Hukum-hukum Umum Seputar Akad Jual Beli

HUKUM-HUKUM UMUM SEPUTAR AKAD JUAL BELI

Oleh
Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, MA

Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.

Akad jual beli telah menjadi sarana pertukaran barang antara penjual dan pembeli. Penjual mendapatkan uang pembayaran dan pembeli mendapatkan barang. Sebagai konsekuensinya, penjual dapat memanfaatkan uang hasil penjualannya, dan sebaliknya pembeli dapat memanfaatkan barang pembeliannya.

Demikianlah ketentuan asal pada setiap akad jual beli. Akan tetapi, ada beberapa poin penting yang seharusnya Anda ketahui sebelum Anda memanfaatkan barang pembelian Anda. Dengan demikian, diharapkan Anda dapat bertindak sesuai dengan kewenangan Anda tanpa melanggar aturan dan hukum syari’at. Berikut saya akan menyebutkan beberapa ketentuan penting yang harus diindahkan oleh pembeli.

Ketentuan pertama : Pemindahan kepemilikan
Telah Anda ketahui bersama bahwa manfaat utama akad jual beli ialah memindahkan kepemilikan barang. Dengan demikian, barang yang telah Anda jual secara sah menjadi milik pembeli, sehingga Anda tidak lagi berhak menggunakannya kecuali atas izin darinya, sebagaimana tidak ada orang lain yang berhak memanfaatkannya kecuali seizin pembeli.

Ketentuan ini berlaku walaupun pembeli belum melakukan pembayaran sama sekali atau hanya membayar sebagiannya saja. Karena itu, bila masih merasa perlu untuk memanfaatkan barang hingga batas waktu tertentu, Anda dibenarkan untuk mengajukan persyaratan kepada pembeli. Anda mensyaratkan kepadanya untuk diizinkan menggunakan barang hingga batas waktu yang disepakati. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh sahabat Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu ketika menjual untanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sahabat Jabir Radhiyallahu anhu mengisahkan bahwa pada suatu hari ia menunggang unta yang telah kelelahan, sehingga ia berencana melepaskan untanya. Namun, sebelum ia melakukan rencananya, tiba-tiba Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam –yang sebelumnya berada di akhir rombongan- berhasil menyusulnya. Selanjutnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akannya dan memukul unta tunggangan sahabat Jabir Radhiyallahu anhu. Diluar dugaan, unta sahabat Jabir Radhiyallahu anhu sekejap berubah menjadi gesit dan lincah melebihi kebiasaannya. Setelah melihat unta sahabat Jabir Radhiyallahu anhu pulih gesit kembali, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada sahabat Jabir Radhiyallahu anhu “Juallah unta itu kepadaku seharga 40 dirham.” Sahabat Jabir Radhyallahu anhu menolak tawaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dan berkata,”Tidak”. Namun kembali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Juallah untamu kepadaku.” Setelah penawaran kedua ini sahabat Jabir Radhiyallahu anhu pun menjual untanya seharga 40 dirham, namun beliau mensyaratkan agar diizinkan tetap menungganginya hingga tiba di rumahnya. Dan setibanya di rumah, sahabat Jabir Radhiyallahu anhu segera menyerahkan untanya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan bayarannya.” [Riwayat al-Bukhari hadits no. 2569 dan Muslim hadits no. 4182]

Cermatilah, bagaimana sahabat Jabir Radhiyallahu anhu merasa perlu untuk mengajukan persyaratan agar dapat tetap menunggangi untanya walaupun ia telah menjualnya. Sikap ini menunjukkan bahwa tanpa adanya persyaratan ini, ia tidak dapat lagi menunggangi unta itu, karena telah berpindah kepemilikan.

