Larangan Berkata Seandainya

LARANGAN BERKATA “SEABDAINYA….”

Oleh
Ustadz Abu Haidar as Sundawi

Salah satu di antara sekian banyak penyimpangan yang dilakukan oleh lisan adalah mengatakan “seandainya” yang digunakan untuk menggugat taqdir atau syariat, atau untuk mengungkapkan kerugian (rasa sial) dan penyesalan terhadap apa yang sudah terjadi. Allah Azza wa Jalla berfirman :

يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ مَّا قُتِلْنَا هَاهُنَا

Mereka (orang-orang munafik) berkata: “Seandainya kita memiliki (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini”… [Ali Imran/3 : 154].

Ungkapan orang-orang munafik dalam firman Allah ini, adalah ungkapan “seandainya”, yang bermaksud untuk menggugat syari’at.

Asbabun nuzul ayat ini adalah, peristiwa yang diceritakan oleh ‘Abdullah bin Zubair pada waktu perang Uhud, dia berkata : Zubair mengatakan : “Aku melihat diriku bersama-sama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika kami ditimpa rasa takut yang amat sangat, lalu Allah memberi rasa ngantuk kepada kami. Tak ada seorangpun di antara kami, kecuali merasakan ketakutan ini pada hati mereka,” Zubair berkata lagi : “Lalu, demi Allah, aku mendengar ucapan Muattib bin Qusyair. Aku tidak mendengarnya, kecuali seperti mimpi. Muattib mengatakan,’Seandainya kita memiliki hak campur tangan dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan terbunuh disini’.”

Aku menghafalkan ucapan ini, lalu Allah menurunkan ayat ”Mereka berkata ‘ seandainya kita memiliki hak campur tangan dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan terbunuh disini”. Lalu Allah menjawab :

قُل لَّوْ كُنتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَىٰ مَضَاجِعِهِمْ

Katakan (wahai Muhammad) : “Seandainya kalian berada di rumah-rumah kalian, maka pasti akan keluarlah orang-orang yang telah ditetapkan mati untuk menuju ke tempat kematian mereka”.

Jadi kematian ini adalah taqdir yang sudah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla, sebagai ketetapan yang pasti dan tidak bisa dihindari.[1]

Perkataan mereka yang menyatakan “seandainya kita memiliki hak campur tangan dalam urusan ini …,” dan seterusnya, merupakan ungkapan yang bersifat gugatan terhadap syariat. Karenanya, mereka mencela Rasulullah n ketika beliau n menetapkan harus keluar dari Madinah untuk menyongsong musuh di bukit Uhud tanpa persetujuan mereka. Mungkin juga, ini termasuk gugatan terhadap taqdir. Maksud perkataan mereka “seandainya kami memiliki strategi dan pendapat yang bagus, maka kita tidak akan keluar dan tidak akan terbunuh”[2]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala pada ayat yang lain :

الَّذِينَ قَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا

Orang-orang yang berkata kepada saudara-saudara mereka, dan mereka tidak ikut berperang : “Seandainya mereka megikutii kita, maka mereka tidak akan terbunuh”. [Ali Imran/3 : 168].

Imam Ibnu Katsir, ketika menjelaskan ayat ini menyatakan, bahwa maksud perkataan mereka adalah, seandainya mereka (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya) mendengar pendapat kami agar tetap tinggal dan tidak keluar dari Madinah, maka mereka tidak akan terbunuh bersama orang-orang yang sudah gugur. Maka Allah menjawab :

قُلْ فَادْرَءُوا عَنْ أَنفُسِكُمُ الْمَوْتَ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ

Katakanlah olehmu : “Tolaklah kematian dari diri-diri kalian bila kalian orang-orang yang benar”. [Ali Imran/3 : 168].

Maksudnya, apabila dengan tetap tinggal di tempat bisa menyelamatkan seseorang dari kematian, maka pasti kalian tidak akan mati. Padahal, kematian pasti datang kepada kalian, sekalipun kalian berada di balik peti besi yang kuat. Maka hindarilah kematian dari diri kalian, kalau kalian orang-orang yang benar.

