Jihad Dalam Perspektif Hukum Islam
JIHAD DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Oleh
Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi
Jihad merupakan amal kebaikan yang disyari’atkan Allah. Ia menjadi sebab kokoh dan mulianya umat Islam. Sebaliknya, jika kaum Muslimin meninggalkan jihad di jalan Allah, maka mereka akan mendapatkan kehinaan. Dijelaskan dalam hadits yang shahih[1] :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Dari Ibnu Umar, beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Apabila kalian telah berjual-beli ‘inah, mengambil ekor sapi dan ridha dengan pertanian serta meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kalian kerendahan (kehinaan). Allah tidak mencabutnya dari kalian sampai kalian kembali kepada agama kalian” (HR Abu Dawud).
Ibnu Taimiyah menyatakan : “Tidak diragukan lagi, jihad dan melawan orang yang menyelisihi para rasul, dan mengarahkan pedang syari’at kepada mereka, serta melaksanakan kewajiban-kewajiban disebabkan pernyataan mereka, untuk menolong para nabi dan rasul dan untuk menjadi pelajaran berharga bagi yang mengambilnya, sehingga orang-orang yang menyimpang menjadi jera; yang demikian ini termasuk amalan paling utama yang Allah perintahkan kepada kita sebagai wujud ibadah mendekatkan diri kepadaNya”[2]
Namun, amal kebaikan ini harus memenuhi syarat ikhlas dan sesuai dengan syariat Islam. Karena keduanya meru[akan syarat diterimanya suatu amalan. Disamping itu juga, jihad bukanlah perkara mudah bagi jiwa. Sangat erat kaitannya dengan pertumpahan darah, jiwa dan harta, yang menjadi perkara agung dalam Islam, sebagaimana disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَ أَعْرَاضَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا إِلَى يَوْمِ تَلْقَوْنَ رَبَّكُمْ أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ قَالُوا نَعَمْ قَالَ اللَّهُمَّ اشْهَدْ فَلْيُبَلِّغْ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ فَلَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ
“Sesungguhnya, darah, kehormatan dan harta kalian, diharamkan atas kalian (saling menzhalimi), seperti kesucian hari ini, pada bulan ini dan di negeri kalian ini, sampai kalian menjumpai Rabb kalian. Ketahuilah, apakah aku telah menyampaikan?” Mereka menjawab,”Ya.” Maka beliaupun berkata: “Ya Allah, persaksikanlah. Maka, hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir, karena terkadang yang disampaikan lebih mengerti dari yang mendengar langsung. Janganlah kalian kembali kufur sepeninggalanku, sebagian kalian saling membunuh sebagaian lainnya“.(Muttafaqun ‘alaihi).[3]
Demikian agungnya perkara jihad ini, sehingga menuntut setiap Muslim untuk ikut berperan dalam menggapai cinta dan keridhaan Allah. Tentu saja, hal ini menuntut pelakunya untuk komitmen dengan ketentuan dan batasan syari’at, sesuai dengan hukum al Qur`an dan Sunnah Rasulullah, tanpa meninggalkan satu ketentuan pun, agar selamat dari sikap ekstrim, dan jihadnya menjadi jihad syar’i di atas jalan yang lurus, dan mendapatkan pahala yang besar di akhirat nanti. Hal itu, karena ia berjalan di atas cahaya Ilahi, petunjuk dan ilmu dari al Qur`an dan Sunnah NabiNya.[4]
Oleh karena itu, menjadi kewajiban bagi setiap Muslim, agar belajar mengenai konsep Islam tentang jihad secara benar, dan bertanya kepada para ulama pewaris Nabi tentang hal-hal yang belum ia ketahui. Telebih lagi dalam permasalahan yang sangat penting ini.
Jenis dan Tingkatan Jihad
Kata jihad, memiliki pengertian yang luas. Jihad dalam arti memerangi orang kafir, hanya merupakan salah satu dari bentuk dan jenis jihad, karena pengertian jihad lebih umum dan lebih luas dari hal tersebut.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan jenis jihad ditinjau dari obyeknya, memiliki empat martabat, yaitu: jihad memerangi nafsu, jihad memerangi setan, jihad memerangi orang kafir dan jihad memerangi orang munafik[5]. Dalam keterangan selanjutnya, Imam Ibnul Qayyim menambah dengan jihad melawan pelaku kezhaliman, bid’ah dan kemungkaran.[6]
Kemudian beliau rahimahullah menjelaskan tigabelas martabat bagi jenis jihad di atas dengan menyatakan, bahwa jihad memerangi nafsu memiliki empat tingkatan.
