Idul Fithri dan Halal bi Halal

IDUL FITHRI DAN HALAL BI HALAL

Oleh
Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin

Idul Fithri adalah salah satu di antara dua hari raya besar yang ada dalam Islam. Biasanya dalam Idul Fithri, di negeri tercinta ini, selalu identik dengan acara halal bihalal. Entah bagaimana asal muasalnya, tetapi tradisi itu telah berlangsung sejak lama.

Yang jelas, hari Idul Fithri adalah hari dimana kaum Muslimin merayakan kegembiraannya pasca Ramadhan. Bahkan hari itu kaum Muslimin diperbolehkan bersuka ria sebagai ungkapan syukur kepada Allâh dengan melakukan kegiatan apa saja yang menyenangkan hati sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan syari’at Islam.

Ibnu Manzhur dalam Lisan al-‘Arab[1] membawakan perkataan Ibu al-A’rabiy, “Hari raya (‘Id) dinamakan ‘Id, karena hari itu selalu berulang setiap tahun dengan kegembiraan yang selalu baru.”

al-‘Allamah Ibnu ‘Abidin rahimahullah[2] mengatakan,  “Hari raya disebut dengan sebutan ‘Id, karena di hari itu Allâh Subhanahu wa Ta’ala memiliki berbagai macam kebaikan yang semua kebaikan itu kembali kepada para hamba-Nya. Antara lain: (kebaikan) berbuka puasa setelah sebelumnya ada larangan makan, demikian pula zakat fithri. Juga menyempurnakan ibadah haji (pada Idul Adha) dengan thawaf ziarah, makan daging qurban, dan lain-lain. Karena kebiasaannya pada hari itu berisi kegembiraan, kesenangan, dan keriangan.”

Misalnya, dalam suatu riwayat yang shahih, Aisyah Radhiyallahu anha mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepadaku, sedangkan di hadapanku ada dua orang hamba sahaya wanita yang sedang menyanyi (dalam riwayat lain disebutkan: keduanya bukan penyanyi) dengan nyanyian bu’ats. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbaring di pembaringan sambil memalingkan wajahnya (dalam riwayat lain disebutkan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutupi kepalanya dengan kain). Abu Bakar masuk, maka ia menghardikku seraya berkata, “Nyanyian setan di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadapi Abu Bakar seraya bersabda, “Biarkan keduanya.” Ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah tidak mengambil perhatian, maka aku memberikan isyarat kepada keduanya supaya keluar.

Di dalam riwayat lain (disebutkan), Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا أَبَا بَكْرٍ، إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْدًا، وَهَذَا عِيْدُنَا

Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap golongan umat memiliki hari raya. Dan (hari) ini adalah hari raya (id) kita.[3]

Yang dimaksud nyanyian Bu’ats adalah syair yang disenandungkan ala nasyid, berisi penggambaran tentang peperangan dan keberanian.

Syaikh Ali bin Hasan hafizhahullah menukilkan perkataan Imam Baghawi rahimahullah yang mengatakan sebagai berikut, “Bu’ats adalah hari yang dikenal di kalangan bangsa Arab. Sejarahnya, pada hari itu terjadi pembunuhan besar-besaran oleh tentara suku Aus terhadap tentara suku Khazraj. Pertempuran yang terjadi antara kedua suku itu terus berlanjut selama seratus dua puluh tahun hingga datangnya Islam.

Baca Juga  Hari Raya ('Ied) : Ibadah dan Pengungkapan Rasa Syukur

Syair yang disenandungkan oleh dua budak wanita itu adalah syair yang menggambarkan tentang peperangan dan tentang keberanian. Sementara penyebutan syair ini akan dapat membantu menggugah semangat pembelaan terhadap urusan dinul Islam ini.

Adapun nyanyian-nyanyian yang menyebutkan hal-hal jorok, menyebarluaskan perkara-perkara haram serta secara terbuka menyuarakan kata-kata mungkar, maka hal itu termasuk nyanyian yang diharamkan. Dan itu tidak mungkin berlangsung di haribaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan Beliau mengabaikan pengingkaran terhadapnya.

Kemudian, dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “hari ini adalah ‘id (hari raya) kita”, dapat dimaklumi bahwa menampakkan kegembiraan pada dua hari raya Islam merupakan syiar agama. Hari itu bukanlah sebagaimana hari-hari lain.”[4]

Di sisi lain, ketika menjelaskan salah satu riwayat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutupi kepalanya dengan kain (supaya tidak melihat nyanyian dua orang wanita budak sahaya tersebut), al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah, mengatakan:

“Adapun ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelimuti kepala dan wajahnya dengan kain, maka di dalamnya terdapat keterangan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling dari hal itu karena kedudukan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuntut agar tidak memperhatikan hal semacam itu. Akan tetapi bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkarinya, menunjukkan bolehnya hal semacam itu jika sesuai dengan apa yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam setujui, sebab beliau tidak mungkin menyetujui kebatilan.

