Adab-Adab Puasa

ADAB-ADAB PUASA

Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar

Puasa memiliki banyak adab atau tata krama, di mana ia tidak sempurna kecuali dengan mengerjakannya dan tidak juga lengkap kecuali dengan menjalankannya. Adab-adab ini terbagi menjadi dua bagian; adab-adab yang bersifat wajib, yang harus dipelihara dan dijaga oleh orang yang berpuasa. Dan adab-adab yang bersifat sunnah yang juga harus dipelihara dan dijaga oleh-nya. Berikut ini pembahasannya lebih lanjut.

Adab-Adab yang  Bersifat Wajib
1. Orang yang berpuasa harus menghindari kedustaan, karena hal itu termasuk amal yang haram dilakukan pada setiap saat, dan pada waktu puasa itu jelas lebih diharamkan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُوْرِ وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَلاَ يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا

Jauhilah oleh kalian perbuatan dusta, karena dusta itu membawa kepada kejahatan dan kejahatan itu menggiring ke Neraka. Dan seseorang itu masih akan terus berdusta dan terus berdusta sehingga dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.”[1]

2. Hendaklah orang yang sedang berpuasa menghindari ghibah. Yakni seorang muslim menyebutkan apa-apa yang tidak disukai dari saudaranya ketika saudaranya itu sedang tidak bersamanya, baik yang disebutkannya itu apa yang tidak disukai dari penampilan atau akhlaknya, maupun yang disebutkannya itu memang benar adanya maupun tidak.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ

Dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya…” [al-Hujuraat/49: 12]

Pembaca yang budiman, adakah gambaran yang lebih buruk dari gambaran ini, di mana seseorang memakan daging orang yang sudah menjadi mayat? Sesungguhnya yang buta bukanlah mata tetapi hati yang ada di dalam dada. Dan ghibah itu haram dilakukan kapan-pun, dan bagi orang yang sedang berpuasa, ghibah lebih diharamkan sebagai bentuk penghormatan terhadap waktu.

3. Hendaklah orang yang sedang berpuasa juga menghindari namimah atau mengadu domba. Yakni tindakan seorang muslim menyampaikan ungkapan seseorang kepada orang lain dengan tujuan untuk merusak hubungan antara keduanya. Perbuatan ini termasuk perbuatan dosa besar, karena ia dapat merusak individu dan juga masyarakat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَهِينٍ﴿١٠﴾هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ

Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah.” [al-Qalam/68: 10-11]

Sedang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

“لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ.”

Tidak akan masuk Surga orang yang suka mengadu domba.”[2]

4. Hendaklah orang yang berpuasa juga menghindari tipu muslihat dan kecurangan dalam segala bentuk mu’amalah, baik itu jual beli, sewa-menyewa, maupun produksi, serta dalam semua selebaran dan pemberitaan. Sebab, tipu muslihat itu termasuk perbuatan dosa besar, karena ia merupakan penipuan sekaligus penanaman benih fitnah dan perpecahan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا.”

Barangsiapa menipu kami berarti dia bukan dari golongan kami[3]

5. Hendaklah orang yang berpuasa juga menghindari kesaksian palsu, karena hal itu termasuk perbuatan yang bertentangan dengan puasa.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu anhu:

“مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ ِللهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ.”

Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan palsu dan pengamalannya, maka Allah tidak memiliki kepentingan pada tindakannya meninggalkan makanan dan minumannya.”[4]

Adab-Adab yang Bersifat Sunnah
1. Mengakhirkan Sahur
Sahur berarti makan di akhir malam. Disebut sahur karena ia dilakukan pada waktu sahur. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah memerintahkan untuk makan sahur, di mana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ.”

Makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya pada makan sahur itu terdapat keberkahan.”[5]

Hendaklah seseorang berniat mengikuti perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sahurnya itu, sekaligus memperkuat puasanya agar sahur yang dilakukannya itu bisa menjadi ibadah. Dan hendaklah dia mengakhirkan sahur selama tidak khawatir terhadap terbit fajar, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan hal tersebut.

Dari Anas bin Malik, dari Zaid bin Tsabit, dia berkata: “Kami pernah makan sahur bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau berangkat menunaikan shalat, maka kami tanyakan, ‘Berapa lama jarak antara adzan dan makan sahur?’ Beliau menjawab, ‘Sekitar (waktu yang cukup untuk membaca) lima puluh ayat…’”[6]

Baca Juga  Ziarah Kubur Menjelang atau Akhir Ramadhan

2. Menyegerakan Berbuka Puasa
Disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk menyegerakan berbuka jika matahari sudah benar-benar terbenam, dengan melihatnya langsung atau dengan memperkirakan hal tersebut, atau dengan terdengarnya adzan, karena adzan merupakan berita yang paling dapat dipercaya.

Disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk berbuka dengan kurma ruthab (kurma basah), jika tidak maka boleh dengan tamr (kurma kering), dan jika tidak ada juga, maka hendaklah dengan meneguk air. Demikianlah yang biasa dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

“لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجِّلُوْا الْفِطْرَ.”