- Jihad memeranginya untuk belajar petunjuk Ilahi dan agama yang lurus, yang menjadi sumber keberuntungan dan kebahagian dalam kehidupan dunia dan akhiratnya. Barangsiapa yang kehilangan ilmu petunjuk ini, ia akan sengsara di dunia dan akhirat.
- Jihad memeranginya untuk mengamalkannya setelah mengetahuinya. Kalau tidak demikian, sekedar hanya mengilmuinya tanpa amal. Walaupun tidak merusaknya, namun tidak bermanfaat.
- Jihad memeranginya untuk berdakwah dan mengajarkan ilmu tersebut kepada yang tidak mengetahuinya. Kalau tidak demikian, ia termasuk orang yang menyembunyikan petunjuk dan penjelasan yang telah Allah turunkan. Dan ilmunya tersebut tidak bermanfaat, tidak menyelamatkannya dari adzab Allah.
- Jihad memeranginya untuk tabah menghadapi kesulitan dakwah, gangguan orang dan sabar menanggungnya karena Allah.
Apabila telah sempurna empat martabat ini, maka ia termasuk Rabbaniyun. Para salaf telah sepakat menyatakan, seorang ‘alim (ulama) tidak berhak disebut Rabbani sampai ia mengenal kebenaran, mengamalkan dan mengajarkannya. Sehingga hanya orang yang berilmu, beramal dan mengajarkannya sajalah yang dipanggil sebagai orang besar di alam langit.
Adapun jihad memerangi setan memiliki dua martabat.
- Memeranginya untuk menolak syubhat dan keraguan yang merusak iman, yang diarahkan setan kepada hamba.
- Memeranginya untuk menolak keingininan buruk dan syahwat, yang dilemparkan setan kepada hamba.
Jihad yang pertama dilakukan dengan yakin, dan jihad yang kedua dengan kesabaran. Allah berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِئَايَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami“. [as Sajdah/32 : 24].
Allah menjelaskan, bahwa kepemimpinan agama hanyalah didapatkan dengan kesabaran dan yakin. Dengan kesabaran, ia menolak syahwat dan keinginan rusak. Dan dengan yakin, ia menolak keraguan dan syubhat.
Sedangkan jihad memerangi orang kafir dan munafiqin, memiliki empat martabat, yaitu dengan hati, lisan, harta dan jiwa. Jihad memerangi orang kafir, lebih khusus dengan tangan. Dan jihad memerangi orang munafiq, lebih khusus dengan lisan.
Sedangkan jihad memerangi pelaku kezhaliman, bid’ah dan kemungkaran, memiliki tiga martabat. Pertama, dengan tangan bila mampu. Apabila tidak mampu, maka dengan lisan. Bila tidak mampu juga, maka dengan hati.
Inilah tiga belas martabat jihad. Barangsiapa yang meninggal dan belum berperang, dan tidak pernah membisikkan jiwanya untuk berperang, maka ia meninggal di atas satu cabang kemunafiqan.[7]
Dari penjelasan Imam Ibnul Qayyim di atas dapat diambil beberapa pelajaran:
Pertama, banyak kaum Muslimin memahami jihad hanya sekedar jihad memerangi orang kafir saja. Demikian ini adalah pemahaman parsial.
