Pembangunan Ka’bah

PEMBANGUNAN KA’BAH

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc

Riwayat-riwayat yang terdapat di dalam buku-buku sirah (sejarah), yang mengungkapkan pembangunan dan pemeliharaan Ka’bah, walaupun sebagian riwayat-riwayat tersebut tidak otentik –jika ditinjau dari sudut periwayatannya- tetapi telah memberikan penjelasan, bahwa pembangunan Ka’bah telah dilakukan beberapa kali.

Pemaparan berikut, kami angkat dari beberapa nara sumber. Yaitu kitab as Sirah an Nabawiyah fi Dhu’il Nashadir al Ashliyah, Mahdi Riqullah, Cetakan Pertama, Tahun 1412 H, Markaz al Malik Faishal lil Buhuts wad-Dirasat al Islamiyah, halaman 51-56; al Ka’bah al Musyarafah Awalul Bait Wadhi’a lin-Nass, artikel dalam Majalah Haji, Edisi 9 dan 10 tahun 55/ Rabiul Awal dan Rabi’u Tsani 1422 H; at Tarikh Al Qawim li Makkata wa Baitullah al Karim, Muhammad Thahir al Kurdi, Cetakan Pertama, Tahun 1420H, Darul Khadir, Beirut; Fat-hul Bari Syarhu Shahihul-Bukhari, al Hafizh Ibnu Hajar, dan lain-lain.

1. Pembangunan dan pemeliharaan oleh para malaikat. Sebagaimana diriwayatkan al Azraqiy.[1]

2. Pembangunan dan pemeliharaan oleh Nabi Adam. Sebagaimana diriwayatkan al Baihaqiy,[2] dan yang lainnya.[3]

3. Pembangunan dan pemeliharaan oleh anak-anak Nabi Adam. Sebagaimana diriwayatkan al Azraqiy[4] dan yang lainnya,[5] dari Wahb bin Munabbih. Dan menurut as Suhailiy, yang membangun adalah Syits bin Adam.[6]

4. Pembangunan dan pemeliharaan oleh Nabi Ibrahim dan anaknya Isma’il.
Hal ini dijelaskan di dalam al Qur`an dan hadits-hadits. Bahkan riwayat-riwayat tersebut menjelaskan, bahwa Nabi Ibrahim dan Ismail adalah orang yang pertama mendirikan dan membangun Ka’bah, walaupun tempat Ka’bah, yaitu satu dataran yang tinggi dan menonjol dibandingkan dengan sekitarnya telah dikenal oleh para malaikat dan para nabi sebelum Ibrahim. Tempat yang tinggi dan menonjol inilah yang ditinggikan dan dimuliakan, sejak zaman dahulu sampai datangnya Nabi Ibrahim, yang kemudian membuat pondasi dan bangunannya bersama anaknya, Ismail.

Adapun riwayat yang menunjukkan bahwa sebelumnya Ka’bah telah dibangun, riwayat-riwayat tersebut hampir semuanya mauquf kepada para sahabat atau tabi’in, dan hanya diriwayatkan oleh pakar sejarah, seperti al Azraqiy, al Fakihaniy, dan sebagian ahli tafsir serta ahli hadits. Yang mereka itu tidak berpegang teguh dalam meriwayatkannya syarat-syarat keotentikannya. Ibnu Katsir, setelah memastikan bahwa orang pertama yang membangun Ka’bah adalah Ibrahim dan Ismail, maka dia berkata : “Tidak ada satupun riwayat yang sah dari al Ma’shum (Nabi) yang menjelaskan bahwa Ka’bah telah dibangun sebelum al Khalil (yaitu Ibrahim-Pen.)”.[7]

Adapun Syuhbah, setelah merajihkan pendapat Ibnu Katsir tersebut, dia berkata : Apa yang telah kami rajihkan dan telah kami ambil sebagai pendapat kami, tidaklah bertentangan dengan riwayat yang mengatakan bahwa tidak ada seorang nabi pun kecuali telah berhaji ke Baitullah (Ka’bah). Dan riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya dengan sanad kepada Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu, beliau berkata :

حَجَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَلَمَّا أَتَى وَادِيْ عَسْفَانَ قَالَ: يَا أَبَا بَكْرٍ أَيُّ وَادٍ هَذَا؟ قَالَ هَذَا وَادِيْ عُسْفَانَ قَالَ لَقَدْ مَرَّ بِهَذَا نُوْحٌ وَ هُوْدٌ وَ إِبْرَاهِيْمُ عَلَى بَكْرَاتِ لَهُمْ حُمْرٍ خُطُمُهُمْ اللِّيْفُ وَ أُزُرُهُمْ العَبَاء وَ أَرْدِيَتُهُمْ النِّمَارُ يَحُجُّوْنَ الْبَيْتَ الْعَتِيْقَ

