Berpegang Teguh Kepada al- Qur’an dan as-Sunnah
BERPEGANG TEGUH KEPADA AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH
Oleh
Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar Ruhaili hafizhahullah
Segala puji hanya milik Allah, kita memujiNya, memohon pertolongan dariNya, memohon ampunan kepadaNya, dan kita bertaubat kepadaNya. Kita pun berlindung kepada Allah dari keburukan-keburukan jiwa, dan dari kejelekan-kejelekan perbuatan kita. Barangsiapa yang Allah berikan petunjuk kepadanya, maka tidak ada seorang pun yang mampu menyesatkannya. Dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada seorang pun yang mampu memberikan petunjuk kepadanya.
Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak untuk disembah kecuali hanya Allah satu-satunya, yang tiada sekutu bagiNya. Dan aku pun bersaksi bahwa Nabi kita Muhammad adalah hamba dan RasulNya.
Ya Allah, limpahkanlah shalawat, keselamatan, dan barakahMu atas hamba dan RasulMu, Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya.
Amma ba’d,
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan kita untuk berpegang teguh dengan agama dan taliNya, dan juga memerintahkan untuk bersatu di atasnya. Sebagaimana firmanNya:
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْا
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai…. [Ali ‘Imran /3:103].
Jika ayat ini diperhatikan, Allah Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk berpegang teguh dengan agama dan taliNya, juga melarang kita berpecah-belah. Ada sebuah isyarat yang menunjukkan, bahwasanya berpegang teguh dengan agama dan tali Allah tidak akan mengakibatkan perpecahan. Dalam hal ini sekaligus mengandung makna bahwa, perpecahan bukanlah bagian dari berpegang teguh dengan agama dan taliNya. Karena, jika berpegang teguh dengan agama dan tali Allah mengakibatkan perpecahan, maka Allah tidak akan memerintahkan kita untuk berpegang teguh, dan sekaligus melarang kita dari berpecah-belah. Karena hal ini kontradiktif.
Jadi, berpegang teguh dengan agama Allah tidak akan mengakibatkan perpecahan dan berpisahnya seseorang dari jama’ah kaum Muslimin. Bahkan, termasuk dalam makna berpegang teguh dengan agama Allah, yaitu berkumpul (bersatu) di atas agama Allah Azza wa Jalla .
Namun, sebagian besar kaum Muslimin, masih ada yang salah dalam memahami makna al i’tisham (berpegang teguh dengan agama Allah) ini. Sehingga, sebagian mengira bahwa ia telah berpegang teguh dengan agama Allah, tatkala ia bersikeras di atas sikap dan pendiriannya. Kemudian di atas pendiriannya ini, ia membangun sebuah sikap; ia mengambil sikap loyalitas dan permusuhan (dengan orang-orang tertentu, pent), atau memisahkan dirinya dari jama’ah kaum Muslimin. Atau bahkan ia memecah-belah jama’ah kaum Muslimin, dengan anggapan bahwa ia (telah) berpegang teguh dengan agama Allah. Ia pun menyangka dirinya (sebagai) orang yang benar-benar memiliki ghirah (semangat) dalam berpegang teguh dengan agama Allah.
Dari sini, maka kita harus benar-benar memahami makna al i’tisham yang sesungguhnya, dan apa hakikat makna al ijtima’ (bersatu, berkumpul di atas agama Allah) ini. Jadi, apa sesungguhnya makna al i’tisham?
Makna al i’tisham (berpegang teguh) dengan tali dan agama Allah ialah, seorang muslim melaksanakan seluruh perintah yang diwajibkan Allah kepadanya, yang perintah wajib tersebut berkaitan dengan dirinya, (dan) sekaligus menjauhi segala perbuatan yang dilarang Allah kepadanya. Inilah salah satu makna al i’tisham dengan tali dan agama Allah, yang berkaitan dengan pribadi seorang muslim.
Di antara makna al i’tisham dengan agama Allah adalah, seorang muslim berdakwah dan mengajak orang lain kepada kebaikan yang ia berada di atasnya. Sebagaimana Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَالْعَصْرِۙ –اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ –اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, dan mengerjakan amal shalih, dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran. [al ‘Ashr/103 :1-3]
(Surat ini mengandung perintah untuk) beriman, beramal shalih, lalu berdakwah kepada kebaikan.
Tatkala seorang da’i berdakwah, mengajak orang lain kepada kebaikan dan kepada hal yang ia berada di atasnya, berarti -sudah merupakan sesuatu yang diketahui dari sunnatullah al kauniyah (ketentuan Allah yang pasti terjadi), dan juga sesuai dengan nushusy syar’iyah (dalil-dalil syar’i)- sesungguhnya tidak setiap orang yang terjun berdakwah dan mengajak orang lain kepada Allah, pasti akan diterima dakwahnya. Bahkan, para rasul pun telah didustakan dan dimusuhi oleh orang-orang yang memusuhi mereka.[1]
Syaikhul Islam berkata,”Tidak ada seorang rasul pun, melainkan pasti ada di antara kaumnya yang memusuhinya”. Dan telah datang seorang rasul (pada hari kiamat), sedangkan ia tidak memiliki satu pengikut pun.[2] Inilah ketentuan Allah Azza wa Jalla yang telah Ia tetapkan keadaannya, dan telah diterangkan oleh nushush syar’iyah. Sehingga, tidak setiap orang yang berdakwah ilallah (mengajak orang lain kepada Allah) pasti akan diterima dakwahnya. Maka dari sinilah, seorang muslim wajib ber-i’tisham dengan tali dan agama Allah, yakni; di saat ia tidak mendapatkan jawaban dari orang-orang yang ia dakwahi.
Permasalahan ini merupakan bagian berbahaya, yang kebanyakan orang tergelincir padanya. Sebagian orang berdakwah ilallah. Pada mulanya ia lurus dalam berdakwah, mengajak orang lain kepada kebaikan. Namun, tatkala tidak mendapatkan respon dari orang-orang yang ia dakwahi, mulailah tampak pada dirinya penyimpangan. Bahkan, pada akhirnya mengantarkannya pada perbuatan yang benar-benar menyimpang. Dia menempuh sebuah cara yang sama sekali tidak pernah diperintahkan (dalam berdakwah). Hingga akhirnya, ia pun tidak terlepas dari salah satu di antara dua keadaan, yaitu berperilaku ekstrim dan keras dalam dakwahnya, dengan anggapan bahwa ia dituntut dan harus menunjukkan orang-orang kepada jalan yang benar. Atau (bahkan yang terjadi adalah) sebaliknya, ia justru melemah dan malas berdakwah.
Kedua hal ini dilarang oleh Allah Azza wa Jalla . Allah telah melarang bermalas-malasan atau lemah dalam berdakwah. Sebagaimana firmanNya kepada NabiNya:
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ اُولُوا الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ
Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul yang telah bersabar…. [al Ahqaaf/46 :35].