Kedua, sudah seharusnya seorang muslim memulai jihad fi sabilillah dengan jihad nafsi, dengan taat kepada Allah, memerangi jiwa dengan cara menuntut ilmu dan memahami agama (din) Islam, memahami al Qur`an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman para salafush shalih. Kemudian mengamalkan seluruh ilmu yang dimilikinya. Karena maksud dari ilmu adalah diamalkan. Setelah itu, memerangi jiwa dengan berdakwah mengajak manusia kepada ilmu dan amal, lalu bersabar dari semua gangguan dan rintangan ketika belajar, beramal dan berdakwah. Inilah jihad memerangi nafsu, yang merupakan jihad terbesar dan didahulukan dari selainnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan juga, jihad memerangi musuh Allah yang diluar (jiwa) adalah cabang dari jihad memerangi jiwa, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَالْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ
“Mujahid adalah, orang yang berjihad memerangi jiwanya dalam ketaatan Allah. Dan muhajir adalah, orang yang berhijrah dari larangan Allah“[8]
Maka jihad memerangi jiwa lebih didahulukan dari jihad memerangi musuh-musuh Allah yang di luar (jiwa) dan menjadi induknya. Karena orang yang belum berjihad (memerangi) jiwanya terlebih dahulu untuk melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan, serta belum memeranginya di jalan Allah, maka ia tidak dapat memerangi musuh yang diluar (itu). Bagaimana ia mampu berjihad memerangi musuhnya, padahal musuh yang berada di sampingnya berkuasa dan menjajahnya, serta belum ia berjihad dan memeranginya. Bahkan tidak mungkin ia dapat berangkat memerangi musuhnya, sebelum ia berjihad memerangi jiwanya untuk berangkat berjihad.[9]
Jihad memerangi nafsuhukumnya wajib atau fardhu ‘ain, tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Karena jihad ini berhubungan dengan pribadi setiap orang.[10]
Ketiga, para ulama menjelaskan, setan menggoda manusia melalui dua pintu, yaitu syahwat dan syubhat. Apabila seorang manusia lemah iman, dan sedikit ketaatannya kepada Allah, maka setan akan mendatanginya melalui pintu syahwat. Dan jika setan mendapati manusia sangat komitmen dengan agamanya dan kuat imannya, maka ia mendatanginya melalui pintu syubhat, keraguan dan menjerumuskannya kepada perbuatan bid’ah.[11]
Jihad melawan setan ini hukumnya fardhu ‘ain, juga dikarenakan berhubungan langsung dengan setiap pribadi manusia, sebagaimana firman Allah:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا
“Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu)“. [Faathir /: 6].
Keempat, jihad melawan orang kafir dan munafiqin dilakukan dengan hati, lisan, harta dan jiwa, sebagaimana disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Anas bin Malik :
جَاهِدُوا الْمُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ
“Perangilah kaum musyrikin dengan harta, jiwa dan lisan kalian“.[12]
Pengertian jihad melawan orang kafir dan munafiq dengan hati adalah, membenci mereka dan tidak memberikan loyalitas ataupun kecintaan, serta merasa gembira dengan kerendahan dan kehinaan mereka, dan sikap lainnya, yang disebutkan di dalam al Qur`an dan Sunnah yang berhubungan dengan hati.
Pengertian jihad dengan lisan adalah, menjelaskan kebenaran dan membantah kesesatan serta kebatilan-kebatilan mereka, dengan hujjah dan bukti kongkrit.
Sedangkan pengertian jihad dengan harta adalah, menafkahkan harta di jalan Allah dalam perkara jihad perang atau dakwah, serta menolong dan membantu kaum Muslimin.
Adapun jihad dengan jiwa, maksudnya adalah, memerangi mereka dengan tangan dan senjata sampai mereka masuk Islam atau kalah, sebagaimana firman Allah :
وَقٰتِلُوْهُمْ حَتّٰى لَا تَكُوْنَ فِتْنَةٌ وَّيَكُوْنَ الدِّيْنُ لِلّٰهِ ۗ فَاِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ اِلَّا عَلَى الظّٰلِمِيْنَ
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zhalim“. [al Baqarah/2 : 193].
Dan juga firman Allah :
قَاتِلُوا الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَلَا يُحَرِّمُوْنَ مَا حَرَّمَ اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ وَلَا يَدِيْنُوْنَ دِيْنَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حَتّٰى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَّدٍ وَّهُمْ صٰغِرُوْنَ ࣖ
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) pada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk“. [at Taubah/9:29].
