Rahmat Allah Bagi Umat Muhammad

RAHMAT ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA BAGI UMAT MUHAMMAD SHALLALLAHU A’ALAIHI WA SALAM

Oleh
Ustadz Rizal Yuliar Abu ‘Aisyah

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

Allah tidak membebani suatu jiwa melainkan sesuai dengan kemampuannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kemaksiatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa):“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami apabila kami lupa atau kami tersalah. Wahai Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Wahai Rabb kami, janganlah Engkau embankan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Berilah maaf bagi kami, ampuni dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir [al-Baqarah/2: 286]

Pendahuluan
Agama Islam ini mudah, semua tuntunan ajarannya indah. Tak pernah Allâh Azza wa Jalla membiarkan umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam kesulitan dan kebingungan yang berkepanjangan. Manakala seorang Mukmin menghadapi sebuah permasalahan, Islam selalu memberikan kemudahan jalan. Bukan seperti perkataan sebagian orang yang belum mengenal Islam lebih mendalam, “Islam begitu sulit dijalankan, berat, menetapkan hukum yang menyisakan kebuntuan tanpa solusi penyelesaian”,

Syariat Islam begitu sempurna dan tak sedikit pun membenarkan kezhaliman. Islam menetapkan formula tepat dan kehebatan ajaran yang mencakup setiap sendi kehidupan umat manusia. Kasih sayang Allâh Azza wa Jalla yang begitu luas terbukti menghadirkan kesejukan kalbu dan meringankan setiap hamba-Nya yang beriman dari berbagai beban berat. Hal ini dapat kita saksikan dengan seksama dalam banyak ayat-ayat suci al-Qur`ân dan sabda-sabda mulia Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan di antara ayat yang menunjukkan sifat kebijaksanaan, kasih sayang dan keagungan serta kemurahan Allâh Azza wa Jalla bagi para hamba-Nya ialah akhir ayat surat al-Baqarah di atas.

Keutamaan ayat ini dan beberapa ayat sebelumnya, di antaranya.

  1. Ayat tersebut merupakan bagian dari kekayaan di bawah `arsy Allâh Azza wa Jalla
  2. Belum pernah seorang Nabi pun sebelum Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  diberikan yang semisal dengan  ayat-ayat tersebut.
  3. Barangsiapa membaca dua ayat terakhir surat al-Baqarah (285-286) pada malam hari, maka dua ayat tersebut akan memberikan kecukupan sebagai perlindungan baginya.

Dari ari Abu Dzar dia berkata :

نْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُعْطِيتُ خَوَاتِيمَ سُورَةِ الْبَقَرَةِ مِنْ بَيْتِ كَنْزٍ مِنْ تَحْتِ الْعَرْشِ لَمْ يُعْطَهُنَّ نَبِيٌّ قَبْلِي

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  Aku telah diberi ayat-ayat terakhir surat al-Baqarah dari suatu rumah kekayaan di bawah `Arsy yang tidak pernah diberikan kepada nabi manapun sebelumku .[1]

Dari Abu Mas’ud Al-Badri Radhiyallahu anhu

عن أبي مسعود البدري رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «مَنْ قَرَأَ بِالآيَتَيْنِ مِنْ آخر سُورَةِ البَقَرَةِ في لَيْلَةٍ كَفَتَاه

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda : Barangsiapa membaca keduanya, maka itu cukup baginya (menjadi pelindung) .[2]

Sebab turun ayat.
Abu Hurairah menuturkan, “Pada saat ayat (284) dari surat al-Baqarah diturunkan, ayat tersebut dirasa berat oleh para Sahabat, sehingga mereka mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberitahukan bahwa mereka tidak sanggup memikulnya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah kalian hendak mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlul kitab sebelum kalian dengan ucapan “Kami mendengar dan kami langgar”?!. Ucapkanlah oleh kalian, “Kami mendengar dan kami menaati”. Para Sahabat pun mengikrarkan dengan ucapan mereka, “Kami mendengar dan kami menaati”. Setelah mereka mengucapkannya, lisan mereka menjadi ringan untuk mengutarakannya, dan selanjutnya Allâh Azza wa Jalla menurunkan ayat (285). Selanjutnya manakala mereka telah melaksanakannya, Allâh Azza wa Jalla menurunkan ayat (286). “Wahai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami apabila kami lupa atau kami tersalah”, Allâh Azza wa Jalla menjawab, “Ya”. “ Wahai Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami”. Allâh Azza wa Jalla menjawab “Ya”. “Wahai Rabb kami, janganlah Engkau embankan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya”. Allâh Azza wa Jalla menjawab, “Ya”. “Berilah maaf bagi kami, ampuni dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. Allâh Azza wa Jalla menjawab, “Ya”[3].