Maksudnya ialah, bersabarlah dalam berdakwah, dan dalam mendakwahi orang-orang.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah memberikan peringatan tentang hal ini, agar umatnya tidak berlebih-lebihan (dalam berdakwah). Bahkan sebelumnya, telah ada peringatan di dalam al Qur`an agar umatnya tidak berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam mendakwahi orang lain.
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa sempit disebabkan pamannya -Abu Thalib- yang tidak juga mau menerima petunjuk darinya, Allah Azza wa Jalla menurunkan sebuah ayat padanya:
اِنَّكَ لَا تَهْدِيْ مَنْ اَحْبَبْتَ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakiNya…. [al Qashash/28:56].
Jadi, Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan, hidayah ini, tidak ada seorang pun yang memilikinya.[3] Bahkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri -yang dakwahnya mendapatkan pertolongan langsung dari Allah- tidak memiliki jenis hidayah ini untuk orang yang terdekat dengannya (yakni pamannya, pent).
Oleh karena itu, yang wajib kita lakukan (dalam berdakwah) hanyalah mengajak orang-orang kepada kebaikan, memberikan nasihat kepada orang-orang yang menyelisihi kebenaran. Kita tidak boleh keluar dari kaidah dan batasan syari’at dalam bermu’amalah dengan mereka. Yang harus kita lakukan hanyalah terus berdakwah, mengajak mereka menuju kebaikan. Sampai akhirnya terkondisikan dengan keadaan, yang mereka tidak terlepas dari salah satu di antara dua keadaan, yaitu mendapatkan hidayah (petunjuk), atau tetap berada seperti keadaan mereka semula. Tetapi, telah tegak atas mereka hujjah dan alasan kita (di hadapan Allah kelak). Adapun perkara mereka, kita serahkan seluruhnya kepada Allah Azza wa Jalla . Inilah hakikat makna al i’tisham (berpegang teguh dengan agama Allah).
Adapun orang yang beranggapan, tatkala dakwah tidak diterima orang lain, (maka) metode dan manhaj dakwah harus berubah. Atau bahkan ia mengira, dakwah harus ditempuh dengan cara-cara lain dengan anggapan demi diterimanya dakwah, atau demi menunjukkan kepada orang lain. Maka, sungguh orang ini telah salah dan keliru. Akan tetapi yang benar, ia harus tetap berada di atas metode dan manhaj dakwah yang benar dan bermanfaat, sejak ia memulai dakwahnya dan mengajak orang lain menuju kebaikan, sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam permasalahan at ta’lif wal hajr (antara bersikap lunak dan mengisolir orang yang menyelisihi dakwah).[4]
Sehingga, apabila perkaranya telah jelas baginya, bahwa si Fulan, nasihat atau pun sikap lemah-lembut tidak akan bermanfaat baginya, maka hendaknya ia lanjutkan dakwahnya tanpa merubah sedikitpun metode dan manhaj yang benar dalam berdakwah. Atau, jika ia yakin jika hajr (melakukan isolasi) dan sikap menjauhnya dari si Fulan tersebut akan bermanfaat, maka hendaknya ia menempuh cara, yang ia yakini akan lebih bermanfaat bagi siapapun yang ia dakwahi.
Inilah hakikat al i’tisham. Yakni, seorang da’i lurus dan istiqamah (konsisten) di atas agamanya, baik untuk dirinya maupun orang lain, tatkala ia mendakwahinya.
Berdakwah merupakan amal shalih. Bahkan, berdakwah merupakan salah satu amal shalih yang paling utama. Karena, dakwah merupakan perbuatan, yang manfaatnya berpengaruh pada orang lain. Sebagaimana Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمَنْ اَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّنْ دَعَآ اِلَى اللّٰهِ وَعَمِلَ صَالِحًا
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan amal yang shalih…. [Fush-shilat /41:33].
Maka, ad da’watu ilallah merupakan salah satu amal shalih yang paling utama.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah bersabda:
((الدَّالُّ عَلَى الخَيْرِ كَفَاعِلِهِ))
Orang yang menunjukkan (orang lain) kepada kebaikan, (ia) seperti pelaku kebaikan tersebut.[5]
Jadi, setiap orang yang menunjukkan orang lain kepada kebaikan, maka ia bagaikan pelaku kebaikan itu sendiri. Sehingga, semua orang yang berbuat baik dengan sebab dakwah seseorang, maka ia mendapatkan pahala seperti orang yang berbuat baik tersebut. Inilah makna al i’tisham.
Adapun makna al ijtima’ (bersatu, berkumpul di atas agama Allah), maka terjadi pula sebagian muslimin yang salah dalam memahaminya. Bahkan sebagian kelompok yang menisbahkan (menyandarkan) diri mereka kepada manhaj dakwah (yang benar) pun keliru dalam memahami makna al ijtima’ ini.
Sesungguhnya, apa pengertian al ijtima’ ini?
Al ijtima’ adalah, hendaknya tatkala seorang muslim berdakwah ilallah, mengamalkan amar ma’ruf nahi munkar, dan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang Allah wajibkan atasnya, ia sama sekali tidak boleh keluar dari kaidah dan batasan syari’at dalam bermu’amalah dengan orang-orang yang ia dakwahi. Namun ini bukan berarti, (ketika berdakwah) Anda harus selalu mendampingi, mendekati, berduduk-duduk dengan setiap orang yang Anda dakwahi. Akan tetapi, Anda juga tidak boleh melarang hak-hak kaum Muslimin untuk tetap bermu’amalah dengan diri Anda.
Terkadang, ada sebagian orang yang sama sekali tidak memiliki faidah tatkala seorang da’i berduduk-duduk dengannya. Bahkan, ada sebagian orang yang -secara tabiat- tidak cocok diajak berduduk-duduk tatkala ia didakwahi.
Maksudnya, ketika seorang muslim berdakwah kepada yang lainnya, dan menunaikan hak-haknya, (seperti) mengucapkan salam, menunjukkan wajah yang ramah ketika bertemu, menjenguknya ketika ia sakit, mengunjunginya saat ia membutuhkan, dan menunaikan hak-hak seorang muslim lainnya,[6] hal ini tidak mengharuskan seseorang yang berdakwah selalu mendampinginya, dan selalu berada bersama-sama dengannya.
Sebagian para penuntut ilmu beranggapan, makna al ijtima’ adalah, seseorang harus selalu bersama-sama dan selalu berada dalam satu majelis dengan orang lain (yang didakwahi). Bukan seperti ini perkaranya! Akan tetapi maksudnya adalah, berloyalitas dan bermu’amalah kepada seluruh kaum Muslimin secara umum, kemudian, setelah itu, ia boleh memilih di antara mereka orang-orang yang pantas dan layak untuk diajak duduk-duduk bersama-sama, dan menolongnya dalam kebaikan.