Ketentuan kedua : Manfaat dan kerugian barang
Sebagai konsekuensi langsung dari ketentuan pertama, maka segala manfaat barang setelah akad penjualan menjadi hak pembeli. Dan sebaliknya, segala kerugian atau kerusakan barang menjadi tanggung jawab pembeli. Ketentuan ini telah ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَجُلاً ابْتَاعَ غُلاَمًا فأَقَامَ عِنْدَهُ مَاشَاءَ اللَّهُ أَنْ يُقِيْمَ ثُمَّ وَجَدَ بِهِ عَيْبًا فَخَاصَمَهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّهُ عَلَيْهِ فَقَالَ الرَّجُلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدِ اسْتَغَلَّ غُلاَمِي فَقَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الخَراجُ بِالضَّمَانِ

Aisyah Radhyallahu anhuma mengisahkan, “Ada seorang lelaki yang membeli seorang budak. Tidak berapa lama setelah, ia mendapatkan suatu cacat pada budak tersebut. Karena tidak mau rugi, ia mengembalikannya (kepada penjual). Akibatnya penjual mengadu (kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan berkata, ‘Wahai, Rasulullah, sesungguhnya ia telah mengerjakan budakku.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab keluhannya dengan bersabda,’Keuntungan adalah imbalan atas tanggung jawab/jaminan”. [Riwayat Abu Dawud hadits no. 3512, dan dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam kitab Irwaul Ghalil hadits no. 1315]

Pada kisah ini, dengan tegas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa kegunaan barang adalah imbalan merupakan konsekuensi langsung dari kepemilikan Anda atas suatu barang. Dengan demikian, sebagai pembeli maka Anda harus siap menerima ketentuan ini, dan sebagai penjual Anda pun sewajarnya rela dengan kenyataan ini.

Saudaraku! Ketentuan ini sepenuhnya berlaku apabila barang yang menjadi objek akad jual beli telah Anda serahkan kepada pembeli. Adapun bila barang belum Anda serahkan kepada pembeli, maka sudah barang tentu akad jual beli belum selesai. Dan sebagai konsekuensinya, segala risiko kerusakan barang masih menjadi tanggung jawab Anda – Penjual.

Peringatan
Hukum ini berlaku pada penjualan barang selain buah-buahan atau biji-bijian yang masih di atas pohonnya. Adapun buah atau biji-bijian yang telah menua namun masih berada di atas pohonnya, dan kemudian karena suatu hal gagal panen, maka risiko menjadi tanggung jawab penjual. Hukum ini berlaku walaupun Anda sebagai penjual telah memberikan kesempatan (menyerahkan) kepada pembeli untuk memanen buah atau biji-bijian yang telah ia beli. Pengecualian ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لَوْ بِعْتَ مِنْ أَخِيْكَ ثَمَرًا فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ فَلاَ يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْ خُذَ مِنْهُ شَيْئًا بِمَ تَأْ خُذُ مَالَ أَخِيكَ بِغَيْرِ حَقًّ

“Bila engkau membeli buah-buahan dari saudaramu, lalu ditimpa bencana, maka tidak halal bagimu sedikit pun dari pembayarannya. Atas dasar apa engkau memakan uang pembayarannya tanpa alasan yang dibenarkan?” [Riwayat Muslim hadits no. 1554]

Baca Juga  Berdagang Emas Dengan : Kredit, Uang Muka, Melalui Telepone

Ketentuan hukum ini berlaku dikarenakan pembeli belum sepenuhnya menerima barang yang ia beli, walaupun Anda telah memberikan kesempatan kepadanya untuk memanennya. Musibah gagal panen yang menimpa, terjadi di luar kemampuannya sebagai manusia biasa. Karena itu, bila Anda tetap memungut uang pembayaran padahal pembeli gagal mendapatkan buah yang ia beli, berarti Anda telah memakan hartanya tanpa ada imbalan yang Anda berikan kepadanya.

Ketentuan ketiga : Menjual kembali (resale)
Di antara konsekuensi dari kepemilikan barang, pembeli berhak menggunakan barang yang telah ia beli, termasuk dengan cara menjualnya kembali. Hanya, ada tiga pantangan yang harus dihindari pada penjualan kembali barang yang telah Anda beli.

