Menyikapi Umat Islam yang Tertindas

MENYIKAPI UMAT ISLAM YANG TERTINDAS

Oleh
Ustadz Aunur Rofiq Ghufron

Kita telah menyaksikan, sebagian negara yang penduduknya mayoritas umat Islam telah dijajah oleh kaum kuffar, negara dan penduduknya berantakan, disana-sini dibantai oleh orang Yahudi dan Nasrani. Begitulah yang terjadi di Negeri Palestina. Sudah puluhan tahun mereka dijajah oleh bangsa Yahudi laknatullahu ‘alaihi. Negara Afganistan, Bosnia, Irak dan negara timur lainnya, yang sebelumnya menjadi hidangan orang Sovyet, lalu dilanjutkan oleh orang Amerika.

Peristiwa yang sama, sebelumnya juga melanda kaum Muslimin di Philipina dan sebagian pulau di Indonesia. Musibah beruntun yang menyedihkan ini, tidak lain karena ulah umat Islam sendiri, yang tidak mau berpegang teguh dengan dinul Islam yang kokoh, sebagaimana Allah telah menerangkan dalam surat Hud/11 : 117 dan Al Isra.17 : 16.

وَمَاكَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ

Dan Rabb-mu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zhalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan“.[Hud/11 : 117]

وَإِذَآ أَرَدْنَآ أَن نُّهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (suatu mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya“. [Al Isra/17 : 16].

Melihat situasai yang seperti ini, sebagian kelompok yang menamakan dirinya mujahid versi baru, memunculkan gagasan baru untuk melampiaskan apa yang menjadi keinginannya dengan membuat berbagai doktrin dan melakukan berbagai macam tindakan, diantaranya:

  1. Jihad yang berarti perang melawan orang kafir pada zaman sekarang hukumnya fardlu ‘ain untuk seluruh dunia, tidak perlu izin orang tua ataupun Amirul Mukminin.
  2. Mereka menilai, negara-negara di dunia pada zaman sekarang ini masih merupakan daulah kuffar, belum ada Daulah Islamiyah; karena itu, wajib berperang untuk menegakkan Daulah Islamiyah.
  3. Mengkafirkan pemimpin secara mutlak yang tidak menerapkan hukum Islam, dan mengajak umat harus keluar dari pemimpin yang zhalim.
  4. Menghina dan melecehkan para ulama salaf yang tidak ikut melancarkan peperangan seperti yang mereka kehendaki. Mereka menyebut ulama Salaf dengan julukan ulama duduk, ulama haid dan nifas, dan tukang buruh pemerintah thaghut. Naudzu billahi min dzalik.
  5. Melihat saudaranya yang dibantai, mereka meluapkan kemarahan dengan melakukan peledakan, merusak kantor dan bangunan milik orang kafir, membakar gereja; bahkan semboyan yang mereka gaungkan, bahwa “membunuh orang Amerika adalah tanda keimanan dan tauhid”. Mereka juga melakukan berbagai unjuk rasa di kantor dubes dan lainnya.
  6. Mengangkat imam sementara yang dianggap mampu menyelesaikan sengketa umat untuk menjadi khalifah pada masa depan.
  7. Menjauhkan umat dari pemahaman Salaf, karena ulama Salaf tidak mendukung keinginan mereka.
  8. Mereka meremehkan da’wah tauhid ; mereka pusatkan tauhid hakimiyah, mengajak umat untuk mendirikan Daulah Islamiyah.

Itulah impian mereka, yang jika kita amati, pemikiran tersebut tidak lepas dari fikrah Khawarij, sebagaimana yang disimpulkan oleh Syaikh Shalih Fauzan; bahwa prinsip Khawarij ada tiga.

  1. Mengkafirkan orang Islam.
  2. Tidak taat kepada waliyul ‘amri.
  3. Menghalalkan darah kaum muslimin.

Oleh karena itu, siapapun yang mempunyai keyakinan seperti ini dinamakan Khawarij, walaupun ia tidak mengatakan dan tidak mengamalkan[1].