Kandungan makna ayat.
Tentang kandungan makna ayat ini, Sahabat Ibnu Abbâs Radhiyallahu anuhma bertutur, [4] “Maksudnya Allâh Azza wa Jalla tidak akan membebani kaum Mukminin (di luar kemampuan mereka)… sebagaimana dalam ayat-ayat lainnya yang serupa dengan kandungan makna ayat di atas[5]. Ini merupakan petunjuk kemurahan, kasih sayang dan ihsan (kebaikan) Allâh Azza wa Jalla terhadap para makhluk-Nya.

Ayat ini menghapus apa yang sempat dirasa membebani oleh para Sahabat Nabi  dalam ayat sebelumnya. Meskipun Allâh Azza wa Jalla meminta pertanggungjawaban dan memperhitungkan seluruh amalan, akan tetapi Allâh Azza wa Jalla  tidak menyiksa  hamba-Nya melainkan dengan apa yang dapat ia hindari. Adapun yang tidak kuasa dihindari oleh diri seorang hamba berupa bisikan-bisikan jiwa dan rayuan nafsu, maka seseorang tidak dibebani dengannya (tidak dimintai pertanggungjawaban tentang itu). Dan kebencian terhadap bisikan nafsu yang buruk itu sudah merupakan bagian dari keimanan [6].

Allâh Azza wa Jalla al-Khâliq (Dzat Yang Maha Pencipta) sangat mengetahui batas kemampuan manusia (kita semua) untuk menjalankan perintah maupun menjauh dari larangan. Allâh berfirman:

أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ  

Apakah Allâh yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan), dan Dia Maha lembut lagi Maha Mengetahui?  [al-Mulk/67:14]

Namun ketahuilah, sesungguhnya sebagian orang telah gegabah bahkan salah kaprah dalam memahami ayat ini. Mereka  menjadikannya sebagai hujjah (dalil) atau celah kesempatan untuk sembarangan dalam menjalankan hukum atau norma agama Islam. Ada saja di antara mereka yang memahami bahwa apabila seseorang tidak mampu shalat karena sakit, maka dirinya boleh meninggalkan shalat. Atau mengatakan bila belum bisa (mau) mengenakan busana muslimah, maka tidak mengapa bila kaum Muslimah pamer aurat, karena Allâh Azza wa Jalla tidak membebani satu orang di luar kemampuannya (!?) dan ungkapan lainnya. Pemahaman yang keliru ini merasuki sebagian orang yang berilmu dangkal ilmu, pemahaman yang justru akan menjerumuskan diri mereka sendiri ke dalam lubang kenistaan dan lumpur kebinasaan. Na`ûdzubillâh

Beberapa pelajaran penting dan berharga yang dapat dipetik dari ayat di atas[7]
1. Kasih sayang Allâh Azza wa Jalla terhadap para hamba-Nya. Sesungguhnya bilamana Allâh Azza wa Jalla hendak membebani mereka dengan yang mereka tidak mampu sekalipun, niscaya Allâh Azza wa Jalla akan melakukannya, namun  Allâh Azza wa Jalla  tidak membebani mereka melainkan sesuai dengan kemampuan mereka. Mungkin seseorang akan berkata, “Memang haruslah demikian! Sebab bagaimana mungkin Allâh Azza wa Jalla akan membebani mereka dengan sesuatu di luar kesanggupan mereka padahal mereka pasti tidak menyanggupinya?! Apalah untungnya bila Allâh Azza wa Jalla memerintahkan mereka dengan sesuatu yang mereka tidak sanggupi mengerjakannya?!” Ungkapan demikian ini harus diluruskan; bahwa di antara pelajaran yang dapat dipetik bila Allâh Azza wa Jalla tetap membebani mereka dengan urusan yang tidak kuasa mereka kerjakan adalah jika mereka tidak menjalankannya, maka Allâh Azza wa Jalla akan menghukum mereka. Hal ini merupakan kaidah agung di antara sejumlah prinsip dasar syariat Islam, dan yang semisal dengan kaidah ini banyak di dalam al-Qur`an dan as-Sunnah.

