Kaidah Ke. 20 : Apabila Pemilik Barang Tidak Diketahui, Maka Dianggap Tidak Ada Pemiliknya

QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Kedua Puluh:

إِذَا تَعَذَّرَ مَعْرِفَةُ مَنْ لَهُ الْحَقُّ جُعِلَ كَالْمَعْدُوْمِ

Apabila pemilik suatu barang tidak diketahui maka barang tersebut dianggap tidak ada pemiliknya

Apabila seseorang menemukan barang milik orang lain, namun tidak diketahui secara jelas siapa pemiliknya, maka dalam hal ini timbul permasalahan berkaitan dengan pemanfaatan barang tersebut.

Oleh karena itu, kaidah ini menjelaskan bahwa suatu barang yang tidak diketahui siapa pemiliknya dan sangat sulit untuk mengetahuinya, maka barang tersebut dianggap tidak ada pemiliknya. Dan wajib untuk memanfaatkan barang tersebut dalam perkara-perkara yang paling bermanfaat bagi pemiliknya atau orang yang paling berhak untuk memanfaatkannya.

Di antara implementasi kaidah ini adalah sebagai berikut :

  1. Berkaitan dengan barang temuan (luqathah). Seseorang yang menemukan barang temuan, kemudian ia berusaha untuk mengumumkan tentang penemuan tersebut, namun pemiliknya tidak juga bisa diketahui, maka barang tersebut menjadi milik si penemu. Karena dialah orang yang paling berhak untuk memilikinya.
  2. Apabila seseorang memakai barang orang lain tanpa izin, kemudian tatkala ia ingin mengembalikan barang tersebut, ternyata tidak diketahui siapa pemiliknya, dan ia sangat kesulitan untuk mengetahui pemiliknya, maka dalam hal ini ia bisa menyerahkan barang tersebut ke Baitul Mal supaya dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat. Atau bisa juga ia menyedekahkan barang tersebut atas nama pemiliknya dengan niat apabila pemiliknya datang maka ditawarkan kepadanya apakah ia setuju jika barang tersebut disedekahkan sehingga ia mendapatkan pahala sedekah, atau si pemilik barang ingin supaya barang tersebut diganti, sehingga pahala sedekah menjadi milik si penemu barang.
  3. Berkaitan dengan harta hasil curian atau hasil rampokan. Apabila harta tersebut tidak diketahui siapa pemiliknya, maka harta tersebut bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan umum, atau bisa juga disedekahkan kepada fakir miskin. Dan bagi orang yang menerima sedekah dari harta tersebut, halal baginya untuk memanfaatkannya, karena harta tersebut pemiliknya tidak diketahui, maka dianggap tidak ada pemiliknya.
  4. Seseorang yang meninggal dunia sedangkan ahli warisnya tidak diketahui, maka harta warisannya dimasukkan ke Baitul Mal untuk dimanfaatkan dalam perkara-perkata yang maslahat.
  5. Seseorang yang akan melangsungkan pernikahan namun tidak diketahui siapa walinya, maka ia dianggap seorang yang tidak punya wali. Sehingga ia dinikahkan oleh wali hakim.
Baca Juga  Kaidah Ke-43 : Ibadah Pada Waktu Tertentu

Wallâhu `a’lam.[1]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M