Rasulullah telah berhaji. Ketika telah sampai di Wadi Asfan, beliau berkata : “Wahai, Abu Bakar. Wadi (lembah) apakah ini?” Abu Bakar menjawab,”Ini adalah Wadi Asfan,” kemudian beliau n berkata : “Sesungguhnya Nuh, Hud dan Ibrahim telah melewati wadi ini dengan mengendarai onta-onta merah mereka yang dikendalikan dengan tali kekang…… dan sarung-sarung mereka dari Aba’. Dan dengan selendang-selendang dari Nimar, mereka berhaji ke al Baitul-Atiq (Ka’bah)“.

Begitu juga dengan yang telah dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dengan sanadnya kepada Ibnu ‘Abbas yang berkata :

لَمَّا مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَادِي عُسْفَانَ حِينَ حَجَّ قَالَ يَا أَبَا بَكْرٍ أَيُّ وَادٍ هَذَا قَالَ وَادِي عُسْفَانَ قَالَ لَقَدْ مَرَّ بِهِ هُودٌ وَصَالِحٌ عَلَى بَكَرَاتٍ حُمْرٍ خُطُمُهَا اللِّيفُ أُزُرُهُمْ الْعَبَاءُ وَأَرْدِيَتُهُمْ النِّمَارُ يُلَبُّونَ يَحُجُّونَ الْبَيْتَ الْعَتِيقَ

Ketika Rasulullah melewati Wadi Asfan saat berhaji, beliau berkata : “Wahai, Abu Bakar. Wadi apakah ini?” Abu Bakar menjawab,”Ini adalah Wadi Asfan,” kemudian beliau n berkata : “Sesungguhnya Hud dan Shalih telah melewati wadi ini  dengan mengendarai onta-onta merah yang dikendalikan dengan tali kekang…… dan sarung-sarung mereka dari Aba’. Dan dengan selendang-selendang mereka dari Nimar, mereka bertalbiah dan berhaji ke al Baitul-Atiq (Ka’bah)“.

Maksudnya adalah berhaji ke tempatnya, karena disana, di tempat yang dituju belum ada bangunannya.[8]

Nabi Ibrahim dengan dibantu oleh Nabi Isma’il, beliau memulai pembangunan Ka’bah dengan membuat tinggi Ka’bah menjadi 9 hasta, dan lebarnya 32 hasta dari rukun Aswad sampai rukun Syami, yang di sisinya terdapat Hijr Ismail. Beliau melebarkan antara rukun Syami dengan rukun Gharbi (Barat) menjadi 22 hasta, dan antara rukun Gharbi dengan rukun Yamani menjadi 31 hasta, serta antara rukun Yamani dengan rukun Aswad menjadi 20 hasta.

Penulis kitab Tarikhul Ka’bah al Mu’azhamah, Syaikh Husain Abdullah Basalamah menjelaskan, Nabi Ibrahim membuat dua pintu untuk Ka’bah dengan ukuran yang sama. Satu dari arah timur dekat Hajar Aswad, dan yang lainnya dari arah barat dekat rukun Yamani. Beliau juga membuat lubang di dalam Ka’bah. Yaitu di sebelah kanan orang yang masuk dari pintu timur yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan harta Ka’bah. Kala itu, Ka’bah belum diberi atap.[9]

Baca Juga  Misi Kaum Muslimin Menaklukkan Tanah Palestina

5. Pembangunan oleh bangsa Amaliq dan Jurhum.
Sebagaimana hal ini telah dinukil oleh asy Syami dari riwayat Ibnu Abi Syaibah, Ishaq bin Rahuyah dalam Musnad-nya, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dan al Baihaqiy dalam ad Dala-il, dari Ali[10].