Baca Juga  Tafsir Surat Al-Kautsar

2. Dalam ayat ini terdapat penetapan sebuah kaidah luhur yang masyhur di kalangan Ulama, yaitu “tidak terdapat kewajiban dalam kondisi tidak mampu, dan tidak berlaku hukum haram pada saat darurat”. Akan tetapi, bilamana kewajiban yang tidak mampu diwujudkan itu memiliki pengganti (yang juga disyariatkan), maka menjadi wajib menjalankan pengganti tersebut. Dan bilamana tidak terdapat pengganti, maka hukum wajib itu gugur. Demikian halnya bila pengganti itu juga tidak dapat dilaksanakan, maka itu pun menjadi gugur. Contoh, apabila seseorang tidak sanggup bersuci dengan air, maka gugurlah kewajiban bersuci dengan air. Namun, kewajiban tersebut berpindah kepada tayamum. Dan apabila dia pun tidak mampu untuk bertayamum pula, maka gugurlah hukum tayammum tersebut. Seperti bilamana seseorang dalam kondisi terkurung dan terbelenggu ikatan; dirinya tidak mampu berwudhu tidak pula bertayamum, maka dia (diperbolehkan untuk) shalat tanpa berwudhu maupun bertayamum. Contoh yang lain, seseorang yang keliru membunuh jiwa, maka sang pembunuh berkewajiban untuk memerdekakan seorang budak. Bila dia tidak menemukannya, maka dia wajib melaksanakan puasa dua bulan berturut-turut. Bila dia tidak mampu, maka gugurlah kewajiban membayar kafarat.

Adapun contoh dari kaidah “tidak berlaku hukum haram pada saat darurat” adalah seperti seseorang yang terdesak secara darurat untuk makan bangkai pada saat dia tidak mendapatkan sesuatu pun untuk menghilangkan rasa laparnya selain bangkai tersebut, maka boleh bagi dirinya untuk makan bangkai itu. Namun, apakah boleh baginya untuk makan sehingga kenyang? Atau dia makan hanya sekedar untuk mempertahankan hayatnya? Jawabnya, apabila dia menduga akan mendapatkan sesuatu yang halal dalam waktu dekat, maka wajib atas dirinya untuk makan (bangkai tersebut) sekedar untuk mempertahankan hayatnya saja. Namun, apabila dia tidak menduga akan mendapatkan sesuatu yang halal dalam waktu dekat, maka diperbolehkan baginya untuk makan bangkai tadi sehingga kenyang. Bahkan dibenarkan baginya untuk menjadikan bangkai tersebut sebagai persediaan bila dikhawatirkan dirinya tidak mendapatkan sesuatu yang halal dalam waktu dekat. Jadi pengertian darurat (di sini) ialah pada saat dia tidak mungkin meninggalkan yang haram tersebut, dan kondisi daruratnya dapat teratasi dengan hal tersebut. Bila ternyata tidak, maka tidak dibenarkan. Seperti bilamana seseorang menyangka bahwa dia berada dalam kondisi darurat untuk berobat dengan yang haram sehingga dia hendak memakannya, maka yang demikian ini tetap tidak diperbolehkan dengan beberapa alasan:

  1. Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla mengharamkan yang demikian, dan tidaklah mungkin sesuatu yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla menjadi obat bagi para hamba-Nya atau bermanfaat bagi mereka.
  2. Sesungguhnya belum masuk kondisi darurat baginya untuk mengonsumsi obat haram ini, sebab boleh jadi kesembuhan (dari Allâh Azza wa Jalla) terdapat pada sesuatu yang lain, atau bahkan dia dapat sembuh tanpa obat sekalipun.
  3. Kita tidak dapat mengetahui (keberhasilan) kesembuhan pada obat tersebut. Berapa banyak kita ketahui obat halal yang dikonsumsi oleh seorang yang sakit, namun tidak bermanfaat sama sekali. Karenanya, Rasûlullâhn Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang jintan hitam, “Sesungguhnya ia (jintan hitam) merupakan penyembuh dari semua sakit kecuali kematian”[8]. Berarti, sekalipun jintan hitam adalah obat penyembuh, namun tidak dapat menghalangi kematian.

