Prinsip Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Terhadap Masalah Kufur Dan Takfir (Pengkafiran)

Keempat puluh tiga:
PRINSIP AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH TERHADAP MASALAH KUFUR DAN TAKFIR (PENGKAFIRAN)

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Prinsip dan pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah tentang masalah kufur dan takfir (pengkafiran) adalah sebagai berikut:

A. Definisi Kufur
Kufur secara bahasa (etimologi) berarti menutupi. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), kufur adalah tidak beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dengan mendustakannya atau tidak mendustakannya[1]. Orang yang melakukan kekufuran, tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya disebut kafir.

B. Prinsip-Prinsip Ahlus Sunnah Dalam Kufur dan Takfir

  1. Pengkafiran adalah hukum syar’i dan tempat kembalinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Barangsiapa yang tetap keislamannya secara meyakinkan, maka keislaman itu tidak bisa lenyap darinya kecuali dengan sebab yang meyakinkan pula.[2]
  3. Tidak setiap ucapan dan perbuatan yang disifatkan nash sebagai kekufuran merupakan kekafiran yang besar (kufur akbar) yang mengeluarkan seseorang dari agama, karena sesungguhnya kekafiran itu ada dua macam; kekafiran kecil (asghar) dan kekafiran besar (akbar). Maka, hukum atas ucapan-ucapan maupun perbuatan-perbuatan ini sesungguhnya berlaku menurut ketentuan metode para ulama Ahlus Sunnah dan hukum-hukum yang mereka keluarkan.
  4. Tidak boleh menjatuhkan hukum kafir kepada seorang Mus-lim, kecuali telah ada petunjuk yang jelas, terang dan mantap dari Al-Qur-an dan As-Sunnah atas kekufurannya. Maka, dalam permasalahan ini tidak cukup hanya dengan syubhat dan zhan (persangkaan) saja.

Ahlus Sunnah tidak menghukumi pelaku dosa besar tersebut dengan kekafiran. Namun menghukuminya sebagai bentuk kefasikan dan kurangnya iman apabila bukan dosa syirik dan dia tidak menganggap halal perbuatan dosanya. Hal ini karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutu-kan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [An-Nisaa/4: 48]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan dengan keras tentang tidak bolehnya seseorang menuduh orang lain dengan ‘kafir’ atau ‘musuh Allah.’

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ ِلأَخِيْهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ.

Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya: ‘Wahai kafir’ maka ucapan itu akan kembali kepada salah satu dari keduanya. Apabila (saudaranya itu) seperti yang ia katakan (maka ia telah kafir), namun apabila tidak maka akan kembali kepada yang menuduh.”[3]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَمَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ، أَوْ قَالَ: عَدُوَّ اللهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ.

“… Dan barangsiapa yang menuduh kafir kepada seseorang atau mengatakan: ‘Wahai musuh Allah,’ sedangkan orang tersebut tidaklah demikian, maka tuduhan tersebut berbalik kepada dirinya sendiri.”[4]

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلاً بِالْفُسُوْقِ، وَلاَ يَرْمِيْهِ بِالْكُفْرِ، إِلاَّ اِرْتَدَّتْ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ.

Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan ataupun kekufuran, melainkan tuduhannya itu akan kembali kepada dirinya jika orang yang dituduh tidak seperti yang ia tuduhkan.”[5]

  1. Terkadang ada keterangan dalam Al-Qur-an dan As-Sunnah yang mendefinisikan bahwa suatu ucapan, perbuatan atau keyakinan merupakan kekufuran (bisa disebut kufur). Namun, tidak boleh seseorang dihukumi kafir kecuali telah ditegakkan hujjah atasnya dengan kepastian syarat-syaratnya, yakni mengetahui, dilakukan dengan sengaja dan bebas dari paksaan, serta tidak ada penghalang-penghalang (yang berupa kebalikan dari syarat-syarat tersebut).[6]
Baca Juga  Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Menetapkan Sifat Al-‘Uluw (Ketinggian) Bagi Allah Azza wa Jalla

Dan yang berhak menentukan seseorang telah kafir atau tidak adalah para ulama yang dalam ilmunya dan para ulama Rabbani[7] dengan ketentuan-ketentuan syari’at yang sudah disepakati.