Sekali lagi, hal ini jangan sampai dipahami bahwa orang yang tidak langsung diperlakukan dengan sikap loyalitas lebih, berarti ia telah dihajr (diisolir, diboikot) atau dilanggar hak-haknya dalam bermu’amalah. Tidak seperti ini! Akan tetapi, seperti telah dipahami bersama, merupakan sesuatu yang wajar jika manusia memiliki orang-orang pilihannya dan yang terdekat dengannya dalam bermu’amalah. Sedangkan ia tetap tidak melanggar ataupun memutuskan hak-hak orang lain dalam bermu’amalah.
Al ijtima’, juga bisa bermakna menunaikan hak-hak kaum Muslimin. Jika bertemu saudaranya, ia memberi salam. Jika saudaranya meninggal, ia mengantar jenazahnya. Jika sakit, ia menjenguknya. Sehingga ia benar-benar telah menunaikan seluruh hak saudaranya. Inilah makna al ijtima’.
Juga, hendaknya ia mencintai kebaikan untuk saudaranya. Menasihati ketika ada kekeliruan pada saudaranya. Membantunya tatkala ia membutuhkan bantuan. Inilah hak-hak persaudaraan, dan inilah makna al ijtima’.
Ada lagi sebagian orang yang salah dalam memahami hakikat, makna al ijtima’ yang benar. Mereka mengira, makna al ijtima’ adalah berkumpulnya kaum Muslimin, walaupun mereka bersatu di atas kebatilan. Oleh kerena itu, munculah saat ini kelompok-kelompok, yang metode dan tujuan mereka hanyalah merekrut dan mengumpulkan kaum Muslimin. Bahkan mereka mengatakan, “hendaknya sebagian kita memberikan ‘udzur (keleluasaan dan kelonggaran) kepada sebagian yang lain terhadap apa-apa yang kita perselisihkan, dan hendaknya kita bersatu dan berkumpul di atas sesuatu yang kita sepakati bersama”.
Bagaimana dan apa maksud dari perkataan “sebagian kita memberikan ‘udzur (keleluasaan dan kelonggaran) terhadap sebagian yang lain” ini?
Kalau maksudnya, jika kita melihat kesalahan seseorang yang berbuat salah, maka kita memberikan ‘udzur atas kesalahannya, maka bagaimana mungkin kita bisa memberikan ‘udzur? Kita tidak boleh memberikan ‘udzur (atau membiarkannya leluasa di atas kesalahannya). Bahkan kita wajib meluruskannya dan menyadarkannya, bahwa ia berada di atas kesalahan.
Namun, jika ia melakukan sebuah kesalahan sedangkan ia jahil (bodoh, belum mengetahui bahwa hal itu merupakan kesalahan, Pent), maka orang yang seperti inilah yang bisa mendapatkan ‘udzur (dimaklumi karena kebodohannya). Dan siapapun yang terjerumus ke dalam kesalahan, kita tidak boleh membiarkannya atau memberinya ‘udzur. Bahkan wajib bagi kita untuk memberitahukannya, memperingatkannya, menasihatinya, dan menjelaskan perkara yang sebenarnya. Jika setelah itu, dia menerimanya, maka alhamdulillah, dan jika ia tetap tidak mau menerima, kita tetap tidak boleh dan tidak lantas memberinya ‘udzur dan kelonggaran untuk tetap berada di atas kesalahannya. Kendatipun demikian, kita juga tidak boleh langsung bersikap frontal dan keras karena kesalahan yang ada padanya.
Bagaimana mungkin kita memberikan‘udzur kepada orang yang bermaksiat kepada Allah? Walaupun demikian, keadaan kita yang tidak boleh memberikan ‘udzur kepadanya, juga tidak lantas membuat kita bersikap ekstrim dan keras kepadanya.
Sehingga harus dibedakan, antara orang yang diberi ‘udzur ketika ia berbuat salah karena jahil, dengan orang yang berbuat salah dengan ilmu. Orang yang pertama, semacam inilah yang bisa kita katakan ia adalah ma’dzur (diberi ‘udzur) karena kebodohannya. Sedangkan orang yang kedua, yang bermaksiat dan ia mengetahui hukumnya, kita tidak boleh mengatakan bahwa ia ma’dzur. Akan tetapi, yang harus kita lakukan terhadap orang seperti ini ialah menasihatinya dan menjelaskan kepadanya.
Dari sinilah, kita akan senantiasa berkumpul di atas al haq (kebenaran). Kita pun saling menesihati dengan al haq. Jika ada di antara saudara kita yang melakukan kesalahan, kita menasihatinya, menjelaskan kepadanya perkara yang sebenarnya. Dan kita pun tidak lantas menghajrnya (mengisolirnya), atau memutuskan hubungan dengannya. Terlebih lagi jika hajr ini disyariatkan untuk dilaksanakan terhadapnya.
Sebagian orang, ada pula yang keliru dalam memahami makna al ijtima’. Mereka mengira makna al ijtima’ adalah tidak mengingkari kemungkaran apapun, dan tidak memerintahkan yang ma’ruf (yakni, tidak ber’amar ma’ruf nahi munkar, pent). Mereka pun mengira, orang yang melakukan ’amar ma’ruf nahi munkar, berarti ia telah memecah-belah kaum Muslimin. Bahkan, di antara mereka ada yang mengatakan, “sesungguhnya orang yang berdakwah ilallah dengan bermanhaj Salaf, pada hakikatnya ia memecah-belah kaum Muslimin”!?
Demikianlah perkataan mereka. Padahal, justru berdakwah ilallah di atas manhaj Salaf yang benar, (ini) merupakan salah satu hal yang sangat agung, yang membuat hati kaum Muslimin bersatu di atasnya. Sedangkan hati, tidak mungkin akan berkumpul dan bersatu, kecuali hanya di atas al haq dan agama Allah.
Oleh karena itu, berdakwah kepada as Sunnah dan melakukan ’amar ma’ruf nahi munkar tidak akan memecah-belah kaum Muslimin, jika dilakukan dengan fiqh (dengan ilmu dan pemahaman yang benar). Yang memecah-belah kaum Muslimin adalah kejahilan (kebodohan) seseorang dalam berdakwah, sikap ekstrim dan keras yang ia lakukan bukan pada tempatnya.
Orang yang berdakwah dengan fiqh (dengan ilmu dan pemahaman yang benar), dengan lemah- lembut, dan dengan menempuh cara dan manhaj dakwah yang benar dalam berdakwah ilAllah Azza wa Jalla , ia tidak akan memecah-belah kaum Muslimin.
Oleh sebab itu, di sini harus lebih diperjelas lagi. Makna al ijtima’ bukan berarti, kalau melihat orang yang berbuat salah, kita tidak mengingkarinya, atau bahkan kita katakan, “tidak boleh bagi seorang muslim mengingkari saudaranya”, ini sangat keliru. Karena, justru mengingkari kesalahan saudara kita sesama muslim merupakan salah satu bentuk al ijtima’ dan bukti rasa cinta dan kasih-sayang kita kepadanya.
