Menyambut Hari Raya

MENYAMBUT HARI RAYA

Jika bulan Ramadhan telah berlalu, hari raya (‘Îd) al-Fithri pun tiba. Perasaan gembira bercampur haru dan sedih menyatu dalam hati banyak kaum Muslimin. Gembira karena dengan pertolongan dari Allâh Azza wa Jalla , mereka telah bisa melaksanakan puasa dan berbagai ibadah lainnya pada bulan Ramadhan, tapi juga sedih karena berpisah dengan bulan agung yang penuh berkah. Semoga semua ibadah yang kita lakukan itu diterima oleh Allâh Azza wa Jalla sehingga menjadi bekal ketika kita menghadap-Nya.

Untuk lebih menyempurnakan berbagai kebaikan yang kita lakukan pada bulan Ramadhan dan juga sebagai pengingat bagi kita agar tidak terbawa suasana gembira yang berlebihan sampai akhirnya menyebabkan dosa, berikut kami sajikan bahasan terkait hari raya.

Berikut beberapa amalan yang harus diperhatikan seorang Muslim kala hendak berhari raya dan melaksanakan shalat ‘Îd.

Pengertian Ied (Hari Raya)
Kata al-‘Îd menurut etimologi bahasa Arab menunjukkan sesuatu yang kembali dan berulang-ulang serta kemunculan dan datangnya biasa berulang dari waktu dan tempat. Kata ini berasal dari kata al-‘aud yang bermakna kembali dan berulang. Sedangkan kata al-i’tiyâd menurut istilah bahasa Arab adalah isim masdar dari kata عَادَ – يَعُوْدُ  , kemudian menjadi nama untuk satu hari yang tertentu karena berulangnya dalam setahun dua kali. Bentuk pluralnya (jama’) adalah a’yâd (أَعْيَاد ). Bangsa Arab menyatakan: عَيَّدَ الْمُسْلِمُوْنَ bermakna kaum Muslimun menyaksikan hari raya mereka.

Hari raya dinamakan demikian karena di hari tersebut Allâh Azza wa Jalla memiliki banyak kebaikan yang berulang, berupa berbuka setelah dilarang makan, zakat fithri, penyempurnaan haji dengan thawaf dan daging kurban. Juga karena biasanya pada hari itu berisi kebahagiaan, kesenangan dan semangat. Imam as-Suyuthi rahimahullah menegaskan bahwa ini merupakan kekhususan umat ini.[1]

Pensyariatan dua hari raya merupakan rahmat Allâh Azza wa Jalla kepada umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana dijelaskan dalam hadits dari Anas, beliau berkata:

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةَ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ قَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ النَّحْرِ وَيَوْمَ الْفِطْرِ

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dan penduduk Madinah kala itu memiliki dua hari yang mereka gunakan untuk bermain di masa jahiliyah, lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku telah mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari yang kalian gunakan untuk bermain di masa jahiliyah. Sungguh Allâh Azza wa Jalla telah menggantikan untuk kalian dua hari yang lebih baik dari itu; yaitu hari Nahr (‘Îdul Adh-ha) dan hari Fithr (‘Îdul Fithri).[2]

Melaksanakan Shalat Ied
Diwajibkan kepada seluruh orang Islam untuk melaksanakan shalat Îd, dan orang yang meninggalkannya tanpa ada udzur, maka ia berdosa. Ini mazhab Imam Abu Hanifah rahimahullah dan riwayat dari Imam Ahmad rahimahullah . Di antara yang memilih pendapat ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah , asy-Syaukani rahimahullah, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di dan Syaikh Abdulaziz bin Bâz rahimahullah. [3] Hal ini d’Îdasarkan pada firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ ﴿١﴾ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berkorbanlah.” [Al-Kautsar/108: 1-2]

Juga didukung oleh perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk keluar melaksanakan shalat ‘Îd, bahkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan para wanita untuk keluar (untuk shalat). Imam al-Bukhâri, no. 324 dan Muslim, no. 890 meriwayatkan dari Ummu ‘Athiyyah  Radhiyallahu anha, dia berkata:

أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ . قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِحْدَانَا لا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ . قَالَ : لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami di hari raya ‘Îdul Fitri dan ‘Îdul Adha untuk mengeluarkan wanita yang baru baligh, wanita sedang ha’Îd dan wanita perawan. Para wanita yang sedang ha’Îd dipisahkan dari (tempat) shalat. Agar mereka dapat menyaksikan kebaikan dan doa umat Islam.” Saya berkata, ‘Wahai Rasûlullâh, ada di antara kami yang tidak mempunyai jilbab.” Beliau mengatakan, “Sebaiknya saudara perempuannya memberinya jilbab.”

