahan-sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati.” [Az-Zumar/39: 45]

Baca Juga  Ahlus Sunnah Melarang Memakai Jimat

Ini terjadi di dalam hati mayoritas orang-orang bodoh, dan juga tidak sedikit dari kalangan orang-orang yang mengaku berilmu dan beragama (seperti kyai, ustadz, tuan guru, dan lainnya-pen.) yang melakukan demikian sehingga mereka memusuhi orang yang mengajak kepada tauhid (yaitu orang yang mengajak untuk beribadah hanya kepada Allah saja dan tidak kepada yang selain-Nya) dan menuduh mereka dengan tuduhan-tuduhan keji. Akibatnya, banyak orang yang menghindar dan menjauh dari orang yang mengajak kepada tauhid dan mereka berwala’ (loyal/ setia) kepada orang yang mengajak kepada kemusyrikan dengan mengklaim bahwa orang yang mengajak kepada kemusyrikan adalah para wali Allah dan para penolong agama dan Rasul-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala membantah hal itu dalam firman-Nya:

وَمَا كَانُوا أَوْلِيَاءَهُ ۚ إِنْ أَوْلِيَاؤُهُ إِلَّا الْمُتَّقُونَ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

Mereka bukanlah para wali-Nya. Sesungguhnya para wali Allah hanyalah orang-orang yang bertaqwa, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” [Al-Anfaal/8: 34]

Demikianlah yang dituturkan oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah.[10]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1] HR. Al-Hakim (I/376) dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu dengan sanad yang hasan. Lihat keterangan lebih lengkap dalam Ahkaamul Janaa-iz wa Bida’uha (hal. 227-229) oleh Syaikh al-Albani rahimahullah.
[2] HR. Ahmad (III/38), al-Hakim (I/374-375), dan al-Baihaqy (IV/77). Al-Hakim berkata: “Hadits Shahih sesuai dengan syarat Muslim dan disepakati oleh adz-Dzahabi.”
[3] Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah (hal. 16).
[4] Peringatan, tidak boleh memohonkan ampunan untuk orang kafir meskipun orang tua sendiri/kerabat. Lihat dalilnya pada QS. At-Taubah/9: 113.
[5] HR. Muslim (no. 970 (94)), Abu Dawud (no. 3225), at-Tirmidzi (no. 1052), an-Nasa-i (IV/86), Ahmad (III/339, 399), al-Hakim (I/370), al-Baihaqy (IV/4) dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu. Tambahan pertama dalam kurung diri-wayatkan oleh Abu Dawud dan an-Nasa-i, tambahan kedua dalam kurung diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan al-Hakim. Hadits ini dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan al-Hakim. Lihat Ahkaamul Janaa-iz (hal. 260).
[6] Tentang masalah ini lihat Ahkamul Janaa-iz wa Bida’uha (hal. 259-294) oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh.
[7] HR. Al-Bukhari (no. 1197, 1864, 1995), Muslim (no. 827) dan yang lainnya dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu. Terdapat juga di Shahih al-Bukhari (no. 1189), Muslim (no. 1397) dan yang lainnya dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Ha-dits ini shahih, diriwayatkan dari beberapa Sahabat derajatnya mutawatir, lihat Irwaa-ul Ghaliil (III/226 no. 773).
[8] Lihat Az-Zumar/39: 3.
[9] Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah (hal. 17).
[10] Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid (bab XVIII hal. 251-252) tahqiq Dr. Walid bin ‘Abdurrahman bin Muhammad al-Furaiyan, cet. X, th. 1424 H.