Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu Teraniaya(2)

ABU HURAIRAH RADHIYALLAHU ANHU TERANIAYA(2)

Oleh
Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi

6. Mereka menyatakan.
Karena seringnya ia meriwayatkan hadits, Ummul Mukminin ‘A’isyah dan para sahabat yang utama menuduhnya sebagai berbicara tak keruan (mazzah), berbohong (kadzdzab) dan lain-lain. Umar mengancam akan memukul dan mengasingkannya apabila ia meriwayatkan mengucapkan sebuah hadits di zaman Umar. Ummul Mukminin ‘Aisyah mengatakan bahwa ia tidak pernah mendengar Rasul bercerita seperti yang disampaikan Abu Hurairah. ‘Ali menamakannya pembohong umat. Demikian juga tokoh-tokoh yang terdahulu.[1]

Mereka juga menyatakan.
Hadits-hadits yang disampaikan Abu Hurairah, menurut Abu Muhammad bin Hazm berjumlah 5.374 buah. Bila dibandingkan dengan seluruh hadits yang disampaikan oleh keempat Khulafa’ur- Rasyidin, jumlah ini sangat banyak. Abu Bakar, misalnya, menyampaikan 142 hadits (yang dimasukkan dalam Bukhari, 22), ‘Umar 537 hadits (yang dianggap shahih, 50), ‘Utsman 146 (Bukhari memasukkan 9 hadits, Muslim 5), dan ‘Ali 586 hadits (yang diangap shahih, 50); semuanya hanya 1.411 hadits dan itu berarti cuma 21 % dari jumlah hadits yang disampaikan Abu Hurairah seorang diri. Dan jumlah ini hampir sama dengan jumlah ayatayat Al Qur’an.

Sebagai perbandingan, maka seluruh hadits yang disampaikan Abu Bakar selama 20 tahun pergaulannya dengan Rasul, hanya diperoleh Abu Hurairah dalam 16,7 hari duduk di Shuffah setelah ia menganut Islam, ‘Umar dalam 63,1 hari, ‘Utsman dalam 17,1 hari, ‘Ali dalam 68,9 hari, Thalhah bin ‘Ubaidilah dalam 4,4 hari, Salman al-Farisi dalam 7 hari. Zubair bin al Awaam dalam 1,1 hari, ‘Abdul Rahman bin ‘Auf dalam 1 hari. Dan seluruh haditsnya baru diucapkannya hampir 30 tahun sesudah Rasul Allah SAW wafat, sebagaimana pengakuannya, karena sekembalinya dari Bahrain dia tidak diperkenankan mengobral haditsnya.[2]

Tanggapan:
Apakah benar para sahabat utama menuduh Abu Hurairah berdusta sebagaimana anggapan di atas. Sungguh, semua itu tidak benar. Sebab para sahabat besar seperti Abu Bakar, ‘Umar dan lain-lainnya memberikan pengakuan dan menerima hadits Abu Hurairah[3]. Sedangkan riwayat mereka tentang tuduhan Abu Hurairah telah berdusta berasal dari riwayat Al Nadzam atau Bisyr Al Mirrisi atau Abu Ja’far Al Iskafi yang merupakan musuh besar, penentang Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Adapun yang dinisbatkan kepada ‘Umar bahwa beliau mengancam akan memukul dan mengasingkan Abu Hurairah apabila ia meriwayatkan hadits, ini diambil dari kitab lbnu ‘Asakir, bahwa Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu : “Engkau akan sungguh-sungguh tidak meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau aku pulangkan anda ke negeri Daus?” Dan kitab Ibnu ‘Asakir termasuk yang banyak memuat hadits-hadits dhaif (lemah), bahkan maudhu’ (palsu). Jika benar pernyataan tersebut, dapat difahami, bahwa kekhawatiran Umar Radhiyallahu ‘anhu itu ialah terhadap hadits-hadits yang terkadang dibuat oleh orang (yang diletakkan) bukan pada tempatnya, disebabkan mereka banyak membicarakan hadits-hadits yang mengandung masalah rukhsah (keringanan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), juga karena (dikhawatirkan) jika seseorang memperbanyak meriwayatkan hadits memungkinkannya terjadi kesalahan atau kekeliruan, lalu orang-orang meriwayatkannya atau yang semisalnya.[4]

