Taqsith (Kredit) Motor Di Dealer
TAQSITH (KREDIT) MOTOR DI DEALER
Pertanyaan.
Bagaimana hukumnya beli sepeda motor di dealer dengan cara kredit ? terima kasih atas jawabannya. abu usamah, dari pemalang.
Jawaban.
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, terlebih dahulu kita akan menyampaikan definisi jual-beli secara kredit. Jual beli secara kredit atau yang dikenal dengan sebutan bai’ut taqsîth yaitu jual-beli barang dengan sistem pembayaran dicicil dalam jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan dua belah pihak.[1]
Mengenai hukum jual-beli dengan cara seperti ini, para Ulama berbeda pendapat, ada yang menghukuminya haram, ada yang mengatakan sah dan ada pula kelompok ketiga yang pertengahan antara boleh dan tidak tetapi lebih cenderung memakruhkan. [2]
Akan tetapi pendapat yang rajih adalah bolehnya sistem jual beli dengan cara kredit. Ini merupakan pendapat jumhur Ulama, diantaranya fuqaha’ mazdhab, Imam asy-Syirazi dalam al-Majmu’ Syarh Muhazzab (13/16), Imam asy-Syâthibi rahimahullah dalam al-Muwâfaqât (4/41), Imam az-Zarqâni, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah , Imam Ibnul Qayyim rahimahullah , Syaikh Abdul Aziz bin Bâz rahimahullah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah , dan lainnya. Mereka berhujjah dengan keumuman firman Allâh Azza wa Jalla dalam al-Baqarah ayat ke-275 :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Dan Allâh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba“.
Ayat ini menjelaskan bahwa hukum asal dari jual beli adalah halal.
Dan juga firman-Nya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” [An-Nisa’/4:29]
Sedangkan hadits yang mendasari pendapat ini yaitu hadits yang menceritakan bahwa Rasûlullâh memerintahkan kepada Abdullâh bin Amr bin Ash Radhiyallahu anhu agar mempersiapkan pasukan lalu beliau Radhiyallahu anhu segera membeli seekor onta dengan harga dua ekor onta sampai waktu yang ditentukan[3] . Hadits ini menjelaskan bolehnya mengambil tambahan harga dengan bertambahnya waktu pembayaran.
Untuk melengkapi penjelasan para Ulama tentang jual beli system kredit ini, kami membawakan beberapa fatwa tentang hal ini. Diantaranya :
Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah
Beliau mengatakan : Jual beli berjangka dengan waktu yang jelas itu boleh, berdasarkan keumuman firman Allâh Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah secara tidak tunai (hutang piutang) untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya…” [Al-Baqarah/2:282]
Dan penambahan harga sebagai konpensasi dari pemberian waktu itu dibolehkan. Juga sebagaimana yang disebutkan dalam hadits bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abdullah bin Amr bin Ash agar mempersiapkan pasukan maka beliau Radhiyallahu anhu membeli satu onta dengan harga dua onta sampai waktu yang ditentukan.
Dan seyogyanya, kita mengetahui dan memperhatikan kaidah-kaidah syariat dalam mu’amalah model ini agar tidak terjerumus kedalam muamalah yang diharamkan. Karena terkadang seseorang menjual sesuatu yang tidak dia miliki. (Artinya seteleh terjadi akad jual beli dengan pihak tertentu) dia baru mencarikan barang (yang sudah diakadkan tadi) dan selanjut baru diserahkan ke (pihak tertentu yang menjadi) pembeli tadi. Atau pun seandainya dia sudah membeli barang tersebut (namun) kemudian dia menjual barang yang baru dibeli tadi kepada orang lain dilokasi akad pertama sebelum ada serah terima atau sebelum barang berada dalam penguasaannya. Dua cara ini diharamkan berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salalm kepada Hakîm bin Hizam Radhiyallahu anhu :
لاَ تَبِعْ مَالَيْسَ عِنْدَكَ
“Janganlah engkau menjual barang yang tidak engkau miliki“. [4]
Juga sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعُ مَالَيْسَ عِنْدَكَ
Tidak halal jual beli salaf (system pesan) dan menjual sesuatu yang bukan miliknya [5]
Dan juga sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنِ اشْتَرَى طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ
Barangsiapa yang membeli makanan maka janganlah dia menjualnya sampai dia benar-benar menguasainya. [6]
Abdullâh bin Umar Radhiyallahu anhuma mengatakan, “Kami membeli makanan tanpa takaran atau timbangan lalu Rasûlullâh mengutus seseorang yang melarang kami agar kami tidak menjual kecuali setelah kami bawa ke rumah kami. [7]
Dan juga dalam sebuah riwayat shahih diceritakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual barang dagangan dilokasi dia membeli, sampai para pedagang membawanya ke rumahnya [8]
Berdasarkan hadits-hadits di atas dan hadits-hadits lain yang semakna maka akan tampak jelas bagi para pencari kebenaran bahwa seorang Muslim tidak boleh menjual barang yang tidak dia miliki (atau belum dimiliki), seperti mengadakan barang setelah akan berlangsung. Namun (seharusnya) penjualan itu dilakukan setelah dia membeli barang tersebut dan benar-benar menguasainya. (Berdasarkan hadits-hadits di atas juga) maka terlihat jelas bahwa praktik yang dilakukan oleh sebagian orang yang menjual barang dagangan di lokasi dia membeli, sebelum memindahkannya ke milik pembeli adalah praktik terlarang karena bertentangan dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ini termasuk sikap peremehan terhadap aturan dalam mu’amalah (berintraksi) dan tidak mau mengikat diri dengan kaidah-kaidah syari’at yang suci ini. Ini tentu akan menimbulkan kerusakan dan akibat buruk yang tidak terhitung. [9]
Fatwa Syaikh Dr Shalih Al-Fauzan Hafizhahullah
Beliau hafizhahullah pernah ditanya tentang hukum jual beli mobil dengan cara kredit ?