Kata Mujahid, dari Jabir bin ‘Abdullah, ayat ini turun tentang ‘Abdullah bin Ubay dan dedengkotnya. Artinya, dialah yang menyatakan perkataan ini.[3]

Syaikhul Islam mengatakan ketika menerangkan tentang apa yang terjadi pada diri ‘Abdullah bin Ubay, bahwa ketika ia menyendiri pada waktu perang Uhud, ia berkata : “Dia (Muhammad) meninggalkan pendapatku dan mengambil pendapat anak-anak?” Lalu bergabunglah sekelompok besar orang-orang. Mereka belum menjadi munafik sebelum itu.[4]

Perkataan ini diucapkan pada waktu perang Uhud, yaitu ketika ‘Abdullah bin Ubay mengundurkan diri di tengah jalan dengan membawa sepertiga dari jumlah pasukan yang sedang menuju Uhud. Ketika sejumlah 70 orang kaum Muslimin gugur sebagai syahid pada perang itu, maka orang-orang munafik mengritik ketetapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengatakan : “Seandainya mereka mengikuti kita dan kembali pulang sebagaimana kita, maka mereka tidak akan terbunuh. Maka ketetapan kita lebih baik daripada ketetapan Muhammad”. Perkataan ini haram, bahkan bisa saja sampai kepada tingkat kekufuran[5]. Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ كَفَرُوا وَقَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ إِذَا ضَرَبُوا فِي الْأَرْضِ أَوْ كَانُوا غُزًّى لَّوْ كَانُوا عِندَنَا مَا مَاتُوا وَمَا قُتِلُوا

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menyerupai orang-orang kafir dan berkata kepada saudara-saudara mereka apabila mereka bepergian di muka bumi atau mereka pergi berperang : “Seandainya mereka bersama-sama kami, maka mereka tidak akan mati dan tak akan terbunuh”. [Ali Imran/3 : 156].

Ini adalah bentuk gugatan terhadap taqdir.

Jadi, mengatakan “seandainya” dengan maksud untuk menggugat taqdir atau menggugat syariat adalah terlarang. Demikian juga mengatakan “seandainya” untuk mengungkapkan penyesalan dan kerugian tentang apa yang sudah terjadi, termasuk hal yang diharamkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَّرَ اللَّهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

Bila kamu ditimpa suatu musibah, maka janganlah kamu mengatakan “seandainya tadi aku melakukan ini dan ini, maka pasti akan terjadi begini-begini,” akan tetapi katakanlah : “Ini adalah taqdir Allah dan apa saja yang Dia kehendaki, pasti Dia laksanakan.” Karena perkataan “seandainya” bisa membuka amalan setan.[6]

Contohnya, apabila ada seseorang yang berminat membeli sesuatu yang dikiranya akan memperoleh keuntungan, tetapi ternyata rugi, lalu dia mengatakan : “Seandainya saya tidak membelinya, maka pasti saya tidak akan rugi”. Ini adalah ungkapan penyesalan dan keluhan yang banyak dilakukan manusia. Yang demikian ini terlarang.

Yang dimaksud musibah dalam hadits ini adalah, segala hal yang tidak diinginkan dan tidak disukai, serta apa yang bisa menghalangi tercapainya tujuan dari usaha yang sedang dilakukannya. Siapapun yang cita-citanya tidak sesuai dengan apa yang telah Allah taqdirkan, sehingga tidak memperoleh apa yang diinginkannya, maka dia tidak akan terlepas dari dua keadaan :

  1. Dia akan mengatakan : “Seandainya tadi saya tidak melakukan ini, maka tidak akan terjadi begini”, atau,
  2. Dia akan mengatakan : “Seandainya saya tadi melakkukan ini, pasti akan terjadi begini”.

Contoh yang pertama adalah perkataan : “Seandainya saya tidak bepergian, maka keuntungan tidak akan hilang”.

Baca Juga  Pelaku Dosa Besar Tidak Dikafirkan

Contoh yang kedua adalah perkataan : “Seandainya saya pergi, pasti saya akan untung”.

Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan contoh yang kedua dan bukan yang pertama, karena orang ini beramal dan dia mengatakan : “Seandainya saya melakukan seperti pekerjaan si Fulan dan bukan perkerjaan yang saya lakukan ini, maka pasti akan tercapailah keinginan saya”. Ini berbeda dengan orang yang tidak melakukan, maka sikapnya akan pesimis.

Orang yang ditimpa musibah harus mengatakan : “Ini adalah taqdir Allah, dan apa saja yang Dia kehendaki, pasti Dia laksanakan,” maksudnya adalah, bahwa yang terjadi ini merupakan taqdir Allah dan bukan tanggung jawab saya. Adapun tanggung jawab saya, maka saya telah berusaha melakukan apa yang saya lihat bermanfaat, yaitu sebagaimana yang diperintahkan kepada saya. Dan ini adalah sikap taslim (pasrah) yang sempurna kepada ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena manusia, apabila telah melakukan apa yang diperintahkan sesuai dengan syariat, maka dia tidak boleh dicela dan urusannya diserahkan kepada Allah.