Namun, tampaknya zhahir kisah ini menunjukkan, bila hadits ini merupakan kepalsuan yang dilakukan oleh Rafidhah yang ingin menampakkan kesan kebencian Umar Radhiyallahu ‘anhu kepada hadits-hadits Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian pernyataan Umar Radhiyallahu ‘anhu sendiri menjadi bukti yang menunjukkan adanya kontradiksi isi kandungannya. Artinya, ancaman Umar Radhiyallahu ‘anhu kepada Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dengan mengasingkannya ke negeri Daus tanah airnya tidaklah perlu, sebab pengasingan itu tidak tepat. Juga, periwayatan hadits-hadits tidak membutuhkan nasihat Umar Radhiyallahu ‘anhu, jika dimaksudkan untuk menjaga hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Bila yang diriwayatkan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu itu tidak shahih, tidak benar pula Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menghindari daerah Daus, sebuah negeri yang juga dapat melindunginya? Jika haditshadits Abu Hunairah Radhiyallahu ‘anhu itu tidak shahih menurut pandangan Umar Radhiyallahu ‘anhu, niscaya ia akan secepatnya memotong lisan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dan tidak perlu mengasingkannya ke negeri kaumnya atau ke daerah lainnya.[5]

Terdapat juga kisah ‘Umar menerima persaksian dan riwayat Abu Hurairah. Diantaranya kisah yang diriwayatkan Imam Al Bukhari rahimahullah dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :

لَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْوَشْمِ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ فَقُمْتُ فَقُلْتُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَنَا سَمِعْتُ قَالَ مَا سَمِعْتَ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تَشِمْنَ وَلَا تَسْتَوْشِمْنَ

Umar mendatangi seorang wanita yang bertato, lalu ia berdiri seraya berkata,”Bersumpahlah kalian dengan nama Allah. Siapakah diantara kalian yang mendengar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tato?” Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata: Akupun bangkit dan berdiri, seraya berkata,”Saya mendengarnya, wahai Amirul Mukminin.” Umar Radhiyallahu ‘anhu bertanya, ”Bagaimana yang engkau dengar?” Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menjawab, ”Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Janganlah kalian bertato dan meminta untuk ditato.”[6]

Ini semua merupakan bantahan langsung dari perbuatan ‘Umar atas berita bohong yang dinisbatkan kepadanya.

Demikian juga kisah ‘Aisyah yang disebutkan dalam tuduhan mereka di atas adalah pernyataan beliau.

أَلَا يُعْجِبُكَ أَبُو هُرَيْرَةَ جَاءَ فَجَلَسَ إِلَى جَانِبِ حُجْرَتِي يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْمِعُنِي ذَلِكَ وَكُنْتُ أُسَبِّحُ فَقَامَ قَبْلَ أَنْ أَقْضِيَ سُبْحَتِي وَلَوْ أَدْرَكْتُهُ لَرَدَدْتُ عَلَيْهِ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَكُنْ يَسْرُدُ الْحَدِيثَ مِثْلَ سَرْدِكُمْ

Tidakkah Abu Hurairah membuatmu heran (wahai Urwah), ia datang lalu duduk di samping kamarku menyampaikan hadits dari Rasulullah,memperdengarkannya kepadaku dan aku sedang shalat sunnah, lalu ia pergi sebelum aku menyelesaikan shalat sunnahku. Seandainya aku mendapatinya, tentu aku akan membantahnya. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyampaikan hadits seperti yang kalian sampaikan.[7]

Inilah sebab pengingkarannya, Aisyah Radhiyallahu ‘anha tidak melemahkannya dan tidak juga menuduhnya sebagai pendusta sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian penuduhnya. Sekalipun demikian, ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha tetap mengakui, bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu meninggalkan tempat sebelum ia selesai dari shalatnya. Padahal waktu shalat bukanlah waktu yang lama.

Adapun pernyataannya “Seandainya aku mendapatinya, tentu aku akan membantahnya,” yakni niscaya aku akan menegurnya dan menjelaskan, bahwa pelan dalam menyampaikan hadits itu lebih baik daripada memaparkannya secara cepat[8]. Perkataan Aisyah Radhiyallahu ‘anha “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyampaikan hadits seperti yang kalian sampaikan,” yaitu menyampaikan hadits dengan pelan dan tersusun rapi, berurutan (menyelesaikan yang satu, kemudian baru yang lainnya), agar tidak bercampur bagi yang mendengarnya.

