Kaidah Ke. 7 : Taklif Adalah Syarat Wajib Beribadah Adapun Tamyiiz Menjadi Syarat Sah Ibadah
QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Ketujuh :
التَّكْلِيْفُ وَهُوَ الْبُلُوْغُ وَالْعَقْلُ شَرْطٌ لِوُجُوْبِ الْعِبَادَاتِ , وَالتَّمْيِيْزُ شَرْطٌ لِصِحَّتِهَا إِلاَّ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ فَيَصِحَّانِ مِمَّنْ لَمْ يُمَيِّزْ , وَيُشْتَرَطُ مَعَ ذَلِكَ الرُّشْدُ لِلتَّصَرُّفَاتِ , وَالْمِلْكُ لِلتَّبَرُّعَاتِ
Taklîf – yang memuat unsur baligh dan berakal- adalah syarat wajib beribadah (atas seseorang, red). Adapun (usia) Tamyiiz menjadi syarat sah ibadah, kecuali dalam ibadah haji dan umroh yang tetap sah bila dilaksanakan oleh orang yang belum memasuki usia Tamyiiz.
Selain syarat-syarat di atas, juga disyaratkan adanya sifat ar-rusyd[1] dalam penggunaan harta (melakukan tasharruf) dan sifat kepemilikan untuk melakukan tabarru’.
Penjelasan Kaidah
Kaidah ini mencakup beberapa pedoman yang menjadi dasar pelaksanaan ibadah, baik ibadah wajib maupun sunat, dan juga dasar pelaksanaan akad tasharruf (wewenang menggunakan harta dalam jual beli, sewa menyewa dsb.) dan tabarru’ (menyumbangkan harta, pent).
Maksudnya, seseorang yang mukallaf, yaitu orang yang telah baligh dan berakal, telah terkena kewajiban untuk melaksanakan seluruh ibadah yang bersifat wajib, dan pundaknya telah terbebani dengan seluruh beban syari’at.
Hal ini dikarenakan, Allah Azza wa Jalla Raûf Rahîm (Dzat yang Maha Santun dan Maha Penyayang terhadap hamba-Nya). Sebelum seorang insan mencapai usia dimana ia telah sanggup menjalankan ibadah-ibadah dengan sempurna, yaitu pada usia baligh, maka Allah Azza wa Jalla tidak membebankan beban-beban syariat kepadanya. Demikian pula, jika seseorang tidak memiliki akal (gila atau tidak sadar, red) – yang menjadi hakikat seorang insan-, maka ia lebih utama untuk tidak dikenai beban. Orang yang tidak memiliki akal, tidak berkewajiban melaksanakan ibadah apapun dan jika pun ia mengerjakannya, maka apa yang dilakukan tidak sah. Karena, ada diantara syarat-syarat dalam pelaksanaan ibadah yang tidak terpenuhi yaitu niat. Niat tidak mungkin terwujud dari orang yang tidak berakal.
Usia baligh dapat diketahui dengan beberapa tanda di antaranya dengan keluarnya air mani, baik dalam keadaan terbangun ataupun ketika tidur, atau jika telah genap berusia lima belas tahun, atau dengan tumbuhnya bulu kasar di sekitar kemaluan. Ketiga tanda tersebut berlaku untuk laki-laki maupun perempuan. Dan khusus untuk perempuan ada satu tanda lagi yang menunjukkan dia telah baligh yaitu haid. Jika ia telah haid, berarti ia telah baligh.
Perlu diperhatikan, dalam perjalanan usianya, seorang manusia akan memasuki fase tamyîz sebelum memasuki fase baligh. Seorang yang telah masuk fase tamyîz (berusia tujuh tahun), maka ia diperintahkan untuk melaksanakan sholat dan ibadah-ibadah yang mampu ia kerjakan. Ibadah-ibadah tersebut bukan berstatus wajib atas dirinya, karena ia belum baligh. Jika telah berusia sepuluh tahun, namun ia belum juga mau rutin dalam melaksanakan sholat maka orang tuanya disyariatkan memukulnya dengan pukulan yang tidak melukai, dalam kerangka pendidikan (dan pembinaan), bukan dalam kerangka sedang mewajibkan.
Dari sini dapat diketahui bahwa semua ibadah yang dikerjakan oleh anak-anak yang telah mencapai usia tamyîz itu telah sah. Karena jika dia telah bisa membedakan beberapa hal serta secara global bisa mengetahui mana yang bermanfaat dan mana yang berbahaya, berarti ia memiliki akal yang bisa ia pakai untuk merangkai niat dalam melaksanakan ibadah dan kebaikan.