Manusia ini akan senantiasa baik selama mereka menyegerakan berbuka puasa.”[7]

Dan disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk memanjatkan do’a pada saat akan berbuka dengan do’a-do’a yang mudah diucapkannya, karena pada saat itu merupakan waktu dikabulkannya do’a. Oleh karena itu, seorang muslim harus memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya dari waktu-waktu ketaatan.

3. Menjaga Lisan dari Kata-Kata yang Tidak Bermanfaat
Orang yang berpuasa harus menjaga lisannya dari kata-kata yang tidak bermanfaat, karena lisan merupakan sumber dari banyaknya dosa. Orang-orang mukmin sebenarnya adalah yang selalu menghindari pembicaraan yang tidak berarti dan senantiasa menghiasi diri dengan adab-adab Islam dalam ucapan mereka.

Allah تبارك وتعالى berfirman:

وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ

Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna.” [al-Mu’-minuun/23 : 3]

Selain itu, Dia juga berfirman:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

Tidak ada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya Malaikat pengawas yang selalu hadir.” [Qaaf/50 : 18]

Orang yang berpuasa harus mempuasakan (menahan) juga anggota tubuhnya dari segala macam perbuatan dosa, lisannya dari dusta, kata-kata keji, dan sumpah palsu, serta kata-kata yang tidak berarti. Juga mempuasakan perutnya dari makanan dan minuman, dan kemaluannya dari perbuatan keji. Kalau memang dia harus berbicara, maka dia akan berbicara dengan kata-kata yang tidak akan merusak puasanya. Jika dia berbuat maka dia akan berbuat hal-hal yang tidak akan merusak puasanya, sehingga yang keluar darinya adalah ucapan yang baik dan amal per-buatan yang shalih.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada setiap muslim yang berpuasa untuk menghiasi diri dengan akhlak yang mulia dan baik serta menjauhkan diri dari kata-kata dan perbuatan keji serta hina. Setiap muslim dilarang mengerjakan semua hal yang buruk tersebut di atas pada setiap saat, tetapi larangan itu lebih ditekan-kan lagi pada saat dia menjalankan ibadah puasa.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu anhu:

“…وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ، وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ.”

Puasa itu adalah perisai. Oleh karena itu, jika datang hari puasa, maka janganlah salah seorang di antara kalian melakukan rafats (berbicara kotor atau hubungan badan/jima’) dan tidak juga membuat kegaduhan. Dan jika ada orang yang mencaci atau menyerangnya, maka hendaklah dia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’[8]

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah mengatakan, “… Secara lahiriah, telah muncul musykilah (masalah) bahwa kata mufa’alah menuntut adanya perbuatan dari dua belah pihak. Orang yang berpuasa tidak akan muncul darinya perbuatan yang dapat memancing reaksi, khususnya pertikaian. Sedangkan yang dimaksud dengan mufa’alah adalah kesiapan untuk menanggapinya. Artinya, jika seseorang siap untuk melakukan penyerangan terhadapnya atau caci-maki terhadapnya, maka hendaklah dia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’ Jika dia mengatakan hal tersebut, maka dimungkinkan baginya untuk menahan diri darinya (pertikaian)… Apakah boleh dikatakan dengan ucapan: ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa,’ kepada orang yang menyerangnya atau dengan mengatakannya sendiri? Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Imam an-Nawawi mengatakan, ‘Menyatukan keduanya adalah lebih baik.’”[9]

4. Ghadhdhul Bashar (Menundukkan Pandangan)
Orang yang berpuasa haruslah menundukkan pandangannya dari apa-apa yang diharamkan oleh Allah Ta’ala. Karena sebagaimana anggota tubuh lainnya, mata juga mempunyai hak puasa, dan puasa mata adalah dengan menundukkannya dari hal-hal yang haram.

Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ﴿٣٠﴾وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang mereka perbuat.’ Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka.” [an-Nuur/24: 30-31]

Bulan puasa merupakan lembaga pendidikan yang paling baik bagi orang-orang yang diuji dengan berbagai keinginan syahwat dan ketamakan terhadap pujian manusia. Dia akan menghindari semua itu jika dia memahami hukum Allah Azza wa Jalla serta mencermati hikmah-Nya serta kegigihannya untuk memperbaiki puasanya dan menggapai pahalanya. Pada bulan tersebut, dia akan melatih diri untuk menundukkan pandangan serta menahan anggota tubuhnya dari hal-hal yang buruk dan menyibukkan hati dengan memikirkan ayat-ayat Allah sekaligus mengingat nikmat-nikmat-Nya yang telah dikaruniakan kepadanya, seraya mengintrospeksi diri dalam mensyukurinya dengan mengalokasikannya sebaik-baiknya.

Baca Juga  Meninggalkan Shalat, Padahal Dia Melakukan Ibadah Puasa

Adapun orang-orang yang suka melakukan perbuatan sia-sia yang melepaskan pandangan mereka pada hal-hal yang haram serta tidak menjaga kesucian bulan tersebut, maka mereka tidak akan mendapatkan sesuatu untuk diri mereka, kecuali kerugian dan penyesalan di dunia serta mendapatkan siksa yang sangat pedih di akhirat kelak.