Dalam pernyataan ‘Aisyah tersebut, tidak ada yang menunjukkan bila ia menolak hadits Abu Hurairah atau menuduhnya telah berdusta atas nama Nabi, atau membuat-buat hadits palsu. Bahkan ‘Aisyah menerima dan membenarkan periwayatan Abu Hurairah sebagaimana dalam hadits Khabab yang bertanya kepada Ibnu Umar:

يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ أَلَا تَسْمَعُ مَا يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ خَرَجَ مَعَ جَنَازَةٍ مِنْ بَيْتِهَا وَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ تَبِعَهَا حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ مِنْ أَجْرٍ كُلُّ قِيرَاطٍ مِثْلُ أُحُدٍ وَمَنْ صَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ رَجَعَ كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُحُدٍ فَأَرْسَلَ ابْنُ عُمَرَ خَبَّابًا إِلَى عَائِشَةَ يَسْأَلُهَا عَنْ قَوْلِ أَبِي هُرَيْرَةَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ فَيُخْبِرُهُ مَا قَالَتْ وَأَخَذَ ابْنُ عُمَرَ قَبْضَةً مِنْ حَصْبَاءِ الْمَسْجِدِ يُقَلِّبُهَا فِي يَدِهِ حَتَّى رَجَعَ إِلَيْهِ الرَّسُولُ فَقَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ صَدَقَ أَبُو هُرَيْرَةَ فَضَرَبَ ابْنُ عُمَرَ بِالْحَصَى الَّذِي كَانَ فِي يَدِهِ الْأَرْضَ ثُمَّ قَالَ لَقَدْ فَرَّطْنَا فِي قَرَارِيطَ كَثِيرَةٍ

Wahai, Abdullah bin Umar. Tidakkah engkau mendengar yang disampaikan Abu Hurairah, bahwaia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa yang keluar bersama jenazah dari rumahnya dan menshalatkannya, kemudian mengiringinya sampai dikubur, maka ia mendapat pahala dua qirath. Setiap qirath seperti Gunung Uhud. Barangsiapa yang menshalatkan jenazah kemudian pulang, maka mendapat pahala seperti Gunung Uhud”. Lalu Ibnu Umar mengutus Khabab kepada ‘Aisyah untuk menanyakan perkataan Abu Hurairah tersebut, kemudian kembali kepadanya memberitahukan pernyataan ‘Aisyah. Lalu Ibnu Umar mengambil segenggam krikil masjid yang ia bolak-balikkan di tangannya sampai datang utusannya tersebut. Lalu utusan itu berkata: ‘Aisyah berkata, ”Benar Abu Hurairah.” Lalu Ibnu Umar membuang kerikil-kerikil yang ada di tangannya ke tanah, kemudian berkata: “Kita telah kehilangan banyak qirath.”[9]

Sedangkan pernyataan Imam ‘Ali yang mereka kemukakan di atas merupakan kedustaan, sebagaimana disampaikan penulis kitab Difa’ ‘An Abu Hurairah: Tidak ada referensi yang valid dan terpercaya yang menunjukkan adanya pernyataan menyakinkan, bahwa Ali Radhiyallahu ‘anhu menuduh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu telah berdusta, atau melarangnya meriwayatkan hadits. Akan tetapi, sebagian musuh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berusaha berargumen dengan mengambil riwayat dari Abu Ja’far Al Iskafi, bahwa ketika mendengar hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, (maka) Ali Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya sedusta-dusta orang…,” atau ia berkata: “Sedusta-dusta orang terhadap Rasulullah Radhiyallahu ‘anhu ialah Abu Hurairah Ad Dausi”

Baca Juga  Sahabat Nabi Muhammad Dalam Ideologi Syi'ah

Riwayat ini adalah dhaif (lemah) dan tertolak. Sebab, jalur sanadnya dari Al Iskafi; ia seorang pengikut hawa nafsu, sekaligus menyeru orang mempertuhankan hawa nafsunya. Disamping itu, ia juga seorang rawi yang tidak tsiqah[10]. Demikian ini merupakan dusta besar yang telah disingkap kebohongannya, berdasarkan kesepakatan sebagian besar putra, sahabat dan para panglima Ali Radhiyallahu ‘anhu, serta sejumlah tokoh Syi’ah generasi awal dan anak keturunan Al Hasyimi tetap diam dan terus meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, atau meriwayatkan haditsnya melalui jalan periwayatan orang-orang terpercaya (tsiqat) jika mereka tidak mendengarnya langsung dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.[11]

Seandainya ada peringatan dan pengingkaran para sahabat terhadap banyaknya riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu , berarti ini menunjukkan kepada kita, bahwa mereka selalu mengutamakan kehati-hatian, ketelitian, kejelian dalam meriwayatkan dan menyandarkan cara periwayatannya. Mereka tidak memperbanyak (menyampaikan hadits), karena takut terjatuh pada kekeliruan.