Oleh sebab inilah Allah Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk menegakkan ’amar ma’ruf nahi munkar. Allah berfirman :
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ –وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوْا وَاخْتَلَفُوْا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْبَيِّنٰتُ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, mereka adalah orang-orang yang beruntung. Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. [Ali ‘Imran/3:104-105]
Perhatikanlah ayat ini! Ayat ini mengandung perintah untuk menegakkan ’amar ma’ruf nahi munkar, sedangkan Allah juga berfirman:
وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوْا وَاخْتَلَفُوْا
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih…. [Ali ‘Imran/3:105].
Hal ini menunjukkan, bahwa ’amar ma’ruf nahi munkar sama sekali tidak bertentangan dengan al ijtima’. Karena jika tidak demikian, bagaimana mungkin Allah Azza wa Jalla memerintahkan dua hal yang bertentangan sekaligus? Allah telah memerintahkan kita untuk melakukan ’amar ma’ruf nahi munkar, dan Allah pula yang telah berfirman: Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka…. [Ali ‘Imran/3:105]
Jadi, jelaslah hal ini menunjukkan bahwa ’amar ma’ruf nahi munkar tidak membuat umat Islam bercerai-berai. Namun, hal ini pun harus dilakukan dengan fiqh (dengan ilmu dan pemahaman dalam berdakwah yang benar) menurut agama Allah.
Adapun persangkaan orang-orang yang jahil terhadap masalah ini, dan pendapat orang yang mengira bahwa berdakwah mengajak kepada aqidah shahihah (akidah yang benar) atau tauhid (mengesakan Allah dalam beribadah) akan mengakibatkan perpecahan, maka pandangan ini terjadi karena kejahilannya (dalam agama).
Sungguh para salaful ummah telah bersatu dengan sebab aqidah shahihah, mereka tidak bercerai-berai. Demikian pula Ahlus Sunnah secara umum, tatkala berkumpul dan bersatu di atas aqidah shahihah, mereka pun terkenal sebagai ahlul ijtima’ (orang-orang yang bersatu).
Syaikhul Islam berkata,”Ahlus Sunnah adalah ahlul ijtima’ wal i-tilaf (orang-orang yang bersatu dan saling berkesesuaian). Sedangkan ahlul bida’ adalah ahlut tafarruq wal ikhtilaf (orang-orang yang bercerai-berai dan saling berselisih).”
Oleh karena itu, (pada) ahlul bida’ selalu bermunculan firqah demi firqah (golongan), sampai akhirnya menjadi golongan-golongan yang sangat banyak. Mereka, walaupun secara zhahir terlihat bersatu, namun pada hakikatnya mereka bercerai-berai dan saling berselisih.
Di dalam kitab-kitab yang berkaitan dengan firaq (golongan-golongan dalam Islam), para ulama telah menyebutkan, Khawarij adalah golongan yang sebagian mereka tidaklah keluar dari kelompoknya, melainkan sebagian kelompok tersebut kembali dengan membawa kelompok-kelompok lainnya. Dan di antara mereka tidaklah ada yang dianggap salah atau keliru, melainkan mereka selalu berlepas diri dari orang yang salah tersebut, bahkan sampai pada tahapan pengkafiran. Sehingga, akhirnya terlahir firqah-firqah baru lainnya.
Adapun Ahlus Sunnah, mereka adalah ahlul ijtima’. Mereka senantiasa berada di atas al haq (kebenaran). Jika ada di antara saudaranya yang menyelisihi kebenaran, mereka tetap bersabar mendakwahi dan memperingatkan saudaranya tersebut. Mereka pun tidak pernah berkata “kita harus diam dari kesalahannya”. Mereka terus mendakwahinya kepada kebenaran, membimbingnya, dan mereka bersabar dalam berdakwah.
Jadi, hendaklah kita benar-benar memahami makna al ijtima’. Sekali lagi, makna al ijtima’ bukan berarti kita berkumpul atau bersatu (walaupun) di atas kebatilan. Bukan pula bermakna kita diam terhadap kesalahan-kesalahan yang terjadi, dan kita tidak memperingatkan orang yang salah dari kesalahannya. Semua ini bukan makna al ijtima’ yang benar, karena semuanya menyelisihi perintah Allah Azza wa Jalla .
Juga sebagaimana penjelasan di atas, ’amar ma’ruf nahi munkar, sama sekali tidak bertentangan dengan al ijtima’, bahkan sangat mungkin dipadukan. Oleh karena itu Allah Azza wa Jalla memerintahkan kita dalam firmanNya : Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih…. [Ali ‘Imran/3:105].
Firman Allah ini disampaikan, setelah Dia memerintahkan kita untuk melakukan’amar ma’ruf nahi munkar. Dan di sini terdapat peringatan (lainnya), yaitu hendaknya ’amar ma’ruf nahi munkar jangan menjadi sebab berpecah-belahnya umat.
Dan sekarang, muncul sebuah opini yang mengatakan, (dengan) melakukan ’amar ma’ruf nahi munkar, memastikan terjadinya pemutusan hubungan dengan kaum Muslimin. Atau bahkan mengharuskan orang yang didakwahi harus dihajr, jika ia tidak sependapat dengannya. Dia memutuskan segala hubungan dengan orang-orang yang menyelisihinya ketika ia berdakwah. Bukan! Perkaranya, bukanlah seperti ini!
Akan tetapi -sekali lagi- bahkan sangat mungkin dipadukan antara ’amar ma’ruf nahi munkar dan al ijtima’, serta mulazamatu jama’atil muslimin (berpegang teguh dengan jama’ah kaum Muslimin). Oleh sebab itu, saya (Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar Ruhaili –hafizhahullah-) menasihati para da’i dan penuntut ilmu di negeri ini. Pada mereka terdapat kebaikan yang begitu banyak. Mereka memiliki dakwah yang penuh berkah. Hendaknya mereka berpegang teguh dengan kaidah-kaidah dasar (dalam berdakwah) yang telah diterangkan ini.
Yang pertama kali harus mereka lakukan adalah, bersatu dan tidak saling berselisih antara sesama mereka. Kemudian, hendaklah saling mencintai karena Allah. Karena orang yang beraqidah Ahlus Sunnah, berarti ia telah mendapatkan kebaikan yang sangat banyak. Sehingga, orang ini berhak untuk dicintai, disikapi dengan loyalitas tinggi, sesuai dengan kadar kebaikan yang terdapat pada dirinya. Dan seandainya orang ini berbuat salah dan memiliki kesalahan, hendaklah diperingatkan dari kesalahannya. Jika ia menerima peringatan dan nasihat, maka walhamdulillah. Dan jika tidak, maka kebaikan yang ada pada dirinya -berupa mengikuti manhaj Ahlus Sunnah dan juga dakwah yang ia lakukan di atas manhaj Salaf-, membuat kita tidak berhak memutuskan hubungan persaudaraan dengannya. Kita bersabar dan tetap memberinya peringatan. Dan jika kita sudah memberikan peringatan kepadanya, maka ijtima’ kita bersamanya bukanlah sebuah al ijtima’ ‘alal bathil (bersatu dan berkumpul di atas kebatilan). Yang salah adalah, tatkala kita diam di atas kebatilan dan kesalahannya. Dan hendaknya, peringatan yang kita sampaikan kepadanya dengan cara yang baik, lunak dan lemah lembut, supaya ia bisa menerimanya.
