Kaidah Ke. 30 : Orang yang Berserikat, Saling Menanggung Penambahan, Pengurangan dan Perbaikan

QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Ketiga Puluh

الشُّرَكَاءُ فِي اْلأَمْلاَكِ يَشْتَرِكُوْنَ فِي زِيَادَتِهَا وَنُقْصَانِهَا, وَيَشْتَرِكُوْنَ فِي التَّعْمِيْرِ اللاَّزِمِ وَتُقَسَّطُ عَلَيْهِمُ الْمَصَارِيْفُ بِحَسَبِ مِلْكِهِمْ وَمَعَ الْجَهْلِ بِمِقْدَارِ مَا لِكُلٍّ مِنْهُمْ يَتَسَاوَوْنَ

Orang-orang yang berserikat dalam kepemilikan suatu barang, saling menanggung penambahan dan pengurangan benda tersebut, dan bersama-sama menanggung perbaikan yang bersifat wajib. Dan hak masing-masing dibagi sesuai kadar kepemilikan mereka. Adapun jika kadar kepemilikan masing-masing tidak diketahui maka dibagi rata di antara mereka.

Kaidah ini menjelaskan tentang orang-orang yang berserikat dalam kepemilikan suatu benda. Mereka ini, sama-sama menerima untung jika ada penambahan nilai pada barang tersebut, namun jika sebaliknya, maka mereka sama-sama menanggung kerugian. Demikian pula, jika benda itu perlu perbaikan, maka biaya perbaikannya ditanggung bersama-sama. Prosentase keuntungan dan kerugian sesuai dengan prosentase kepemilikannya terhadap benda yang dimiliki secara bersama-sama itu.

Penambahan tersebut bisa berupa penambahan dari sisi dzatnya, sifatnya, tambahan yang terpisah atau tambahan yang menyatu dengan benda yang mereka miliki, demikian pula tambahan dari hasil usahanya[1]

Penerapan kaidah ini dapat diketahui dari contoh-contoh kasus, diantaranya :

  1. Apabila sebuah rumah dimiliki oleh dua orang. Salah satunya memiliki sepertiga dan yang lainnya memiliki dua pertiga dari rumah tersebut. Jika nilai jual rumah itu bertambah, maka tambahan ini menjadi milik bersama sesuai dengan prosentase kepemilikan masing-masing[2]. Sebaliknya jika terjadi kerusakan, dan salah satu pemiliknya ingin rumah itu diperbaiki, maka pemilik lainnya wajib ikut andil dalam perbaikan tersebut.[3]
  2. Jika beberapa hewan ternak dimiliki oleh dua orang atau lebih, maka biaya pemeliharaannya ditanggung berdua sesuai dengan kadar kepemilikannya. Artinya, yang kadar kepemilikan setengah, ia wajib menanggung setengah dari seluruh biaya. Dan, yang kadar kepemilikan sepertiga, ia wajib menanggung 1/3 dari seluruh biaya pemeliharaan[4].
  3. Jika sebidang tanah atau sebuah rumah diwakafkan untuk beberapa orang. Kemudian tanah atau rumah tersebut rusak dan perlu biaya perbaikan. Maka biaya tersebut ditanggung bersama[5].
  4. Apabila dua orang sepakat membangun dinding pembatas antara rumah mereka, kemudian dinding tersebut rusak. Lalu mereka berselisih tentang siapakah yang berkewajiban memperbaikinya. Maka, dalam masalah ini yang wajib memperbaiki adalah mereka berdua, karena mereka memanfaatkannya bersama[6].
  5. Beberapa ekor kambing yang dimiliki dua orang, kemudian jumlahnya bertambah karena ada yang melahirkan, atau kambing tersebut memproduksi susu. Maka tambahan tersebut menjadi milik bersama sesuai prosentase kepemilikan masing-masing. Ini adalah contoh an-nama’ al-munfashil (tambahan yang terpisah).
  6. Jika seekor ternak dimiliki dua orang, lalu hewan itu semakin gemuk. Ini berarti nilai jualnya bertambah. Pertambahan nilai jual ini menjadi milik mereka berdua. Ini adalah contoh an-Nama’ul muttashil (pertambahan yang menyatu dengan yang asli).
  7. Seseorang yang mahjûr ‘alaihi (yang dilarang mengelola hartanya) karena bangkrut dan berkewajiban melunasi hutang. Jika harta yang ia punya tidak cukup untuk melunasi hutang, maka masing-masing orang yang menghutangi diambilkan dari harta tersebut sesuai kadar besarnya hutang dari mereka[7].
  8. Apabila di antara dua rumah ada dinding yang membatasi dan dimanfaatkan bersama oleh kedua pemilik rumah tersebut, kemudian salah satunya ingin memasang atap atau memasang tiang pada dinding tersebut, maka yang lain tidak boleh melarangnya. Dengan syarat, pemasangan atap atau tiang tersebut tidak menimbulkan madharat dan dengan izin terlebih dahulu[8].
Baca Juga  Kaidah Ke-62 : Beramal Dengan Dugaan Kuat Dalam Ibadah Telah Mencukupi

Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhâri dan Muslim :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ : لاَ يَمْنَعُ جَارٌ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشَبَهُ فِي جِدَارِهِ.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Janganlah seseorang melarang tetangganya untuk memasang kayu di dinding rumahnya.”[9]

Berkaitan dengan pembahasan kaidah ini, adakalanya kadar kepemilikan dua orang atau lebih terhadap suatu barang tidak diketahui dengan jelas. Jika ini terjadi, maka bagian masing-masing dianggap sama. Misalnya, seseorang mewakafkan atau mewasiatkan tanahnya untuk beberapa orang tanpa menentukan bagian masing-masingnya, maka dalam kasus ini kadar untuk masing-masing orang disamakan, tanpa melebihkan salah seorang dari yang lainnya.

Wallâhu a’lam.[10]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIV/1431H/2011M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Lihat macam-macam an-nama’ (penambahan) dalam al-Mausû’atul Fiqhiyyah, 41/369-370. Cet. Kedua. 1404 H/1983 M. Wizâratul Auqaf was Syu-ûn al-Islamiyah. Kuwait.
[2] Lihat Syarhul Qawâ’idis Sa’diyah, hlm. 197. Syaikh Abdul Muhsin bin Abdullah az-Zamil
[3] Lihat ta’liq Syaikh al-Utsaimin terhadap kitab al-Qawâ’id wa al-Ushulul Jâmi’ah wal Furuq wat Taqâsim al-Badî’ah an-Nâfi’ah, hlm. 140. Cet. Pertama. Tahun 2002 M. Maktabah as-Sunnah. Kairo
[4] Lihat ta’liq Syaikh al-Utsaimin terhadap kitab al-Qawâ’id wa al-Ushulul Jâmi’ah wal Furuq wat Taqâsim al-Badî’ah an-Nâfi’ah, hlm. 140. Cet. Pertama. Tahun 2002 M. Maktabah as-Sunnah. Kairo
[5] Lihat Syarhul Qawâ’idis Sa’diyah, hlm. 198. Syaikh Abdul Muhsin bin Abdullah az-Zamil.
[6] Lihat Taqrîrul Qawâ’id wa Tahrîrul Fawâ-id, 2/81. al-Imam al-Hafizh Zainuddin Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab al-Hambali. Ta’liq Syaikh Abu Ubaidah Masyhûr bin Hasan Alu Salman. Cet. Pertama. 1419 H/1998 M. Dar Ibni Affan lin nasyr wat tauzi’. Khubar
[7] Syaikh Ibnu Utsaimin mencontohkan, jika total hutangnya Rp. 10.000, dengan rincian Rp. 5.000,- dari A, Rp. 3.000,- dari B, dan Rp. 2.000,- dari C. Sedangkan harta yang bisa digunakan untuk bayar hutang hanya sejumlah 5.000. Maka A diberi Rp. 2.500, B diberi Rp. 1.500, dan C diberi Rp. 1.000
[8] Lihat Syarhul Qawâ’idis Sa’diyah, hlm. 198. Syaikh Abdul Muhsin bin Abdullah az-Zamil
[9] HR. al-Bukhâri, no. 2463; Muslim, no. 1609.
[10] Diangkat dari al-Qawâ’id wa al-Ushulul Jâmi’ah wal Furuq wat Taqâsim al-Badî’ah an-Nâfi’ah. Syaikh Abdurrahman bin Nâshir as-Sa’di. Tahqiq Syaikh Dr. Khâlid bin Ali bin Muhammad al-Musyaiqih. Cetakan kedua. 1422 H/2001 M. Dar al-Wathan li an-Nasyr. Riyadh. Hlm. 81-82. Dengan beberapa tambahan dari referensi lainnya.

Baca Juga  Kaidah Ke-69 : Ibadah Yang Dilaksanakan Berdasarkan Dalil Syar'i Tidak Boleh Dibatalkan