Ketika Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu memaparkan yang didengarnya, tidak ada perasaan takut seperti mereka. Hal ini, karena kepercayaan Abu Hurairah terhadap hafalan serta daya ingatnya. Sehingga, bukanlah sesuatu yang aneh dan salah, jika kita mendapatkan ada orang yang memandang penting memperbanyak riwayat, sedangkan yang lain membatasi dengan mengingkari banyaknya riwayat Abu Hurairah. Khususnya, apabila seorang sahabat mendapatkan dhahir hadits-hadits yang memerintahkan untuk membatasi dalam meriwayatkan hadits dengan merajihkannya dari hadits-hadits lain, yang memerintahkan untuk menyampaikan dan memperbolehkan meriwayatkan hadits (secara bebas) -atau barangkali- belum mendengar hadits-hadits lainnya.[12]

Kemudian mereka mulai mempertanyakan mengapa Abu Hurairah banyak menyampaikan hadits melebihi para sahabat besar lainnya, seperti Khulafa’ur Rasyidin. Usaha memperbandingkan riwayat Abu Hurairah dengan riwayat Khulafa’ur Rasyidin dalam jumlah hadits yang diriwayatkan mereka merupakan satu kesalahan yang besar, dengan dasar-dasar sebagai berikut:

  1. Memang benar bahwa Khulafa’ur Rasyidin telah mendahului Abu Hurairah dalam persahabatan dan keislaman serta penerimaan hadits. Namun mereka sibuk mengurus permasalahan negara dan pengaturan hukum serta pengiriman para ulama, ahli Qur’an dan Qadhi’(hakim). Sehingga mereka menunaikan amanat yang mereka emban sebagaimana mereka telah menunaikan amanat mengurus permasalahan umat. Sebagaimana kita tidak mencela Khalid bin Al Walid dengan sedikitnya periwayatannya dari Rasulullah karena sibuk dengan jihad. Demikian juga tidak mencela Abu Hurairah dengan banyaknya periwayatannya karena sibuk dengan ilmu. Setiap orang dimudahkan Allah kepada yang terbaik baginya.
  2. Abu Hurairah meluangkan seluruh waktu dan pikirannya kepada ilmu dan pengajaran tanpa ikut serta dalam politik. Ditambah dengan kebutuhan orang kepada beliau karena usianya yang panjang. Dengan demikian membuat perbandingan antara beliau dengan sahabat-sahabat besar atau Khulafa’ur Rasyidin tidak dapat dianggap benar.[13]

Rasa aneh dan tuduhan memperbanyak hadits telah dijawab oleh Abu Hurairah sendiri dengan pernyataannya:

أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ إِنَّكُمْ تَقُولُونَ إِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ يُكْثِرُ الْحَدِيثَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُونَ مَا بَالُ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ لَا يُحَدِّثُونَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَإِنَّ إِخْوَتِي مِنْ الْمُهَاجِرِينَ كَانَ يَشْغَلُهُمْ صَفْقٌ بِالْأَسْوَاقِ وَكُنْتُ أَلْزَمُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مِلْءِ بَطْنِي فَأَشْهَدُ إِذَا غَابُوا وَأَحْفَظُ إِذَا نَسُوا وَكَانَ يَشْغَلُ إِخْوَتِي مِنْ الْأَنْصَارِ عَمَلُ أَمْوَالِهِمْ وَكُنْتُ امْرَأً مِسْكِينًا مِنْ مَسَاكِينِ الصُّفَّةِ أَعِي حِينَ يَنْسَوْنَ