Mereka ingin mendorong kaum Muslimin agar tidak taat kepada waliyul amri. Mereka membuat opini-opini terlebih dahulu, bahwa negara yang sedang mereka tempati adalah negara kafir dengan membuat definisi yang seakan ilmiah, meskipun dengan mencatut perkataan para ulama secara sepenggal-sepenggal.

Dalam menyikapi keberadaan ummat Islam yang tertindas, ulama Salaf memiliki penyikapan yang berbeda dengan fikrah mereka. Ulama Salaf tetap melancarkan jihad, namun sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan di dalam Al Qur`an dan Sunnah, serta sesuai dengan pemahaman Salaful Ummah. Antara lain:

Pertama : Bagi yang Diserang Oleh Musuh, Maka Hukum Jihad Bagi Mereka Menjadi Fardhu ‘Ain.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, “Jika musuh hendak menyerang kaum Muslimin, maka wajib atas seluruh kaum Muslimin yang menjadi target serangan untuk melawan. Dan wajib atas kaum Muslimin lainnya untuk menolong kaum Muslimin yang diserang.”[2].

Jadi, ketika daerah kaum Muslimin diserang, maka hukum jihad bagi penduduk yang diserang menjadi fardhu ‘ain, kecuali orang yang memiliki udzur. Dan termasuk jihad yang fardhu ‘ain pula, jika seseorang atau suatu kaum diperintahkan oleh Amirul Mukminin, sebagaimana disebutkan dalam surat At Taubah ayat 38 dan hadist Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:

وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا

Jika kamu diperintah keluar untuk jihad, maka keluarlah untuk berjihad“. (HR Bukhari, no. 2848, bersumber dari Ibn Abbas Radhiyallahu ‘anhu).

Dalil di atas menunjukkan, bahwa jihad melawan orang kafir bukan fardlu ‘ain, kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu. Penyusun kitab Al Mughni menyebutkan, bahwasanya jihad menjadi fardlu ‘ain dalam tiga keadaan, yaitu:

  1. Ketika dua pasukan sedang bertempur, maka diharamkan bagi orang yang sedang berada dalam medan tempur untuk melarikan diri.
  2. Ketika musuh menyerang suatu negara.
  3. Ketika diperintahkan oleh imam.

Ini juga sebagai bantahan kepada mujahid hizbi yang mengatakan bahwa jihad pada zaman sekarang adalah fardhu ‘ain untuk semua negara, dan kaum muslimin tidak perlu izin orang tua, suami ataupun waliyul ‘amri sebagaimana pendapat Dr. Abdullah Azzam dalam bukunya yang berjudul Untukmu Umat Islam, diterjemahkan oleh Abu Ayyob Al Anshori, hlm. 36-40. Untuk bantahannya, silahkan membaca Majalah Al Furqon, Edisi 9 Th IV, hlm. 12-16.

Pendapat serupa juga terdapat dalam buku Komando Al Qaidah Atas Perang Salib yang disembunyikan alamat penerbitnya, yang isinya, secara garis besar menjelaskan adanya prinsip yang menghalalkan darah semua orang kafir dengan semboyannya “membunuh orang Amerika adalah inti keamanan dan tauhid”. Untuk bantahannya, silahkan membaca Majalah Al Furqon edisi yang sama, hlm. 18-19.

Kedua : Sikap Umat Islam yang Tinggal Di Negeri yang Aman.
Mengenai umat Islam yang tinggal di negeri yang aman ketika melihat umat Islam di negara lain dibantai oleh musuh, hendaknya memperhatikan beberapa perkara di bawah ini:

a. Berjihad (dalam arti perang) melawan orang kafir di negeri kaum muslimin lainnya bisa dilakukan, bila terpenuhi syaratnya. Karena termasuk hukumnya fardhu kifayah.
Bagi yang berperang harus memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya: Mendapat izin dari waliyul ‘amr, orang tua dan memiliki fisik yang kuat.

Dalil yang menunjukkan harus ada izin dari waliyul ‘amr, ialah sebagaimana tercantum di dalam Surat At Taubah ayat 28-29 dan hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari di atas.