3. Sesungguhnya seseorang tidaklah memikul dosa orang lain. Allâh Azza wa Jalla berfirman dalam ayat utama di atas ”dan ia mendapat siksa (dari kemaksiatan) yang dikerjakannya”. Apabila seseorang bertanya, “Lantas bagaimana halnya dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Barangsiapa yang mempelopori suatu kejelekan dalam Islam, maka dia akan mendapatkan dosanya beserta dosa setiap orang yang mengikuti jejaknya tanpa dikurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”?![9]. Maka jawabnya ialah bahwa hal ini tidak berkaitan, sebab perbuatan itu telah dilakukannya terlebih dahulu, barulah kemudian diikuti oleh orang lain, sehingga perbuatan mereka merupakan dampak dari perbuatannya, dialah penyebabnya dan dialah yang memberikan contoh perbuatan tersebut, maka dia memperoleh akibat perbuatan buruknya.

4. Kemudahan dalam agama Islam. Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Allâh tidak membebani suatu jiwa melainkan sesuai dengan kemampuannya”. Dapat terpahami dari hal ini bahwa manusia berbeda-beda dalam kewajiban yang mereka jalankan. Seorang yang mampu melaksanakan shalat dengan berdiri, maka wajib atas dirinya untuk berdiri. Adapun yang tidak mampu berdiri, maka melaksanakannya dengan duduk. Dan yang tidak mempu duduk, maka melaksanakannya dengan berbaring…. Demikian halnya seorang yang mampu melaksanakan ibadah haji dengan harta dan dirinya sendiri, maka dia wajib melaksanakannya sendiri. Adapun yang tidak mampu demikian karena kondisi fisiknya lemah secara permanen, akan tetapi dia masih mampu berhaji dengan hartanya, maka wajib atasnya untuk mewakilkan kepada orang lain berhaji untuknya. Sedangkan orang yang tidak sanggup pergi haji baik dengan harta maupun fisiknya, maka tidak wajib atasnya untuk melaksanakan haji. Karena setiap orang memiliki kemampuan yang terbatas, dalam segala hal; dalam hal ilmu, pemahaman, kekuatan hafalan, semua sesuai dengan kemampuannya.

Baca Juga  Antara Kesyirikan Dan Kebodohan

5. Melalui ayat ini, dipahami pula sesungguhnya perbuatan manusia dilakukan berdasarkan keinginannya: “Allâh tidak membebani suatu jiwa melainkan sesuai dengan kemampuannya”. Ayat ini sekaligus menjadi koreksi total dan bantahan terhadap kaum Jabriyah yang beranggapan bahwa sesungguhnya seorang manusia tidak memiliki kehendak (keinginan sendiri) dalam apapun yang dilakukannya. Adapun rician prinsip mereka dan bantahan terhadapnya dapat ditelaah di dalam kitab-kitab aqidah.

6. Setiap hamba akan mendapatkan pahala sesuai dengan apa yang telah diupayakannya, tanpa dikurangi sedikit pun, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla ,

وَمَنۡ يَّعۡمَلۡ مِنَ الصّٰلِحٰتِ وَهُوَ مُؤۡمِنٌ فَلَا يَخٰفُ ظُلۡمًا وَّلَا هَضۡمًا

Dan barangsiapa beramal shalih dan dia adalah seorang Mukmin, maka dia tidak (perlu) takut akan dizhalimi  atau dikurangi haknya” (Thâhâ/20:112). Setiap amal shalih adalah keberuntungan dan setiap amal keburukan adalah kerugian.

7. Sekali lagi, Allâh Azza wa Jalla mencurahkan cinta kasih-Nya melalui bimbingan doa kepada para hamba-Nya  رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا  “Duhai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami apabila kami lupa atau kami tersalah”. Pada saat kaum Mukminin memanjatkan doa tersebut, Allâh Azza wa Jalla mengabulkannya seraya berfirman,  “Ya, Aku telah melakukannya”. Lebih lanjut, Rasûlullâh  menegaskan dalam sebuah hadits, “Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla telah menggugurkan beban (perhitungan hisab) dari umatku dalam hal kekeliruan, lupa serta desakan paksaan”.[10] Sesungguhnya lupa dan khilaf adalah kewajaran manusiawi setiap manusia. Hikmah di balik lupa dan khilaf yang Allâh Azza wa Jalla  ciptakan pada manusia adalah agar manusia menyadari kelemahan dan kekurangan yang ada pada dirinya, dan agar semakin tampak nyata karunia Allâh Azza wa Jalla padanya sehingga dia akan selalu merasa  membutuhkan kepada Allâh Azza wa Jalla . Pada akhirnya, dia pun memohon perlindungan dan keselamatan dari Allâh Azza wa Jalla dalam hal-hal di luar batas kemampuannya, kemudian dia memohon ampun dari segala dosa dan kekurangan.