Sesungguhnya Abu Hurairah berkata: Kalian akan menyatakan, bahwa Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadits. Dan Allahlah tempat (untuk membuktikan) janji. Juga mengatakan “Mengapa orang-orang Al Muhajirin dan Anshar tidak banyak meriwayatkan hadits, seperti periwayatan Abu Hurairah?” Sungguh, saudarasaudaraku dari Muhajirin disibukkan dengan jualbeli di pasar. Sedangkan saudara-saudaraku dari Anshar disibukkan oleh pengelolaan harta mereka. Adapun aku seorang miskin yang selalu mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama perutku berisi. Aku hadir saat mereka tidak hadir, dan aku ingat dan paham saat mereka lupa.[14]

Dalam lafazh Imam Ahmad: “Sedangkan aku adalah seorang yang i’tikaf (berdiam diri di masjid (Ahlus Sifah), dan paling banyak turut serta dalam majelis-majelis Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Aku hadir saat mereka tidak hadir, dan aku menghafalnya
ketika mereka lupa”[15]

Dalam lafazh Al Hakim: “Sungguh, isteri ataupun jual-beli di pasar tidak menyibukkan (melalaikan) kami dari turut serta bersama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam, melainkan aku meminta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam satu kalimat yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan kepadaku, atau sesuap makanan yang Beliau berikan kepadaku”.[16]

Kita lihat dalam pernyataan dan sejarah Abu Hurairah, ia telah mencurahkan seluruh kemampuannya untuk mendengar, menghafal dan menyaksikan seluruh peristiwa yang berkaitan dengan diri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ditambah dengan kekuatan hafalan dan lamanya waktu bermulazamah setelah berdatangan orang untuk masuk Islam. Tentu hal ini meembuatnya dapat menghafal hadits-hadits yang tidak ditemui di kalangan sahabat lainnya.

Terbukti. Kita mendapati sebagian besar kibar sahabat (tokoh-tokoh besar sahabat) telah menyadari dan mengakui, bahwa mereka telah disibukkan dengan jual-beli di pasar daripada mendengarkan sebagian hadits-hadits Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana telah dilukiskan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.

Lihatlah, Al Faruq Umar bin Khaththab mendengar sebuah hadits dari Abu Musa Al Asy’ari, lalu ia mengingkarinya, sampai kemudian Abu Sa’id Al Khudri bersaksi menguatkan Abu Musa Al Asy’ari, bahwa ia mendengar hadits itu juga, lalu Umar (pun) berkata: “Aku belum mengetahui hadits ini termasuk perkara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jual-beli di pasar telah melalaikanku dari mendengar hadits ini”.[17]

Bahkan tidak hanya jual-beli semata yang melalaikannya. Juga tempat tinggal beliau (Umar bin Al Khaththab) yang berada di ‘Awali[18] Madinah telah pula melalaikannya. Tidak seperti Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu yang hanya beberapa langkah dari kamar ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha. Sehingga tidaklah aneh jika Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh sahabat-sahabat lama (tokoh besar sahabat).[19]

Dengan demikian tertolaklah tuduhan orangorang yang beralasan dengan sedikitnya hadits yang diriwayatkan oleh kibarush shahabah (sahabat senior) untuk menolak dan mendustakan riwayat-riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu yang telah banyak meriwayatkan hadits. Tidak lain, mereka sendirilah yang telah berdusta. Sedikitnya riwayat dari sahabat senior Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak lain karena mereka telah wafat sebelum dibutuhkan umat. Dan yang banyak riwayatnya, hanyalah dari Umar bin Al Khaththab dan Ali bin Abi Thalib. Sebab, keduanya dijadikan pemimpin (kaum muslimin), sehingga ditanya dan memutuskan perkara kaum muslimin.