Sedangkan dalil yang menunjukkan harus mendapatkan izin orang tua, yaitu riwayat dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia minta izin untuk ikut berjihad. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya :

أَحَيٌّ وَالِدَاكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ

Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Dia menjawab,”Ya (masih hidup),” lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,”Berjihadlah (dengan berbuat baik) Kepada keduanya“.(HR Ibn Hibban dalam Shahih-nya).

Menuurt Ibnu Quddamah : “Jihad harus ada izin dari orang tua, karena berbuat baik kepada kedua orang tua hukumnya fardhu ‘ain, sedangkan jihad harbi (thalab) hukumnya fardhu kifayah. Dan fardhhu ‘ain harus didahulukan daripada fardhu kifayah”.[3]

Adapun persyaratan harus kuat, Syaikh Shalih Fauzan berkata: ”Di antara syarat berjihad, hendaknya orang Islam memiliki kekuatan mampu melawan orang kafir, mereka benar-benar kuat dan mempunyai fasilitas yang siap untuk menyerang. Jika mempunyai fasilitas, tetapi tidak mempunyai kekuatan, maka tidak wajib. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat berada di Mekkah sebelum hijrah, tidak disyariatkan berjihad dengan pedang, karena mereka belum mampu”.[4].

b. Umat Islam wajib membantu saudaranya dengan segala macam bantuan.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, jika musuh hendak menyerang kaum muslimin, maka wajib atas seluruh kaum muslimin yang menjadi target serangan untuk melawan dan wajib atas kaum muslimin lainnya untuk menolong kaum muslimin yang diserang, sebagaimana firman Allah Subhanhu wa Ta’ala :

Baca Juga  Pengertian Fi Sabîlillâh

وَإِنِ اسْتَنصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا عَلَىٰ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُم مِّيثَاقٌ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka“. [Al Anfal/8 : 72].

Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar menolong kaum muslimin. Kewajiban ini disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.[5]

Ketika terjadi penyerangan Sovyet atas Afghanistan, Mufti Kerajaan Saudi Arabia Ibn Baz rahimahullah menyatakan : Jihad bagi orang Afganistan adalah jihad yang disyariatkan untuk melawan kaum kuffar, maka saudaranya yang sedang bertempur melawan musuh wajib dibantu dan ditolong dengan berbagai macam pertolongan. Adapun bagi saudara kita di Afganistan, hukumnya fardhu ‘ain untuk membela agamanya, saudaranya dan negerinya. Adapun selain (yang berada) di Afghanistan hukumnya fardhu kifayah, sebagaimana disebutkan di dalam surat At Taubah ayat 140, Al Maidah ayat 35.[6]

Fatwa ini membantah tuduhan mujahid hizbi yang menghina ulama Salaf, bahwa seolah ulama Salaf diam tidak berbuat apa-apa ketika saudaranya dibantai oleh musuh-musuh Allah. Ketauhilah, ulama Salaf tidak takut mati, akan tetapi takut bila berjihad menyelisihi Sunnah NabiNya. Karena jihad termasuk ibadah, maka harus berdasarkan dalil. Ini berbeda dengan mujahid hizbi yang membolehkan jihad dengan segala macam cara, yang akhirnya fatal pula akibatnya dan merugikan kaum muslimin sendiri.

Salah satu bentuk bantuan yang bisa diberikan oleh seluruh kaum muslimin adalah mendo’akan kaum muslimin agar diberikan kemenangan dan ketabahan dalam berjihad. Sebagaimana dicontohkan oleh para ulama, yang mendo’akan para mujahidin.

c. Umat Islam dilarang membunuh orang kafir yang mendapat jaminan keamanan.
Sekalipun umat Islam tertindas di negeri orang kafir, tetapi umat Islam di negara lain tidak boleh balas dendam kepada orang kafir yang tinggal di negerinya, sebab bisa jadi akan membangkitkan dendam orang kafir kepada orang Islam minoritas di negeri lain. Abdullah bin Amr Radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

Barangsiapa yang membunuh orang yang telah mengadakan perjanjian damai, tidaklah dia mencium bau Surga, dan sesungguhnya baunya akan dijumpai selama perjalanan empat puluh tahun“. (HR Bukhari, 2930)