8. Selayaknya setiap hamba untuk bertawassul dalam berdoa dengan sifat-sifat Allâh Swt yang sesuai, semisal dengan rububiyyah Allâh Azza wa Jalla . Mayoritas doa al-Qur`an menyebutkan  رَبَّنَا  “Wahai Rabb kami” atau  ربِّWahai Rabbku”.

9. Lupa dan kebodohan merupakan penghalang ancaman adzab. Namun hal ini tidak bermakna tergugurkannya perintah. Sehingga barangsiapa meninggalkan suatu kewajiban karena lupa atau tidak mengetahuinya, maka ia wajib mengqodha.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang terlupa melakukan sebuah shalat, maka hendaklah ia shalat pada saat mengingatnya[11].

Demikian pula seorang pria yang tergesa-gesa dalam melaksanakan shalat, Rasûlullâh berkata kepadanya, “Kerjakan lagi shalatmu, sesungguhnya engkau belum shalat![12]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan udzur karena ketidak tahuannya sekalipun orang tersebut tidak dapat melakukan yang lebih baik dari shalatnya itu. Inilah yang berlaku dalam perkara-perkara berisi perintah. Adapun dalam perkara larangan; barangsiapa melanggar sebuah larangan karena tidak tahu atau lupa, maka dia tidak berdosa dan tidak pula berkewajiban menunaikan kafarat. Sebagaimana apabila seorang terlupa makan pada saat dia berpuasa, maka dia tidak berdosa.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فأَكل أو شَرِب، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ

“Barangsiapa makan atau minum karena terlupa pada saat dia berpuasa, maka hendaklah dia menyempurnakan puasanya”[13]

Akan tetapi, bilamana dia melakukan suatu keharaman setelah dia mengetahui hukumnya yang haram, meskipun belum mengetahui kafarat dan akibatnya, maka dia tetap berdosa dan tetap berkewajiban menjalankan kafaratnya. Sebagaimana kisah seorang yang mengadukan dirinya setelah ia menggauli isterinya di siang hari bulan Ramadhan[14].

10. Ketundukan hati dan kesungguhan seorang hamba ketika bersimpuh memohon kepada Allâh Azza wa Jalla saat berdoa kepada-Nya merupakan bagian dari sebab terkabulnya doa dan permohonan tersebut.

Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa meringankan langkah kita dalam menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat, mengampuni segala dosa dan mengasihi kita dengan taufik dan hidayah-Nya. Amin. Wallâhu A`lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIV/1431H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1] HR. Ahmad dari Abu Dzar Radhiyallahu anhu dan Hudzaifah Radhiyallahu anhu. Lihat Shahîh al-Jâmi` no: 1060.
[2] HR. al-Bukhâri no. 5008-5009, dan Muslim no. 1877 dari hadits Abu Mas`ûd al-Badri al-Anshâri Radhiyallahu anhu
[3] HR. Muslim no. 325.
[4] Jâmi` al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur`ân, ath-Tahabari 3/154 dalam atsar no: 6499
[5] QS. al-Hajj:78, al-Baqarah:185, at-Taghâbun:16
[6] Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhim, Ibnu Katsir, 1/741
[7] Lihat Tafsir Syaikh al-‘Utsaimîn 3/451- 461
[8] HR. al-Bukhâri no: 5687 dari Khâlid bin Sa`ad Radhiyallahu anhu dan Muslim no: 5728 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[9] HR. Muslim no. 2348 dan 6741
[10] HR. Ahmad dari Abu Dzar z . Lihat Shahîh al-Jâmi` no: 1731.
[11] HR. Muslim no. 1558 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[12] HR. al-Bukhâri no. 6667 dan Muslim no. 883, keduanya dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[13] HR. Ibnu Mâjah no. 1673 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[14] HR. al-Bukhâri no. 6821 dan Muslim no. 2590 keduanya dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu

  1. Home
  2. /
  3. A8. Qur'an Hadits3 Tafsir...
  4. /
  5. Rahmat Allah Bagi Umat...