Pantangan pertama: Jangan menjual kembali kepada penjual.
Dalam beberapa kesempatan, dikarenakan suatu alasan pembeli menjual kembali kepada penjual. Penjualan kembali kepada penjual pertama tentu menimbulkan tanda tanya besar, mengapa dan apa untungnya? Karena itu, wajar bila Islam mewaspadai praktik-praktik semacam ini.

Secara umum, menjual kembali kepada penjual pertama-setidaknya- dua kemungkinan:

Kemungkinan pertama: Membeli dengan pembayaran terhutang dan menjual kembali dengan pembayaran tunai. Bila kemungkinan ini yang terjadi maka praktik semacam ini merupakan celah nyata terjadinya praktik riba. Betapa tidak, biasanya penjual pertama menjual dengan harga lebih mahal, kemudian membeli kembali dengan harga yang lebih murah karena pembeliannya dengan cara tunai[1]. Dan praktik semacam ini disebut dengan jual beli ‘inah yang nyata-nyata terlarang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا تَبَايَعتُمْ بِالْعِيْنَةِوَأأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِوَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاَيَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِغُواإلَى دِيْنِكُمْ

Bila kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah, sibuk dengan peternakan sapi, puas dengan pertanian, dan meninggalkan jihad, niscaya Allah menimpakan kehinaan kepada kalian. Dan Allah tidak akan mengangkat kehinaan itu dari kalian hingga kalian kembali ke jalan agama kalian.” [Abu Dawud hadits no.3464]

Kemungkinan kedua: Hadits di atas juga mengisyaratkan bahwa bila penjualan kembali dengan pembayaran tunai atau terhutang dengan harga yang sama atau lebih mahal dari harga penjualan pertama, maka tidak mengapa. Yang demikian itu dikarenakan kekhawatiran adanya praktik riba tidak terwujud, sehingga tidak ada alasan untuk melarang penjualan ini. Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:

مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوِالرِّبَا

Barang siapa melakukan dua akad penjualan dalam satu transaksi jual beli, maka ia harus menggunakan harga yang termurah, bila tidak maka ia telah terjerumus dalam praktik riba.” [Riwayat Abu Dawud hadits no. 3463]

Pantangan kedua: Menjual kembali di tempat penjual pertama.
Barang yang Anda beli pada dasarnya telah menjadi milik Anda, sehingga idealnya Anda harus bertanggung jawab penuh atas segala yang terjadi padanya. Keuntungan menjadi milik Anda, dan sebaliknya, kerugian pun Anda yang menanggungnya-sebagaimana telah dijelaskan diatas. Namun, kadang kala karena keinginan untuk memperkecil risiko, maka sebagian pedagang melakukan penjualan kembali barang yang telah ia beli sedangkan barang tersebut masih berada di tempat penjual pertama.

Anda bisa tebak, siapakah yang rela membeli barang dari Anda, sedangkan Anda dan juga barang yang Anda jual masih berada ditempat penjual pertama. Secara logika, apa untungnya membeli dari Anda, padahal pembeli mampu membeli langsung dari penjual pertama.

Dengan merenungkan hal ini, Anda dapat melihat bahwa pada praktik semacam ini, yaitu menjual kembali padahal barang masih berada di tempat penjual pertama, terdapat celah terjadinya praktik riba. Biasanya, yang sudi membeli dari penjual kedua sedangkan ia-calon pembeli- telah sampai di tempat penjual pertama adalah orang yang tidak mampu melakukan pembayaran tunai. Dengan demikian, sejatinya penjual kedua hanya sebatas menghutangi sejumlah uang kepada pembeli kedua, dan kemudian penjual kedua mendapatkan keuntungan dari piutang tersebut.