Seluruh sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah para pemimpin tauladan yang dicontoh dan dikenang semua amal yang mereka kerjakan. Mereka dimintai fatwa dan berfatwa; mereka mendengar hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menyampaikannya. Sehingga banyak sahabat-sahabat senior yang lebih sedikit haditsnya dibanding dengan lainnya; seperti: Abu Bakar, Utsman, Thalhah, Az Zubair, Sa’ad bin Abi Waqash, Abdurrahman bin Auf, Abu Ubaidah bin Al Jarrah, Sa’ad bin Zaid bin Amr bin Naufal, Ubay bin Ka’ab, Sa’ad bin Ubadah, Ubadah bin Ash Shamith, Usaid bin Khudhair, Muadz bin Jabal dan lainnya yang segenerasi dengan mereka g . Mereka tidak kita dapatkan banyak meriwayatkan hadits sebagaimana para sahabat-sahabat muda, seperti: Jabir bin Abdullah, Abu Sa’id Al Khudri, Abdullah bin Umar bin Al Khaththab, Abdullah bin Amr bin Al Ash, Abdullah bin Abbas, Rafi’ bin Khudaij, Anas bin Malik, Al Barra’ bin Azib dan yang segenerasi dengan mereka; sebab mereka hidup (setelah para tokoh tua sahabat) dan berumur panjang, sehingga orang-orang membutuhkan mereka. Sementara itu, banyak para sahabat sebelum dan setelahnya meninggal bersama ilmunya. Sebagian mereka ada yang tidak menyampaikan satu haditspun dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal mungkin lebih lama bersahabat, belajar dan mendengar hadits Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan dengan orang yang meriwayatkan hadits. Tetapi kita memahami hal ini, karena mereka sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Atau yang bersangkutan tidak perlu menyampaikan, karena sudah banyak sahabat-sahabat lainnya yang telah meriwayatkan hadits. Atau karena kesibukkan mereka dengan ibadah dan pergi berjihad di jalan Allah hingga mereka wafat, dan tidak satu pun hadits yang diriwayatkannya.

Al Mu’allimi rahimahullah berpendapat, disana ada dua tugas. Yang pertama, menerima hadits dan mendapatkan penjelasan langsung dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Yang kedua, adalah tugas menyampaikan. Adapun menerima hadits dan penjelasan langsung dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (talaqqi), maka para sahabat tidak mampu terus-menerus secara konsisten bermulazamah (mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Ini berbeda dengan Anas dan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhuma yang secara terus-menerus mengikuti dan melayani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga secara pasti menunjukkan, bahwa keduanya menerima langsung dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih banyak, dibandingkan dengan talaqqi para sahabat yang sibuk dengan perdagangan dan pertaniannya. Disamping itu, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu memiliki antusiasme yang tinggi terhadap ilmu, juga talaqqi hadits-hadits yang dihafal orang-orang yang telah mendahuluinya bergaul dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga terkadang Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkannya dari mereka.[20]

Baca Juga  Aqidah Ahlus Sunnah Tentang Sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam

Adapun dalam hal menyampaikan. Sesungguhnya Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu hanya hidup pada masa penyampaian hadits selama kurang lebih dua tahun, dan dalam keadaan sibuk melaksanakan tugas menata permasalahan kaum muslimin. Sedangkan Umar Radhiyallahu ‘anhu -pada masa Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu, – ia disibukkan dengan tugas kementerian (pendamping Abu Bakr) dan perdagangan. Setelah wafatnya Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu, Umar pun sibuk menata dan mengatur urusan kaum muslimin.

Diriwayatkan dalam kitab Al Mustadrak, bahwa Muadz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu mewasiatkan sahabat-sahabatnya untuk mencari ilmu. Lalu ia menyebutkan kepada mereka nama-nama: Abu Darda’, Salman, Ibnu Mas’ud dan Abdullah bin Sallam, Radhiyallahu anhum. Lalu Yazid bin Umairah berkata,”Lalu (bagaimana) Umar bin Al Khaththab?” Muadz Radhiyallahu ‘anhu menjawab,”Janganlah anda bertanya kepada Umar, sebab ia orang yang sibuk.”

