Kaidah Ke. 23 : Kaum Muslimin Harus Memenuhi Syarat-syarat yang Telah Mereka Sepakati
QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Kedua Puluh Tiga
الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
Kaum muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati kecuali syarat yang mengharamkan suatu yang halal atau menghalalkan suatu yang haram.[1]
Sebagaimana kaidah sebelumnya, kaidah yang mulia ini sesuai dengan lafadz hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
Dan kaum Muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati kecuali syarat yang mengharamkan suatu yang halal atau menghalalkan suatu yang haram.[2]
Kaidah ini menjelaskan bahwa hukum asal dari persyaratan-persyaratan yang telah disepakati oleh kaum Muslimin dalam berbagai akad yang dilaksanakan adalah diperbolehkan. Karena mengandung maslahat dan tidak ada larangan syari’at tentang hal itu. Tentunya, selama syarat-syarat itu tidak menyeret pelakunya terjerumus kedalam suatu yang diharamkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Apabila mengandung unsur haram sehingga bisa menyeret pelakunya terjerumus dalam perkara yang haram maka syarat-syarat tersebut tidak diperbolehkan.
Syarat-syarat yang diperbolehkan sebagaimana hukum asalnya itu banyak, diantara contohnya :
1. Dalam akad jual beli.
a. Seseorang menjual barangnya dan menetapkan syarat agar ia masih diberi hak untuk menggunakan barang tersebut dalam jangka waktu tertentu sebelum diserahkan kepada pembeli. Misalnya Ahmad menjual rumahnya kepada Zaid dengan harga tertentu. Ahmad mensyaratkan bahwa ia masih menempati rumah itu selama satu bulan sebelum diserahkan kepada Zaid.
b. Seseorang membeli barang dengan syarat pembayarannya ditunda sampai jangka waktu tertentu. Misalnya Ahmad membeli sebuah rumah dari Zaid dengan harga tertentu, dengan syarat setengah dari harga tersebut langsung dibayarkan ketika akad, sedangkan setengahnya dibayarkan sebulan kemudian.
c. Pembeli mensyaratkan bahwa barang yang akan dibelinya harus memiliki sifat-sifat tertentu. Misalnya seseorang yang ingin membeli budak dan ia mensyaratkan bahwa budak yang akan ia beli tersebut harus mempunyai keahlian tertentu, seperti bisa membaca dan menulis atau keahlian lainnya. Demikian pula apabila seseorang ingin membeli hewan ternak dan ia mensyaratkan kepada si penjual bahwa hewan yang akan ia beli tersebut produksi susunya banyak atau selainnya.
2. Dalam akad hutang piutang, apabila orang yang menghutangi menetap syarat harus ada jaminan berupa barang tertentu kepada orang yang berhutang. Misalnya Ahmad ingin berhutang sejumlah uang kepada Zaid. Kemudian Zaid berkata, “Saya mau meminjami uang kepadamu dengan syarat ada jaminan.”
3. Berkaitan dengan akad wakaf, apabila seseorang mewakafkan suatu barang disertai dengan syarat tertentu. Maka dalam pemanfaatan barang wakaf itu harus disesuaikan dengan syarat yang telah ditentukan oleh si pewakaf, selama syarat tersebut tidak menyelisihi syari’at. Misalnya seseorang mewakafkan sebidang tanah dengan syarat digunakan untuk pembangunan masjid. Maka pemanfaatan tanah tersebut harus disesuaikan dengan syarat yang telah ditentukan pewakaf.
4. Demikian pula syarat-syarat yang dibuat oleh pasangan suami isteri dalam ikatan pernikahannya. Misalnya, seorang wanita berkata kepada calon suaminya, “Saya mau menjadi isterimu dengan syarat saya tetap tinggal di kampung kelahiran saya.” Atau si wanita tersebut mensyaratkan supaya tidak dipoligami atau syarat-syarat semisalnya. Maka hokum asal dari persyaratan-persyaratan tersebut diperbolehkan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ أَحَقَّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوَفُّوْا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ
Sesungguhnya syarat yang paling wajib kalian tunaikan adalah syarat-syarat untuk menghalalkan pernikahan.[3]
Adapun syarat-syarat yang menyebabkan pelakunya terjerumus dalam perkara yang diharamkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka syarat-syarat tersebut tidak boleh dipenuhi dan tidak boleh dilaksanakan. Di antara contohnya adalah dalam kasus jual beli budak. Apabila seseorang menjual budak miliknya dengan syarat kalau budak itu nantinya dimerdekakan oleh si pembeli (tuannya yang baru) maka wala’nya[4] untuk si penjual tersebut. Syarat seperti ini tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّمَا الْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ
Sesungguhnya wala’ itu adalah milik orang yang memerdekakan budak[5]
Syarat-syarat yang diharamkan itu terbagi menjadi dua :
- Syarat-syarat yang haram dan menyebabkan akad tidak sah.