Dari Amr bin Abasah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda:

مَنْ كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قَوْمٍ عَهْدٌ فَلَا يَشُدُّ عُقْدَةً وَلَا يَحُلُّهَا حَتَّى يَنْقَضِيَ أَمَدُهَا أَوْ يَنْبِذَ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ فَرَجَعَ مُعَاوِيَةُ

Barangsiapa mengadakan perjanjian dengan suatu kaum, maka tidak boleh mengikat perjanjiannya sehingga tidak boleh lepas, dan tidak boleh melepaskannya sehingga usai masanya, atau sama-sama melepaskannya“. (HR Abu Dawud, 2378. Lihat Ash Shahih, oleh Al Albani, 6480)

Sebaliknya, orang Islam diperbolehkan berbuat baik dan berbuat adil kepada orang kafir dalam suatu negeri, yang mereka tidak memusuhi Islam dan pemeluknya, berdasarkan firman Allah Subahnahu wa Ta’ala :

لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ اِنَّمَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ قَاتَلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَاَخْرَجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوْا عَلٰٓى اِخْرَاجِكُمْ اَنْ تَوَلَّوْهُمْۚ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ

Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orangorang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang- orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim“. [Mumtahanah/60 : 8-9]

Mufti Kerajaan Saudi Arabia Ibn Baz berkata: “Dilarang membunuh orang kafir yang dijamin aman tinggal di negerinya yang aman. Demikian juga dilarang membunuh wisatawan dan tamu negara yang tinggal di Negara Islam”.[7]

Adapun tentang alasan bolehnya melanggar perjanjian dengan orang musyrik, sebagaimana kisah Abu Bashir Radhiyallahu ‘anhu yang menyerang kafilah(rombongan orang) orang musyrik, hal ini dijelaskan oleh Ibnul Qayyim Al Jauzi, bahwa perjanjian yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang musyrik, tidaklah sama dengan peristiwa Abi Bashir dan kawan kawannya bersama mereka. Maksudnya, bila terdapat perjanjian antara sebagian kerajaan kaum muslimin dan sebagian kafir dzimmi dari orang Nasrani, boleh untuk kerajaan kaum muslimin yang lain menyerang mereka dan merampas hartanya, jika antara mereka tidak ada perjanjian.[8]

d. Dilarang menggunakan bom bunuh diri untuk membantai musuh.
Membunuh orang kafir dengan mengorbankan dirinya karena akan membunuh jumlah yang banyak dari orang kafir, hukumnya haram.

Syaikh Ibn Baz ditanya : Bagaimana hukum orang yang mengorbankan dirinya bertujuan untuk membunuh kelompok orang Yahudi?

Beliau (Syaikh) menjawab : Sudah saya jelaskan berulang kali, bahwa perbuatan ini dilarang, karena temasuk bunuh diri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :  وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ (dan janganlah kamu membunuh dirimu) An Nisa/4: 29.

Tsabit bin Adh Dhahaq Radhiyallahu ‘anhu berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ فِي الدُّنْيَا عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Dan barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu di dunia ini, maka dia akan disiksa besok pada hari Kiamat“. (HR Muslim, 5587)

Kaum Muslimin hendaknya berusaha menasihati mereka. Dan bila disyariatkan jihad, hendaknya berjihad bersama pemimpin kaum Muslimin. Jika terbunuh -Alhamdulillah-. Adapun membunuh diri dengan alasan akan (dapat) membunuh orang kafir dengan jumlah yang banyak; demikian ini adalah salah, hukumnya haram. Demikian juga orang yang menikam dirinya, hukumnya adalah haram.[9]

Ketiga : Umat Islam Dilarang Menganiaya Masyarakat Dengan Alasan Karena Mereka Berbuat Maksiat.
Ingkar mungkar tidak harus merusak anggota badan atau harta benda, apalagi mereka beragama Islam, karena negeri yang di dalamnya dikumandangkan adzan termasuk Daulah Islamiyah, wajib dilindungi jiwa, harta dan kehormatannya. Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ إِذَا غَزَا قَوْمًا لَمْ يُغِرْ حَتَّى يُصْبِحَ فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا أَمْسَكَ وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْ أَذَانًا أَغَارَ بَعْدَ مَا يُصْبِحُ

Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila akan menyerang suatu kaum, tidaklah Beliau menyerang sehingga datang waktu Subuh. Jika Beliau mendengar adzan, maka Beliau menahan diri. Dan jika tidak mendengar adzan, maka Beliau mulai menyerang setelah waktu Subuh“. (HR Bukhari, 27250)

Imam Nawawi berkata: ”Hadist ini menunjukkan bahwa adzan, menahan serangan kaum muslimin kepada penduduk negeri tersebut. Karena adzan menjadi bukti, bahwa negeri itu adalah negeri Islam”.[10]

Al Imam Al Qurthubi berkata: ”Adzan adalah tanda yang membedakan antara Darul Islam dan darul kufur”.[11].

Fatwa ulama Salaf ini membantah hizbiyyin yang menghalalkan darah kaum Muslimin dengan alasan karena mereka berbuat maksiat dan pemimpinnya tidak berhukum dengan hukum Islam. Lihat sikap Imam Ahmad ketika dipenjara oleh pemimpin yang zhalim, karena dipaksa harus mengatakan Al Qur’an itu makhluk. Imam Ahmad bersabar, tidak menyerah dan tidak mengajak umat keluar dari jamaah.

Adapun untuk menghadapi bermacam kemungkaran yang melanda suatu negeri, baik berupa kemusyrikan, bid’an dan kezhaliman, maka Ibnul Qayyim berkata: ”Adapun jihad melawan bermacam bentuk kezhaliman, bid’ah dan kemungkaran, ada tiga cara. Dengan kekuatan bila mampu. Jika tidak mampu, berpindah dengan lisan. Jika tidak mampu, maka jihad dengan hatinya”[12].

Yang dikatakan Ibnul Qayyim ini berdasarkan hadits, bahwa Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu ‘anhu mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

Baca Juga  Konsekwensi Jihad Perang

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

Barangsiapa melihat kemungkaran, hendaklah merubah dengan tangannya. Maka jika tidak mampu, hendaknya merubah dengan lisannya. Dan jika tidak mampu, hendaknya merubah dengan hatinya. Yang demikian itu selemah-lemahnya iman“. (HR Muslim, 70)

Ketahuilah, bahwa mengingkari kemungkaran, hukumnya wajib bagi setiap orang Islam sesuai kemampuannya masing-masing. Bagi yang memiliki kekusaan dan kekuatan atau pihak yang bertanggung jawab, hendaknya merubah dengan kekuasaannya. Bagi yang memiliki ilmu dinul Islam yang cukup, hendaknya merubah dengan lisannya berupa nasihat. Bagi setiap muslim yang tidak memiliki dua perkara di atas, wajib mengingkari dengan hati, membenci dan berharap agar kemungkaran tersebut segera lenyap.[13]

Dalil hadits dan keterangan ulama Salaf ini telah dilanggar oleh mujahid yang hanya mengandalkan emosi dan jalan pikirannya saja, sehingga apa yang diperkirakan dapat menyelesaikan perkara, tetapi sebaliknya, justru menambah kemungkaran musuh. Apa yang dilancarkan oleh Usamah bin Laden dan kawan-kawannya, tidaklah membuat musuh Allah menjadi takut, tetapi sebaliknya, bahkan menambah kehancuran sebagian besar kaum muslimin.

Mufti Kerajaan Saudi Arabia Ibn Baz berkata: Orang yang berbuat maksiat tidak boleh dibunuh, dan mereka tidak boleh pula diserang; tetapi harus dikembalikan kepada hukum Islam, karena kita wajib menghukumi dengan syariat Islam. Tetapi, jika tidak ada hakim yang menghukumi mereka dengan syariat Islam, maka mereka cukup dinasihati. Dan dinasihati juga waliyul ’amri, tentunya dengan cara yang baik. Hendaknya mereka diarahkan kepada kebaikan dan saling tolong-menolong, sehingga mereka berhukum dengan syariat Allah. Adapun orang yang memerintah dan melarang, lalu memukul atau membunuh pelaku maksiat (itu) tidak boleh, tetapi hendaknya bekerjasama dengan pihak yang berwajib dengan cara yang lembut.[14]

Fatwa ini membantah mujahid yang hanya bermodal berani, sehingga merajam orang yang zina, membantai orang yang berjudi, membakar rumah pemabuk, merusak gereja dan bangunan lainnya, yang akhirnya pemerintah harus mengganti kerugiannya.