  1. Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan orang yang dipaksa (dalam keadaan diancam) selama hatinya tetap dalam keadaan beriman.

مَن كَفَرَ بِاللَّهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar.” [An-Nahl/16: 106]

  1. Kufrun Akbar (kekafiran besar) ada beberapa macam:
    a. Juhud (mengingkari) جُحُوْدٌ
    b. Takdzib (mendustakan) تَكْذِيْبٌ
    c. Iba’ (sikap enggan) إِباَءٌ
    d. Syakk (keraguan) شَكٌّ
    e. Nifaq (kemunafikan) نِفَاقٌ
    f. I’radh (sikap berpaling) اِعْرَاضٌ
    g. Istihza’ (memperolok-olok) اِسْتِهْزَاءٌ
    h. Istihlal (penghalalan) اِسْتِحْلاَلٌ
  2. Sebab-sebab yang dapat membawa kepada kekafiran besar ada 3 (tiga) macam: perkataan, perbuatan dan i’tiqad (keyakinan).
    Di antara kufur ‘amali (perbuatan) dan qauli (ucapan) ada yang bisa mengeluarkan pelakunya dari agama dengan sendirinya dan tidak mensyaratkan penghalalan hati. Yaitu sesuatu perbuatan/perkataan yang jelas bertentangan dengan iman dari segala seginya, misalnya menghujat Allah Subhanahu wa Ta’ala, mencaci- maki Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersujud kepada berhala, membuang mushaf Al-Qur-an di tempat sampah, dan perbuatan-perbuatan lain yang semakna dengan itu. Dijatuhkannya hukum kufur ini kepada orang-orang tertentu hanya boleh dilakukan setelah memenuhi syarat-syarat (kufur) yang bisa diterima, sebagaimana perbuatan-perbuatan lain yang menyebabkan kafir pelakunya.
  3. Sesungguhnya amalan kekafiran adalah kufur dan bisa menyebabkan pelakunya kafir, sebab keadaannya menunjukkan kepada batinnya yang juga kufur. Ahlus Sunnah tidak mengatakan seperti ucapan para ahli bid’ah: “Amalan kekafiran tidak kufur, tapi dia menunjukkan kepada kekufuran!” Perbedaan keduanya jelas.
  4. Sebagaimana ketaatan merupakan sebagian dari cabang-cabang iman, demikian juga maksiat merupakan sebagian dari cabang kekafiran. Masing-masing sesuai dengan kadarnya.
  5. Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan seorang pun dari ahlul Qiblat (kaum Muslimin) karena dosa-dosa besarnya. Ahlus Sunnah menyebut mereka dengan Mukmin fasiq atau naaqishul iimaan, dan mereka khawatir apabila nash-nash ancaman terjadi kepada pelaku dosa-dosa besar, walaupun mereka tidak kekal di dalam Neraka. Bahkan mereka akan bisa keluar dengan syafa’at para pemberi syafa’at dan karena rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala disebabkan masih adanya tauhid pada diri mereka. Pengkafiran karena dosa besar adalah madzhab Khawarij yang keji.[8]

Perbedaan antara kufur besar dengan kufur kecil adalah:

  1. Kufur besar mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menghapuskan (pahala) amalnya, sedangkan kufur kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, juga tidak menghapuskan (pahala) amalnya, tetapi bisa mengurangi (pahala)nya sesuai dengan kadar kekufurannya, dan pelakunya tetap dihadapkan dengan ancaman.
  2. Kufur besar menjadikan pelakunya kekal di dalam Neraka, sedangkan kufur kecil, jika pelakunya masuk Neraka, maka ia tidak kekal di dalamnya, dan bisa saja Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi ampunan kepada pelakunya sehingga ia tidak masuk Neraka sama sekali.
  3. Kufur besar menjadikan halal darah dan harta pelakunya, sedangkan kufur kecil tidak demikian.
  4. Kufur besar mengharuskan adanya permusuhan yang sesungguhnya, antara pelakunya dengan orang-orang Mukmin. Dan orang-orang Mukmin tidak boleh mencintai dan setia kepadanya, betapa pun ia adalah keluarga terdekat. Adapun kufur kecil, maka ia tidak melarang secara mutlak adanya kesetiaan, tetapi pelakunya dicintai dan diberi kesetiaan sesuai dengan kadar keimanannya, dan dibenci serta dimusuhi sesuai dengan kadar kemaksiatannya[9]. Wallaahu a’lam.

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1] Majmuu’ Fataawaa (XII/335) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan ‘Aqii-datut Tauhiid (hal. 81) oleh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan.
[2] Majmuu’ Fataawaa (XII/466) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[3] HR. Muslim (no. 60), Abu ‘Awanah (I/23), Ibnu Hibban (no. 250, at-Ta’liiqaatul Hisan ‘alaa Shahiih Ibni Hibban) dan Ahmad (II/44) dari Sahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma.
[4] HR. Muslim (no. 61), dari Sahabat Abu Dzarr Radhiyallahu anhu.
[5] HR. Al-Bukhari (no. 6045) dan Ahmad (V/181), dari Sahabat Abu Dzarr Radhiyallahu anhu.
[6] Syarat-syarat seseorang bisa dihukumi kafir: (1). Mengetahui (dengan jelas),(2). Dilakukan dengan sengaja, dan (3). Tidak ada paksaan.
Sedangkan Intifaa-ul Mawaani’ (tidak ada penghalang yang menjadikan seseorang dihukumi kafir ) yaitu kebalikan dari syarat tersebut di atas: (1). Tidak mengetahui,(2). Tidak disengaja, dan (3). Karena dipaksa.
Lihat Mujmal Masaa-ilil Iimaan wal Kufr al-‘Ilmiyyah fii Ushuulil ‘Aqiidah as-Salafiyyah (hal. 28-35, cet. II, th. 1424 H) dan Majmuu’ Fataawaa (XII/498).
[7] Rabbani adalah orang yang bijaksana, alim, dan penyantun serta banyak ibadah dan ketaqwaannya. Lihat Tafsir Ibnu Katsir (I/405).
[8] Lihat bahasan kufur dan takfir: Majmuu’ Fataawaa (XII/498) dan Mujmal Masaa-ilil Iimaan wal Kufr al-‘Ilmiyyah fii Ushuulil ‘Aqiidah as-Salafiyyah (hal. 28-35, cet. II-1424 H) oleh Musa Alu Nashr, ‘Ali Hasan al-Halaby al-Atsary, Salim bin ‘Ied al-Hilaly, Masyhur Hasan Alu Salman, Husain bin ‘Audah al-‘Awayisyah, Baasim bin Faishal al-Jawaabirah, حفظهم الله, al-Wajiiz fii ‘Aqiidatis Salafish Shaalih (hal. 121-126, cet. II, Daarur Raayah-1422 H) oleh ‘Abdullah bin ‘Abdil Hamid al-Atsary, dimuraja’ah dan ditaqdim oleh beberapa ulama, dan Fitnatut Takfiir oleh Muhadditsul ‘Ashr Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany, taqdim oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz dan ta’liq oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin رحمهم الله, dikumpulkan oleh ‘Ali bin Husain Abu Lauz, cet. II, 1418 H, Daar Ibnu Khuzaimah, Tabshiir bi Qawaa’idit Takfiir, Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid, cet. I, th. 1423 H, Mauqif Ahlis Sunnah min Ahli Ahwaa wal Bida’.
[9] ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 84) oleh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan.

Baca Juga  Ziarah Kubur
  1. Home
  2. /
  3. A3. Aqidah Ahlus Sunnah...
  4. /
  5. Prinsip Ahlus Sunnah Wal...