Kaum kafir dan munafiqin diperangi dengan keempat jihad di atas. Namun, kaum kafir lebih khusus dihadapi dengan tangan, karena permusuhannya secara terang-terangan. Sedangkan munafiqin dengan lisan, karena permusuhannya tersembunyi dan keadaan mereka di bawah kekuasaan kamu Muslimin, sehingga diperangi dengan hujjah dan dibongkar keadaan mereka yang sebenarnya, serta dijelaskan sifat-sifat mereka, agar orang-orang mengetahui hal itu, dan berhati-hati dari mereka agar tidak terjerumus kepada kemunafikan tersebut.[13]
Kelima, beliau rahimahullah mengutarakan jihad memerangi pelaku kezaliman, pelaku bid’ah dan kemungkaran, dilakukan dengan tiga martabat, yaitu dengan tangan. Bila tidak mampu, maka dengan lisan. Dan bila tidak mampu juga, maka dengan hati. Hal ini didasarkan pada hadits Abu Sa’id al Khudri yang berbunyi:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang melihat dari kalian satu kemungkaran, maka hendaklah merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu, maka dengan lisannya. Lalu, bila tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemahnya iman“.(HR Muslim).
Setiap muslim dituntut berjihad menghadapi pelaku perbuatan zhalim, bid’ah dan mungkar sesuai dengan kemampuannya, dan dengan memperhatikan kaidah-kaidah amar ma’ruf nahi mungkar. Demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan di dalam hadits Ibnu Mas’ud yang berbunyi :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada seorang nabi yang Allah utus kepada suatu umat sebelumku, kecuali memiliki pembela-pembela (hawariyun) dari umatnya dan sahabat-sahabat yang mencontoh sunnahnya dan melaksanakan perintahnya. Kemudian datang generasi-generasi pengganti mereka yang berkata apa yang tidak mereka amalkan, dan mengamalkan yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang menghadapi mereka dengan tangannya, maka ia seorang mukmin. Dan barangsiapa yang menghadapi mereka dengan lisannya, maka ia seorang mukmin. Serta barangsiapa yang menghadapi mereka dengan hatinya, maka ia seorang mukmin, dan tidak ada setelah itu sekecil biji sawi dari iman“.[14]
Setiap muslim pasti mampu melakukan jihad jenis ini, yaitu dengan hatinya. Demikian itu dengan cara mengingkari dan membenci perbuatan bid’ah, kezhaliman dan kemungkaran dengan hatinya, dan berharap perbuatan-perbuatan tersebut hilang.
Maksud Tujuan Jihad[15]
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mewajibkan dan mensyariatkan sesuatu tanpa adanya maksud tujuan yang agung. Demikian juga, jihad disyariatkan untuk tujuan-tujuan tertentu yang telah dijelaskan para ulama dengan pernyataan mereka.
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, maksud tujuan jihad adalah meninggikan kalimat Allah dan menjadikan agama seluruhnya hanya untuk Allah.[16]
Beliau rahimahullah juga menyatakan, maksud tujuan jihad adalah, agar tidak ada yang disembah kecuali Allah, sehingga tidak ada seorangpun yang berdoa, shalat, sujud dan puasa untuk selain Allah. Tidak berumrah dan berhaji, kecuali ke rumahNya (Ka’bah), tidak disembelih sembelihan kecuali untukNya, dan tidak bernadzar dan bersumpah, kecuali denganNya.[17]
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di menyatakan, jihad ada dua jenis. Jihad dengan tujuan untuk kebaikan dan perbaikan kaum mukminin dalam aqidah, akhlak, adab (prilaku) dan seluruh perkara dunia dan akhirat mereka serta pendidikan mereka, baik ilmiah dan amaliah. Jenis ini adalah induk dan tonggaknya jihad, serta menjadi dasar bagi jihad yang kedua, yaitu jihad dengan maksud menolak orang yang menyerang Islam dan kaum Muslimin dari kalangan orang kafir, munafiqin, mulhid dan seluruh musuh agama dan menentang mereka.[18]
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz menyatakan, jihad terbagi menjadi dua, yaitu jihad ath tholab (menyerang) dan jihad ad daf’u (bertahan).[19]
Maksud tujuan keduanya adalah, menyampaikan agama Allah dan mengajak orang mengikutinya. Mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya Islam dan meninggikan agama Allah di muka bumi, serta menjadikan agama ini hanya untuk Allah semata, sebagaimana dijelaskan dalam al Qur`an surat Al Baqarah/2 ayat 193: Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zhalim.