Keempat : Umat Islam Dilarang Menggulingkan Pemimpin Islam, Walau Pemimpin Itu Belum Menerapkan Hukum Islam.
Diantara syubhat mujahid hizbi yang terpendam di dalam hatinya, mereka memiliki prinsip ”bila negara tidak ditegakkan syariat Islam, dia adalah negara kafir, wajib diperangi”. Dengan prinsip inilah mereka berupaya menggulingkan pemimpin dan mengajak rakyat agar keluar dari barisan mereka sampai berdirinya Khilafah Islamiyah. Mereka membunuh pejabat dan menculiknya. Aksi demontrasi, kudeta, peledakan-peledakan, pembajakan pesawat, orasi mengungkapkan kezaliman pemimpin lewat mimbar-mimbar dan media massa mereka gencarkan sampai tujuan dapat tercapai. Perbuatan demikian ini semua, hukumnya haram.[15].

Adapun cara menghadapi pemimpin yang zhalim, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyuruh utusanNya, yaitu Nabi Musa Alaihissallam agar mendatangi Fir’aun dan menasihati dengan lemah lembut. Lihat surat An Naziat ayat 17-18 dan Thaha ayat 44. Jika Fir’aun sebagai kampiun manusia yang berbuat kemusyrikan hingga menyatakan dirinya sebagai tuhan dinasihati dengan lembut, tentunya pemimpin yang beriman lebih berhak untuk dinasihati dengan cara yang lemah lembut pula.

Iyadh bin Ghanim berkata,”Wahai, Hisyam bin Hakam! Sungguh kami telah mendengar apa yang kamu dengar, dan kami melihat apa yang kamu lihat. Bukankah kamu mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,’Barangsiapa ingin menasihati pemimpin dalam suatu perkara, janganlah membongkar kesalahannya., Hendaknya mendatangi dan menasihatinya dengan baik. Jika diterima, itulah manfaatnya. Jika tidak, dia telah menunaikan kewajibannya’.” (HR Imam Ahmad, 1/403 dan As Sunnah oleh Ibn Abi Ashim, 2/521)

Prinsip ini harus kita pegang, karena bila pemimpin difitnah, maka bahayanya lebih besar daripada maslahahnya, baik dari sisi keamanan, ekonomi, kenyamanan ibadah dan kelancaran dakwah.

Adapun istilah ”Daulah Islamiyah”, bahwa tegaknya Daulah Islamiyah tidaklah harus berbentuk Khilafah Islamiyah, kendati sebaiknya meski demikian. Dan alhamdulillah, para ulama sunnah, walaupun mereka hidup tanpa khilafah, dakwah mereka tetap berjalan dan bermanfaat bagi umat.

Ad Dasuqi berkata,”Sesungguhnya negeri Islam tidaklah berubah menjadi negara kafir (darul harbi) karena penguasaan dipimpin oleh orang kafir, tetapi hingga putus penegakan syi’ar-syi’ar Islam di dalamnya.”[16].

Al Kasani berkata,”Tidak ada khilaf di antara para sahabat kami (mazhab Hanafi), bahwasanya darul kufur berubah menjadi Darul Islam dengan nampaknya hukum Islam padanya. Mereka berselisih dengan sebab apa (sehingga) Darul Islam berubah menjadi darul kufur? Abu Hanifah berkata, Darul Islam tidak berubah menjadi darul kufur, kecuali dengan tiga syarat :

  1. Dominannya hukum-hukum kafir padanya.
  2. Bersambungnya dengan darul kufur.
  3. Di dalam negeri tersebut tidak tersisa seorang muslim, dan seorang dzimmi yang merasa aman dengan jaminan keamanan dari kaum Muslimin. Abu Yusus dan Muhamad berkata, Darul Islam berubah menjadi darul kufur disebabkan karena dominannya hukum-hukum kufur padanya.[17]