عَنِ ابنِ عُمَرَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : ابْتَعْتُ زَيْتًا فِي السُّوقِ فَلَمَّااسْتَوْجَبْتُهُ لِنَفْسِى لَقِيَنِي رَجُلٌ فَأعْطَانِي بِهِ رِجْحًا حَسَنًا فَأَرَدْتُ أَنْ أَضْرِبَ عَلَى يَدِهِ فَأَخَذَ رَجُلٌ مِنْ خَلْفِي بِذِرَاعِي فَالْتَفَتُّ فَإِذَا زَيْدُ بْنُ ثَابِتِ فَقَالَ لاَ تَبِعهُ حَيْثْهُ ابْتَعْتَهُ حَتَّى تَحُوزَهُ إِلَى رَحْلِكَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ تُبَاعَ السَّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَنَّى يَحُوزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ

Sahabat Ibnu Umar Radhiyallahu anhu mengisahkan, “Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar. Ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki menemuiku dan menawar minyak tersebut. Ia menawarkan keuntungan yang cukup banyak. Tanpa pikir panjang , aku pun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran darinya). Namun, tiba-tiba ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka aku pun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit. Lalu ia berkata,’Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali barang di tempat pembeliannya, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pembeli ke tempatnya sendiri.”[2]

Pantangan ketiga: Menjual sebelum menerima barang
Diantara hal yang harus Anda waspadai sebelum Anda menjual kembali barang pembelian Anda ialah keberadaan barang tersebut. Bila barang yang Anda beli belum Anda terima, karena dalam proses pengiriman atau bahkan sedang dalam proses produksi, maka Anda tidak dibenarkan untuk menjualnya kembali sampai barang itu benar-benar tiba di tangan Anda. Yang demikian itu demi menutup berbagai celah praktik-praktik riba. Anda bisa bayangkan, bila pembeli dibenarkan menjual kembali sebelum menerima barangnya, maka pembeli selanjutnya pun akan melakukan hal yang serupa dan demikian seterusnya. Dan bila ini telah terjadi maka sudah dapat Anda tebak, praktik-praktik riba tidak dapat dihindarkan. Praktik riba yang berupa uang melahirkan uang tanpa ada pergerakan barang atau jasa.

Baca Juga  Kejelasan Status Dalam Jual Beli

عَنِ ابْنِ عَبَّا سٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُوْ لُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُمَا وَأَحْسِبُ كُلَّ شَيْءٍ بِمَنْزِلَةِ الطَّعَامِ

Sahabat Ibnu Abbas Radhiyalllahu anhuma menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia benar-benar telah menerimanya.’” Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma berkata,”Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan.” [Riwayat Bukhari hadits no. 2025 dan Muslim hadits no. 1525]

Tahwus merasa heran dengan larangan ini, sehingga beliau bertanya kepada gurunya, yaitu Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma.

قُلْتُ لاِبْنِ عَبَّاسٍ : كَيْفَ ذَاكَ؟ قَالَ : ذَكَ دَرَهِمُ بِدَرَاهِمَ وَالطَّعَامُ مُرْجَأٌ

Saya bertanya kepada Ibnu Abbas,’Bagaimana kok demikian?’ Ia menjawab, ‘Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda.’”[Riwayat Bukhari hadits no. 2025]

Ibnu Hajar menjelaskan perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu di atas sebagaimana berikut, “ Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar-misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/ menukar uang 100 dinar dengan harga 120 dinar. Dan berdasarkan penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja.”[3]

Ketentuan keempat : Tidak dapat membatalkan penjualan atau pembelian
Di antara konsekuensi akad jual beli ialah kedua belah pihak tidak dapat membatalkan akad yang terjalin antara mereka tanpa izin pihak kedua. Hal ini berlaku selama tidak ditemukan cacat atau tindak kecurangan. Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu“. [Al-Maidah/5 : 1]

Keumuman ayat ini mencakup akad jual beli, sehingga Anda wajib memenuhi akad yang telah Anda sepakati. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hal ini dengan gamblang pada sabdanya:

إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلاَنِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا وَكَانَا جَمِعًا أَوْيُخَيِّرُ أَحَدُ هُمَا الآخَرَ فَإِنْ خَيَّرَ أَحَدُ هُمَاالآخَرَ فَتَبَايَعَا عَلَى ذَلِكَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ وَإِنْ تَفَرَّقَا بَعْدَ أَنْ تَبَايَعَا وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا الْبَيْعَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ

Bila dua orang saling berjual beli, maka masing-masing dari keduanya memiliki hak pilih selama keduanya belum berpisah dan masih bersama-sama, atau salah satu dari keduanya menawarkan pilihan kepada kawannya. Bila salah satu dari keduanya menawarkan pilihan yang ditawarkan tersebut maka telah selesailah akad jual beli tersebut. Bila lalu mereka berpisah setelah mereka menjalankan akad jual beli, dan tidak ada seorang pun dari keduanya yang membatalkan akad penjualan, maka telah selesailah akad penjualan tersebut.” [Bukhari hadits no. 2006 dan Muslim hadits no. 1531]

Ketentuan kelima : Bebas menentukan harga jual
Diantara konsekuensi atas kepemilikan Anda terhadap suatu barang yang telah Anda beli, maka Anda berhak menentukan berapa pun harga jualnya. Sebagaimana Anda pun bebas memasang batas nilai keuntungan yang Anda kehendaki darinya. Yang demikian itu karena tidak ditemukan satu dalil pun yang membatasi nominal keuntungan yang boleh Anda pungut. Bahkan dalil-dalil yang ada mengindikasikan bahwa Anda bebas memasang target keuntungan yang Anda suka.

Kisah berikut adalah salah satu dalil yang menguatkan penjelasan ini:

عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَاهُ دِينَارًا يَشْتَرٍى بِهِ شَاةً، فَاشْتَرَى لَهُ بِهِ شَاتَيْنِ، فَبَاعَ إِحْدَا هُمَا بِدِينَارٍ وَجَاءَهُ بِدِيْنَارٍ وَشَاةٍ، فَدَعَالَهُ بِالْبَرَكَةِ فِي بَيْعِهِ، وَكَانَ لَوِ اشْتَرَى التُّرَابَ لَرَبحَ فِيهِ

Sahabat Urwah al-Bariqy Radhiyallahu anhu mengisahkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberiku uang satu dinar untuk membeli seekor kambing kurban, atau seekor kambing. Berbekal uang satu dinar aku membeli dua ekor kambing dan kemudian aku menjual kembali salah satunya seharga satu dinar. Selanjutnya aku datang menemui beliau dengan membawa seekor kambing dan uang satu dinar.” Mendapatkan ulah cerdas sahabatnya ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan keberkahan pada perniagaan Sahabat Urwah, sehingga andai ia membeli debu, niscaya ia mendapatkan laba darinya.” [Riwayat Bukhari hadits no.3443]

Penutup
Semoga paparan singkat tentang beberapa hukum umum akad jual beli ini bermanfaat bagi Anda. Dengan demikian Anda dapat memahami pembahasan-pembahasan tentang hukum jual beli yang telah menjadi tema rubrik ini dapat Anda pahami dengan baik. Dan dengan izin Allah untuk edisi selanjutnya saya akan mengetengahkan tema tentang hukum sewa-menyewa.

Wallahu Ta’ala a’lamu bishshawab

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 06, Tahun ke-11/Al-Muharram 1433 (Des’ 11 – Jan – 2012. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]
_______
Footnote
[1] Demikian dijelaskan oleh Ibnu Qayyim dalam kitabnya I’lamul Muwaqiin 3/196-197
[2] Riwayat Abu Dawud hadits no. 3501 dan oleh al-Albani dinyatakan sebagai hadits hasan dalam kitabnya, shahih sunan Abu Dawud hadits no.3499
[3] Fathul Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalani 4/348-349

  1. Home
  2. /
  3. A9. Fiqih Muamalah2 Jual...
  4. /
  5. Hukum-hukum Umum Seputar Akad...