Sejarah Puasa
SEJARAH PUASA
Puasa adalah ibadah ruhiyyah yang ada sejak lama; di mana Allâh Azza wa Jalla mewajibkannya atas banyak umat sebelum umat ini. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, [Al-Baqarah/2:183]
Puasa sendiri telah dikenal oleh orang-orang zaman dahulu dari bangsa Mesir dan India. Juga dikenal oleh bangsa Yunani dan Romawi. Jadi, sejarah puasa sangatlah tua; yang sudah ada sejak zaman dahulu kala. Ada yang mengatakan bahwa orang-orang paganis (penyembah patung-patung) dari bangsa India masih terus melestarikan puasa sampai sekarang ini. Hanya saja tentu bukan karena Allâh, namun untuk menenangkan dan mencari keridhaan sesembahan-sesembahan mereka; bila mereka merasa bahwa mereka telah melakukan hal yang mengundang murka sesembahan-sesembahan mereka. Begitu pula kaum Yahudi dan Nasrani masih terus melestarikan puasa hingga saat ini. Dan memang telah nyata pada mereka bahwa para nabi berpuasa; puasa nabi Musa alaihissalâm , puasa nabi Isa alaihissalâm, dan juga para Hawariyyun pengikut setia nabi Isa alaihissalâm.
Disyariatkannya ibadah ini kepada semua umat, menunjukkan bahwa ibadah ini di antara ibadah yang paling agung dalam menyucikan ruhani, membersihkan jiwa, menguatkan sentimental agama dalam hati, serta untuk melengkapi hubungan antara hamba dengan Rabbnya Subhanahu wa Ta’ala. Karena orang yang berpuasa, setiap kali dirinya digerakkan dan hendak dikuasai oleh keinginan syahwatnya kepada makanan, minuman dan nafsunya; ia pun akan ingat bahwa ia tengah berpuasa. Sehingga ia selalu dalam keadaan ingat kepada Allâh. Dan ingat kepada Allâh yang terpatri dalam hati hamba, adalah di antara faktor paling besar dalam memperbaiki seorang hamba.
SEJARAH DIWAJIBKANNYA PUASA ATAS UMAT INI
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam berpuasa hari Asyura sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan. Bahkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam berpuasa Asyura di Mekkah sebelum hijrah ke Madinah. Seperti yang Imam Al-Bukhâri riwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa ia berkata:
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا نَزَلَ رَمَضَانُ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ لَا يَصُومُهُ
“Dahulu, hari Asyura adalah hari di mana kaum Quraisy berpuasa padanya pada masa jahiliyah. Adalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam berpuasa pada hari Asyura. Tatkala Beliau datang ke Madinah, Beliau juga berpuasa padanya, dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa padanya. Lalu ketika turun (wajibnya puasa) Ramadhan, barangsiapa yang mau ia boleh berpuasa padanya, barangsiapa yang mau ia boleh juga untuk tidak berpuasa padanya. [HR. Al-Bukhâri]
Karena itu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
مَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ
“Barangsiapa yang mau, ia boleh berpuasa Asyura, atau ia juga boleh untuk meninggalkannya.” [HR. Muslim]
Hanya saja, puasa Asyura menurut pendapat yang rajih tidaklah diwajibkan atas Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam dan kaum Mukminin. Namun hanya sekedar puasa sunnah semata. Dalilnya adalah seperti riwayat al-Bukhâri dan Muslim dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma ia berkata:
قَدِمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم المَدِينَة، فَرَأَى الْيَهُودَ تصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: مَا هذَا قَالُوا: هذَا يَوْمٌ صَالِحٌ، هذَا يَوْمُ نَجَّى اللهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسى، قَالَ: فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam datang (di Madinah), dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam lihat kaum Yahudi berpuasa Asyura. Beliaupun bertanya: “Apa ini?” Mereka menjawab: “Ini hari baik. Di mana Allâh menyelamatkan Musa dan bani Israil pada hari tersebut dari kejaran musuh mereka. Lalu Musa pun berpuasa padanya. Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.” Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam memerintahkan orang-orang untuk berpuasa padanya.