Beliau hafizhahullah menjawab :
Jual beli dengan cara tersebut tidak apa-apa selama mobil tersebut sudah menjadi hak miliknya sebelum akad jual beli itu berlangsung, kamudian dia menjual kepada orang lain dengan cara tempo atau kredit dengan waktu yang telah ditentukan. Yang terlarang adalah praktek yang dilakukan oleh sebagian muassasah (perusahaan) atau individu yang melangsungkan akad jual beli dengan pihak lain untuk menjual mobil. Mereka menyepakati harga dan tempo pembayaran (padahal mereka tidak memiliki mobil tersebut). Kemudian setelah itu mereka pergi ke show room mobil untuk membeli mobil kemudian baru diserahkan kepada pembeli. Praktek seperti ini bathil, berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لاَ تَبِعْ مَالَيْسَ عِنْدَكَ
“Janganlah kamu menjual barang yang tidak kamu miliki“.
Dalam praktek seperti ini tidak bisa diterapkan hukum jual beli salam (jual beli sistem pesanan), karena dalam hal ini pembeli tidak menyerahkan uang di lokasi transaksi. [10]
Catatan : Adapun praktek jual beli kredit yang ada di negara kita, maka jika jelas ada unsur riba-nya dan jahalahnya (ketidakjelasan hak milik barang yang akan dikreditkan) demikian pula madharat (bahaya dan tindak kedzaliman) yang akan didapatkan jika tidak bisa membayar cicilan pada waktunya, maka berlepas diri dan tidak melakukan kredit lebih selamat. Hendaknya beli barang secara tunai jika ada uang dan tidak memaksakan diri membeli jika belum ada uang.
Wallahu a’lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XV/1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Fatawa al lajnatid Daimah, no 16402,
[2]. Lihat Shahîh Fiqh Sunnah, 4/343
[3]. Hadits Hasan riwayat Abu Daud, no. 3357; Imam Ahmad, 2/171 dan 216; ad-Daru Quthni, 3/69 dan 70. al-Haafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam al-Fath (4/489) mengatakan, “sanad hadits ini kuat dan Syaikh Syu’aib al-Arnauth hafizhahullah menghukumi hadits ini dengan hasan (Lihat, Shahih Fiqhis Sunnah, 4/349)
[4]. HR Imam Ahmad dalam Musnad al-Makkiyin; Musnad Hakim bin Hizam, no. 14887; Tirmidzi dalam al-Buyû’, Bâb Mâ Jâ’a Fi Karahiyati Bai’i Ma Laisa ‘Indak, no. 1232; Ibnu Majah, no. 2187
[5]. HR Imam Ahmad dalam Musnad al-Muktsirin minas Shahabah Musnad Abdillah bin ‘Amr bin al-‘Ash, no. 6633; Tirmidzi dalam kitab al-Buyû’, Bâb Mâ Jâ’a Fi Karahiyati Bai’i Ma Laisa ‘Indak, no. 4611
[6]. HR Bukhari, al-Buyu, Bab al-Kiil ‘alal Ba’I’ wal Mu’thi, no. 2126 dan Muslim dalam al-Buyu’, Bâb Buthlân Ba’il Mabi’ Qabla Qabdh, no. 1526
[7]. HR. Muslim dalam al-Buyu’, Bab Buthlan Ba’il Mabi’ Qabla Qabdh, no. 1526
[8]. HR Abu Daud dalam al-Buyu’ bab Fi Bai’t Tha’am Qabla an Yastaufiya, no. 2499
[9]. Lihat Majmu’ fatâwa, Syaikh Bin Baz , 19/11-15
[10]. Lihat al-Muntaqa min Fatâwâ, Syaikh Shâleh Fauzan, 3/198
- Home
- /
- A9. Fiqih Muamalah2 Jual...
- /
- Taqsith (Kredit) Motor Di...