Husain Bin Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhuma

HUSAIN BIN ‘ALI BIN ABI THALIB RADHIYALLAHU ‘ANHUMA

Oleh
Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin

Biografi ini ditulis secara ringkas dan bebas dari kitab-kitab: Siyar A’lâm Nubalâ’ karya Imam adz-Dzahabi Juz 3, penerbit Mu’assasah ar-Risâlah, Tahqiq; Muhammad Na’im al-‘Arqasusy dan Ma’mûn Shagharjiy, cet. XI – 1422 H/2001 M; al-Bidâyah wa an-Nihâyah karya Imam Ibnu Katsîr, juz 8, Maktabah al-Ma’ârif – Beirut, tanpa tahun; Tahdzîb at-Tahdzîb karya al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalâni rahimahullah cet. I- Mathba’ah Majlis Dâ-irah al-Mâ’arif an-Nizhâmiyah, India – Haidar Abâd dan Majmû’ Fatâwa karya Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullah.

NAMA DAN NASAB
Beliau adalah Husain bin Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thâlib bin ‘Abdil Muth-thalib bin Hâsyim bin ‘Abdi Manâf bin Qushayy al-Qurasyi al-Hâsyimiy. Kun-yahnya Abu ‘Abdillah. Seorang imam yang mulia, cucu yang merupakan salah satu bunga kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dunia dan kesayangannya di samping Hasan Radhiyallahu ‘anhuma. Kedua orang tuanya adalah ‘Ali bin Abi Thâlib dan Fâthimah az-Zahra’ binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

KELAHIRANNYA
Dilahirkan pada tanggal 5 Sya’bân tahun keempat Hijriyah, dan jarak umur antara beliau dengan Hasan, kakaknya, menurut sebagian ulama adalah satu kali masa suci ditambah masa kehamilan[1] .

KEDUDUKAN HUSAIN RADHIYALLAHU ‘ANHU
Beliau adalah seorang Imam di antara imam-imam Ahlu Sunnah, memiliki kedudukan mulia di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sangat dicintainya. Dari Ibnu Abi Nu’mi, ia berkata: “Aku mendengar ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma ketika ditanya oleh seseorang (yang datang dari Irak) tentang hukum orang yang berihram- (kata Syu’bah: saya menduga ia bertanya tentang hukum) membunuh lalat-. Maka ‘Abdullah bin ‘Umar berkata: “(Lihatlah) orang-orang Irak bertanya tentang hukum membunuh seekor lalat, padahal mereka telah membunuh putra dari putri Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

هُمَا رَيْحَانَتَايَ مِنَ الدُّنْيَا. رواه البخاري

Keduanya (Hasan dan Husain) adalah dua buah tangkai bungaku di dunia“. [Riwayat al-Bukhari dan lainnya, Fathul Bâri VII/95, no. 3753]

Adz-Dzahabi rahimahullah dalam Siyar A’lâm Nubalâ’ [2] membawakan riwayat dari Jâbir Radhiyallahu ‘anhu yang ketika melihat Husain bin ‘Ali masuk ke dalam Masjid mengatakan: “Barangsaiapa yang ingin melihat seorang sayyid (pemuka) dari para pemuda ahli sorga maka lihatlah Husain Radhiyallahu ‘anhu ini”. Saya mendengar hal itu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”[3]

Dalam kitab yang sama, adz-Dzahabi rahimahullah juga membawakan riwayat dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha, ia berkata: “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelimuti ‘Ali, Fâthimah serta kedua anaknya (Hasan dan Husain) dengan sebuah selimut, kemudian beliau bersabda:

“اَللَّهُمَّ هَؤُلاَءِ أَهْلُ بَيْتِ بِنْتِي وَحَامَتِي، اَللَّهُمَّ أَذْهِبْ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيْرًا”. فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ! أَنَا مِنْهُمْ؟ قَالَ : إِنَّكِ إِلَى خَيْرٍ.

Ya Allah, mereka adalah ahli bait putriku dan kesayanganku. Ya Allah, hilangkanlah kotoran dari mereka, dan sucikanlah mereka dengan sesuci-sucinya”. Aku (Ummu Salamah) bertanya: Apakah aku termasuk mereka?. Beliau menjawab: “Sesungguhnya engkau menuju kepada kebaikan“.

Hadits ini dikatakan oleh adz-Dzahabi rahimahullah bahwa isnad-nya jayyid (baik), diriwayatkan dari beberapa jalan dari Syahr. Sementara pentahqiq mengatakan, hadits itu shahih dengan syawâhidnya [4].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

حُسَيْنٌ مِنِّي وَ أَنَا مِنْ حُسَيْنٍ، أَحَبَّ اللهُ مَنْ أَحَبَّ حُسَيْنًا، حُسَيْنٌ سِبْطٌ مِنَ الأسْبَاطِ

Husain termasuk bagian dariku dan aku termasuk bagian darinya, Allah akan mencintai siapa saja yang mencintai Husain. Dan Husain adalah satu umat di antara umat-umat yang lain dalam kebaikannya“[5].

Demikianlah kedudukan Husain bin ‘Ali Radhiyallahu ‘anhuma, beliau sempat hidup bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama sekitar lima tahun. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menyayangi dan memuliakannya sebagaimana menyayangi dan memuliakan Hasan Radhiyallahu ‘anhu hingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, ‘Umar dan Utsman pun Radhiyallahu ‘anhum sangat mencintai, memuliakan dan mengagungkannya. Dan Husain Radhiyallahu ‘anhu selalu menyertai ayahnya, ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu sampai wafatnya.

Ketika Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu resmi menjadi khalifah, maka Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu juga sangat memuliakannya, bahkan sangat memperhatikan kehidupan Husain Radhiyallahu ‘anhu dan saudaranya, sehingga sering memberikan hadiah kepada keduanya. Tetapi, ketika Yazid bin Mu’awiyah diangkat sebagai khalifah, Husain Radhiyallahu ‘anhu bersama Ibnu Zubair Radhiyallahu ‘anhu termasuk yang tidak mau berbai’at. Bahkan penolakan itu terjadi sebelum Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu wafat ketika Yazid sudah ditetapkan sebagai calon khalifah pengganti Mu’awiyah.

Oleh karena itu, beliau berdua keluar dari Madinah dan lari menuju Mekah. Kemudian keduanya menetap di Mekah. Ibnu Zubair Radhiyallahu ‘anhu menetap di tempat shalatnya di dekat Ka’bah, sedangkan Husain Radhiyallahu ‘anhu di tempat yang lebih terbuka karena di kelilingi banyak orang.

Selanjutnya, banyak surat yang datang kepada Husain Radhiyallahu ‘anhu dari penduduk Irak membujuk beliau supaya memimpin mereka. Menurut isi surat, mereka siap membai’at Husain Radhiyallahu ‘anhu. Dan surat-surat itu di antaranya berisi pernyataan gembira atas kematian Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu[6]. Karena penduduk Irak memang banyak diwarnai oleh pemikiran rafidhah (syi’ah) dan khawarij.

Baca Juga  Mengenal Sosok-Sosok Dari Generasi As-Sâbiqûnal Awwalûn

Begitulah, semua Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memuliakan Husain Radhiyallahu ‘anhu sebagaimana mereka memuliakan Hasan Radhiyallahu ‘anhu.

Adz-Dzahabi rahimahullah membawakan riwayat dari Ibnu al-Muhazzim rahimahullah yang mengatakan: “Pernah kami sedang menghadiri suatu jenazah. Lalu, datanglah Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu yang dengan bajunya mengibaskan debu-debu yang ada pada kaki Husain”.[7]

BEBERAPA SIFAT HUSAIN RADHIYALLAHU ‘ANHU
Secara fisik, Husain Radhiyallahu ‘anhu lebih mirip dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bagian dada sampai kaki, sementara Hasan Radhiyallahu ‘anhu lebih mirip dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada wajahnya[8]. Ketika kepala Husain didatangkan di hadapan ‘Ubaidullah bin Ziyâd, maka sambil memegang sebilah pedang, ia mengkorek-korek hidung (sebagian riwayat: gigi seri) Husain, ia berkata: “Aku belum pernah melihat orang setampan ini”. Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu yang ketika itu ada di hadapannya, mengatakan kepada ‘Ubaidullah bin Ziyâd: “Husain Radhiyallahu ‘anhu merupakan orang yang termasuk paling mirip dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam“[9].

‘Ubaidullah bin Ziyâd adalah Amir (gubernur) Bashrah pada masa pemerintahan Yazid bin Mu’awiah dan yang kemudian oleh Yazid diangkat pula sebagai Amir Kufah menggantikan Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhu [10]. ‘Ubaidullah bin Ziyâd inilah yang memobilisasi perang melawan Husain Radhiyallahu ‘anhu, dan bahkan menekan dengan ancaman kepada ‘Umar bin Sa’d bin Abi Waqqâsh rahimahullah untuk memeranginya.[11]

Tentang sifat Husain lainnya, antara lain sebagaimana yang dibawakan oleh adz-Dzahabi rahimahullah dari riwayat Sa’id bin ‘Amr, ia berkata: “Sesungguhnya Hasan Radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepada Husain Radhiyallahu ‘anhu : “Betapa ingin aku memiliki sebagian kekerasan hatimu”. Lalu Husain Radhiyallahu ‘anhu menjawab: “Dan betapa ingin aku memiliki sebagian kelembutan lidahmu”.[12]

WAFATNYA
Para ulama berselisih pendapat tentang kapan Husain Radhiyallahu ‘anhu wafat. Tetapi, adz-Dzahabi, Ibnu Katsir dan Ibnu Hajar al-‘Asqalani lebih menguatkan bahwa wafatnya pada hari ‘Asyura bulan Muharam tahun 61H [13] . Sedang umurnya juga diperselisihkan, ada yang mengatakan 58 tahun, 55 tahun dan 60 tahun. Tetapi Ibnu Hajar rahimahullah menguatkan bahwa umur beliau 56 tahun.[14]

Jauh hari sebelum Husain terbunuh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menceritakan bahwa Husain akan wafat dalam keadaan terbunuh. Adz-Dzahabi rahimahullah membawakan beberapa riwayat tentang itu, di antaranya dari ‘Ali, ia berkata:

“Aku datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika kedua mata beliau bercucuran air mata, lalu beliau bersabda: “Jibril baru saja datang, ia menceritakan kepadaku bahwa Husain kelak akan mati dibunuh. Kemudian Jibril berkata: “Apakah engkau ingin aku ciumkan kepadamu bau tanahnya?”. Aku menjawab: “Ya. Jibril lalu menjulurkan tangannya, ia menggenggam tanah satu genggaman. Lalu ia memberikannya kepadaku. Sehingga karena itulah aku tidak kuasa menahan air mataku”.[15]

Intinya banyak riwayat yan menceritakan tentang itu.

Pada hari-hari menjelang wafatnya, saat hendak berangkat dari Mekah menuju Irak, di negeri tempat beliau terbunuh, Husain Radhiyallahu ‘anhu meminta nasehat kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma.

Maka, Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu ‘anhma berkata: “Kalaulah tidak dipandang tidak pantas, tentu aku kalungkan tanganku pada kepalamu (maksudnya hendak mencegah kepergiannya)”.

Maka Husain Radhiyallahu ‘anhu menjawab: “Sungguh jika aku terbunuh di tempat demikian dan demikian, tentu lebih aku sukai daripada aku mengorbankan kemuliaan negeri Mekah ini” [16]

Husain Radhiyallahu ‘anhu akhirnya tetap berangkat menuju Irak setelah sebelumnya mengutus Muslim bin ‘Aqil bin Abi Thalib ke Irak untuk mengadakan penyelidikan, dan akhirnya mendapat berita bahwa beliau harus segera ke Irak.[17]