Kemudian permasalahannya, jika kita sudah mempraktekkan manhaj yang benar seperti ini dalam berdakwah, lalu sebagian saudara-saudara kita keliru dalam memahami manhaj dakwah ini, apakah jika mereka menghajr kita, maka kita juga menghajr mereka? Apakah jika mereka tidak bisa bersabar dengan manhaj dakwah ini, dan tidak mau mempraktekkannya, kita juga memperlakukan mereka sebagaimana mereka memperlakukan kita?
Jika mereka sampai menghajr kita, maka kita tetap tidak boleh menghajr mereka! Jika mereka memutuskan hubungan persaudaraan dengan kita, maka kita tidak boleh memutuskan hubungan persaudaraan dengan mereka. Dan hal ini, jangan dipahami bahwa, seseorang harus menghinakan dirinya (demi persatuan dan persaudaraan, pent).
Jika seorang dari mereka mau bergaul dengan saudara-saudara kita, maka kita pun bergaul dengannya. Adapun jika ia tidak mau berhubungan dengan saudara-saudara kita, maka kita pun tidak boleh mengikuti orang yang tidak mau berhubungan dengan kita, atau saudara-saudara kita, kecuali jika masih mungkin bisa diharapkan darinya -dengan sering mengunjunginya dan berbicara dengannya- kebaikan dan hidayah dari Allah, maka hal ini sangat baik (untuk dilakukan).
Jadi, apabila orang-orang berbuat tidak baik terhadap kita, maka kita tidak boleh membalas dengan sesuatu yang tidak baik pula. Bahkan, yang wajib kita lakukan ialah bersabar. Kita tetap mempertahankan hubungan persaudaraan dengan mereka. Kita mengharapkan pahala dari Allah dengan berbuat baik terhadap mereka. Karena, bagaimanapun keadaan mereka, mereka adalah saudara-saudara kita. Kita tetap berusaha untuk selalu berhubungan dengan mereka, dan ber-ijtima’ bersama mereka. Namun, jika mereka tetap saja memutuskan hubungan dengan kita, maka kita serahkan urusan mereka kepada Allah, dan merekalah yang mempertanggungjawabkan perbuatan mereka ini di hadapan Allah.
Demi mempersatukan kalimat kaum Muslimin, kita harus berusaha semampu kita. Kita pun berusaha sedapat mungkin untuk tidak berpecah-belah sesama kita.
Para ulama sebelum kita, terjadi perbedaan pendapat di antara mereka dalam beberapa permasalahan agama. Namun, tidak membuat mereka sampai berpecah-belah. Hati mereka tidak pernah bercerai-berai. Pada hati mereka, tidak pula terdapat rasa hiqd, hasad (iri dan dengki), maupun permusuhan kepada saudara-saudara mereka. Bahkan yang terjadi, justru di antara mereka saling mencintai, menyayangi, berloyalitas. Dan semestinya, seperti inilah diri kita (dalam bermu’amalah dan dakwah). Sehingga, rasa saling cinta kita, persaudaraan kita, loyalitas kita, (semua) berada di atas as Sunnah. Sedangkan jika terjadi kesalahan atau kekeliruan yang dilakukan oleh seorang dari saudara-saudara kita, maka kita membenci hal ini, dan kita berikan peringatan kepada saudara kita tersebut. Dan kita pun tetap mengakui kebaikan yang ada pada saudara kita yang berbuat salah tersebut. Bahkan kita menolongnya ketika ia berdakwah kepada orang lain menuju as Sunnah. Kesalahan orang ini, sama sekali tidak boleh menghalangi kita dari menolongnya, selama ia berada di atas kebaikan.
Adapun jika seorang dari saudara-saudara kita berbuat salah, lantas kita menjauhinya, mentahdzirnya (memperingatkan orang lain untuk menjauhinya dengan sebab bahaya kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut, Pent), memutuskan hubungan persaudaraan dengannya, atau kita putuskan seluruh majelis ilmu yang ia sampaikan ilmunya melalui majelis ilmunya, dan bahkan kita arahkan orang-orang awam agar tidak menghadiri majelis ilmunya, dan kita larang mereka untuk mengambil faidah darinya, maka semua ini, sama sekali tidak benar dan tidak diperbolehkan. (Perbuatan) ini merupakan salah satu bentuk menghalang-halangi seseorang untuk berdakwah (kepada al haq).
Namun, jika ia berbuat salah, sementara kita khawatir terhadap bahaya kesalahan yang ia lakukan, pada saat ini mungkin bagi kita untuk menerangkan kesalahannya kepada khalayak, namun, kita juga tetap menjelaskan kepada khalayak, bahwa ia adalah saudara kita, ia banyak memiliki kebaikan dan keutamaan, tetapi ia memiliki kesalahan dalam masalah tertentu, yang insya Allah ia akan rujuk kembali kepada kebenaran. Jadi, hal ini mungkin kita lakukan (jika memang benar-benar demikian keadaannya).
Adapun, jika orang yang berbuat salah ini bukan dari kalangan kita (yang bermanhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah), ditambah lagi hal lainnya, -yakni ia banyak memiliki kekeliruan, kesalahan, bahkan kebatilan- dan bagaimanapun ia (juga) menisbahkan dirinya kepada manhaj Salaf dan dakwah salafiyah. Atau bahkan ia mengaku sebagai seorang Salafi, namun ia terkenal banyak memiliki kekeliruan dan kesalahan, terlebih lagi dikenal sangat mudah melontarkan kata-kata seenaknya tanpa bayyinah (bukti dan keterangan yang benar dan nyata), (maka) orang ini -betapapun dan bagaimanapun ia mengaku sebagai seorang Salafi- kita tidak boleh mengarahkan orang-orang awam untuk menghadiri majelis ilmunya. Karena kita khawatir, jika orang-orang awam kaum Muslimin terfitnah dengannya, atau bahkan agama mereka terancam bahaya dengan sebab dakwah orang semacam ini. Dengan demikian, kita telah berbuat adil dan seimbang dalam menilai dan menghukumi permasalahan ini.
Jadi, kewajiban para penuntut ilmu adalah bersatu di atas Kitabullah dan sunnatun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (baca: al Qur`an dan as Sunnah, Pent), saling memberikan nasihat sesama mereka, dan saling menerima nasihat yang diberikan oleh sebagian mereka kepada sebagian yang lain. Karena sesungguhnya, orang yang memberi nasihat, berarti ia mencintai saudaranya yang ia nasihati. Bukan sebaliknya (yakni, bukan berarti membencinya). Dan orang yang berakal akan paham, tatkala saudaranya memberikan nasihat kepadanya, berarti ia masih dicintai olehnya, dan bukan dibenci. Sehingga, siapakah an nashih?