Imam as Suhailiy berkata,”Dikisahkan, pada zaman Jurhum, Ka’bah dibangun sekali atau dua kali karena banjir yang telah menghancurkan tembok Ka’bah. (Tetapi) ini bukan termasuk melakukan pembangunan, namun hanyalah perbaikan terhadap sesuatu yang diperlukan”.[11]

Ahli sejarah bersilang pendapat, di antara dua kabilah ini, manakah yang lebih dahulu membangun Ka’bah. Yang jelas, sejak zaman Ibrahim hingga Quraisy, Ka’bah dibangun dengan menggunakan tumpukan batu dan tanpa perekat tanah, atau yang lainnya.[12]

6. Pembangunan oleh Qushaiy bin Kilab.
As Samiy[13] berkata : “Dinukil oleh az Zubair bin Bakar dalam kitab an Nasab, dan ditegaskan oleh Abu Ishaq al Mawardiy dalam al Ahkam as Sulthaniyah[14] yang menyatakan, orang pertama yang merenovasi bangunan Ka’bah dari kalangan Quraisy setelah Nabi Ibrahim adalah Qushaiy bin Kilab”.

As Sakhawi mengatakan, Qushaiy mengumpulkan hartanya yang melimpah dan menghancurkan Ka’bah serta menambah tinggi Ka’bah menjadi 9 hasta dari yang telah dibangun pada zaman Nabi Ibrahim. Dia juga membuat atap Ka’bah dari kayu pohon ad-dum dan pelepah kurma, sehingga dialah orang pertama yang membuat atap Ka’bah, kemudian dibuka lagi hingga zaman Quraisy. [15]

7. Pembangunan oleh bangsa Quraisy.
Menurut ahli sejarah, pembangunan ini terjadi pada saat usia Rasulullah n menginjak 35 tahun. Nabi n ikut serta dalam pembangunan ini dengan mengangkat batu-batu di atas pundaknya. Ketika sampai pada peletakkan Hajar Aswad, kaum Quraisy berselisih, siapa yang akan menaruhnya. Perselisihan ini nyaris menimbulkan pertumpahan darah, akan tetapi dapat diselesaikan dengan kesepakatan menunjuk seorang pengadil hakim yang memutuskan. Pilihan tersebut, ternyata jatuh pada diri Muhammad. [16]

Keistimewaan bangunan Quraisy :

  1. Quraisy membangun Ka’bah sesuai dengan pondasi bangunan Nabi Ibrahim.
  2. Quraisy mengurangi lebar Ka’bah 6,5 (enam setengah) hasta dari arah Hijr Ismail, sebagaimana sekarang.
  3. Menambah ketinggian Ka’bah menjadi 18 hasta.
  4. Ka’bah dari sisi Hijr Ismail dijadikannya melingkar, sebagaimana pada pembangunan oleh Nabi Ibrahim.
  5. Quraisy membangun tembok pendek pada Hijr Ismail.
  6. Meninggikan letak pintu dari tanah dan memberikan daun pintu yang dapat dikunci.
  7. Menambah atap dan talang air (mizab) untuk mengatur pembuangan air dari atapnya dan dibuang ke arah Hijr Isma’il.
  8. Memasang enam tiang penyangga dalam dua barisan di dalam Ka’bah.
  9. Bahan yang dipakai untuk membangun tidak hanya susunan batuan saja, tetapi juga dengan menggunakan tanah sebagai perekat.
  10. Menghiasi atap dan tembok Ka’bah sebelah dalam, demikian pula dengan tiang-tiangnya. Mereka juga membuat gambar-gambar para nabi, malaikat dan pepohonan. Yang semua ini kemudian dihapus oleh Rasulullah n pada saat Fathu Makkah.[17]

8. Pembangunan oleh ‘Abdullah bin az Zubair, sebagaimana diriwayatkan oleh Syaikhani.[18]
Ketika Ibnu az Zubair berencana membangun Ka’bah yang hendak dikembalikan sesuai dengan asas dan bentuk sebagaimana yang telah dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Ismail -sebelum adanya perubahan dari kaum Quraisy- maka beliau menyampaikan rencana ini kepada kaum Muslimin, yang akhirnya disetujui. Kaum Muslimin pun segera memulai pembangunan. Pertama, mereka menghancurkan bangunan Ka’bah yang ada sampai rata dengan tanah, lalu mencari pondasi Ka’bah yang telah dibuat oleh Nabi Ibrahim. Setelah menemukan, maka segera menegakkan tiang-tiang di sekitarnya dan menutupnya. Kemudian, mulailah mereka membangun dan meninggikan bangunan Ka’bah secara bersama-sama, serta menambah tiga hasta yang telah dikurangi kaum Quraisy, menambah tinggi Ka’bah sepuluh hasta, lalu membuat dua pintu dari arah timur dan barat. Satu untuk masuk, dan yang lain untuk keluar. Hal itu sesuai dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Syaikhani, yang berbunyi:

يَا عَائِشَةَ لَوْلاَ أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيْثُوْ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ لأَمَرْتُ بِالْبَيتِ فَهُدِمَ فَأَدْخَلْتُ فِيْهِ مَا أَخْرَجَ مِنْهُ وَ أَلْزَقْتُهُ بِالأَرْضِ وَ جَعَلْتُ لَهُ بَابًا شَرْقِيًّا وَ بَابًا غَرْبِيًّا فَبَلَغْتُ بِهِ أَسَاسَ إِبْرَاهِيْمَ

Wahai, ‘Aisyah. Kalau bukan karena kaummu baru lepas dari kejahiliyahan, sungguh aku ingin memerintahkan mereka menghancurkan Ka’bah lalu membangunnya, dan aku masukkan ke dalamnya apa yang telah dikeluarkan darinya, dan aku buat pintunya menempel dengan tanah, serta aku buatkan pintu timur dan barat, dan aku sesuaikan dengan pondasi Ibrahim. (Muttafaun ‘alaih).[19]

Al Azraqiy[20] dan Ibnu Hajar[21] menjelaskan, bahwa Nabi Ibrahim membangun Ka’bah setinggi 9 hasta, panjang 32 hasta dan lebar 22 hasta tanpa atap. Sedangkan as Suhailiy menjelaskan, bahwa tinggi Ka’bah adalah 9 hasta dari zaman Ismail, lalu ketika kaum Quraisy -sebelum Islam menambah 9 hasta, sehingga menjadi 18 hasta. Mereka meninggikan pintunya dari tanah, sehingga untuk menaikinya harus menggunakan tangga. Ketika Ibnu az Zubair membangunnya, dia menambah 9 hasta, sehingga menjadi 27 hasta hingga sekarang.[22]

Demikian juga Ibnu al Zubair membuat dua pintu yang menempel ke tanah dari arah timur dan barat, untuk masuk dan keluar. Tinggi pintunya 11 hasta.[23]

Baca Juga  Langkah-Langkah Untuk Menang

9. Pembangunan al Hajaj bin Yusuf ats Tsaqafiy atas perintah Khalifah Abdul Malik bin Marwan al Umawiy.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim (2/972/H 1333/402), pembangunan ini dilakukan, karena adanya keraguan Abdul Malik terhadap pendengaran Abdullah bin az Zubair, berkaitan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Aisyah :

لَوْلاَ أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيْثُوْ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ –اَوْ قَالَ بِكُفْرٍ- لَهَدَمْتُهَا وَجَعَلْتُ لَهَا غَلَقًا وَ أَلْصَقْتُ بَابَهَا بِالأَرْضِ وَأَدْخَلْتُ فِيْهَا الْحِجْرُ

Kalau bukan karena kaummu baru lepas dari kejahiliyahan –atau, kekufuran- sungguh aku akan menghancurkan Ka’bah, membuatkan untuknya pintu dan aku tempelkan pintunya ke tanah, serta aku masukkan Hijr Ismail padanya.

Akan tetapi, kemudian al Harits bin ‘Abdullah bin Abi Rabi’ah menguatkan dan membenarkan pendengaran ‘Abdullah bin az Zubair di hadapan Abdul Malik, sehingga menyebabkan Abdul Malik menyesal telah menghancurkan Ka’bah yang telah dibangun kembali oleh ‘Abdullah bin az Zubair.

Juga diriwayatkan bahwa, Khalifah Harun ar Rasyid telah berencana untuk menghancurkan Ka’bah dan membangunnya kembali sebagaimana bangunan ‘Abdullah bin az Zubair, akan tetapi Imam Malik bin Anas berkata kepadanya: “Aku bersumpah, demi Allah, wahai Amirul Mukminin, janganlah engkau menjadikan Ka’bah ini sebagai permainan para raja setelah engkau, sehingga tidaklah seseorang dari mereka yang ingin merubahnya, kecuali dia pun akan merubahnya, dan kemudian hilanglah kewibawaan Ka’bah dari hati kaum Muslimin,” lalu Khalifah Harun ar Rasyid pun menggagalkan rencana tersebut, sehingga Ka’bah masih tetap seperti itu sampai sekarang ini.[24]

10. Pembangunan oleh Sultan Murad IV.
Syaikh Muhammad Thahir al Kurdi mengatakan, yang memotivasi pembangunan oleh Sultan Murad IV, yaitu adanya hujan deras yang turun pada pagi hari Rabu 19 Sya’ban 1039H di Mekkah dan sekitarnya, yang belum pernah terjadi sebelumnya, sehingga menyebabkan air masuk ke dalam Masjid al Haram hingga ketinggian 2 meter dari pegangan pintu Ka’bah. Kemudian, pada ‘Ashar keesokan harinya, yaitu hari Kamis, dua sisi tembok bagian asy Syami (sebelah utara) Ka’bah runtuh, dan tertarik juga tembok timur sampai pintu Al Syaami dan tidak sisa kecuali itu dan tiang pintunya. Dari tembok barat tersisa seperenamnya. Dari sisi yang tampak ini, hanya sekitar dua per tiganya saja, serta sebagian atap yang sejajar dengan tembok asy Syami (utara) ikut roboh.