Kata ‘al-awâtiq’ adalah bentuk jama’ (plural) dari kata ‘âtiq’ yaitu wanita yang telah atau hampir baligh atau layak untuk menikah, sedangkan ‘dzawâtil khudûr’ adalah para perawan yang dipingit.

Apalagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan shalat ‘Îd sejak diperintahkannya pada tahun kedua hijriyah sampai Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Juga para khulafa’ Rasy’Îdin setelah Beliau pun selalu melaksanakannya. Ini semua menegaskan wajibnya shalat ‘Îd ini. [4]

Oleh karena itu Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Yang benar adalah shalat ‘Îd hukumya fardhu ‘ain. Semua dalil yang digunakan untuk menetapkan hukumnya fardhu kifayah adalah dalil yang menunjukkan fardhu ‘ain, dan karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk shalat ‘Îd hingga pada wanita yang hampir baligh dan perawan pingitan, dan memerintahkan wanita ha’Îd untuk menjauh dari tempat shalat. Seandainya bukan karena urgensitas shalat ini yang melebihi kewajiban-kewajiban lainnya, tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan umatnya dengan perintah seperti ini. Sehingga, ini menunjukkan shalat ‘Îd termasuk fardhu ain yang ditekankan.[5]

Syaikh Abdul Aziz bin Bâz rahimahullah dalam Majmû’ al-Fatâwâ, 13/7 mengomentari pendapat yang mengatakan (shalat ‘Îd) fardu ain, “Pendapat ini yang lebih kuat berdasarkan dalil yang ada dan lebih mendekati kebenaran.”

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam Majmû’ al-Fatâwâ, 16/214 mengatakan, “Pendapat saya bahwa shalat ‘Îd itu fardu ain. Tidak dibolehkan bagi laki-laki untuk meninggalkannya, mereka harus hadir. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya, bahkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para wanita yang baru baligh dan para gadis untuk keluar shalat ‘Îd. Bahkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan wanita haid untuk keluar (ke tempat shalat ‘Îd) akan tetapi dipisahkan dari tempat shalat. Hal ini semakin menguatkan kewajibannya.”[6]

Beliau juga mengatakan, 16/217,  “Yang terkuat sesuai dalil yang ada bahwa shalat ‘Îd adalah fardu ain. Hal itu diwajibkan kepada seluruh laki-laki untuk menghadiri shalat ‘Îd, kecuali yang mempunyai udzur.”

Demikian juga ini dirojihkan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab ash-Shalât, halaman 11.

Sebelum melakukan shalat ied dianjurkan melakukan amalan yang menjadi etika dalam melaksanakan shalat ied, di antaranya:

Mandi di Hari Raya
Disunnahkan bersuci dengan mandi untuk hari raya, karena ia adalah hari selueuh kaum Muslimin berkumpul untuk sholat, sehingga disunnahkan mandi pada hari itu seperti hari Jum’at. Namun jika tidak bisa mandi, maka dengan berwudhu saja itu pun sah. [7] Karena mandi hari raya ini tidak wajib.

Imam Nâfi’ meriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma mandi di hari ‘Îdul Fithri sebelum berangkat ke mushalla (lapangan).[8] Sedangkan Imam Sa’id bin al Musayyib menyatakan, “Amalan sunnah pada ‘Îdul Fithri ada tiga; berjalan kaki ke mushalla, makan sebelum berangkat dan mandi.”[9]

Adapun Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu mandi untuk dua hari raya. Hadits tentang itu shahih dan juga telah ada riwayat yang shahih tentang hal itu dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma yang memiliki semangat tinggi untuk mencontoh sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma dahulu mandi pada hari raya sebelum keluar (menuju tanah lapang).”[10]

Makan Pada Hari Raya
Disunnahkan makan di hari raya fithri sebelum berangkat menunaikan shalat dan tidak makan di hari raya Adh-ha sampai selesai shalat. Ini berdasarkan hadits dari Anas Radhiyallahu anhu, beliau Radhiyallahu anhu berkata:

Baca Juga  Hari Raya ('Ied) : Ibadah dan Pengungkapan Rasa Syukur

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu tidak berangkat pada hari ‘Îdul fithri sampai makan beberapa butir kurma.[11]