An nashih (orang yang memberikan nasihat) adalah orang yang mencintai saudaranya (agar mendapatkan kebaikan). Dan nashat (itu), sama sekali tidak mengandung makna menyebarkan aib dan mencela orang yang dinasihati. Bahkan di dalam nasihat, mengandung makna mencintai (yakni, mencintai saudaranya agar mendapatkan kebaikan, sebagaimana ia telah medapatkan kebaikan tersebut, Pent).
Dari sini, maka apabila terjadi sebuah kesalahan yang dilakukan seorang dari saudara-saudara kita, kita tidak boleh langsung menyebarluaskan kesalahannya. Tetapi, yang harus kita lakukan adalah segera menghubunginya, lalu menjelaskan kepadanya perkara yang sebenarnya, jika memang ia benar-benar berbuat salah. Kemudian kita memohon kepadanya agar rujuk dari kesalahannya, dan kembali kepada kebenaran. Hendaknya pula, kita berusaha menasihatinya dengan tidak terang-terangan (yakni, dengan cara rahasia dan sembunyi-sembunyi).
Sebelum kita melakukan semua ini, kita hendaklah benar-benar ta-tsabbut (mencari kebenaran) dari orang yang tertuduh berbuat salah tersebut secara langsung. Karena, jika kita hanya mendengar perkataan orang-orang “fulan berkata demikian”, “fulan berbuat demikian”, kita hanya membangun prasangka-prasangka buruk terhadap sesuatu yang belum jelas. Bahkan pernah terjadi, seseorang mengambil sebuah sikap terhadap sebagian saudara-saudaranya beberapa tahun lamanya. Dan tatkala ia mengetahui keadaan yang sebenarnya, ia menyadari bahwa dirinyalah yang telah bersikap salah.
Jadi, pertama kali yang harus kita lakukan adalah ta-tsabbut. Karena, betapa banyak penukilan-penukilan khabar yang hanya berdasarkan sesuatu yang rancu dan tidak jelas. Sehingga, apabila kita telah melakukan ta-tsabbut, dan kenyataannya memang ia telah berbuat keliru, maka kita segera menghubunginya untuk kita nesihati. Kita berkunjung kepadanya dengan merendahkan hati kita.
Yang perlu diperhatikan di sini, hendakhal nasihat disampaikan dengan cara yang baik dan lembut. Jangan seperti contoh perkataan si Fulan berikut: “Wahai Fulan! Bertaqwa kamu kepada Allah! Kamu benar-benar telah berbuat salah! Dan sekarang kamu hanya boleh memilih salah satu dari dua keadaan, kamu rujuk dari kesalahanmu, atau kami tahdzir kamu!”.
Siapa yang mau menerima nasihat semacam ini?
Akan tetapi, lihatlah contoh nasihat yang baik berikut ini: “Dirimu wahai Fulan, –walhamdulillah- berada di atas kebaikan dan keutamaan yang banyak. Mudah-mudahan Allah senantiasa menjadikanmu bermanfaat bagi kaum Muslimin dengan ilmu yang engkau miliki. Dan masih banyak orang yang menunggumu untuk mendapatkan kebaikan yang banyak darimu. Dan saya -demi Allah- juga mencintaimu, saya juga senantiasa mendoakan kebaikan untukmu. Namun, ada permasalahan, yang saya sangat berharap kepadamu, untuk engkau periksa ulang dan teliti kembali. Mudah-mudahan dihasilkan darinya sebuah manfaat untukmu. Permasalahan tersebut adalah…”.
Kita tidak mendatanginya seolah-olah seperti seorang guru, lantas kita berkata kepadanya: “Ketahuilah…!”, tetapi, kita mendatanginya dalam keadaan memberikan nasihat kepadanya, merendahkan hati kepadanya saat kita berbicara dan menasihatinya. Kita jelaskan permasalahan yang berkaitan dengan kesalahannya secara baik. Kita juga jelaskan beberapa kitab atau referensi-referensi yang baik, dari karya-karya ilmiah para ulama untuk digunakan, yang juga membantunya dalam memahami permasalahan yang dirinya keliru padanya.
Jika ia masih belum mau menerima nasihatmu, Anda ulangi dua kali, atau tiga kali. Kalau dia belum juga mau menerima nasihatmu, maka tidak mengapa jika Anda menghubungi (salah) seorang dari para ulama, yang mungkin Anda pernah mengenalinya, lalu menjelaskan permasalahan tersebut dan Anda berkata : ”Fulan belum mau menerima nasihat dariku. Mudah-mudahan ia bisa menerima penjelasan dan nasihat darimu. Maka, tolong nasihati dia dan jelaskan permasalahan yang sebenarnya…”.
Jadi, hendaknya seorang muslim berusaha semampunya untuk memberikan hidayah kepada orang lain. Dia bisa melakukan dengan cara memberikan nasihat. Dia merasa senang jika saudaranya berada di atas kebenaran, dan merasa benci dan tidak suka jika saudaranya melakukan kesalahan. Seorang muslim, tidak boleh merasa senang dengan kesalahan yang dilakukan oleh saudaranya. Bahkan, seharusnya ia merasa senang tatkala saudaranya berada di atas petunjuk yang benar. Merasa senang jika saudaranya konsisten berada di atas Sunnah. Bahkan, hendaknya ia juga mendoakan kebaikan untuk saudaranya, baik di dalam shalatnya maupun pada kesempatan lainnya, mendoakan agar Allah selalu membimbingnya di atas kebenaran.
Demi Allah, seandainya kaum Muslimin menempuh cara ini, pastilah akan menghasilkan kebaikan yang sangat banyak. Yaitu, setiap muslim mendakwahi orang lain dengan hatinya sebelum dengan lisannya. Mencintai dengan sepenuh hatinya tatkala orang yang ia dakwahi mendapatkan petunjuk.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
اِنْ يُّرِيْدَآ اِصْلَاحًا يُّوَفِّقِ اللّٰهُ بَيْنَهُمَا
…Jika kedua orang hakam (juru pendamai) itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu…. [an Nisaa`/4:35].
Jadi, orang yang benar-benar menginginkan perbaikan dan perdamaian, pasti Allah akan memberikan kemudahan kepadanya. Adapun jika kita berkumpul di berbagai majelis, namun hati kita dipenuhi (rasa benci) terhadap sesama, maka hal ini tidak baik dan tidak boleh! Sehingga, wajib bagi kita untuk membersihkan hati dari rasa benci, iri dan dengki. Menggantikannya dengan rasa saling mencintai antara sesama muslim, terlebih lagi saudara-saudara kita yang seaqidah dan semanhaj (Ahlus Sunnah wal Jama’ah).
Adapun ahlul bida’, yang telah memisahkan diri mereka dengan aqidah Ahlus Sunnah, mereka juga kita dakwahi (agar mendapatkan petunjuk yang benar). Namun, tentu saja dalam mu’amalah dengan mereka tidak sama dengan saudara-saudara kita yang seaqidah dan semanhaj. Jadi, kita tetap mendakwahi mereka dan bersabar dalam berdakwah, serta terus menjelaskan kepada mereka perkara yang benar, dengan berharap agar Allah memberikan petunjukNya kepada mereka.