Sedangkan anak yang belum sampai pada usia tamyîz, maka semua ibadahnya tidak sah. Karena dalam kondisi seperti ini, ia sama dengan orang yang tidak berakal yang tidak mempunyai niat yang shahih. Kecuali dalam ibadah haji dan umrah. Kedua ibadah ini tetap sah, kendati dikerjakan oleh anak yang belum mencapai usia tamyîz. Dalam sebuah hadits yang shahîh diterangkan :
رَفَعَتْ إِلَيْهِ امْرَأَةٌ صَبِيًا فِي الْمَهْدِ , فَقَالَتْ : أَلِهَذَا حَجٌ ؟ قَالَ : نَعَمْ وَلَكِ أَجْرٌ
Seorang wanita mengangkat seorang anak kecil yang masih digedong kearah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu ia bertanya : Bolehkah anak ini melaksanakan haji ? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : Boleh dan bagimu pahala.[2]
Dengan demikian, anak yang belum mencapai usia tamyîz, jika melaksanakan ibadah haji ataupun umrah, maka ibadahnya sah. Dalam hal ini, walinya yang meniatkannya untuk ihram dan menjauhkannya dari perkara-perkara yang dilarang ketika ihram. Demikian pula, si wali harus membawa si anak untuk hadir di tempat-tempat manasik haji dan tempat-tempat masya’ir semuanya. Dan si wali mewakili si anak dalam mengerjakan manasik yang tidak mampu ia kerjakan seperti melempar jumrah.
Selain ibadah haji dan umrah, ibadah mâliyyah termasuk ibadah yang diperkecualikan. Karena ibadah mâliyah seperi membayar zakat, nafkah wajib serta kaffârah adalah wajib atas semua orang; dewasa, anak kecil, yang berakal ataupun orang yang tidak berakal. Hal ini berdasarkan keumuman nash baik dari perkataan maupun perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam[3]
Adapun dalam masalah tasharruf (wewenang menggunakan harta untuk jual beli, sewa menyewa dsb.), maka disamping disyaratkan baligh dan berakal juga ditambah rusyd. Karena tujuan utama dalam tasharruf ini adalah menjaga harta. Rusyd maksudnya orang tersebut mempunyai sifat bijak dalam penjagaan dan pemanfaatan harta tersebut serta memahami akad. Allah Azza wa Jalla berfirman :
وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. [an Nisâ’/4: 6]
Dalam ayat ini, Allah Azza wa Jalla memberikan syarat kepada wali yang mengurusi anak yatim dalam menyerahkan harta kepada anak yatim tersebut, yaitu telah terpenuhi dua syarat pada anak yatim. Dua sifat itu adalah baligh dan rusyd. Jika walinya masih ragu, apakah syarat rusyd telah terpenuhi atau belum, maka Allah Azza wa Jalla memerintahkan untuk menguji kemampuan anak tersebut dalam menjaga dan membelanjakan harta. Jika anak tersebut ternyata telah mempunyai kemampuan yang baik, maka harta anak yatim yang ada dalam kekuasaan wali bisa diserahkan kepada si yatim. Namun jika belum, maka hartanya tetap ditahan (tetap berada di tangan wali, red) guna menghindarkannya dari penyia-nyiaan terhadap harta.
Dari sini dapat diketahui bahwa baligh, berakal dan mempunyai sifat rusyd merupakan syarat sah melakukan semua bentuk muamalah (jual beli, sewa menyewa dan semisalnya). Orang yang tidak memenuhi persyaratan ini maka semua muamalah yang dia lakukan tidak sah dan hendaklah dilarang dari melakukan muamalat.
Adapun masalah tabarru’ (menyumbangkan harta) yaitu memberikan harta dengan tanpa imbalan, bisa berupa hibah, sedekah, wakaf, membebaskan budak, dan semisalnya, maka selain persyaratan baligh, berakal, dan rusyd, orang yang bertabarru’ haruslah orang yang memiliki harta tersebut. Sehingga akadnya menjadi sah. Karena orang yang sekedar menjadi wakil dari pemilik harta, atau orang yang sekedar diberi wasiat, saksi wakaf, ataupun wali anak yatim dan wali orang gila, jika ia yang melakukan tabarru’ dengan harta orang yang menjadi tanggungannya itu, akadnya tidak sah. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfa`at. [al-An’âm/6: 152]
Yaitu, dengan cara yang baik untuk harta mereka, lebih menjaga dan lebih bermanfaat untuk harta mereka tersebut.
Wallahu a’lam.[4]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Penulis akan menerangkan maknanya di akhir pembahasan
[2] HR. Muslim dalam Kitâbul Hajj bab Shihhatu Hajjis Shabiyyi, no. 1336, dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu
[3] Berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلاَ فِضَّةٍ لاَ يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلاَّ إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ صُفِحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ
Tidak ada seorang pemilik emas ataupun perak yang tidak ia tunaikan hak yang wajib untuk ia bayarkan darinya (berupa zakat) kecuali pada hari Kiamat nanti hartanya akan dijadikan lempengan-lempengan yang dipanaskan dalam neraka untuk menyiksanya….[HR. Muslim dalam Kitâbuz Zakâh bab Itsmi Mâni’iz Zakâh 2/680]
[4] Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M
- Home
- /
- A5. Panduan Qawaid Fiqhiyah
- /
- Kaidah Ke. 7 :...