Pada tahun kedua dari Hijrah, pada malam kedua dari Sya’ban[1], Allâh Azza wa Jalla mewajibkan puasa atas kaum Muslimin; dengan firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿١٨٣﴾ أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. …[Al-Baqarah/2: 183-184]
Fiman Allâh: “Telah diwajibkan atas kalian” mengindikasikan bahwa puasa jenis apapun tidak diwajibkan atas mereka sebelum itu. Karena itulah kebanyakan para ulama berpendapat bahwa sebelum diwajibkan puasa Ramadhan, tidak ada puasa yang diwajibkan atas umat ini, sesuai dengan ayat di atas. Dan juga berdasarkan apa yang diriwayatkan al-Bukhâri dan Muslim dari Muawiyah Radhiyallahu anhu ia berkata: Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Ini adalah hari Asyura; sedangkan Allâh tidak mewajibkan atas kalian untuk berpuasa padanya. Namun aku berpuasa (pada hari Asyura). Barangsiapa yang suka, ia boleh berpuasa,ataupun bisa pula baginya untuk tidak berpuasa.” [2]
Syaikh Shalih Fauzan berkata dalam Ithâf Ahlil Îmân bi Durûs Syahr Ramadhân:
… Maka puasa adalah suatu kewajiban atas semua umat, meski berbeda cara dan waktunya. Sa’id Bin Jubair rahimahullah berkata: “Puasa orang sebelum kita adalah dari gelapnya malam hingga malam selanjutnya; sebagaimana pada permulaan Islam.” Al-Hasan rahimahullah berkata, “Puasa Ramadhan dulunya wajib atas kaum Yahudi. Akan tetapi mereka meninggalkannya, dan mereka berpuasa satu hari dari satu tahun; di mana mereka menyangka bahwa itu adalah hari ditenggelamkannya Fir’aun; padahal mereka dusta akan hal itu. Karena hari itu adalah hari Asyura[3]. Puasa juga wajib atas Nasrani. Akan tetapi setelah mereka berpuasa beberapa waktu lamanya, lalu bertepatan puasa mereka pada musim yang sangat panas dan terik; dan itu begitu berat bagi mereka dalam perjalanan mereka, juga saat mereka mencari nafkah. Maka bulatlah kesepakatan para pemimpin agama dan pemuka mereka untuk memindah puasa mereka pada suatu musim antara musim dingin dan musim panas. Mereka jadikan puasa mereka pada musim semi dan mereka jadikan pada waktu yang tidak berubah-ubah lagi waktunya. Kemudian saat mereka merubahnya, mereka mengatakan: tambahlah 10 hari dalam puasa kalian; sebagai kaffarah (penggugur) dari apa yang mereka perbuat. Sehingga puasanya menjadi 40 hari.
Adapun firman Allâh:
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu… [Al-Baqarah/2: 184]
Ada yang mengatakan, itu adalah hari-hari bukan pada bulan Ramadhan; yang berjumlah 3 hari. Ada lagi yang mengatakan bahwa maksudnya adalah hari-hari Ramadhan. Karena itu dijelaskan dalam ayat selanjutnya dalam firman-Nya:
شَهْرُ رَمَضَانَ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, [Al-Baqarah/ 2: 185]
Para ulama mengatakan: bahwa kaum Muslimin dulu pada awalnya, diberi pilihan antara berpuasa atau memberi fidyah; yaitu berdasarkan firman-Nya:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. [Al-Baqarah/ 2: 184]
Kemudian adanya pilihan di atas, dihapuskan hukumnya (dinaskh) dengan diwajibkannya puasa itu sendiri; dengan firman-Nya:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, [Al-Baqarah/ 2: 185]
Dan hikmah dari hal tersebut adalah adanya tahapan (tadarruj; barangsur-angsur, tidak seketika) dalam menetapkan suatu syariat dan memberikan keringanan pada umat ini. Karena ketika mereka tidak terbiasa berpuasa, maka ditentukannya puasa atas mereka dari awal mula, maka itu hal yang begitu berat. Karena itu pada awal mulanya, mereka diberi pilihan antara berpuasa atau memberi fidyah. Kemudian ketika keyakinan mereka sudah kuat dan jiwa mereka pun telah tenang serta mereka telah terbiasa puasa, maka diwajibkan atas mereka berpuasa saja. Untuk hal seperti ini ada padanannya dalam berbagai syariat Islam yang terasa berat; di mana itu disyariatkan dengan berangsur-angsur. Akan tetapi yang shahih adalah bahwa ayat tersebut mansukh (dihapuskan hukumnya) bagi orang yang mampu untuk berpuasa. Adapun bagi orang yang tidak mampu berpuasa baik karena telah tua renta, atau sakit yang tak ada harapan sembuh; maka ayat tersebut tidaklah di-naskh (tidak dihapuskan hukumnya bagi mereka). Mereka bisa berbuka dan memberi makan untuk setiap harinya seorang miskin. Dan tidak ada qadha’ atas mereka.
Adapun orang selain mereka, maka yang wajib adalah berpuasa. Bila ia berbuka karena sakit yang menimpa, atau safar, maka wajib untuk diqadha’.
Puasa Ramadhan diwajibkan pada tahun ke-2 H. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam berpuasa selama 9 kali Ramadhan. Dan jadilah puasa ini suatu kewajiban dan rukun di antara rukun Islam. Orang yang mengingkari kewajibannya berarti ia kafir. Adapun yang berbuka tanpa udzur tanpa mengingkari wajibnya, maka ia telah berbuat dosa besar yang harus dihukum ta’zir (hukuman sesuai kebijakan hakim) dan harus dibuat jera. Dan ia harus bertaubat dan mengqadha’ hari yang ia berbuka padanya.[4]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XXI/1438H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Bahwa puasa Ramadhan diwajibkan pada bulan Sya’ban tahun ke-2 H, adalah hal yang tidak diperselisihkan. Adapun penentuan bahwa itu terjadi pada hari Senin malam kedua dari Sya’ban, hal itu disebutkan oleh penyusun Ad-Dînul Khâlish; penyusun (dalam makalah ini adalah Syaikh Abu Bakr Jabir Al-Jaza’iri) menukilkan darinya. Wallâhu A’lam mengenai keabsahannya
[2] Risâlah Ramadhân Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, hlm 20-24
[3] Dan itu bukanlah hari yang mereka tentukan tersebut
[4] Ithâf Ahlil Îmân bi Durûs Syahr Ramadhân hal 11-12
- Home
- /
- A9. Fiqih Ibadah5 Puasa
- /
- Sejarah Puasa