Misalnya adalah syarat mut’ah dalam pernikahan. Yaitu pernikahan yang dibatasi dengan jangka waktu tertentu. Jika jangka waktu tersebut selesai maka pasangan suami isteri tersebut bercerai. Misalnya, seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan syarat pernikahan tersebut berlangsung selama satu bulan dan setelah itu pernikahan mereka berakhir.
Demikian pula syarat tahlîl dalam pernikahan. Apabila seorang wanita telah ditalak sebanyak tiga kali oleh suaminya, maka si suami tidak bisa ruju’ bekas isterinya tersebut kecuali apabila wanita tersebut telah dinikahi laki-laki lain, telah berhubungan suami isteri dengan suaminya yang baru tersebut dan telah diceraikan lagi oleh suaminya yang baru itu, tanpa ada unsur rekayasa. Jika ada rekayasa, misalnya ada laki-laki lain yang melamar wanita tersebut, kemudian si wanita ini mau tapi dengan syarat setelah menikah dan berhubungan suami isteri, dia harus dicerai, supaya bisa menikah kembali dengan bekas suaminya yang pertama. Inilah yang dimaksud dengan syarat tahlîl dalam perrnikahan.
Syarat mut’ah dan syarat tahlîl adalah syarat yang fâsid (rusak) yang menyebabkan pernikahan tersebut tidak sah. Karena syarat ini bertentangan dengan tujuan awal pernikahan disyari’atkan.
- Syarat-syarat yang haram tetapi tidak menyebabkan akadnya batal.
Misalnya, pernikahan dengan syarat tanpa mahar. Apabila seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan syarat tanpa memberikan mahar kepada isterinya.
Demikian pula apabila seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan syarat tidak memberikan nafkah kepada isterinya, atau dengan syarat bahwa isterinya tersebut mendapatkan giliran lebih banyak atau lebih sedikit daripada isteri-isterinya yang lain.
Maka syarat-syarat semacam ini termasuk syarat yang fasid (rusak) namun tidak sampai menyebabkan akad pernikahan itu batal. Karena syarat-syarat itu tidak bertentangan dengan tujuan awal pernikahan, baru sebatas menafikan hal-hal yang wajib ditunaikan dalam pernikahan berupa hak-hak isteri atas suaminya.
Wallâhu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIV/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Diangkat dari al-Qawâ’id wal Ushûlul Jâmi’ah wat Taqâsîm
[2] Hadits الْمُسْلِمُوْنَ عِنْدَ شُُرُوْطِهِمْ diriwayatkan oleh Imam Bukhâri 4/451 secara mu’allaq dengan shighah jazm. Dan diriwayatkan secara maushûl oleh Imam Ahmad 2/366, Abu Dâwud no. 3594, Ibnu Jarud no. 637, Hakim 2/45, Ibnu ‘Adiy no. 2088 dari Abu Hurairah lewat jalur periwayatan Katsîr bin Zaid dari Walîd bin Rabbâh. Dan diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 1370 dari Katsîr bin Abdillâh bin ‘Amr bin ‘Auf al-Muzaniy dari bapaknya dari kakeknya bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
Lafadz ini pula yang diriwayatkan oleh Thabrani dalam al-Kabîr no. 30, Ibnu ‘Adiy no. 2081, Dâruquthni 3/27, al-Baihaqi 6/79, Ibnu Mâjah no. 2353 tanpa potongan kalimat terakhir. Hadits ini dikuatkan dengan hadits ‘Aisyah, Anas, Abdullâh bin Umar, Rafi’ bin Khadîj Radhiyallahu anhum, sehingga hadits ini menjadi sah dengan mengumpulkan seluruh jalur periwayatannya.
[3] HR. al-Bukhâri dalam kitabun Nikâh, Bab as-Syurûth fin Nikâh, no. 5151. Muslim dalam kitab an-Nikâh, Bab al-Wafâ’ fis syurûth, no. 1418 dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu.
[4] Yang dimaksud dengan wala’ di sini adalah apabila seseorang memerdekakan budak, kemudian setelah merdeka budak itu meninggal dalam keadaan tidak mempunyai ahli waris, maka yang berhak mewarisi hartanya adalah orang yang memerdekakannya. Demikian pula apabila setelah merdeka, budak tersebut terbunuh sedangkan ia tidak memiliki ahli waris, maka orang yang memerdekakan itulah yang berhak menerima diyat (dendanya). (Pen)
[5] HR. al Bukhâri dalam Kitab al-Mukâtab, Bab Isti’ânatul Mukâtab, no. 2563. Muslim dalam Kitab al-‘Itqu, Bab Innamal Wallâ-u Liman A’taqa, no. 1504 dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma
- Home
- /
- A5. Panduan Qawaid Fiqhiyah
- /
- Kaidah Ke. 23 :...