Syaikh Abdullah Al Ghazi Al Hindi Al Makki t , seorang pakar sejarah, dia mengatakan dalam kitab tarikhnya, bahwa yang roboh dari sisi asy syami (utara) adalah yang dibangun oleh al Hajjaj ats Tsaqafi. Demikian juga, tangga ke atap Ka’bah ikut runtuh. Pernyataan ini sesuai benar dengan kenyataannya.

Kemudian Sultan Murad IV memerintahkan pembangunan Ka’bah dan dapat diselesaikan pada bulan Ramadhan 1040 H, sesuai dengan bentuk bangunan al Hajjaj ats Tsaqafi. Pembangunan Sultan Murad IV inilah yang terakhir, hingga sekarang ini.[25]

Demikian sejarah pembangunan Ka’bah yang disampaikan para ahli sejarah Islam. Mudah-mudahan dapat menambah pengetahuan dan pengagungan kita terhadap Baitullah, al Haram dan kiblat kaum Muslimin yang agung ini. Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun X/1427H/2006. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
______
Footnote
[1] Akhbaru Makkah, 1/ 2, dan lihat ss Suhailiy dalam Raudhul Unfi, 1/222-223, Ibnu Hajar dalam Fat-hul Bariy, 13/144 serta al Baihaqiy dalam ad Dala-il, 2/44.
[2] Ad Dala-il, 2/45 dan lihat Fat-hul Bariy, 13/144.
[3] As Sirah  asy Syamiyah, 1/171. Penulisnya berkata,”Telah meriwayatkannya Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir ath Thabariy  secara mauquf, dan al Azraqiy, Abu Syaikh dalam al Adzamah, dan Ibnu Asakir dari Ibnu Abbas.” Lihat pula Tafsir Ibnu Katsir, 1/259.
[4] Akhbaru Makkah, 1/8.
[5] As Sirah  asy Syamiyah, 1/172
[6] Raudhul-Unfi, 1/221.
[7] Bidayah wan-Nihayah, 1/178.
[8] As Sirah an-Nabawiyah fi Dhu’il-Qur’an was-Sunnah, 1/126.
[9] Makalah al Ka’bah al Musyarafah Awalul-Bait Wadhi’a lin-Nas, Majalah Haji, Edisi 9 dan 10 Tahun 55 Rabiul Awal dan Rabi’u Tsani 1422H, halaman 35.
[10] Subul-Huda wa Rasyad, 1/172.
[11] Raudhul-Unfi, 1/222.
[12] At Tarikhul-Qawim li Makkata wa Baitullah al Karim, Muhammad Thahir al Kurdi, Cetakan Pertama, 1420H, Darul-Khadir, Beirut, 3/18.
[13] Subul-Huda wa Rasyad, 1/192.
[14] Ibid, halaman 142.
[15] Dinukil dari makalah al Ka’bah al Musyarafah Awalul-Bait Wadhi’a lin-Nas, Majalah Haji, Edisi 9 dan 10 Tahun 55 Rabiul Awal dan Rabi’u Tsani 1422H, halaman 35 dan 36.
[16] Lihat Majalah As Sunnah, Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M, Rubrik Sirah.
[17] Dinukil dari At Tarikhul-Qawim li Makkata wa Baitullah al Karim, 3/40.
[18] Subul-Huda wa Rasyad, 1/192.
[19] As Sirah an-Nabawiyah fi Dhu’il-Mashadir, halaman 55.
[20] Tarikh Makkah 1/64
[21] Fat-hul Bari, … …
[22] Raudhul-Unfi, 1/221
[23] Lihat makalah al Ka’bah al Musyarafah Awalul-Bait Wadhi’a lin-Nas, halaman 37.
[24] As Sirah an-Nabawiyah fi Dhu’il-Mashadir, halaman 53.
[25] At Tarikhul-Qawim li Makkata wa Baitullah al Karim, 3/126-127.