Namun, ketika Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma tiba di Madinah, beliau mendengar berita bahwa Husain sedang menuju ke Irak. Mengingat betapa bahayanya Irak bagi Husain Radhiyallahu ‘anhuma, maka Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma pun menyusulnya untuk menyarankan agar Husain mengurungkan niatnya. Tetapi, karena harapan-harapan yang diberikan oleh orang-orang Irak, maka Husain tetap pada pendiriannya untuk berangkat ke Irak. Maka Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma pun dengan berat hati melepaskannya setelah sebelumnya memeluk Husain Radhiyallahu ‘anhu dan mengucapkan kata perpisahan. Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma berkata:

“Aku titipkan engkau kepada Allah dari kejahatan seorang pembunuh”.[18]

Demikianlah, akhirnya Husain bin ‘Ali Radhiyallahu ‘anhuma tetap berangkat ke Irak dan kemudian terbunuh secara zhalim, di tangan kaum orang-orang aniaya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah memberikan komentar tentang terbunuhnya Husain Radhiyallahu ‘anhuma sebagai berikut:

“Ketika Husain bin ‘Ali Radhiyallahu ‘anhuma terbunuh pada hari ‘Asyura, yang dilakukan oleh sekelompok orang zhalim yang melampaui batas, dan dengan demikian berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuliakan Husain Radhiyallahu ‘anhuma untuk memperoleh kematian sebagai syahid, sebagaimana Allah Azza wa Jalla juga telah memuliakan Ahlu Baitnya yang lain dengan mati syahid, seperti halnya Allah Azza wa Jalla telah memuliakan Hamzah, Ja’far, ayahnya yaitu ‘Ali dan lain-lain dengan mati syahid. Dan mati syahid inilah salah satu cara Allah Azza wa Jalla untuk meninggikan kedudukan serta derajat Husain Radhiyallahu ‘anhuma. Maka, ketika itulah sesungguhnya Husain Radhiyallahu ‘anhuma dan saudaranya, yaitu Hasan Radhiyallahu ‘anhuma menjadi pemuka para pemuda Ahli sorga.”[19]

Baca Juga  Keteguhan Dan Keistiqamahan Bilâl Radhiyallahu Anhu Berbuah Surga

Pada sisi lain Syaikhul Islam juga mengatakan:
“Husain Radhiyallahu ‘anhuma telah dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mati syahid pada hari (‘Asyura) ini. Dengan peristiwa ini, Allah Azza wa Jalla juga berarti telah menghinakan pembunuhnya serta orang-orang yang membatu pembunuhan terhadapnya atau orang-orang yang senang dengan pembunuhan itu. Husain Radhiyallahu ‘anhuma memiliki contoh yang baik dari para syuhada yang mendahuluinya. Sesungguhnya Husain Radhiyallahu ‘anhuma dan saudaranya (yaitu Hasan) Radhiyallahu ‘anhuma merupakan dua orang pemuka dari para pemuda Ahli sorga. Keduanya merupakan orang-orang yang dibesarkan dalam suasana kejayaan Islam, mereka berdua tidak sempat mendapatkan keutamaan berhijrah, berjihad dan bersabar menghadapi beratnya gangguan orang kafir sebagaimana dialami oleh para Ahli Baitnya yang lain. Karena itulah, Allah Azza wa Jalla memuliakan keduanya dengan mati syahid sebagai penyempurna bagi kemuliaannya dan sebagai pengangkatan bagi derajatnya agar semakin tinggi. Pembunuhan terhadap Husain Radhiyallahu ‘anhuma ini merupakan musibah besar. Dan Allah Azza wa Jalla mensyari’atkan agar hamba-Nya ber-istirja’ (mengucapkan innâ lillâh wa innâ ilaihi raji’ûn) ketika mendapatkan musibah dengan firman-Nya:

وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ﴿١٥٥﴾الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ﴿١٥٦﴾أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:”Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji’ûn “. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” [al-Baqarah/2:155-157][20]