Sedangkan yang dimaksud dengan “amalan setan” dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut di atas adalah, apa yang dia bisikkan ke dalam hati manusia berupa penyesalan dan kesedihan, karena setan amat menyukai hal itu. Allah berfirman :

إِنَّمَا النَّجْوَىٰ مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَيْسَ بِضَارِّهِمْ شَيْئًا إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ

Sesungguhnya bisik-bisik itu hanyalah dari setan untuk membuat sedih orang-orang yang beriman, dan dia tidak akan membahayakan sedikitpun, kecuali dengan izin Allah. [al Mujadilah/58 : 10].

Sehingga, dalam tidurpun setan senang memperlihatkan mimpi-mimpi menakutkan untuk mengeruhkan kejernihan pikiran manusia dan mengganggu pikirannya. Dalam keadaan seperti itu, manusia tidak akan bisa melaksanakan ibadah sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, kita mengetahui, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita shalat, jika konsentrasi pikiran kita terganggu. Di antaranya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak ada shalat dengan kehadiran makanan dan dalam keadaan dia sedang menahan dua desakan”.[7]

Bila seseorang ridha menjadikan Allah sebagai Tuhannya, sehingga segala yang terjadi ia terima sebagai ketetapan Allah dan taqdirNya, maka hatinya akan tenang, dan lapanglah dadanya.[8]

Dilarangnya ucapan “seandainya”, karena di dalamnya tersirat ada penyesalan terhadap apa yang luput dari genggaman, dan menyiratkan celaan terhadap taqdir yang bisa memupus sikap sabar dan ridha. Padahal sabar adalah wajib, dan iman kepada taqdir adalah fardhu. Allah berfirman :

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ لِّكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

Tidak ada musibah yang terjadi di muka bumi atau yang menimpa diri-diri kalian kecuali sudah tertulis di dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah. Agar kalian tidak putus asa dari apa yang tidak kalian dapatkan dan tidak bangga dengan apa yang Allah berikan kepada kalian. Dan Allah tidak mencintai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri. [al Hadid/57 : 22-23].

Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Kedudukan sabar dalam iman adalah, seperti kedudukan kepala dalam jasad”[9]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, sesungguhnya manusia tidak diperintah untuk melihat kepada taqdir manakala (ia) diperintah untuk mengerjakan suatu amalan. Akan tetapi, dia diperintahkan untuk menyadari taqdir ketika dia mengalami musibah yang tidak bisa dicegah. Oleh karenanya, apabila ditimpa musibah yang disebabkan perbuatan manusia atau bukan karena perbuatan mereka, maka bersabarlah menerima hal itu, dan relalah serta pasrahlah. Allah berfirman :

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ

Tidak ada musibah yang menimpa kecuali terjadi atas izin Allah, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, maka Allah akan memberi petunjuk ke dalam hatinya. [at Taghabun/64 : 11].

Oleh karena itu Adam mengatakan kepada Musa :

أَتَلُومُنِي عَلَى أَمْرٍ قَدَّرَهُ اللَّهُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَنِي بِأَرْبَعِينَ سَنَةً

Apakah engkau akan mencelaku atas perkara yang telah ditaqdirkan Allah untukku 40 tahun sebelum aku diciptakan? [10]

Adam berhujjah kepada Musa karena Musa berkata kepadanya : “Mengapa engkau keluarkan kami dan dirimu dari Surga?”

Musa mencela Adam atas musibah yang dialami karena sebab perbuatannya, bukan karena dosanya. Adapun celaan itu karena sebab dosanya – seperti yang banyak diduga oleh sebagian orang – maka hadits itu tidak bermaksud demikian, karena Adam Alaihissallam telah bertobat dari dosanya dan orang yang bertaubat dari dosanya bagaikan orang yang tak berdosa, sehingga tidak boleh mencela orang yang sudah bertaubat berdasarkan kesepakatan ulama.[11]

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, sesungguhnya ini termasuk beralasan dengan taqdir karena musibahnya, dan bukan karena dosanya. Sehingga Musa tidak berhujjah kepada Adam atas kemaksiatan yang menjadi penyebab keluarnya dari surga, tapi (Musa) berhujjah atas keluarnya itu sendiri. Maknanya adalah, perbuatanmu itu menjadi penyebab keluarnya kita dari Surga. Sebab Musa Alaihissallam sangat tidak mungkin mencela bapaknya yang telah bertaubat atas dosanya tersebut, dan telah dipilih serta telah diberi petunjuk Allah Azza wa Jalla. Penjelasan ini sesuai dengan maksud hadits.