Berbeda halnya dengan saudara-saudara kita (yang seaqidah dan semanhaj), mereka memiliki hak-hak agung yang harus kita hormati. Adapun ahlul bida’, maka kita tidak boleh mendukung dakwah dan menolong mereka di atas kebatilan.
Saudara-saudara kita yang seaqidah dan semanhaj, mereka adalah Ahlus Sunnah. Dan mereka, mungkin saja berbuat salah dalam permasalahan tertentu. Namun hal ini tidak menghalangi kita untuk mengarahkan orang-orang awam agar mengambil faidah dari mereka.
Namun, -sekali lagi- jika Anda khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, Anda khawatir jika agama orang-orang awam terancam bahaya dengan sebab dakwahnya kepada permasalahan yang ia keliru padanya, maka mungkin Anda berikan peringatan orang-orang awam dari kesalahannya ini. Karena jika tidak demikian, atau bahkan kita berkata : “Kami tidak memberikan rekomendasi dan tidak menganjurkan seorang pun untuk menghadiri majelis ilmu seseorang, kecuali terhadap orang yang kita ridhai saja, atau orang yang kami belum pernah mengetahui kesalahannya”, maka tidak ada seorang pun yang tersifati dengan sifat seperti ini. Bahkan tidak ada seorang ulama pun, tidak pula seorang pun dari penuntut ilmu yang benar-benar tidak pernah melakukan kesalahan.
Seorang ulama pun terkadang pernah salah dalam pendapatnya. Namun, kesalahannya berbeda dengan kesalahan orang lain. Kesalahan seorang ‘alim adalah disebabkan ijtihadnya. Sehingga hal ini tidak melarang orang lain untuk tetap mengambil ilmu darinya. Ia tetap didukung dakwahnya. Ia tetap berhak agar orang-orang awam diarahkan kepadanya untuk mengambil manfaat darinya.
Seandainya para penuntut ilmu menilai permasalahan ini dengan fiqh (dengan ilmu dan pemahaman yang benar), pastilah mereka akan menyadari bahwa, manhaj dakwah seperti ini mengandung kemaslahatan yang sangat besar. Karena, jika kalian (para da’i dan penuntut ilmu) berpecah-belah, kaum Muslimin pun akan berpecah-belah. Sehingga, perpecahan kalian merupakan perpecahan umat. Bukan hanya sekedar perpecahan sebagian kelompok orang.
Setiap da’i, di belakangnya terdapat penuntut ilmu dan para pengikutnya. Sehingga, perpecahan para da’i dan penuntut ilmu adalah perpecahan umat. Namun jika kalian bersatu dan berkumpul, umat pun akan bersatu dan berkumpul.
Para da’i dan penuntut ilmu hendaknya senantiasa hanya mengharapkan keridhaan dan pahala dari Allah dalam usahanya untuk memperbaiki keadaan saudara-saudara mereka, dan saling damai antara sesama mereka. Hal ini -demi Allah- termasuk perbuatan yang pahalanya sangat besar.
Memperbaiki dan mendamaikan keadaan antara dua orang awam dari kaum Muslimin sangatlah baik, seperti firman Allah:
…وَالصُّلْحُ خَيْرٌ…
…dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)…. [an Nisaa/4:128].
Perdamaian sangat baik dilakukan untuk dua orang yang saling bermusuhan dari kalangan awam kaum Muslimin. Maka, terlebih lagi jika perdamaian tersebut terjadi di antara para penuntut ilmu, di antara saudara-saudara kita (yang seaqidah dan semanhaj). Hal ini juga menunjukkan jika seorang muslim, mendapatkan perselisihan yang terjadi antara dua orang dari saudara-saudaranya, hendaknya ia berusaha semampunya untuk mendamaikan keduanya. Hendaknya berusaha berbicara kepada masing-masing (mereka berdua) dengan pembicaraan, yang sekiranya bisa mendamaikannya. Bahkan, sampai-sampai berdusta pun dibolehkan demi mendamaikan dua pihak kaum Muslimin yang sedang bermusuhan.
Adapun, perbuatan yang dilakukan oleh sebagian orang, berupa mengobarkan api pada dada-dada para penuntut ilmu sehingga permusuhan dan kebencian antar sesama mereka semakin besar, seperti perkataan berikut: “Saya mendengar si Fulan membicarakan dirimu demikian dan demikian,” maka hal ini –na’udzu billah– adalah namimah (mengadu domba) yang sangat merusak hati.
Orang yang senantiasa menginginkan perdamaian, ia akan menukilkan perkataan-perkataan yang baik saja. Walaupun ia pernah mendengar perkataan “si Fulan membicarakan dirimu demikian dan demikian”, ia tidak akan menukilkan perkataan ini. Karena ia tahu, hal ini sama sekali tidak ada kemaslahatan padanya. Ia pun hanya menukilkan perkataan-perkataan yang sekiranya membuat hati damai dan dapat meredakan permusuhan. Hal ini -demi Allah- salah satu sebab yang paling agung agar seseorang mendapatkan taufik Allah.
Orang yang melakukan kebaikan ini, ia akan diberi rizki oleh Allah berupa ilmu yang bermanfaat, dan Allah pun akan menjadikan dakwahnya sangat bermanfaat bagi kaum Muslimin. Ia pun masih mendapatkan kebaikan-kebaikan lainnya yang sangat banyak. Tentu, hal ini terjadi jika ia benar-benar jujur dan mengikhlaskan niatnya semata-mata hanya karena Allah dalam usahanya mempersatukan kalimat kaum Muslimin dan menasihati mereka. Terlebih lagi dalam usahanya mempersatukan kalimat Ahlus Sunnah, juga kecintaannya untuk menyebarnya seluruh kebaikan di antara kaum Muslimin. Bahkan ahlul bida’, kita pun harus senang jika mereka mendapatkan petunjuk. Dan inilah makna al mahabbatu fillah (mencintai karena Allah).
Orang yang mecintai Allah, ia akan senang jika Allah Azza wa Jalla ditaati dan tidak dimaksiati. Ia senang jika tidak ada seorang kafir pun di muka bumi ini. Ia senantiasa berusaha semampunya untuk memberikan petunjuk yang lurus dan benar kepada orang lain, sampai-sampai kepada orang kafir sekalipun. Ia tahu jika kelemah-lembutan membuat orang yang ia dakwahi semakin mendekatkan kepada kebenaran. Ia pun akan berlaku lemah-lembut kepada siapapun yang ia dakwahi.
Alangkah indahnya, jika para da’i dan penuntut ilmu berada di atas pemahaman dan tujuan yang lurus dan agung seperti ini dalam dakwah mereka, dan dalam usaha mereka untuk mendamaikan dan mempersatukan kaum Muslimin. Semuanya ini, sama sekali bukan berarti seorang muslim mesti bertanazul (mengalah dan menyerah) dalam mempertahankan agamanya. Karena, permasalahan sebagian orang sekarang, adalah prasangka yang salah dalam memahami makna al ijtima’. Ia menyangka, makna al ijtima’ adalah seorang muslim selalu turun, merendah dan mengalah dalam mempertahankan syariat agamanya. Tidak! Bukan seperti ini!