Benarlah ungkapan seorang penyair[10] , di mana dia mengungkapkan:

وَكُنْتَ مَتَى أَرْسَلْتَ طَرْفَكَ رَاِئدًا
إِلَى كُلِّ عَيْنٍ أَتْعَبْـتَكَ الْمَنَـاظِرِ
أَصَبْتَ الَّذِي لاَ كُلَّهُ أَنْتَ قَـادِر
عَلَيْهِ وَلاَ عَنْ بَعْضِـهِ أَنْتَ صَابِـر

Kapan saja engkau melepaskan pandangan ke semua mata,
maka engkau akan dibuat lelah oleh pemandangan.
Engkau akan mendapatkan yang semuanya engkau tidak mampu
menahannya dan tidak juga dari sebagiannya engkau mampu bersabar.”

Di antara Adab Sunnah yang Dilakukan oleh Orang yang Berpuasa:

  1. Memperbanyak bacaan al-Qur-an, berdzikir, berdo’a, shalat, serta shadaqah.
  2. Mengingat semua nikmat yang telah diberikan oleh Allah Ta’ala kepadanya, di mana Dia telah memperkenankan para hamba-Nya untuk menjalankan ibadah puasa serta memberikan kemudahan dalam menunaikannya. Berapa banyak orang yang berangan-angan agar bisa menjalankan puasa, tetapi tidak mudah baginya untuk menjalankannya.
  3. Menjaga semua anggota tubuh dari segala hal yang buruk, di mana seorang yang sedang berpuasa tidak akan mengerjakan apa yang dapat menodai puasanya. Anggota tubuh yang diperintahkan untuk selalu dijaga adalah lisan, mata, telinga, perut, kemaluan, tangan, dan kaki. Oleh karena itu, jika seorang muslim telah menjaga anggota tubuhnya dari segala macam bentuk dosa, maka puasanya akan sempurna dan pahalanya pun akan dilipatgandakan.
  4. Disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk memberikan makanan dan minuman untuk berbuka kepada seseorang atau lebih yang telah berpuasa meski hanya dengan satu buah tamr (kurma kering) atau seteguk air. Yang demikian itu merupakan shadaqah yang paling utama pada bulan Ramadhan.
  5. Disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk memakai siwak. Tidak ada perbedaan waktu antara awal siang dan di akhir siang -berdasarkan apa yang kami tarjih- karena siwak itu dapat membersihkan mulut sekaligus mendapatkan ke-ridhaan Allah.

Demikianlah sebagian dari adab puasa yang bersifat wajib dan sunnah yang harus dipegang dan dijadikan hiasan oleh orang yang berpuasa agar dia bisa benar-benar beruntung, pada hari di mana sebagian orang beruntung dan sebagian lainnya mengalami kerugian.

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Orang-orang yang berpuasa itu terdiri dari dua tingkatan:

  1. Orang yang meninggalkan makan dan minum serta nafsu syahwatnya karena Allah Ta’ala dengan mengharapkan Surga sebagai gantinya dari sisi-Nya. Demikianlah perniagaan dan mu’amalah dengan Allah Azza wa Jalla, di mana Dia tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang paling baik amal perbuatannya. Tidak akan merugi orang yang bermu’amalah dengan-Nya, tetapi justru dia akan mendapatkan keuntungan yang besar….
  2. Di antara orang yang berpuasa itu terdapat orang yang berpuasa di dunia dari segala sesuatu selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, dimana dia menjaga kepala dan semua yang ada padanya, perut dan semua yang dikandungnya, mengingat kematian, dan menghendaki akhirat maka dengan begitu dia meninggalkan perhiasan dunia. Inilah ‘Idul Fithrinya, hari pertemuan dengan Rabb-nya, dan kegembiraannya dengan melihat-Nya.”[11]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_____
Footnote
[1] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (VIII/30) dan Shahiih Muslim (VIII/29))
[2] HR. Al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (VIII/21) dan Shahiih Muslim (I/71))
[3] HR. Muslim (I/69).
[4] Diriwayatkan oleh al-Bukhari. (Shahiih al-Bukhari (III/24))
[5] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/76) dan Shahiih Muslim (III/130))
[6] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/26) dan Shahiih Muslim (III/131))
[7] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/33) dan Shahiih Muslim (III/131))
[8] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/24) dan Shahiih Muslim (no. 1151 (163)).
[9] Fat-hul Baari (IV/105).
[10] Lihat Badaa-i’ul Fawaa-id (II/271), Ibnul Qayyim.
[11] Lihat kitab Fii Aadaabish Shaum li Thaa-ifil Ma’aarif, karya Ibnu Rajab (hal. 185), al-Muhallaa (VI/541), al-Hidaayah (I/129), I’laa-us Sunan (IX/146), asy-Syarhush Shaghiir (II/228), Majmuu’ Fataawaa (VI/359), al-Mughni (IV/432), Fat-hul Baari (IV/137) dan Nailul Authaar (IV/207).