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah memberi penjelasan lain ketika menerangkan hadits ini, yaitu bahwa Adam berhujjah dengan taqdir setelah peristiwa itu berlalu dan setelah taubat dari perbuatannya. Tidak seperti orang-orang yang berhujjah atas kemaksiatan agar bisa terus-menerus melakukannya. Orang-orang musyrik berkata :

لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آبَاؤُنَا

Seandainya Allah menghendaki, maka kami tidak akan berbuat musyrik dan juga bapak-bapak kami –al An’am/6 ayat 148- maka Allah mendustakan perkataan tersebut, karena mereka tidak berhujjah atas sesuatu yang sudah terjadi, kemudian mereka mengatakan “kami bertaubat kepada Allah”, tetapi mereka berhujjah untuk tetap berada dalam kesyirikan. Sehingga mengatakan “seandainya” untuk beralasan dengan taqdir agar bisa tetap berbuat maksiat, maka perkataan seperti ini adalah batil. Demikian juga ucapan orang-orang musyrik

وَقَالُوا لَوْ شَاءَ الرَّحْمَٰنُ مَا عَبَدْنَاهُم

Seandainya Allah Yang Maha Rahman menghendaki maka kami tidak akan menyembah berhala -QS az Zukhruf/43 ayat 20- maka perkataan ini adalah batil.

Hadits inipun menjelaskan, setan mempunyai pengaruh pada diri manusia berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya : “karena perkataan seandainya itu bisa membuka amalan setan”. Dalam hadits lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنْ الْإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ

Sesungguhnya setan menjalar pada diri manusia laksana aliran darah.[12]

Baca Juga  Orang Beriman Akan Melihat Ar-Rahman

Sebagian ulama mengatakan, hadits ini bermakna perasaan was-was yang ditiupkan setan ke dalam hati manusia, menjalar bagaikan aliran di pembuluh darah.

Zhahir teks hadits ini menunjukkan, setan itu sendirilah yang menjalar dalam tubuh manusia bagai aliran darah. Bagi Allah Azza wa Jalla yang memiliki kekuasaan, maka hal ini tidak mustahil, sebagaimana ruh, juga menjalar pada aliran darah, yaitu jasad. Apabila ruh itu dicabut, maka dia akan dikafani dan diberi balsem serta diangkat ke langit oleh malaikat.

Perkataan “Sandainya” yang Diperbolehkan
Tidak semua perkataan “seandainya” itu dilarang. Ada beberapa perkataan “seandainya” dalam konteks tertentu yang dibolehkan. Misalnya, mengatakan “seandainya” dalam mengungkapkan harapan. Hukum boleh atau tidaknya, tergantung jenis harapannya. Apabila harapannya baik, maka boleh. Sebaliknya, apabila harapannya jelek, maka hal itu terlarang.

Dalam suatu hadits shahih, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kisah empat orang, yang salah satu di antara mereka mengatakan :

“Seandainya aku mempunyai harta, maka pasti aku akan beramal seperti amalan si Fulan (yang beramal shalih dengan hartanya)”. Ini adalah harapan kebaikan.

Orang kedua mengatakan : “Seandainya aku memiliki harta, pasti aku akan beramal sebagaimana amalan si Fulan (yang beramal jelek dengan hartanya)”. Ini adalah harapan kejelekan.

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentang orang yang pertama : “Dia memperoleh pahala berdasarkan niatnya, dan pahala keduanya sama”. Adapun tentang orang yang kedua, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Dia mendapat dosa berdasarkan niatnya, dan dosa keduanya sama”[13]

Boleh juga menggunakan kata “seandainya” sekedar untuk mengabarkan sesuatu. Contohnya, seseorang mengatakan “seandainya saya menghadiri pelajaran, maka pasti saya akan mengambil faidah dari pelajaran itu”. Di antara dalilnya adalah, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَوْ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ مَا سُقْتُ الْهَدْيَ وَلَحَلَلْتُ مَعَ النَّاسِ حِينَ حَلُّوا

Seandainya aku tahu sebelum ihramku apa yang aku tahu sesudahnya, maka aku tidak akan membawa binatang kurban dan aku akan bertahallul bersama kalian.[14]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan, seandainya beliau mengetahui bahwa hal tersebut akan terjadi di kalangan sahabat, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan membawa binatang qurban dan pasti akan bertahalul. Sebagian ulama mengatakan, bahwa ini termasuk angan-angan, seakan-akan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan “sayang sekali, seandainya aku mengetahui urusan yang sebelumnya tidak tahu, sehingga aku tidak membawa binatang qurban,” akan tetapi, yang nampak adalah, beliau mengabarkan tentang apa yang dilihatnya dari para sahabat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangan-angankan sesuatu yang berseberangan dengan taqdir Allah.[15]

Tentang perkataan “seandainya” yang dimaksudkan untuk mengabarkan, maka hal ini harus dirinci. Kalau kabar yang diberitakan itu benar sesuai dengan kenyataan, maka tidak mengapa. Tetapi, bila maksud perkataan ini bersandar kepada apa yang menjadi penyebab, maka dalam hal ini ada tiga keadaan :

  1. Bila sebabnya samar yang tidak punya pengaruh apa-apa, seperti mengatakan “bila bukan karena Wali Fulan, maka tidak akan terjadi begini”. Perkataan seperti ini adalah syirik akbar (syirik besar), karena dengan ucapannya ini, dia meyakini bahwa wali Fulan memiliki kemampuan untuk berbuat di alam ini, padahal ia sudah mati.
  2. Disandarkan kepada sebab yang benar, ditetapkan berdasarkan syar’i atau empiris. Demikian ini hukumnya boleh, dengan syarat tidak meyakini bahwa sebab itulah yang berpengaruh langsung, dan tidak melupakan penyebab utamanya, yaitu Allah. Dalilnya adalah ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pamannya (Abu Thalib), beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Seandainya bukan karena aku, maka dia (Abu Thalib) pasti berada di kerak neraka[16].

Tidak diragukan, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling jauh dari kesyirikan, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling bersih tauhidnya kepada Allah Azza wa Jalla, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyandarkan sesuatu kepada sebab, tetapi ini sesuai dengan syari’at secara hakiki, karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diizinkan memberi syafa’at kepada pamannya untuk diringankan siksanya, sehingga di neraka nanti, pamannya mendapat siksaan yang paling ringan. Abu Thalid diberi dua sandal yang membuat otaknya mendidih.

  1. Disandarkan kepada sebab yang nyata, akan tetapi tidak jelas keterkaitan sebabnya, baik secara empiris ataupun secara syar’i. Ini termasuk syirik kecil.

Contohnya, kalung yang dianggap jimat, dan dikatakan jika kalung dimaksud bisa mencegah pengaruh mata jahat (a’in) dan yang sejenisnya. Penetapan yang demikian, yaitu adanya sebab yang tidak ditetapkan oleh Allah sebagai sebab bagi hal tersebut, maka dia menganggap serikat bagi Allah dalam menetapkan sebab.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Fathul Majid, 551-552
[2] Al Qaulul Mufid (2/364).
[3] Tafsir Ibnu Katsir (2/139).
[4] Majmu Fatawa (7/280).
[5] Al Qaulul Mufid (2/361).
[6] Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab az Zuhud, Bab Serorang mukmin semua urusannya baik (4/2295), dari Shuhaib bin Sinan Radhiyallahu anhu.
[7] Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab al Masajid (1/393).
[8] Al Qaulul Mufid (2/370-372).
[9] Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Iman, nomor 130, dan Al Lalikai dalam Syarah Ushulil I’tiqad, no. 1569.
[10] Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Sahih-nya, no 3409,5705,5752,6472,5715; Muslim dalam Shahih-nya, no. 2652, dari Abu Harairah Radhiyallahu ‘anhu.
[11] Fathul Majid, 556.
[12] Dikeluarkan oleh Bukhari dalam kitab I’tikaf, Bab seorang isteri mengunjungi suaminya ketika i’tikaf (2/68); Muslim dalam kitab Salam (4/1712) dari Shafiyah binti Hayyi Radhiyallahu ‘anha.
[13] Dikeluarkan oleh Ahmad (3/230-231); Tirmidzi dalam kitab az Zuhud, Bab Niat (2/1413), dari Abu Kabsyah ‘Amr bin Sa’d al Anmari Radhiyallahu ‘anhu.
[14] Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Kitab Haji, Bab orang yang haid harus mengqadha seluruh manasik kecuali thawaf (1/506); Muslim, Kitab Haji, Bab penjelasan cara-cara ihram (2/885), dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu
[15] Al Qaulul Mufid (2/362-363)
[16] Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Kitab Manaqib Anshar, Bab kisah Abu Thalib (3/62); Muslim dalam Kitab Iman, Bab Syafaat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Thalib (1/194) dari ‘Abbas bin Abdul Muthalib Radhiyallahu ‘anhu.

  1. Home
  2. /
  3. A3. Aqidah Makna dan...
  4. /
  5. Larangan Berkata Seandainya