Kaidah Ke. 10 : Bukti Wajib Didatangkan Oleh Orang yang Menuduh
QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Kesepuluh :
البَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِي, وَالْيَمِيْنُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ فِي جَمِيْعِ الْحُقُوْقِ, وَالدَّعَاوَى, وَنَحْوِهَا
Bukti wajib didatangkan oleh orang yang menuduh, dan sumpah itu wajib bagi yang mengingkari tuduhan itu, hal ini berlaku dalam seluruh persengketaan hak, tuntutan, dan semisalnya
Kaidah yang mulia ini telah disebutkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu sabdanya. Di mana beliau bersabda :
البَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِي, وَالْيَمِيْنُ عَلَى الْمُنْكِرِ
Bukti itu harus didatangkan oleh orang yang menuduh, dan sumpah itu wajib bagi orang yang mengingkari tunduhan itu. [HR. Baihaqi dengan sanad shahih dan asal hadits ini ada dalam As Shahihain][1]
Para ahli ilmu telah bersepakat tentang eksistensi kaidah ini. Di mana kaidah ini sangat dibutuhkan oleh para qâdhi (hakim), mufti (pemberi fatwa), dan dibutuhkan pula oleh setiap orang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَآَتَيْنَاهُ الْحِكْمَةَ وَفَصْلَ الْخِطَابِ
Dan Kami berikan kepadanya hikmah dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan. [Shâd/38 : 20]
Sebagian ulama’ menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan fashlul khithâb (kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan) dalam ayat tersebut adalah kaidah : ” Bukti itu harus didatangkan oleh orang yang menuduh, dan sumpah itu wajib bagi orang yang mengingkari tunduhan itu.” Penerapan kaidah ini mengharuskan terlepasnya perkara-perkara yang samar dan terurainya seluruh persengketaan. Maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu termasuk dalam kategori fashlul khithâb. Karena fashlul khithâb memiliki makna yang lebih luas dari makna yang terkandung dalam kaidah tersebut.
Barangsiapa yang mengklaim bahwa barang yang ada di tangan orang lain adalah miliknya, atau mengklaim bahwa orang lain punya hutang darinya, atau menyatakan bahwa orang lain mempunyai kewajiban yang harus ia tunaikan kepadanya, maka ia harus mendatangkan bukti atas tuntutannya tersebut.
Adapun yang dimaksud dengan bukti adalah setiap hal yang menunjukkan benarnya tuntutan orang tersebut. Yang mana, kadar bukti tersebut berbeda-beda sesuai dengan perbedaan perkara yang dipersengketakan.
Apabila orang yang menuntut atau menuduh itu tidak bisa mendatangkan bukti, maka orang yang dituntut diperintahkan untuk bersumpah dalam rangka menolak tuduhan tersebut.
Demikian pula, jika telah tetap adanya suatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh seseorang, berupa hutang yang harus ia bayar atau selainnya, kemudian ia mengklaim bahwa kewajiban tersebut telah ia tunaikan atau telah ia lunasi, maka secara asal kewajiban tersebut masih ada dalam tanggungannya kecuali jika ia bisa mendatangkan bukti bahwa kewajibannya tersebut telah ia lunasi. Adapun jika ia tidak bisa mendatangkan bukti, maka cukuplah bagi orang yang berhak menerima pelunasan kewajiban tersebut untuk menyatakan sumpah bahwasannya orang tersebut belum menunaikan kewajibannya, dan keputusan hukum berpihak kepada si penerima hak itu.
Berkaitan dengan orang yang mengklaim bahwa dirinya berhak untuk memperoleh bagian dalam wakaf atau warisan tertentu, maka wajib baginya untuk mendatangkan bukti yang memastikan bahwa ia memang benar-benar berhak mendapatkan bagian tersebut. Apabila ia tidak bisa mendatangkan bukti tersebut maka ia tidaklah berhak menerima bagian dari wakaf atau warisan tersebut.
Adapun yang dimaksud dengan bayyinah (bukti) dalam persengketaan harta, hak-hak, serta kesepakatan-kesepakatan, adakalanya terdiri atas dua orang laki-laki yang adil, atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan, atau seorang laki-laki dan sumpah si penuntut, atau dakwaan si penuntut dan ketidaksediaan si tertuntut untuk mengucapkan sumpah.
Dalam hal ini, jika harta yang diperkarakan tersebut berada di tangan orang yang tidak mengklaim harta tersebut sebagai miliknya, maka bukti si penuntut adalah pensifatan atau (penggambaran)nya terhadap barang tersebut dengan sifat yang sesuai. Misalnya, ada seseorang yang menemukan luqâthah (barang temuan). Kemudian setelah berselang beberapa waktu datanglah kepadanya seseorang yang mendakwakan mengaku bahwa barang yang ditemukan tersebut adalah miliknya, maka, orang yang mengklaim tersebut harus mendatangkan bukti kebenarannya dengan menyebutkan sifat barang tersebut secara tepat. Maka, pensifatan (penggambaran) merupakan bukti dalam dakwaan jika pemegang harta tersebut tidak menganggap harta itu sebagai miliknya.
Wallâhu a’lam.[2]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] HR. Bukhâri dalam Kitab At Tafsir, Bab ( …إِنَّ الَّذِيْنَ يَشْتَرُوْنَ بِعَهْدِ اللهِ ) No. 4552. Muslim dalam Kitab Al Aqdhiyah, Bab Al Yamin ‘ala Al Mudda’a ‘alaihi, No. 1771, dari Ibnu Abbas-radhiyallahu ‘anhuma-. Lafadz hadits ini menurut riwayat Muslim adalah :
لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لَادَّعَى النَّاسُ دِمَاءَ رِجَالٍ وَأَمْوَالِهِمْ, وَلَكِنِ الْيَمِيْنُ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ
Apabila setiap manusia diberikan semua tuntutan-tuntutannya, maka mereka akan menuntut darah dan harta. Akan tetapi sumpah itulah yang wajib bagi yang dituntut.
[2] Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M
- Home
- /
- A5. Panduan Qawaid Fiqhiyah
- /
- Kaidah Ke. 10 :...