Kelima. Umat Islam Hendaknya Berjihad (dalam arti luas) Melawan Musuh.
Ketauhilah, bahwa yang dinamakan musuh bukan hanya orang kafir : Hawa nafsu, setan, orang munafik, orang kafir, orang musyrik, ahli bid’ah dan orang maksiat pun musuh bagi mujahid. Karena itu para ulama –misalnya- Ibnul Qayyim Al Jauzi membagi jihad ada empat macam. (yaitu):

  1. Jihad melawan hawa nafsu, dan ini hukumnya fardhu ’ain. Maka harus dilawan dengan menuntut ilmu din (agama), beramal, berdakwah dan bersabar, sebagaimana disebutkan di dalam surat Al Ashr.
  2. Jihad melawan setan. Ketauhilah, setan menyerang manusia dengan dua cara. Jika seseorang itu malas beribadah dan sedikit ilmu din, dia diserang dengan digalakkan syahwatnya senang kepada maksiat. Tetapi jika orang tersebut ahli ibadah, maka dimasukilah ia dengan perbuatan syubhat, agar merasa kurang puas dengan hanya mengikuti sunnah, sehingga mereka harus menambah tata cara ibadah. Adapun cara jihad melawan setan ini, yaitu dengan kesabaran ketika bangkit syahwatnya, dan dengan meyakini cukupnya dalil sunnah bila ingin menambahinya, sebagaimana Allah menjelaskan, bahwa kemenangan diperoleh dengan dua cara; yakin dan sabar. Lihat surat Al Anbiya` ayat 73.
  3. Jihad melawan orang kafir dan orang munafik, sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Demikian beberapa pemikiran salafiyin berkaitan dengan problematika yang menimpa kaum Muslimin. Hendaklah kita mengambil pelajaran dari setiap peristiwa, kemudian menjadikannya sebagai bekal dalam berdakwah mengajak manusia kepada kalimat thayyibah, la ilaha illallah. Kalimat inilah yang didakwahkan oleh para rasul, sejak Nabi Nuh Alaihissallam hingga Rasul terakhir, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun IX/1426H/2005M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
______
Footnote
[1] Lihat Al Ijabah Al Muhimmah Fil Masyakilil Mulimmah, Shalih Fauzan Ali Fauzan, hlm. 9.
[2] Lihat Majmu’ Fatawa, XIV/464
[3] Lihat Al Mughni (9/170).
[4] Lihat kitab Al Fatawa Asy Syar’iah Fil Qadhaya Al Ashriyah, hlm. 162
[5] Lihat Majmu’ Fatawa, XIV/464.
[6] Lihat Majmu’ Fatawa Maqalat Mutanawi’ah Ibn Baz, 5/151.
[7] Lihat kitab Kaifa Nualiju Waqiana Al Alim, hlm. 182-183.
[8] Lihat Zadul Ma’ad (3/309).
[9] Lihat kitab Al Fatawa Ashriyah Fi Qadhaya Ashriyah, hlm. 166.
[10] Lihat Syarah Shahih Muslim, 4/84.
[11] Lihat Tafsir Al Qurthubi (6/225)
[12] Lihad Zadul Ma’ad (3/11).
[13] Lihat Zadul Ma’ad (3/11)
[14] Lihat kitab Kaifa Nualiju Waqiana Al Alim, hlm. 182
[15] Silahkan membaca kitab Al Fatawa Syar’iyah Fil Qadhaya Al Ashriyah, Al Ajwibah Al Muhimmah Fil Masyakilil Mulimmah, kitab Kaifa Nualiju Waqina Al Alim, dan kitab-kitab manhaj dakwah lainnya.
[16] Lihat Hasiyah Dasuqi (2/188)
[17] Lihat Badai’ Shani’ (7/130).

  1. Home
  2. /
  3. A9. Fiqih Ibadah9 Jihad...
  4. /
  5. Menyikapi Umat Islam yang...