Juga berdasarkan hadits dari Buraidah Radhiyallahu anhu, beliau berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ ويَوْمَ النَّحْرِلاَ يَاْكُلُ حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ نَسِيْكَتِهِ

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu tidak keluar pada hari raya fithri sampai Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam makan (terlebih dahulu-red) dan pada hari raya adhha (kurban) tidak makan sampai kembali lalu memakan dari sembelihan kurbannya.[12]

Para Ulama menjelaskan hikmah disunnahkan makan pada hari raya Fithri sebelum shalat dan setelah shalat pada hari raya Adhha (kurban). Mereka menyatakan, ‘Hari raya Fithri adalah hari diharamkannya puasa setelah diwajibkan, sehingga disunnahkan mempercepat (menyegerakan) berbuka untuk menampakkan sikap segera taat kepada Allâh Azza wa Jalla dan melaksanakan perintah-Nya untuk berbuka yang menyelisihi kebiasaan. Sedangkan pada hari raya Adh-ha sebaliknya. Juga karena Adh-ha disyariatkan berkurban dan memakan dari kurban tersebut sehingga disunnahkan berbuka dengan sebagian kecil dari kurbannya tersebut’.[13]

Ibnul Qayyim rahimahullah  menyatakan, ‘Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu sebelum keluar (untuk melaksanakan shalat) pada hari raya Fitri, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam makan beberapa kurma dan memakannya dengan ganjil. Sedangkan dalam hari raya kurban, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak makan sampai kembali dari tempat shalat (mushalla) lalu makan dari sebagian daging kurbannya’[14]

Berhias Pada Hari Raya
Disunnahkan memakai pakaian terbaik yang ada serta memakai minyak wangi dan siwak.

Imam Maalik rahimahullah berkata, ‘Saya mendengar para Ulama bahwa memakai minyak wangi dan berhias pada setiap hari raya itu disunnahkan.’[15]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ‘Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu untuk keluar pada dua hari raya memakai pakaian terbaiknya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu memiliki hullah (pakaian khusus) yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kenakan untuk dua hari raya dan Jum’at, terkadang mengenakan dua baju burd berwarna hijau dan kadang mengenakan satu pakaian burd berwarna merah.’[16]

Pada hari tersebut kaum Muslimin berkumpul, sehingga sepatutnya seorang Muslim tampil dengan penampilan terbaik untuk menampakkan nikmat-nikmat Allâh dan mensyukurinya, karena Allâh senang melihat bekas nikmat-Nya kepada hamba-Nya.

Apakah ini khusus pada selain orang yang beri’tikaf?

Yang rajih, ini bersifat umum mencakup orang yang beri’tikaf dan yang lainnya. Sehingga sudah sepatutnya orang yang beri’tikaf untuk keluar shalat dalam keadaan bersih dan wangi, mengenakan pakaian terbaiknya.

Diperbolehkan wanita menghadiri tempat shalat ‘Îd, namun tidak mengenakan pakaian mewah, tidak memakai wangi-wangian, menjauhi kumpulan laki-laki sehingga tidak campur baur dengan mereka. Sedangkan orang yang sedang haid harus menjauh dari lapangan tempat shalat.

Namun sangat disayangkan, jika kita memperhatikan keadaan kaum wanita saat ini, kita akan melihat perbuatan-perbuatan mereka yang banyak sekali menyelisihi sunnah dan melanggar larangan Allâh. Mereka mengenakan pakaian yang mewah dengan wewangian yang sangat kentara. Bahkan sebagian wanita ada yang berhias tabarruj dan membuka auratnya. La haula wala quwwata illa billah.

Kewajiban para wali untuk mengingat mereka agar tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran itu.

Melaksanakan Shalat Ied di Tanah Lapang
Disunnahkan melaksanakan shalat ‘Îd di mushalla (tanah lapang) dan tidak shalat di masjid kecuali karena hajat, berdasarkan hadits Abu Sa’îd al-Khudri Radhiyallahu anhu yang berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى المُصَلَّى، فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ، فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ، وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ، وَيُوصِيهِمْ، وَيَأْمُرُهُمْ

Rasûlulâh n dahulu berangkat pada hari ‘Îdul Fitri dan Adh-ha ke mushalla (tanah lapang). Beliau memulai dengan shalat kemudian selesai lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun menghadap para Sahabat yang masih dalam keadaan duduk di barisan-barisan mereka. Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasihat, wasiat serta perintah [Muttafaqun ‘alaihi].

Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan tentang mushalla tempat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan shalat ‘Îd di Madinah yaitu sebuah tempat yang terkenal yang hanya berjarak 100 hasta dari pintu masjid Nabawi.[17]

an-Nawawi rahimahullah menjelaskan hadits Abu Sa’îd ini dengan menyatakan, “Ini adalah dalil bagi Ulama yang berpendapat bahwa keluar ke mushalla untuk menunaikan shalat ‘Îd itu disunnahkan dan itu lebih utama daripada melaksanakannya di masjid. Inilah amalan orang-orang di mayoritas negeri. Adapun penduduk Makkah tidak melaksanakan shalat kecuali di masjid sejak zaman dahulu.[18]

Apabila ada udzur yang menghalangi keluar ke mushalla berupa hujan, rasa takut atau sakit atau lainnya maka boleh shalat di masjid.

Syaikh Abdul Aziz bin Bâz rahimahullah menjelaskan, “Apabila tanah basah terkena hujan maka shalatlah di masjid. Adapun Makkah maka shalat ‘Îd di Masjid secara mutlak dan barangsiapa yang menunaikan shalat di masjid maka ia harus shalat tahiyatul masjid. [19]

Berangkat Shalat Shalat Ied Dengan Berjalan Kaki Dengan Tenang
Juga disunnahkan berangkat dengan jalan kaki dengan tenang dan santai. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Di antara para Ulama yang menyunnahkan berjalan adalah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah , an-Nakha’i rahimahullah , ats-Tsauri rahimahullah , asy-Syâfi’i rahimahullah dan yang lain. [20]

Dasar dari pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan Sa’ad Radhiyallahu anhu dan Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma yang berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يَخْرُجُ إِلَى الْعِيدِ مَاشِيًا وَيَرْجِعُ مَاشِيًا

Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu keluar untuk menunaikan shalat ‘Îd dengan berjalan dan kembali dengan berjalan kaki. [HR. Ibnu Mâjah, no. 1294 dan 1295. Hadits ini dinilai sebagai hadits hasan oleh al-Albani dalam Shahîh Ibnu Majah 1/388].

Sedangkan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu berkata, “Termasuk sunah adalah berangkat shalat ‘Îd dengan berjalan kaki. [Diriwayatkan at-Tirmidzi dalam Sunannya, no. 530 dan Ibnu Mâjah, no. 1296. Hadits ini dinilai sebagai hadits hasan oleh al-Albani dalam Shahîh at-Tirmidzi, 1/296].

Berangkat dan Pulang dari dan ke Mushalla Dengan Mengambil Jalan yang Berlainan
Mengambil jalan yang berlainan, berangkat melalui satu jalan dan pulang melalui jalan lain, termasuk yang disunnahkan ketika hari raya. Ini dilakukan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana dijelaskan Sahabat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Jâbir Radhiyallahu anhu, dia yang berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu pada hari ‘Îd pulang dan pergi dengan jalan berbeda. [HR. Al-Bukhâri]

Saat menjelaskan amalan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat ‘Îd dan berangkat keluar ke lapangan, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu keluar dengan jalan kaki dan mengambil jalan yang berbeda pada hari raya. Sehingga Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat melalui satu jalan dan kembali melalui jalan lainnya. Ada yang menyatakan hal ini agar dapat memberi salam kepada orang yang melewati dua jalan tersebut dan ada yang menyatakan untuk mendapatkan barakah dua kelompok tersebut (dua kelompok orang yang berjalan di dua jalan tersebut). Juga ada yang menyatakan bahwa hal itu agar dapat memenuhi hajat orang yang membutuhkannya di dua jalan tersebut.  Ada juga yang menyatakan untuk menampakkan syiar islam di segenap jalan-jalan, ada juga yang menyatakan untuk membuat marah kaum munafik dengan melihat kemuliaan Islam dan kaum Muslimin. Juga ada yang menyatakan bahwa hal itu untuk memperbanyak melihat tempat, karena langkah orang yang berangkat ke masjid dan tanah lapang yang satu mengangkat derajat dan yang lain menghapus dosa sampai kembali ke rumahnya.  Ada pula yang menyatakan hal itu karena hal-hal tersebut seluruhnya dan untuk yang lainnya dari hikmah yang tidak lepas dari perbuatan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Pendapat terakhir inilah yang lebih benar’.[21]

Baca Juga  Takbir Pada Idul Fithri dan Idul Adha

Ibnul Qayyim pun berkata, “Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma yang memiliki semangat sangat tinggi mengikuti sunnah, tidak keluar sampai matahari terbit dan bertakbir dari rumahnya sampai ke tanah lapang tempat shalat ‘Îd.”[22]

Bersegera ke Tanah Lapang
Disunnahkan para makmum untuk bersegera menuju tanah lapang tempat shalat ‘Îd akan dilaksanakan setelah shalat Shbuh. Adapun imam disunnahkan memperlambat hingga waktu shalat, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal itu. Hal ini dijelaskan Abu Sa’îd al-Khudri Radhiyallahu anhu dalam pernyataan beliau:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى المُصَلَّى، فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ

Rasûlulâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu berangkat pada hari ‘Îdul Fitri dan Adh-ha ke mushalla (tanah lapang). Beliau memulai dengan shalat [Muttafaqun ‘alaihi].

Imam Mâlik  rahimahullah menyatakan, “Telah berlalu sunah bahwa imam keluar dari rumahnya seukuran waktu sampai mushalla dalam keadaan pas waktu shalat. Adapun selain imam disunnahkan untuk bersegera dan mendekat kepada imam untuk mendapatkan pahala, menunggu shalat, mendekati imam tanpa melangkahi bahu-bahu orang dan mengganggu orang lain.”

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa dalil tentang sunnahnya berangkat ke lapangan setelah shalat Shubuh adalah:

  1. Amalan para Sahabat, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat ke mushalla apabila matahari terbit dan mendapati orang-orang telah hadir semua. Ini menunjukkan bahwa mereka lebih dahulu datangnya.
  2. Karena hal ini berarti lebih cepat menuju kebaikan.
  3. Karena pahala apabila sampai masjid dan menunggu shalat maka dia selalu berada dalam shalat.
  4. Apabila bersegera maka akan mendapatkan tempat dekat dengan imam

Semua alasan di atas merupakan perkara yang dituju oleh syariat. [23]

Bertakbir di Jalan Menuju Mushala
Hendaknya bertakbir di jalan menuju tempat shalat ‘Îd dengan mengeraskan suaranya, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Dan hendaklah kamu mengagungkan Allâh atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. [al-Baqarah/ 2:185].

Begitu juga amalan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya 1/487 dari as-Zuhri secara mursal dengan sanad yang sahih, beliau berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ، فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى، وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلَاةَ، فَإِذَا قَضَى الصَّلَاةَ، قَطَعَ التَّكْبِيرَ

Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu keluar pada hari ‘Îdul fitri lalu bertakbir hingga sampai mushalla dan hingga ditunaikan shalat. Apabila shalat ditunaikan maka Beliau memutus takbirnya. [Hadits ini dipandang sebagai hadits shahih oleh syaikh al-Albani dalam Silsilah Ahâdîts Shahîhah, no. 170, 1/120].

Hal ini juga diamalkan Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma :

كَانَ يَجْهَرُ بِالتَّكْبِيرِ يَوْمَ الْفِطْرِ إِذَا غَدَا إِلَى الْمُصَلَّى حَتَّى يَخْرُجَ الْإِمَامُ، فَيُكَبِّربِتَكْبِيرِهِ

Dahulu Ibnu Umar Radhiyallahu anhua mengeraskan takbir pada ‘Îdul fitri ketika berangkat ke mushalla hingga imam keluar lalu bertakbir dengan takbir imam. [Riwayat ini dipandang sebagai hadits shahih oleh syaikh al-Albani dalam Silsilah Ahâdîts Shahîhah, no. 170]

Tidak Ada Shalat Qabliyah (Sebelum) dan Ba’diyah (Sesudah) Shalat ‘Ied
Tidak disyariatkan shalat sunah sebelum dan sesudah shalat ‘Îd, berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى يَوْمَ الفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا، ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ وَمَعَهُ بِلاَلٌ

Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari ‘Îdul fitri shalat dua rakaat tanpa shalat sebelum dan sesudahnya, kemudian mendatangi para wanita bersama Bilal. [Muttafaqun ‘alaihi].

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya tidak pernah melakukan shalat (sunah) ketika tiba di tanah lapang sebelum shalat ‘Îd dan tidak pula sesudahnya. [24]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan, “Jadi, kesimpulannya bahwa untuk shalat ‘Îd tidak ada shalat sunnah sebelumnya dan tidak pula sesudahnya. Berbeda dengan orang yang mengqiyaskannya (menyamakannya) dengan shalat Jum’at.”[25]

Tidak Ada Adzan dan Iqamat Dalam Shalat Ied
Dalam shalat ‘Îd tidak disyariatkan adzan dan iqamat, berdasarkan hadits Jabir bin Samurah Radhiyallahu anhu yang berkata:

صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَيْنِ، غَيْرَ مَرَّةٍ وَلَا مَرَّتَيْنِ، بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ

Aku pernah shalat dua hari raya bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dari sekali dua kali, tanpa dikumandangkan adzan dan tanpa iqamah [HR. Muslim]

Juga hadits Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu dan Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu berkata :

لَمْ يَكُنْ يُؤَذَّنُ يَوْمَ الفِطْرِ وَلاَ يَوْمَ الأَضْحَى

Tidak pernah dikumandangkan adzan (untuk shalat Ied -pent) pada hari ‘Îdul Fithri dan ‘Îdul Adha [Muttafaqun ‘alaihi]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila tiba di mushalla (tanah lapang), Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai shalat tanpa adzan dan tanpa iqamah, dan tidak pula ucapan “ash-Shalâtu Jâmi’ah”. Yang sunnah semua itu tidak dilakukan.[26]

Imam as-Shan’ani berkata dalam memberi komentar terhadap atsar-atsar dalam bab ini, “Ini merupakan dalil tidak disyariatkannya adzan dan iqamah dalam shalat ‘Îd, karena (mengumandangkan) adzan dan iqamah dalam shalat ‘Îd adalah b’Îd’ah” [27]

Demikianlah beberapa etika dan amalan seputar shalat ied, semoga bisa menambah wacana dan ilmu serta menjadi pencerah pada masyarakat agar kembali melaksanakan shalat ied sesuai sunah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Sumber :

  1. Ahkâm al ‘Îdain Wa ‘Asyara Dzilhijjah , DR. Abdullah bin Muhammad al-Thayâr. Cetakan pertama Tahun 1413 H Penerbit: Dâr Al ‘Ashimah, Riyadh, KSA
  2. Shalâtul Îdain Mafhûmu, Fadhâ’il, Âdâb, Syurûrth wa Ahkâm fî Dhau’i al-Kitâb wa as-Sunnah, Dr. Sa’îd bin Ali bin Wahf al-Qahthani.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_____
Footnote
[1] Lisân al-Arab pada kata عود  , 3/319, Hâsyiyah al-Raudh, 2/492 dan Hâsyiyah Ibnu ‘Abidin  2/165.
[2] Dikeluarkan oleh Abu Daud dalam bab Shalat al-Îdain (1/675/1134), al Nasaa’I (3/179) dan Ahmad (3/103)
[3] Lihat al-Mughni, 3/253; Al-Inshâf, 5/316; Al-Ikhtiyârât, hlm. 82.
[4] lihat al-Mughni 3/254 dan asy-Syarhul Mumti’ 5/151-152.
[5] al-Mukhtârât al-Jâliyah minal Masâ’il al-Fiqhiyah, hlm 72.
6] lihat juga asy-Syarhul Mumti’ 5/151-152.
[7] Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, 3/257
[8] Diriwayatkan Imam Mâlik dalam al-Muwaththa’, 1/177
[9] Irwâ’ al-Ghalîl (2/104)
[10] Zâd al-Ma’âd 1/442
[11] Diriwayatkan al-Bukhâri. Lihat Fathul Bari 2/447
[12] Diriwayatkan al-Tirmidzi, no. 542 dan Ibnu Majah, no. 1756
[13] Al-Mughni 3/259
[14] Zaad al Ma’aad 1/441.
[15] Al-Mughni 3/257
[16] Zâd al-Ma’âd 1/441.
[17] Fathul Bâri 2/449
[18] Syarah Nawawi atas Shahih Muslim 6/427
[19] Lihat Pelajaran kitab Muntaqal Akhbâr hadits no 1660.
[20] al-Mughni, 3/262
[21] Zâd al Ma’âd, 1/449
[22] Zâd al-Ma’âd, 1/442
[23] asy-Syarhul Mumti’ 5/163-164
[24] Zâd al-Ma’âd, 1/443
[25] Fathul Bâri 2/476)
[26] Zâd al Ma’âd 1/442
[27] Subulus Salâm 3/229.