Kontroversi Hukum Imunisasi Polio
KONTROVERSI HUKUM IMUNISASI POLIO
Oleh
Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
Tidak samar lagi bahwa ilmu kedokteran modern telah menemukan berbagai jenis obat-obatan dan alat penyembuhan yang tidak dikenal sebelumnya. Hanya saja, yang amat disayangkan, kebanyakan obat-obatan tersebut ditemukan dan dibuat oleh tangan-tangan yang tidak peduli dengan hukum syari’at Islam, padahal dalam waktu yang sama kaum muslimin ‘harus’ mengikuti perkembangan zaman yang ada.
Oleh karena itu, seringkali muncul permasalahan dan pertanyaan di kalangan kaum muslimin di berbagai tempat yang tentunya membutuhkan jawaban yang benar sesuai dengan hukum agama Islam itu sendiri.[1]
Nah, di antara permasalahan yang masih menyisakan tanda tanya, diskusi hangat, dan polemik berkepanjangan adalah masalah imunisasi. Yang secara khusus kami maksud di sini adalah imunisasi jenis vaksin polio khusus (IPV) yang diinformasikan menggunakan enzim yang berasal dari babi.
Kajian berikut mencoba untuk mengetengahkan permasalahan tersebut secara sederhana dengan pendapat yang kami nilai sebagai kebenaran. Meskipun demikian, kami menyadari mungkin akan ada sebagian saudara kami yang tidak sependapat dengannya.
Harapan kami, semoga tulisan ini menggugah semuanya untuk mengkaji kembali masalah ini lebih dalam lagi sehingga bisa menghasilkan status hukum yang kuat dan jelas.
SEKILAS TENTANG IMUNISASI
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI), imunisasi diartikan “pengebalan” (terhadap penyakit). Kalau dalam istilah kesehatan, imunisasi diartikan pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu. Biasanya imunisasi bisa diberikan dengan cara disuntikkan maupun diteteskan pada mulut anak balita (bawah lima tahun).
Vaksin adalah bibit penyakit (misal cacar) yang sudah dilemahkan, digunakan untuk vaksinasi.[2] Vaksin membantu tubuh untuk menghasilkan antibodi. Antibodi ini berfungsi melindungi terhadap penyakit. Vaksin tidak hanya menjaga agar anak tetap sehat, tetapi juga membantu membasmi penyakit yang serius yang timbul pada masa kanak-kanak.
Imunisasi memiliki beberapa jenis, di antaranya Imunisasi BCG, Imunisasi DPT, Imunisasi DT, Imunisasi TT, Imunisasi Campak, Imunisasi MMR, Imunisasi Hib, Imunisasi Varisella, Imunisasi HBV, Imunisasi Pneumokokus Konjugata. Perinciannya bisa dilihat dalam buku-buku kedokteran, intinya jenis imunisasi sesuai dengan penyakit yang perlu dihindari.
Vaksin secara umum cukup aman. Keuntungan perlindungan yang diberikan vaksin jauh lebih besar daripada efek samping yang mungkin timbul. Dengan adanya vaksin maka banyak penyakit masa kanak-kanak yang serius, yang sekarang ini sudah jarang ditemukan.[3]
Jadi, imunisasi merupakan penemuan kedokteran yang sangat bagus dan manfaatnya besar sekali dalam membentengi diri dari berbagai penyakit kronis, padahal biayanya relatif murah.[4]
HUKUM ASAL IMUNISASI
Imunisasi hukumnya boleh dan tidak terlarang, karena imunisasi termasuk penjagaan diri dari penyakit sebelum terjadi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَصَبَّحَ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعَ تَمَرَاتِ عَجْوَةٍ لَمْ يَضُرَّهُ فِيْ ذَ لِكَ الْيَوْمِ سُمٌّ وَلاَ سِحْرٌ
“Barang siapa yang memakan tujuh butir kurma ajwah, maka dia terhindar sehari itu dari racun dan sihir.” [HR. al-Bukhari: 5768 dan Muslim:4702]
Hadits ini menunjukkan secara jelas tentang disyari’atkannya mengambil sebab untuk membentengi diri dari penyakit sebelum terjadi.[5] Demikian juga kalau dikhawatirkan terjadi wabah penyakit lalu diimunisasi untuk membentengi diri dari wabah yang menimpa maka hukumnya boleh sebagaimana halnya boleh berobat tatkala terkena penyakit.[6]
PENGGUNAAN VAKSIN POLIO KHUSUS (IPV)
Setelah sekelumit informasi tentang imunisasi di atas, sekarang kita masuk kepada permasalahan inti yang menjadi polemik hangat akhir-akhir ini, yaitu imunisasi dengan menggunakan vaksin polio khusus (IPV) yang dalam proses pembuatannya menggunakan enzim yang berasal dari babi. Bagaimanakah gambaran permasalahan yang sebenarnya? Dan bagaimanakah status hukumnya?
Gambaran Permasalahan
Berdasarkan surat Mentri Kesehatan RI Nomor: 1192/MENKES/IX/2002, serta penjelasan Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen Kesehatan, Direktur Bio Farma, Badan POM, LP POM-MUI, pada rapat Komisi Fatwa, Selasa, 1 Sya’ban 1423/8 Oktober 2002; dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
- Pemerintah saat ini sedang berupaya melakukan pembasmian penyakit polio dari masyarakat secara serentak dengan cara pemberian dua tetes vaksin polio oral (melalui saluran pencernaan).
- Penyakit (virus) Polio, jika tidak ditanggulangi, akan menyebabkan cacat fisik (kaki pincang) pada mereka yang menderitanya.
- Terdapat sejumlah anak balita yang menderita immunocompromise (kelainan sistem kekebalan tubuh) yang memerlukan vaksin khusus yang diberikan secara injeksi (vaksin jenis suntik).
- Jika anak-anak yang menderita immunocompromise tersebut tidak diimunisasi maka mereka akan menderita penyakit Polio serta sangat dikhawatirkan pula mereka akan menjadi sumber penyebaran virus.
- Vaksin khusus tersebut (IPV) dalam proses pembuatannya menggunakan enzim yang berasal dari porcine (babi), namun dalam hasil akhir tidak terdeteksi unsur babi.
- Sampai saat ini belum ada IPV jenis lain yang dapat menggantikan vaksin tersebut dan jika diproduksi sendiri maka diperlukan investasi (biaya/modal) sangat besar sementara kebutuhannya sangat terbatas.[7]
Jembatan Menuju Jawaban
Untuk sampai kepada status hukum imunisasi model di atas, kami memandang penting untuk memberikan jembatan terlebih dahulu dengan memahami beberapa masalah dan kaidah berikut, setelah itu kita akan mengambil suatu kesimpulan hukum:[8]
1. Masalah Istihalah (الاِسْتِحَالَةُ)
Maksud istihalah disini adalah berubahnya suatu benda yang najis atau haram menjadi benda lain yang berbeda nama dan sifatnya. Seperti khomr berubah menjadi cuka, babi menjadi garam, minyak menjadi sabun, dan sebagainya.[9]
Apakah benda najis yang telah berubah nama dan sufatnya tadi bisa menjadi suci? Masalah ini diperselisihkan ulama, hanya saya pendapat yang kuat menurut kami bahwa perubahan tersebut bisa menjadikannya suci, dengan dalil-dalil berikut:
- Ijma’ (kesepakatan) ahli ilmu bahwa khomr apabila berubah menjadi cuka maka menjadi suci.
- Pendapat mayoritas ulama bahwa kulit bangkai bisa suci dengan disamak, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
“Kulit bangkai jika disamak maka ia menjadi suci.” [Lihat Shahihul-Jami’:2711]
- Benda-benda baru tersebut – setelah perubahan – hukum asalnya adalah suci dan halal, tidak ada dalil yang menajiskan dan mengharamkannya.
Pendapat ini merupakan madzhab Hanafiyyah dan Zhahiriyyah[10], salah satu pendapat dalam madzhab Malik dan Ahmad[11]. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah[12], Ibnul Qoyyim, asy-Syaukani[13], dan lain-lain.[14]
Alangkah bagusnya ucapan Imam Ibnul-Qayyim: “Sesungguhnya benda suci apabila berubah menjadi najis maka hukumnya najis, seperti air dan makanan apabila telah berubah menjadi air seni dan kotoran. Kalau benda suci bisa berubah najis, lantas bagaimana mungkin benda najis tidak bisa berubah menjadi suci? Allah telah mengeluarkan benda suci dari kotoran dan benda kotor dari suci. Benda asal bukanlah patokan. Akan tetapi, yang menjadi patokan adalah sifat benda tersebut sekarang. Mustahil benda tetap dihukumi najis padahal nama dan sifatnya telah tiada, padahal hukum itu mengikuti nama dan sifatnya.”[15]
2. Masalah Istihlak (الإِسْتِهْلاَكُ)
Maksud istihlak di sini adalah bercampurnya benda haram atau najis dengan benda lainnya yang suci dan halal yang lebih banyak sehingga menghilangkan sifat najis dan keharamannya, baik rasa, warna, dan baunya.
Apakah benda najis yang terkalahkan oleh benda suci tersebut bisa menjadi suci? Pendapat yang benar adalah bisa menjadi suci, berdasarkan dalil berikut:
الْمَاءُ طَهُوْرٌ لَا يُنَجِسُهُ شَيْئٌ
“Air itu suci, tidak ada yang menajiskannya sesuatu pun.” [Shahih. Lihat Irwa’ul-Gholil:14]
إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ
“Apabila air telah mencapai dua qullah maka tidak najis.” [Shahih. Lihat Irwa’ul-Gholil:23]
Dua hadits di atas menunjukkan bahwa benda yang najis atau haram apabila bercampur dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut lebur tak menyisakan warna atau baunya maka dia menjadi suci. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Barangsiapa yang memperhatikan dalil-dalil yang disepakati dan memahami rahasia hukum syari’at, niscaya akan jelas baginya bahwa pendapat ini paling benar, sebab najisnya air dan cairan tanpa bisa berubah, sangat jauh dari dalil dan logika.”[16]
Oleh karenanya, seandainya ada seorang yang meminum khamr yang bercampur dengan air yang banyak sehingga sifat khamr-nya hilang maka dia tidak dihukumi minum khamr. Demikian juga, bila ada seorang bayi diberi minum ASI (air susu ibu) yang telah bercampur dengan air yang banyak sehingga sifat susunya hilang maka dia tidak dihukumi sebagai anak persusuannya.[17]
3. Dhorurot dalam Obat
Dhorurot (darurat) adalah suatu keadaan terdesak untuk menerjang keharaman, yaitu ketika seorang memiliki keyakinan bahwa apabila dirinya tidak menerjang larangan tersebut niscaya akan binasa atau mendapatkan bahaya besar pada badannya, hartanya atau kehormatannya. Dalam suatu kaidah fiqhiyyah dikatakan:
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
“Darurat itu membolehkan suatu yang terlarang”[18]
Namun kaidah ini harus memenuhi dua persyaratan : Tidak ada pengganti lainnya yang boleh (mubah/halal) dan mencukupkan sekedar untuk kebutuhan saja.
Oleh Karena itulah, al-Izzu bin Abdus Salam rahimahullah mengatakan : “Seandainya seorang terdesak untuk makan barang najis maka dia harus memakannya, sebab kerusakan jiwa dan anggota badan lebih besar daripada kerusakan makan barang jajis” [19]
4. Kemudahan Saat Kesempitan
Sesungguhnya syari’at Islam ini dibangun di atas kemudahan. Banyak sekali dalil-dalil yang mendasari hal ini, bahkan Imam asy-Syathibi mengatakan : Dalil-dalil tentang kemudahan bagi umat ini telah mencapai derajat yang pastgi” [20]
Semua syari’at itu mudah. Namun, apabila ada kesulitan maka akan ada tambahan kemudahan lagi. Alangkah bagusnya ucapan Imam asy-Syafi’i rahimahullah tatkala berkata.
بُنِيَتِ الأُصُوْلُ عَلَى أَنَّ الأَشْيَاءَ إِذَا ضَاقَتْ
“Kaidah syari’at itu dibangun (di atas dasar) bahwa segala sesuatu apabila sampai maka menjadi luas”[21]
5. Hukum Berobat Dengan Sesuatu Yang Haram
Masalah ini terbagi menjadi dua bagian.
- Berobat Dengan Khamr.
Hukumnya adalah haram sebagaimana pendapat mayoritas ulama, berdasarkan dalil.
إِنَهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٌ
“Sesungguhnya khamr itu bukanlah obat melainkan penyakit” [HR Muslim 1984]
Hadits ini merupakan dalil yang jelas tentang haramnya khamr dijadikan sebagai obat.[22]
- Berobat Dengan Benda Haram Selain Khamr.
Masalah ini diperselisihkan ulama menjadi dua pendapat :
Pertama : Boleh dalam kondisi darurat.
Ini pendapat Hanafiyah, Syafi’iyah dan Ibnu Hazm, [23] Diantara dalil mereka adalah keumuman firman Allah :
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya ..[al-An’am/6 : 119]
Demikian juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan sutera bagi orang yang terkena penyakit kulit, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan emas bagi sahabat Arfajah untuk menutupi aibnya, dan bolehnya orang yang sedang ihram untuk mencukur rambutnya apabila ada penyakit di rambutnya.
Kedua : Tidak boleh secara mutlak.
Ini adalah madzhab Malikiyah dan Hanabilah [24] Diantara dalil mereka adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ، فَتَدَاوَوْا، وَلاَ تَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
“Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan benda haram” [ash-Shahihah 4/174]
Alasan lainnya karena berobat hukumnya tidak wajib menurut jumhur ulama, dan karena sembuh dengan berobat bukanlah perkara yang yakin.
Pendapat yang kuat : Pada asalnya tidak boleh berobat dengan benda-benda haram kecuali dalam kondisi darurat, yaitu apabila penyakit dan obatnya memenuhi kriteria sebagai berikut:
- Penyakit tersebut termasuk penyakit yang harus diobati.
- Benar-benar yakin bahwa obat ini sangat bermanfaat pada penyakit tersebut.
- Tidak ada pengganti lainnya yang mubah.[25]
FATWA ULAMA
• Fatwa Majelis Eropa Lil Ifta wal-Buhuts
Dalam ketetapan mereka tentang masalah ini dikatakan :”Setelah Majelis mempelajari masalah ini secara teliti dan menimbang tujuan-tujuan syari’at, kaidah-kaidah fiqih serta ucapan para ahli fiqih, maka Majelis menetapkan:
- Penggunaan vaksin ini telah diakui manfaatnya oleh kedokteran yaitu melindungi anak-anak dari cacat fisik (kepincangan) dengan izin Allah. Sebagaimana belum ditemukan adanya pengganti lainnya hingga sekarang. Oleh karena itu, menggunakannya sebagai obat dan imunisasi hukumnya boleh, karena bila tidak maka akan terjadi bahaya yang cukup besar. Sesungguhnya pintu fiqih luas memberikan toleransi dari perkara najis –kalau kita katakan bahwa cairan (vaksin) itu najis- apalagi terbukti bahwa cairan najis ini telah lebur dengan memperbanyak benda-benda lainnya. Ditambah lagi bahwa keadaan ini masuk dalam kategori darurat atau hajat yang sederajat dengan darurat, sedangkan termasuk perkara yang dimaklumi bersama bahwa tujuan syari’at yang paling penting adalah menumbuhkan maslahat dan membendung mafsadat.
- Majelis mewasiatkan kepada para pemimpin kaum muslimin dan pemimpin markaz agar mereka tidak bersikap dalam masalah ijtihadiyyah (berada dalam ruang lingkup ijtihad) seperti ini sangat membawa maslahat yang besar bagi anak-anak muslim selagi tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang jelas.[26]
• Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia)
Majelis Ulama Indonesia dalam rapat pada 1 Sya’ban 1423H, setelah mendiskusikan masalah ini, menetapkan.
- Pada dasarnya, penggunaan obat-obatan, termasuk vaksin, yang berasal dari –atau mengandung- benda najis ataupun benda terkena najis adalah haram
- Pemberian vaksin IPV kepada anak-anak yang menderita immunocompromise, pada saat ini, dibolehkan, sepanjang belum ada IPV jenis lain yang suci dan halal. [27]
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Setelah keterangan singkat diatas, kami yakin pembaca sudah bisa menebak kesimpulan kami tentang hukum imunisasi IPV ini, yaitu kami memandang bolehnya imunisasi jenis ini dengan alasan-alasan sebagai berikut:
- Imunisasi ini sangat dibutuhkan sekali sebagaimana penelitian ilmu kedokteran
- Bahan haram yang ada telah lebur dengan bahan-bahan lainnya.
- Belum ditemukan pengganti lainnya yang mubah.
- Hal ini termasuk dalam kondisi darurat.