Demikian juga Utsman dan Ali Radhiyallahu anhuma pada masa hidupnya disibukkan dengan tugas-tugas kementerian (pendamping Khalifah) dan lainnya, kemudian disibukkan dengan tugas sebagai khalifah dan menghadapi berbagai macam fitnah dan ujian. Orang yang semangat dan gemar mencari ilmu, mengejar mereka dan yang semisalnya; memandang seluruh sahabat adalah orang-orang yang tsiqah (terpercaya). Karenanya mereka menganggap cukup dengan kedudukan sahabat- sahabat. Para sahabat generasi senior memandang, bukan menjadi suatu keharusan yang mendesak atas mereka untuk menyampaikan (hadits), kecuali jika dibutuhkan. Juga memandang cukup, jika amal sudah dilakukan berdasarkan hal tersebut, sehingga tidak ada sedikitpun dari Sunnah Nabi yang diabaikan. Disebabkan para sahabat masih sangat banyak dan masa tinggal serta kehidupan mereka akan panjang. Begitu pula berbagai kegiatan yang membutuhkan tabligh (penyampaian hadits) amatlah banyak. Atas itu semua, Allah Ta’ala telah berjanji menjaga syari’atNya. Meskipun demikian, mereka pun sangat berhati-hati terhadap dirinya, karena takut salah. Mereka juga berpendapat, jika ada salah seorang diantara mereka keliru saat dibutuhkan menyampaikan (hadits), maka yang bersangkutan termaafkan; (ini) berbeda jika menyampaikannya sebelum dibutuhkan lalu ia keliru. Sekalipun demikian, mereka sangat suka orang lain yang mencukupkannya. Walaupun demikian adanya, mereka tetap meriwayatkan berbagai macam hadits. Sampai kepada mereka dari sebagiannya, bahwa Abu Hurairah telah banyak meriwayatkan hadits dan tidak ada yang mengingkarinya. Yang ada, hanyalah kisah yang menunjukkan, bahwa memperbanyak riwayat menyalahi yang utama.[21]

Yang aneh bin ajaib, ada orang yang kaget dengan banyaknya hadits Abu Hurairah. Dan lebih aneh lagi dibahas pada abad kedua puluhan ini! Apakah kaget dengan hafalan Abu Hurairah yang mampu menghafal 5.374 hadits? Atau kaget bila beliau menghafal sejumlah ini dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama tiga tahunan? Jika kaget dengan kuatnya hafalan beliau, maka ini bukanlah sarana untuk mencelanya, karena banyak orang Arab yang telah menghafal lebih banyak dari hafalan Abu Hurairah. Kita lihat, banyak para sahabat yang telah hafal Al Qur’an, hadits dan syair-syair. Lalu apa katanya tentang mereka? Apa yang ia katakan tentang hafalan Abu Bakar nasab Arab? Apa yang dikatakannya tentang Hammad Ar Rawiyah, orang yang paling mengetahui sejarah, syair, berita, nasab dan bahasa orang Arab? Apa yang dikatakan padanya jika ia menyampaikan untuk setiap huruf hija’iyah seratus qasidah yang panjang dari syair jahiliyah saja? Apa yang dikatakannya tentang hafalan hibrul umat Ibnu Abbas dan hafalan Imam Az Zuhri, Sya’biy dan Qatadah bin Da’amah As Sadusi? Jadi hafalan Abu Hurairah bukanlah baru dan aneh. Apalagi bila diketahui, bahwa hadits-hadits yang berjumlah 5.374 itu tidak semuanya shahih; sehingga Abu Hurairah tidak dapat dituduh hanya karena banyaknya hafalan dan hadits yang beliau riwayatkan ini. Jika kaget dengan kemampuan Abu Hurairah menerima hadits-hadits yang banyak ini dari Rasulullah selama 3 tahun, maka ia telah lupa bahwa Abu Hurairah bersahabat dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun-tahun yang penting. Masa terjadinya peristiwa-peristiwa sosial, politik dan pensyari’atan secara umum, sehingga memungkinkan beliau menghafal seluruhnya.[22]

Penutup
Tuduhan dan syubhat yang dilontarkan musuh Islam seputar sahabat Abu Hurairah masih sangat banyak, namun sebagaian yang telah dibantah di atas mudah-mudahan dapat menjadi ibrah bagi kaum muslimin dan menjadi peringatan terhadap bahaya yang mengancam mereka.

Sebagai penutup, kami bawakan pernyataan Ibnu Khuzaimah yang dinukil Dr. Muhammad ‘Ajaj Al Khathib dalam kitab As Sunnah Qabla At Tadwin dari Al Mustadrak ‘Ala Ash Shahihain karya Imam Al Hakim. Nashnya sebagai berikut:

Orang yang telah buta hatinya mencela Abu Hurairah hanya karena ingin menolak haditsnya, karena mereka tidak faham maknanya. Orang tersebut adakalanya seorang mu’aththil jahmi (pengikut aliran sesat Jahmiyah, Pen) karena mendengar hadits-hadits Abu Hurairah yang menyelisihi madzhab mereka yang kufur, lalu mencela Abu Hurairah dan menuduhnya dengan tuduhan yang Allah telah sucikan darinya. Tuduhan ini untuk membentuk opini pada orang awam, bahwa hadits-hadits Abu Hurairah tidak benar. Adakalanya ia seorang Khawarij yang mengangkat pedang kepada kaum muslimin dan menganggap tidak adanya kewajiban mentaati khalifah dan. Jika ia mendengar hadits-hadits Abu Hurairah dari Nabi n yang menyelisihi madzhabnya yang sesat, tidak dapat menolak berita-berita beliau ini dengan hujjah, maka ujung-ujungnya dengan cara mencela Abu Hurairah. Atau seorang Qadariy (pengikut aliran sesat Qadariyah) yang meninggalkan Islam dan kaum muslimin, dan mengkafirkan kaum muslimin yang mengikuti takdir yang telah ditetapkan Allah dahulu sebelum hamba itu melakukannya. Jika melihat hadits-hadits yang beliau sampaikan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menetapkan taqdir, tidak mendapatkan hujjah yang mendukung pendapat mereka yang merupakan kekufuran dan kesyirikan, maka kemudian mereka berhujjah dengan menyatakan bahwa berita-berita Abu Hurairah tidak boleh dipakai sebagai hujjah. Atau seorang bodoh yang ingin menjadi faqih dan mencarinya bukan dari tempatnya; jika mendengar berita Abu Hurairah menyelisihi pendapat madzhab orang yang dipilihnya secara taklid tanpa hujjah, maka orang tersebut mencela Abu Hurairah dan menolak riwayat-riwayatnya yang menyelisihi madzhab mereka, kemudian berberhujjah dengan hadits-hadits Abu Hurairah atas orang yang menyelisihinya jika haditsnya tersebut sesuai dengan madzhabnya.[23]

Demikianlah sebagian syubhat yang dilontarkan oleh musuh-musuh Islam atas diri Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dan masih banyak syubhat-syubhat yang mereka lontarkan. Semoga pengupasan yang sedikit ini

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VIII/1425H/2004. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1] Saqifah, op.cit. hlm. 14.
[2] Saqifah, op.cit. hlm. 16.
[3] Lihat Abu Hurairah dalam pengakuan para sahabat dalam mabhas edisi ini.
[4] Al Bidayah Wan Nihayah, oleh Ibnu Katsir, VIII/106.
[5] Zhulumatu Abi Ar Rayyah, hlm. 43.
[6] Al Bukhari, dalam Shahih-nya, kitab Al Libas, Bab Al Mustawsyimah, no. 5490, hlm. VII/214.
[7] Muslim, dalam Shahih-nya, kitab Al Ilmu, Bab Sardu Al Hadits, no. 3303.
[8] Fathul Bari, VII/389-390.
[9] Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Jana’iz, Bab Fadhlu ‘Alash Shalat Wa Ittiba’uha, no. 1574.
[10] Abu Hurairah Rawiyatul Islam, hlm. 278, yang dikutip apa yang dituduhkan oleh Al Iskafi dari Syarhu Nahji Al Balaghah, I/468, Cetakan Beirut
[11] Difa’un ‘An Abi Hurairah, op.cit. hlm. 123.
[12] Ibid, lm. 87, dengan perubahan.
[13] As Sunnah Qabla At Tadwin, op.cit. hlm. 450.
[14] Al Bukhari,dalam Shahih-nya, kitab Al Buyu’, Bab Ma Ja’a Fi Qaulihi Ta’ala Faidza Qadhaita Ash Shalat, no. 1906-III/135 dan Ahmad bin Hambal dalam Musnad Ahmad, hadits no. 7273.
[15] Al Musnad, XIV/122.
[16] Al Mustadrak, III/510 dengan sanad yang shahih.
[17] Muslim, VI/179.
[18] Nama daerah di kota Madinah. Hingga kini masih dikenal dengan nama tersebut.
[19] Difa’un ‘An Abi Hurairah, op.cit. hlm. 72-75 secara singkat
[20] Al Anwa’u Al Kasyifah, hlm. 141, kami nukil dari Difa’un ‘An Abi Hurairah, op.cit. hlm. 91.
[21] Difa’un ‘An Abi Hurairah, op.cit. hlm. 91.
[22] Dinukil secara bebas dari As Sunnah Qabla At Tadwin, op.cit. hlm. 449.
[23] As Sunnah Qabla At Tadwin, op.cit. hlm. 467-468

  1. Home
  2. /
  3. B2. Topik Bahasan2 Cinta...
  4. /
  5. Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu...