Rasulullah Menekankan Kewajiban ittiba’ Dalam Ibadah
RASULULLAH MENEKANKAN KEWAJIBAN ITTIBA DALAM IBADAH
Allah Azza wa Jalla mengutus Rasul-Nya sebagai mubayyin (penjelas), bertugas menjelaskan risâlah mulia dari-Nya. Tidak ada kemaslahatan bagi umat manusia kecuali telah dijelaskan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan gamblang dan tuntas. Termasuk dalam konteks ini, tata cara dan petunjuk pelaksanaan seluruh ibadah.
Dalam kaidah fiqhiyyah, hukum asal ibadah adalah haram. Seorang Muslim tidak diperkenankan beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan suatu cara apapun kecuali yang telah dipaparkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sang utusan Allah Rabbul ‘âlamîn.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memaparkan kewajiban umat mengikuti petunjuk syariat yang lazim disebut dengan ittibâ‘, kewajiban berikutnya adalah ikhlas dalam menjalankan ibadah. Ini bertujuan agar setiap Muslim dapat mengerjakan segala sesuatu sesuai dengan petunjuk pelaksanaan yang telah ditentukan, tidak membuat cara-cara yang baru atau menggagas ketentuan lain. Di samping itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan pula akan bahaya amalan yang tak berlandaskan petunjuk beliau.
Dalam ibadah shalat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ
Shalatlah sebagaimana kalian melihatku mengerjakan shâlat. [HR al-Bukhâri]
Ibadah haji adalah salah satu media pembinaan umat untuk taat dan tunduk kepada petunjuk Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanamkan pada hati para Sahabat akan pentingnya ittibâ’ dengan petunjuk beliau.
Jâbir bin ‘Abdillâh Radhiyallahu anhu mengatakan: “Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melontar jumrah dari atas tunggangannya seraya bersabda:
خُذُوْا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّي لاَ أَدْرِيْ لَعَلِّيْ لاَ أَحُجُّ بَعْدَ عَامِي هَذَا
Hendaknya kalian mengambil tata cara ibadah haji kalian (dariku). Sesungguhnya aku tidak tahu, mungkin saja aku tidak berangkat haji setelah haji ini [HR an-Nasâ`i no. 3012]
Dalam hadits di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghimbau umat (para Sahabat) untuk memperhatikan tata cara ibadah haji beliau dengan menyebutkan kemungkinan haji tersebut merupakan haji terakhir yang beliau jalankan. Sebab hadits tersebut berulang-ulang beliau sampaikan di kesempatan tersebut.
Waktu pelaksanaan ibadah kurban ini adalah setelah melakukan shalat ‘Idul Adhha. Dalam hadits al-Barâ’ bin ‘Azib Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نُصَلِّيَ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا وَمَنْ نَحَرَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ قَدَّمَهُ ِلأَهْلِهِ لَيْسَ مِنْ النُّسْكِ فِي شَيْءٍ
Amalan pertama yang kita lakukan pada hari ini yaitu shalat kemudian pulang lalu menyembelih binatang kurban. Barangsiapa yang melakukan hal itu, maka dia telah sejalan dengan petunjuk kami. Barangsiapa yang menyembelih hewan kurbannya sebelum shalat, maka itu hanyalah daging yang dihidangkan buat keluarganya, tidak termasuk nusuk (ibadah) sama sekali. [HR al-Bukhâri, no. 5545]
Penyembelihan kurban yang tidak tepat waktu menyebabkan sembelihan tersebut tidak bernilai ibadah sebagaimana diniatkan. Ia seperti sembelihan-sembelihan lain yang dilakukan di bulan-bulan lain. Karenanya, amalan tersebut tertolak sama sekali.
Inilah sisi pentingnya ittibâ’ dalam beribadah. Allah Azza wa Jalla menerima amalan tersebut dari orang yang ikhlas. Dalam hadits lain, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَليْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Orang yang beramal dengan amalan yang tidak berada di atas petunjuk kami, niscaya akan tertolak. [HR. al-Bukhâri dan Muslim]
Sahabat Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu mengingatkan:
اِتَّبِعُوْا وَلاَ تَبْتَدِعُوْا وَقَدْ كُفِيْتُمْ
“Ikutilah (petunjuk), jangan berbuat bid’ah. Kalian sudah cukup dengan petunjuk yang ada”
Alangkah berbahagianya orang yang beribadah dengan mengikuti petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , pertanda orang tersebut benar-benar berkomitmen dengan persaksiannya wa asyhadu anna Muhammadar rasûlullâh. Sebab di antara konsekuensinya, adalah beribadah dengan syariat dan petunjuk yang dibawa oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Syaikh al-Albâni berkata: “Adalah sebuah kebahagian bagi orang yang diberi taufik oleh Allah untuk mengikuti petunjuk Nabi-Nya, tanpa mencampurinya dengan bid’ah. Maka dari itu, hendaknya bergembira, karena Allah Azza wa Jalla menerima amal ketaatannya dan memasukkannya ke surga. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang mendengarkan perkataan dan mengikuti yang terbaik (Hajjatun Nabi, hlm. 100). Wallâhu a’lam (Abu Minhal)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIII/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
- Home
- /
- B2. Topik Bahasan4 Uswah...
- /
- Rasulullah Menekankan Kewajiban ittiba’...