Betapapun dekatnya hubungan kekerabatan seseorang dengan orang yang ia dakwahi, dan betapapun tingginya ilmu seseorang, jika ia melakukan kesalahan, maka seorang muslim tidak boleh bermudahanah (mencari muka dengan mengorbankan agama demi kepentingan dunia) seraya berkata: “Kita adalah bersaudara, tidak baik bagi kita untuk membicarakan masalah ini…”. Tidak! Ini tidak boleh dilakukan! Persaudaraan, sama sekali tidak menghalangi kita untuk saling menasihati dan saling menegur jika terdapat kesalahan (di antara kita). Namun, dengan cara yang baik dan lemah-lembut.
Maka, kita harus memahami batasan-batasan permasalahan berkaitan dengan lafazh-lafazh syar’i ini. Kita harus mengetahui makna al i’tisham bi kitabillah. Kita juga harus mengetahui makna al ijtima’.
Al ijtima’, apa makna al ijtima’?
Bukan makna al ijtima’ seperti yang dikira oleh ahlul bida’, yaitu bersatu dan berkumpul walaupun di atas kebatilan, dan tidak boleh saling mengingkari sebagian kepada sebagian yang lain.
Bukan pula makna al i’tisham, (jika) setiap orang berpegang teguh dan bersikeras dengan sesuatu yang ada di dalam kepalanya, lalu ia berkata: “Aku berpegang teguh dengan agama Allah, aku tidak peduli dengan siapapun yang menyelisihi aku…”. Bukan! Bukan demikian!
Bahkan dirimu memiliki saudara-saudara, yang menyertaimu dan bersama-sama denganmu dalam permasalahan, yang dirimu juga sama dengan mereka dalam hal kebaikan, ilmu dan keutamaan lainnya. Oleh kerena itu, introspeksi dirimu, dan hargailah mereka! Kemungkinan Anda yang salah. Dan ada kemungkinan juga orang lain yang salah. Tetapi, Anda harus tetap sabar dan bertahan (dalam berdakwah dan bermu’amalah).
Kita memohon kepada Allah taufikNya untuk kita semua. Demikianlah, wallahu a’lam…
Wa shallallahu wa sallama wa baaraka ‘ala Nabiyyina Muhammad.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 7-8/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
**) Ceramah Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar Ruhaili –hafizhahullah– yang disampaikan dalam acara Daurah Syar’iyah IV di Malang, 20-24 Jumadits Tsaniyah 1427H, bertepatan 16-20 Juli 2006. bertema al I’tisham bil Kitab was Sunnah (berpegang teguh kepada al Qur`an dan as Sunnah), diterjemahkan oleh Abu Abdillah Arief B. bin Usman Rozali
[1] Sebagaimana Allah berfirman:
وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِّن قَبْلِكَ فَصَبَرُواْ عَلَى مَا كُذِّبُواْ وَأُوذُواْ حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا…
Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami terhadap mereka …. [al An’am/6:34].
[2] Sebagaimana hadits yang cukup panjang dari Ibnu Abbas c , beliau berkata:
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ((عُرِضَتْ عَلَيَّ الأُمَمُ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرُّهَيْطُ، وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ، وَالنَّبِيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ…))
Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda,”Telah diperlihatkan kepadaku umat-umat, maka aku melihat seorang nabi bersamanya sekelompok orang, aku pun melihat seorang nabi bersamanya hanya seorang atau dua orang saja, dan aku pun melihat seorang nabi yang tidak ada pengikutnya sama sekali …” [HR al Bukhari, 5/2157 dan 2170; Muslim, 1/199 no. 220; dan lain-lain. Dan ini lafazh dalam Shahih Muslim.
[3] Hidayah (petunjuk) ada dua macam, hidayatut taufiq dan hidayatul irsyad. Hidayah yang pertama inilah yang dinafikan (ditiadakan) oleh Allah dari RasulNya, sebagaimana ayat di atas. Karena hidayah ini datangnya semata-mata dari Allah. Adapun jenis hidayah yang ke dua, maka hidayah ini dimiliki oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan setiap orang yang berdakwah ilallah, mengajak orang lain menuju kebaikan. Sebagaimana firman Allah:
…وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
…Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. [asy Syura/42:52].
Jenis hidayah yang ke dua ini (hidayatul irsyad), dimiliki oleh setiap orang yang berdakwah ilallah, karena orang yang berdakwah ilallah hanya memberikan sebuah kunci menuju jalan yang benar dan lurus kepada orang lain. Adapun akhir perkaranya, semua kembali kepada Allah. Sehingga, pada akhirnya hanya Allah saja yang menentukan seseorang mendapatkan hidayah dariNya (hidayatut taufiq), ataukah tidak. Lihat pembahasan ini dalam kitab al Qaulul Mufid ‘ala Kitabut Tauhid, 1/348-349.
[4] Lihat terjemah taujih-1 (untaian nasehat lainnya yang juga beliau sampaikan pada kesempatan lain dalam acara daurah yang sama).
[5] HR at Tirmidzi, 5/41 no. 2670, dari hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu. Dan yang semakna dengannya diriwayatkan oleh Abu Dawud, 4/333 no. 5129, dari hadits Abu Mas’ud al Anshari al Badri Radhiyallahu anhu .
Hadits ini secara keseluruhan dishahihkan oleh Syaikh al Albani di dalam Shahihut Tirmidzi, Shahih Abi Dawud, Shahihul Jami’ (1605 dan 3399), Shahih at Targhib wat Tarhib (1/157-158 no. 115,116, dan 117), as Silsilah ash Shahihah (4/216), dan kitab-kitab beliau lainnya.
[6] Seperti yang diterangkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari (1/418 no. 1183), Muslim (4/1704-1705 no. 2162), dan lain-lain, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , beliau mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
((حَقُّ المُسْلِمِ عَلَى المُسْلِمِ خَمْسٌ: رَدُّ السَّلاَمِ، وَعِيَادَةُ المَرِيْضِ، وَاتِّباَعُ الجَنَائِزِ، وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ، وَتَشْمِيْتُ العَاطِسِ))
Hak muslim atas muslim (lainnya) ada lima : menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, memenuhi undangan, dan mengucapkan tasymit kepada orang yang bersin.
(تَشْمِيْتُ العَاطِسِ) artinya, mendoakan kebaikan dan barakah dengan mengucapkan yarhamukallah (semoga Allah merahmatimu) kepada seorang muslim yang bersin yang mengucapkan alhamdulillah (segala puji hanya milik Allah).
Lihat an Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, 1/889.
- Home
- /
- A9. Fiqih Dakwah Nasehat
- /
- Berpegang Teguh Kepada al-...