Tetapi, pada asalnya orang harus membersihkan diri dari permainan-permainan di atas dan hal-hal yang tiada guna. Maka dalam hal ini, orang harus membatasi diri pada hal-hal yang ada nashnya, baik secara waktu maupun tata caranya, untuk maksud memperkecil penyimpangan dari asal yang diperbolehkan”.[5]

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah, kemudian mengatakan:
“Di dalam hadits ini juga terdapat beberapa faidah (di antaranya): disyari’atkannya memberikan keleluasaan kepada keluarga pada hari-hari raya,untuk melakukan berbagai macam hal yang dapat menyenangkan jiwa dan menyegarkan badan setelah penat melakukan ibadah. Tetapi berpaling dari hal-hal (main-main) itu lebih baik. Di dalam hadits ini juga terdapat keterangan bahwa menampakkan kegembiraan pada hari raya termasuk syiar agama”.[6]

Demikianlah, maka halal bihalal atau apapun istilahnya, adalah kegiatan yang menjadi mubah, jika hanya dimaksudkan untuk mengungkapan rasa gembira pada hari raya, baik Idul Fithri maupun Idul Adha; misalnya untuk makan-makan bersama, bertemu keluarga dan handai tolan. Sebab memang diperbolehkan kaum Muslimin mengungkapkan kegembiaraan hatinya pada saat-saat hari raya, sepanjang kegembiraan itu tidak menyimpang dari ketentuan syar’i.

Baca Juga  Pemerintah dan Penentuan Hari Raya

Masalahnya, memang terdapat banyak hal yang kemudian menyimpang dari ketentuan syari’at, seperti ikhtilath (bercampur antara laki-laki dan perempuan bukan mahram), jabat tangan antar lawan jenis, hura-hura, pamer aurat, pamer kecantikan, nyanyian-nyanyian ma’siat, main petasan dan lain sebagainya.

Kegiatan-kegiatan ma’siat semacam itulah yang semestinya dihindari. Di samping itu, tidak usahlah kegiatan saling maaf memaafkan menjadi menu utama dalam acara berhari raya atau berhalal bihalal. Saling memaafkan tidak perlu menunggu tibanya hari raya, apalagi menunggu acara halal bihalal. Anggapan bahwa saling memaafkan seakan-akan lebih afdhal jika dilakukan saat hari raya, adalah anggapan yang keliru. Dan saling maaf semacam itu lebih banyak bersifat semu. Tidak bersifat sungguh-sungguh dan ikhlas. Orang bilang: “Mumpung hari raya, kita saling memaafkan”. Akibatnya, orang begitu mudah untuk saling menyakiti, saling menzalimi dan saling melanggar hak pihak lain, dengan asumsi; “gampang nanti minta maaf pada hari raya”. Allâhu al-Musta’an.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XV/1432/2011M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_____
Footnote
[1] Dinukil dari Ahkam al-‘Idain Fi as-Sunnah al-Muthahharah, Syaikh Ali bin Hasan  al-Halabi, Daar Ibnu Hazm, Beirut, cet. II, 1414 H/1993 M, hal. 13, no. 1. Lihat pula Lisan al-‘Arab, Ibnu Manzhur, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi – Mu’assasah at-Tarikh al-‘Arabi, Beirut, cet. III, 1419 H/1999 M. IX/461.
[2]  dinukil perkataannya oleh Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi, ibid. h.13-14, diterjemah secara bebas
[3] Dua riwayat ini adalah riwayat Imam Bukhari, Lihat Fathu al-Bari,II/440 no. 949, dan II/445, no.953. Juga diriwayatkan oleh Muslim, lihat Shahih Muslim Syarh an-Nawawi, Thqiq: Khalil Ma’mun Syiha: VI/423-424, no. hadits: 2058, 2060
[4]  Lihat Ahkam al-‘Idain Fi as-Sunnah al-Muthahharah, op.cit. hal. 17-18. Lihat pula, Syarhu as-Sunnah, Imam al-Baghawi, al-Maktab al-Islami, Beirut, cet. II, 14-3 H/1983 M, hal. 322-323. Diterjemah secara bebas
[5] Lihat Fathu al-Bari,II/443, diterjemahkan secara bebas.
[6] Ibid. Lihat pula Ahkam al-‘Idain Fi as-Sunnah al-Muthahharah, op.cit. hlm. 18

  1. Home
  2. /
  3. A9. Fiqih Ibadah1 Hukum...
  4. /
  5. Idul Fithri dan Halal...