وَقَاتِلُوْهُمْ حَتّٰى لَا تَكُوْنَ فِتْنَةٌ وَّيَكُوْنَ الدِّيْنُ كُلُّهٗ لِلّٰهِۚ
“Dan peranglah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah“. [Al Anfal/8 : 39].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ
“Aku diperintahkan memerangi manusia hingga bersaksi dengan syahadatain, menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Apabila mereka telah berbuat demikian, maka darah dan harta mereka telah terjaga dariku, kecuali dengan hak Islam. Dan hisab mereka diserahkan kepada Allah“. (Muttafaqun ‘alaihi).
Dari keterangan para ulama di atas jelaslah, bahwa maksud tujuan disyariatkannya jihad adalah, untuk menegakkan agama Islam di muka bumi ini, dan bukan untuk dendam pribadi, atau golongan, sehingga sangat dibutuhkan pengetahuan tentang konsep Islam dalam jihad, baik secara hukum, cara berjihad dan ketentuan harta rampasan perang, sebagai konsekwensi dari pelaksanaan jihad.
Demikian, mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu a’lam.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1] Diambil dari pernyataan Syaikh al Albani dalam as Salafiyun wa Qadhiyah Falestina fii Waaqi’inq al Mu’ashir, karya Muhammad Kaamil al Qadhdhaab dan Muhammad ‘Izuddin al Qassaam, ditakhrij dan diberi muqaddimah oleh Syaikh Abu Ubaidah Masyhur Hasan Salman, Cetakan Pertama, Tahun 1423H/2002M, Penerbit Markaz Baitul Maqdis lid Dirasaat at Tautsiqiyyah, hlm. 65.
[2] Dinukil dari makalah berjudul Dhawabith Jihaad fi as Sunnah an Nabawiyah, oleh Dr. Muhammad Umar Bazamul, hlm. 4, menukil dari kitab ar Radd ‘ala al Akhna-i, oleh Ibnu Taimiyah, hlm. 326-329.
[3] HR al Bukhari, kitab Ilmu, no. 67 dan Muslim, kitab al Qasaamah wal Muhaaribin wal Qishash, bab Taghlidz tahrim ad Dima’ wal Aghradh wal Amwal, no. 1679.
[4] Diringkas dari al Quthuf al Jiyaad min Hikam wa Ahkam al Jihad, karya Prof. Dr. Abdurrazaq bin Abdilmuhsin al ‘Abaad, Cetakan Pertama, Tahun 1425 H, Dar al Mughni, hlm. 4.
[5] Zaadul Ma’ad fi Khairal ‘Ibaad, Ibnul Qayyim, tahqiq Syu’aib al Arnauth dan Abdulqadir al Arnauth, Cetakan Ketiga, Tahun 1421H, Muassasat ar Risalah, Bairut (3/9)
[6] Ibid (3/10).
[7] Ini merupakan ungkapan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan Imam Muslim, kitab al Imaarah, no. 1910. Lihat Zaadul Ma’ad (3/9-10)
[8] HR Ahmad dalam Musnad (6/21) dan dikatakan pentahqiq Zaadul Ma’ad, bahwa sanadnya baik dan dishahihkan Ibnu Hibban, al Hakim dan adz Dzahabi
[9] Ibid (3/6).
[10] Al Quthuf al Jiyaad, hlm. 15.
[11] Lihat lebih lanjut tulisan Ustadz Muslim dalam rubrik Tazkiyatun Nufus, Majalah As Sunnah, Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M, hlm. 55-60.
[12] HR Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab al Jihad, Bab Karahiyah Tarku al Ghazwi, no.2504.
[13] Diringkas dari al Quthuf al Jiyaad, hlm. 12-13.
[14] HR Muslim dalam Shahih-nya, kitab al Iman, no. 71.
[15] Diambil dari al Quthuf al Jiyaad, hlm. 18-20 secara bebas.
[16] Lihat Majmu’ Fatawa (15/170).
[17] Ibid (35/368)
[18] Wujub at Ta’awun Baina al Muslimin, merupakan bagian dari al Majmu’ah al Kaamilah (5/186)
[19] Majmu’ Fatawa wa Maqaalat Mutanawi’ah (18/70).
- Home
- /
- A9. Fiqih Ibadah9 Jihad...
- /
- Jihad Dalam Perspektif Hukum...