Demikianlah biografi Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhuma secara ringkas. Adapun tempat yang selama ini dianggap sebagai kuburan Husain atau kuburan kepala Husain di Syam, di Asqalan, di Mesir atau di tempat lain, maka itu adalah dusta, tidak ada bukti sama sekali. Karena semua ulama dan sejarawan yang dapat dipercaya tidak pernah memberikan kesaksian tentang hal itu. Bahkan mereka menyebutkan bahwa kepala Husain dibawa ke Madinah dan dikuburkan di sebelah kuburan Hasan [21]. Radhiyallahu ‘Anhuma wa ‘An Jami’ish Shahaabah ajma’in. Wallahu al-Musta’aan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Lihat al-Bidâyah wan Nihâyah (VIII/149)
[2]. Lihat Siyar A’lâm Nubalâ (III/282-283)
[3]. Dikatakan oleh pentahqiq Siyar A’lâm Nubalâ bahwa para perawinya adalah para perawi yang dipakai dalam Kitab Shahih, kecuali ar-Rabî’ bin Sa’d, tetapi ia tsiqah (terpercaya)
[4]. Lihat Siyar A’lâm Nubalâ (III/283)
[5]. Hadits ini hasan, diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah. Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi, karya Syaikh al-Albâni rahimahullah – juz III/539 no. 3775 – Maktabah al-Ma’ârif – Riyadh, cet. I dari terbitan yang baru, th. 1420 H/2000 M. Dan Shahih Sunan Ibnu Majah karya Syaikh al-Albâni rahimahullah – juz I/64-65 no. 118 – 143 – Maktabah al-Ma’ârif – Riyadh, cet. I dari terbitan yang baru, th. 1417 H/1997 M
[6]. Lihat al-Bidâyah wan Nihâyah (VIII/150)
[7]. Lihat Siyar A’lâm Nubalâ (III/287)
[8]. Lihat al-Bidâyah wan Nihâyah (VIII/150)
[9]. Ibid. Lihat pula Shahih Sunan at-Tirmidzi (III/540 no. 3778).
[10]. Ibid
[11]. Lihat misalnya, Siyar A’lâm Nubalâ (III/300 dll). Meskipun sesungguhnya ‘Umar bin Sa’d sangat tidak menyukai tugas ini. Bahkan akhirnya beliau menyesal dan mengatakan: “Tidak ada seorang pun yang pulang kepada keluarganya dengan membawa suatu keburukan sebagaimana yang aku bawa. Aku telah menaati ‘Ubaidullah bin Ziyâd, tetapi aku telah durhaka kepada Allah Azza wa Jalla dan telah memutuskan tali silaturrahim.”Lihat Siyar A’lâm Nubalâ (III/303)
[12]. Lihat Siyar A’lâm Nubalâ, III/287
[13]. Lihat Siyar A’lâm Nubalâ ( III/318), al-Bidâyah wan Nihâyah (VIII/172), Tahdzîb at-Tahdzîb (II/356)
[14]. Tahdzîb at-Tahdzîb (II/356)
[15]. Lihat Siyar A’lâm Nubalâ (III/288-289). Pentahqiq kitab ini (Muhammad Na’im al-‘Arqasusy dan Ma’mûn Shagharjiy) mengatakan, hadits itu dan yang senada diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Thabrani dan lain-lain, sedangkan para perawinya oleh al-Haitsami dikatakan sebagai para perawi yang tsiqah.
[16]. Lihat Siyar A’lâm Nubalâ (III/292). Pentahqiq kitab ini (Muhammad Na’im al-‘Arqasusy dan Ma’mûn Shagharji) mengatakan, riwayat ini diriwayatkan oleh ath-Thabrâni, sedangkan para perawinya oleh al-Haitsami dikatakan sebagai para perawi yang dipakai dalam kitab Shahîh.
[17]. Lihat al-Bidâyah wan Nihâyah (VIII/153 dst)
[18]. Lihat Siyar A’lâm Nubalâ (III/292)
[19]. Lihat Majmû’ Fatâwa (XXV/302)
[20]. Lihat Majmû’ Fatâwa (IV/511)
[21]. Lihat Majmû’ Fatâwa (XXVII/465)