- Sesuia dengan kemudahan syari’at dikala ada kesulitan
Demikianlah hasil analisis kami tentang masalah ini. Maka janganlah kita meresahkan masyarakat dengan kebingungan kita tentang masalah ini. Namun seperti yang kami isyaratkan di muka bahwa pembahasan ini belumlah titik, masih terbuka bagi semua pihak untuk mencurahkan pengetahuan dan penelitian baik dari segi ilmu medis maupun ilmu syar’i agar bisa sampai kepada hukum yang sangat jelas. Kita memohon kepada Allah agar menambahkan bagi kita ilmu yang bermanfaat. Amin
DAFTAR REFERENSI
- Ahkamul Adwiyah Fi Syari’ah Islamiyah kar. Dr Hasan bin Ahmad al-Fakki, terbitan Darul Minhaj, KSA, cet. Pertama 1425H
- Al-Mawad al-Muharromah wa Najasah Fil Ghidza’ wad-Dawa’ kar. Dr Nazih Ahmad, terbitan Darul Qalam, Damaskus, cet. Pertama 1425H
- Fiqih Shoidali Muslim kar. Dr Khalid Abu Zaid ath-Thamawi, terbitan Dar Shuma’i, KSA, cet. Pertama 1428H
- Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
- Dan lain-lain
[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 5, Tahun ke-8/Dzulhijah 1429H/2008M. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim (61153). Telp & Fax 0313940347, Redaksi 081231976449]
_______
Footnote
[1]. Al-Mawad al-Muharromah wan-Najasah Fil Ghidza’ wad-Dawa’ kar. Dr Nazih Hammad hlm.7-8
[2]. KBBI Edisi Ketiga cetakan ketiga 2005 hlm.1258
[3]. Sumber : medicastore.com Lihat pula al-Adwa kar. Ali al-Bar hlm.126, Ahkamul Adwiyah Fi Syari’ah Islamiyyah kar.Dr Hasan al-Fakki hlm.128
[4]. Ahkamu Tadawi kar. Ali al-Bar hlm.22
[5]. Ibnul Arabi berkata :”Menurutku bila seorang mengetahui sebab penyakit dan khawatir terkena olehnya, maka boleh baginya untuk membendungnya dengan obat”. (al-Qobas : 3/1129)
[6]. Majmu Fatawa wa Maqolat Syaikh Ibnu Baz, 6/26
[7]. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia hlm. 369
[8]. Lihat Al-Mawad al-Muharromah wa Najasah hlm. 16-38, Ahkamul Adwiyah Fi Syari’ah Islamiyah hlm. 187-195, Fiqih Shoidali Muslim kar. Dr Khalid Abu Zaid hlm. 72-84
[9]. Lihat Hasyiyah Ibni Abidin 1/210
[10]. Raddul Mukhtar 1/217, al-Muhalla 7/422
[11]. Al-Majmu 2/572 dan al-Mughni 2/503
[12]. Al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyyah hlm.23
[13]. Sailul Jarrar 1/52
[14]. Lihat masalah ini secara luas dalam kitab al-Istihalah wa Ahkamuha Fil-Fiqh Islami kar. Dr Qadhafi Azzat al-Ghananim.
[15]. I’lamul-Muwaqqi’in, 1/394
[16]. Majmu Fatawa 21/508, al-Fatawa al-Kubra 1/256
[17]. Al-Fatawa al-Kubra kar. Ibnu Taimiyyah 1/423, Taqrirul Qawa’id kar. Ibnu Rajab 1/173
[18]. Al-Asybah wan Nazho’ir Ibnu Nujaim hlm.94 dan al-Asybah wan Nazho’ir as-Suyuthi hlm.84
[19]. Qawa’idul Ahkam hlm.141
[20]. Al-Muwafaqot kar. asy-Syathibi 1/231
[21]. Qawa’idul Ahkam hlm.60
[22]. Syarh Shahih Muslim kar. an-Nawawi 13/153, Ma’alim Sunan kar.al-Khaththabi 4/205
[23]. Lihat Hasyiyah Ibni Abidin 4/215, al-Majmu kar. an-Nawawi 9/50, al-Muhalla kar. Ibnu Hazm 7/426.
[24]. Lihat al-Kafi kar. Ibnu Abdil Barr hlm.440, 1142, al-Mughni kar.Ibnu Qudamah 8/605
[25]. Ahkamul Adwiyah Fi Syari’ah Islamiyyah hlm.187
[26]. Website Majlis Eropa Lil Ifta wal Buhuts, www.e-cfr.org, dinukil dari kitab Fiqh Shaidali al-Muslim hlm.107
[27]. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia hlm.370
- Home
- /
- A7. Wabah Penyakit dan...
- /
- Kontroversi Hukum Imunisasi Polio